Wednesday, December 26, 2007

Berkorban untuk Rakyat

Idul Adha atau Hari Raya Kurban baru saja kita lalui. Ribuan sapi dan jutaan kambing disembelih sebagai bentuk pengorbanan harta orang kaya yang kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin.

Boleh dibilang, Hari Raya Kurban ini merupakan pemerataan ad hoc, pemerataan makanan yang ada dalam satu-dua hari. Orang miskin yang hampir tidak pernah makan daging, bisa makin daging sebagaimana orang kaya. Meskipun masih ada jutaan rakyat lain yang tetap belum mendapat bagian.

Apakah berhenti sampai di situ arti pengorbanan? Apakah kita yang mampu ini cukup membeli sapi atau kambing kemudian disediakan untuk kurban dan kemudian selesai? Tentu saja itu sudah baik, bahkan sangat baik karena sesuai dengan perintah agama, tetapi belum cukup.

Dalam keadaan negara yang masih bangun dari keterpurukan ini, ketika orang-orang di sekitar kita masih hidup melarat, saat puluhan juta rakyat masih hidup miskin, melakukan kurban hanya pada saat Hari Raya Kurban jauh dari mencukupi. Kita perlu ''berkurban'' lebih besar.

Sebagai orang yang mampu, baik secara finansial maupun mampu intelektual, siapapun harus selalu berkorban untuk kepentingan rakyat. Kerahkan segala daya yang kita miliki sesuai dengan profesi yang kita jalani untuk mengangkat derajat kehidupan bangsa dan masyarakat.

Kita prihatin, dalam lingkungan gaya hidup hedonisme atau mengejar kesenangan seperti sekarang ini, kecenderungan untuk berkorban makin menipis. Bahkan tak jarang orang yang mampu bukannya berkorban untuk rakyat banyak melainkan justru mengorbankan rakyat.

Bisa diambil contoh renovasi rumah anggota DPR. Rumah itu akan direnovasi dengan biaya ratusan juta rupiah per rumah. Dan, selama rumah itu direnovasi, setiap anggota memperoleh biaya pengganti kontrak rumah Rp 13 juta per bulan atau Rp 146 juta per tahun.

Ironisnya, banyak anggota DPR yang sudah punya rumah sendiri sehingga rumah dinas itu selama ini hanya dihuni oleh keluarga atau kadernya. Kalau mereka selama ini tinggal di rumah sendiri dan kemudian memperoleh pengganti sewa Rp 146 juta, mereka bukan berkorban, tetapi mengorbankan rakyat, karena uang itu uang rakyat.

Banyak lagi contoh bagaimana para eksekutif menguras uang rakyat lewat berbagai trik korupsi. Ada yang sudah ketahuan dan disidang, ada yang masih mampu menyembunyikan dengan rapi. Mereka mengorbankan rakyat untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Selama ini rakyat sudah banyak berkorban untuk para penyelenggara negara. Kesenjangan yang makin menganga antara orang kaya dan orang miskin, itu adalah bagian dari pengorbanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang kurang memberikan keadilan bagi rakyat.

Hari Idul Adha ini semestinya mengingatkan kita tentang seberapa besar pengorbanan yang telah kita berikan kepada rakyat dan negara. Seberapa besar yang telah kita terima dibanding dengan yang telah kita berikan. Seberapa besar kita telah telah mengorbankan rakyat untuk mencapai kedudukan saat ini.

Membangun bangsa ini membutuhkan pengorbanan. Mari, Hari Idul Adha ini kita jadikan momen pengingat agar terus ikhlas berkorban untuk bangsa ini agar menjadi bangsa yang membanggakan.

Dimuat sebagai Tajuk di Republika edisi 21 Desember 2007

Tuesday, December 11, 2007

Mengejar Pertumbuhan Berkualitas

Ketika kita bicara pertumbuhan ekonomi maka yang selalu mengikutinya adalah berapa pengangguran yang ada saat ini. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi sangat erat kaitannya dengan pengangguran. Karena setiap persen pertumbuhan ekonomi akan terkait dengan berapa daya serap tenaga kerjanya.

Sejak krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi kita memang belum menggembirakan, tidak pernah di atas 6,0 persen. Padahal kita membutuhkan pertumbuhan yang tinggi agar daya serap terhadap tenaga kerja juga tinggi, sehingga pengangguran pun secara gradual akan terkurangi.
Pada 2006 silam sebetulnya sudah dipatok bahwa pertumbuhan ekonomi di atas enam persen.

Tapi tampaknya kondisi riil dunia sedang tidak bersahabat. Harga minyak yang semula di bawah 40 dolar AS per barel, tiba-tiba meroket menjadi 60 dolar AS bahkan 70 dolar AS per barel. Alhasil pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan subsidi.

Rupanya pemerintah terlalu bersemangat dan sedikit panik dalam menekan subsidi. Ini terlihat dengan dinaikkannya harga BBM dua kali lipat pada Oktober 2005. Efek dari kenaikan tersebut terbawa sampai pada 2006, sehingga pertumbuhan ekonomi 2006 yang ditargetkan di atas enam persen, hanya tercapai 5,5 pesen.

Kenaikan 5,5 persen jelas tidak cukup untuk membendung kenaikan pengangguran. Apalagi sektor yang mengalami pertumbuhan adalah sektor yang tidak banyak menyerap tenaga kerja. Dari perhitungan kasar, setiap pertumbuhan satu persen, hanya membuka lapangan kerja 200 ribu orang.

Dengan pertumbuhan sebesar itu maka dibanding dengan angkatan kerja yang baru masuk saja masih kurang. Saat ini, setiap angkatan kerja baru setiap tahun mencapai 1,7 juta, sementara dengan pengalaman 2006 lalu, tenaga kerja yang terserap dari pertumbuhan ekonomi 5,5 persen itu tak lebih dari 1,1 juta orang.

Berbicara mengenai pengangguran berarti juga berbicara mengenai kemiskinan. Artinya ketika tingkat pengangguran masih tinggi maka kemiskinan pun akan senada. Terbukti, sampai saat ini jumlah orang miskin di negeri kita masih 40 juta. Itupun dengan batas miskin menggunakan plafon 1 dolar AS per hari, kalau 2 dolar, bisa lebih dari 100 juta.

Pertumbuhan ekonomi ada, tapi kemiskinan juga membengkak, apa artinya? Melihat kondisi tersebut berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh rakyat. Pertumbuhan ekonomi selama ini hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang sudah tinggi pendapatannya.

Selain itu, dengan melihat bahwa pertumbuhan ekonomi banyak dibangun oleh sektor konsumsi dan padat modal, berarti mereka yang menikmati kebanyakan adalah orang-orang yang tinggal di perkotaan. Sementara mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari pusat-pusat bisnis, apalagi di pedesaan akan makin tak kebagian.

Dengan begitu bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ini tidak disertai dengan pemerataan, baik pemerataan antara kelas mengah atas dengan kelas bawah, ataupun kesenjangan antardaerah. Tidak terjadinya pemerataan tersebut, membuat kesenjangan makin tinggi.

Dari tabel yang saya paparkan terlihat bahwa Gini Ratio yakni ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan pendapatan penduduk di suatu negara, semakin tahun semakin tinggi angkanya. Secara lebih jelas bisa dilihat dari persentase penguasaan ekonomi oleh penduduk miskin, sedang, dan kaya di mana orang kaya menguasai lebih banyak, padahal secara jumlah orangnya lebih sedikit.

Di sisi lain, pertumbuhan juga tidak berbasiskan investasi. Terlihat pada 2006 misalnya, pangsa investasi dibanding total PDB hanya 21,9 persen. Pada tahun itu pula konsumsi swasta yang menyokong pertumbuhan paling tinggi, yakni dengan pangsa mencapai 58,3 persen.

Kualitas rendahDari sisi rendahnya penyerapan tenaga kerja, kesenjangan yang makin melebar, dan sektor penyokong pertumbuhan, maka bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terbangun akhir-akhir ini berkualitas rendah. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menggerakkan ekonomi yang berbasis massal.

Sebetulnya apa yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia 2004 silam merupakan janji menuju pertumbuhan yang baik. Saat itu dikatakan bahwa pertumbuhan harus didukung investasi dan ekspor, pemberdayaan sektor riil, dan revitalisasi sektor pertanian.

Tapi ketika berbicara kenyataan, apa yang dijanjikan tersebut bicara lain. Ekspor bolehlah dipamerkan karena memang memmiliki kinerja baik, meskipun sebagian didorong oleh naiknya komoditas ekspor dari sumber daya alam, seperti batubara, begitu pula CPO dan karet.

Sementara, dari sisi sektor riil, masih bisa dikatakan jauh dari optimal. Sekarang ini yang sedang naik daun adalah sektor makro, bisa kita lihat inflasi rendah, suku bunga turun, kurs rupiah menguat stabil, begitu pula bursa efek yang terus menerus mencetak rekor. Sayangnya, kondisi bagus tersebut tidak mempu mentriger sektor riil untuk melaju.

Keluarnya UU tentang Penanaman Modal yang diharapkan mampu mengangkat investasi belum terlihat betul pengaruhnya. Tapi itu pun sebetulnya juga tergantung dari ekonomi biaya tinggi yang tidak hilang-hilang sejak dulu sampai sekarang, kepastian hukum yang masih setengah-setengah, dan sebagainya.

Belum lagi masih enggannya bank menyalurkan kreditnya. Mereka masih lebih suka menyimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang aman dan bunganya relatif masih lebih tinggi dibanding bunga simpanan yang mereka berikan kepada nasabah. Belum lagi suku bunga kredit yang masih tinggi.

Dan sampai kini yang masih belum banyak disentuh dari janji SBY adalah revitalisasi pertanian. Sektor ini sejak dulu sampai sekarang tidak pernah tersentuh secara optimal. Padahal di sektor inilah terdapat jutaan orang mengandalkan hidupnya. Pada sektor ini pula semestinya kekuatan pangan dibangun agar tidak sedikit-sedikit impor beras.

Kemiskinan banyak dialami oleh petani. Kenapa? Karena umumnya mereka hanya memiliki tanah tak lebih dari setengah hektare. Dari mana mereka bisa hidup dengan tanah selebar itu, sementara harga pupuk kian melambung. Itupun masih lumayan karena lebih banyak lagi yang hanya menjadi buruh tani.

Memang pada pertumbuhan triwulan I 2007 ini sektor pertanian menunjukkan taringnya. Tapi mesti diingat bahwa pertumbuhan sektor pertanian ini karena memang berbarengan dengan masa panen, sehingga produksinya tinggi. Artinya, di sini konsistensi pertumbuhan dari sektor pertanian masih dipertanyakan.

Akselerasi pertumbuhanUntuk mendongkrak agar 2007 ini pertumbuhan sesuai target yang sudah ditetapkan, yakni 6,3 persen, mau tidak mau usaha harus diperkeras. Karena untuk mencapai target tersebut, dalam sembilan bulan terakhir, pertumbuhan harus berada di sekitar 6,5 persen, untuk mengimbangi pertumbuhan triwulan I yang hanya 5,96 persen.

Di sini perlu akselerasi pertumbuhan. Dengan kondisi makro yang sudah baik, saat ini tinggal menggebrak sektor riil agar segera bangkit, segera melakukan akselerasi. Pintu-pintu yang selama ini terkunci, harus segera dibuka. Pemerintah sendiri perlu mengambil peran sentral di dalamnya.

Dalam penyaluran kredit misalnya, perbankan harus mulai sigap memberikan kredit untuk sektor riil, tidak cuma menyimpan dananya di tempat aman. Harus berani mengambil risiko, tentu dengan perhitungan yang matang. Sektor infrastruktur sudah semestinya makin dilirik, karena selain potensinya besar juga bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Bank juga harus lebih efisien agar spread antara bunga simpanan dan bunga kredit tidak terlalu melebar. Saat ini dengan bunga simpanan rata-rata 6,5-7,5 persen, mereka masih melempar ke kredit sampai 13-15 persen. Di situ terlihat betapa tingginya spread yang diambil bank. Turunnya bunga kredit akan memberi peluang sektor riil untuk bertumbuh.

Selain itu, SBY juga harus membuktikan janjinya bahwa sektor pertanian akan menjadi salah satu pijakan utama dalam pertumbuhan dan pemerataan. Apalagi, tesis doktornya adalah mengenai pertanian, sehingga sudah semestinya apa yang dipikirkan dalam tesis tersebut diaplikasikan di wilayah sebenarnya.

Pertumbuhan memang harus diakselerasi. Tapi akselerasi itu juga tetap harus berada pada kualitas, bukan sekadar pertumbuhan. Dengan pertumbuhan berkualitas maka pada masa datang, pendapatan per kapita kita bisa tinggi, tetapi juga dibarengi dengan pemerataan pendapatan yang baik dan pengangguran yang berkurang drastis.

Artikel ini dimuat di Republika edisi 27 Mei 2007

Friday, December 7, 2007

Sepadankah Gaji Anggota DPRD dan Kinerjanya?

Anif Punto Utomo

Kerja apa yang paling enak di Temanggung? Kalau masalah kerja yang enak, itu relatif. Setiap orang punya minat dan keahlian yang berbeda-beda. Setiap orang juga punya persepsi masing-masing mengenai sebuah pekerjaan.

Pertanyaan yang lebih gampang barangkali adalah: gaji sebagai apa yang paling tinggi di Temanggung? Barangkali lebih riil dan lebih mudah melihatnya.

Sebelum kita bicara Temanggung, kita coba lihat dulu skala nasional, di Jakarta. Di ibukota ini, gaji tertinggi adalah direktur perusahaan. Gaji seorang Dirut Pertamina misalnya mencapai Rp 150 juta per bulan. Gaji BUMN lain seperti Telkom, Bank Mandiri, Bank BRI, dll sekitar Rp 110 juta per bulan. Bonus tahunan bisa sampai Rp 2 miliar, tergantung keuntungan.

Belum lagi gaji direktur di perusahaan swasta yang besar. Di perusahaan semacam Astra misalnya, kabarnya mencapai Rp 200 juta per bulan. Kemudian diperusahaan minyak Medco juga tidak jauh dari angka tersebut. Lagi-lagi angka tersebut belum sama bonus, yang bisa miliaran rupiah juga per tahun.

Gaji para direktur itu memang jauh lebih tinggi daripada gaji pejabat. Gaji seorang Presiden pun ‘hanya’ sekitar Rp 65 juta, wakil presiden Rp 45 juta, dan menteri Rp 20 juta. Gaji presiden itu kalah dengan gaji Ketua DPR yang mencapai Rp 75 juta. Begitu pula gaji wapres kalah dengan gaji wakil ketua DPR.

Kalau gaji kalangan eksekutif di Jakarta lebih tinggi dari pejabat, bagaimana di Temanggung? Tidak ada data pasti. Tapi melihat perusahaan-perusahaan di Temanggung yang skalanya masih kecil (entah kalau ada perusahaan luar yang kemudian berinves di Temanggung seperti perusahaan air minum di Mudal), bisa dikatakan tidak ada yang memberikan gaji besar.

Maka, gaji terbesar di Temanggung boleh dikata adalah gaji pejabat, termasuk gaji kalangan DPRD. Kita lihat, gaji ketua DPRD saat ini adalah Rp 24,25 juta per bulan, kemudian untuk wakil ketua DPRD mencapai Rp 21,3 juta per bulan. Sementara gaji anggota DPR sekitar Rp 13,8 juta per bulan.

Jelas tidak ada yang sanggup menandingi gaji itu di Temanggung, baik pegawai negeri maupun perusahaan swasta. Pegawai negeri yang tertinggi, itu pun kalau ada, misalnya adalah golongan IVe (Rp 1,672 juta) dan Eselon 1A (Rp 5,5 juta) yang jika ditotal gajinya adalah Rp 7,17 juta. Besaran gaji tertinggi di PNS itu hanya separo anggota DPR, tak sampai sepertiga ketua DPR.

Lebih mengenaskan lagi kalau dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR). Pada 2007 ini, UMR di Temanggung Rp 455.000 per bulan. Betapa jauhnya gaji rakyat ini dibandingkan dengan gaji wakilnya di DPRD. Kerja buruh selama dua setengah tahun baru setara dengan gaji wakil rakyat. Bahkan untuk menyetarakan ketuanya buruh harus bekerja empat tahun lebih.

Layakkah gaji DPRD sebesar itu? Layak tidaknya gaji selalu dilihat dari kinerjanya. Perusahaan swasta yang membayar ratusan juta per bulan dan bonus miliaran rupiah itu merasa layak, karena dari tangan mereka keuntungan perusahaan yang diperoleh sangat tinggi, berkali-kali lipat dibandingkan gaji mereka.

Karena itu melihat kelayakan dari gaji anggota DPR adalah bagaimana mereka bisa mewakili rakyatnya dalam menentukan kebijakan pemerintah daerah agar pro-rakyat. Pro rakyat tidak harus kebijakan yang populer, tetapi kebijakan yang tidak populer pun bisa asal ujung-ujungnya untuk kepentingan rakyat.

Di Singapura, sebuah negeri yang sebetulnya tidak demokratis itu, wakil rakyatnya (member of parliament) selalu melakukan pertemuan rutin dengan rakyatnya rutin seminggu sekali. Pertemuan itu mereka sebut dengan istilah Meet the People Session (sesi bertemu dengan rakyat).

Sesi temu masyarakat ini menjadi ajang interaksi wakil rakyat dengan rakyatnya, tak peduli rakyatnya itu simpatisannya atau dari partai lawan. Mereka mendengar secara langsung apa keinginan rakyatnya, apa keluhan masyarakat. Bukan cuma mendengar, tapi juga menyelesaikan masalah. Jadi nantinya akan ada hasil konkret yang dirasakan masyarakat.

Alangkah eloknya kalau anggota DPRD Temanggung bisa melakukan hal seperti itu. Tentu akan banyak permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat, dan tidak sedikit pula yang tidak langsung bisa diselesaikan. Tetapi setidaknya interaksi itu akan mendekatkan rakyat dengan wakilnya yang duduk di parlemen, bukan hanya wakil yang berjarak dan seolah-olah hanya diawang-awang.

Momen pertemuan semacam itu, akan memberikan keyakinan pada rakyat bahwa mereka tidak salah pilih. Dari sisi anggota DPRD, pertyemuan langsung secara rutin seperti itu juga akan mengasah kepekaan terhadap maslah yang dihadapi masyarakat.

Luangkanlah waktu untuk rakyat yang diwakili. Jika rakyat sudah merasa bahwa dirinya benar-benar terwakili, dan sekaligus kehadirannya diparlemen bisa memberi arti bagi masyarakat banyak, akan mudah menjawab pertanyaan sebagaimana judul di atas: Sepadankah gaji DPRD dengan kinerjanya? Maka jawabnya kelak hanya satu kata: Ya.