Tuesday, May 27, 2008

SBY-JK Versus Nasi Aking

Saat ini setidaknya ada 36,8 juta penduduk Indonesia yang hidup miskin. Anda tahu bagaimana orang disebut miskin? Yakni jika pengeluaran per bulan dibawah Rp 167 ribu. Garis batas kemiskinan itu setara dengan harga T-Bone steak di restoran di kawasan Sudirman, Jakarta.

Jumlah itu bisa jadi bertambah jika kita lihat dalam empat bulan terakhir ini harga kebutuhan pokok naik signifikan. Terbukti laju inflasi dalam kuartal pertama ini sudah 4,1 persen. Dengan adanya kenaikan harga, sementara pendapatan mereka relatif tetap, maka yang sebelumnya nyaris miskin menjadi benar-benar miskin.

Bahwa dalam kurun yang sama pertumbuhan ekonomi diperkirakan 6,2 persen itu betul. Tetapi perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dalam dua-tiga tahun belakangan ini hanya dinikmati kalangan menengah atas. Sedangkan rakyat bawah gigit jari. Ini terbukti dari indeks koefisien Gini yang makin besar. Pada 2003, indeks ini di posisi 0,341, pada 2007 sudah di posisi 0,376. Makin besar indeks, kesenjangan makin tinggi.

Bukti konkretnya, dalam empat bulan terakhir ini, penjualan mobil naik 60 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Setiap bulan terjual 51 ribu mobil. Di sisi lain, upah minimal regional, kalau ini bisa jadi patokan, tidak naik. Di banyak daerah, baik di kota maupun di pedesaan, rakyat mulai mengurangi jatah makan.

Dalam kondisi seperti itu, apa jadinya kalau kemudian bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan?Jelas bahwa kenaikan harga, terutama harga bahan pangan, tidak akan terbendung. Sekarang saja, akibat krisis pangan dunia dan ditambah dengan spekulasi pedagang, harga sudah merangkak naik, apalagi nanti ketika BBM benar-benar naik. Kehidupan akan makin berat dirasakan masyarakat.

Bisa dipastikan bahwa angka kemiskinan akan bertambah. Ada yang memperkirakan kemiskinan akan membengkak menjadi 52,4 juta. Menko Kesra, Aburizal Bakrie, boleh saja bilang bahwa angka kemiskinan justru akan turun karena rakyat miskin akan diberi bantuan langsung tunai (BLT) Plus, yaitu uang tunai dan sembako. Tapi mustahil dana Rp 100 ribu plus sembako itu bisa mengangkat sebuah keluarga lepas dari jerat kemiskinan.

Saat ini saja, kasus gizi buruk dengan bayi-bayi yang kurus kering tak berdaya sudah terjadi di mana-mana. Di beberapa daerah, karena tidak mampu beli beras, banyak rakyat mulai mengkonsumsi nasi aking, yakni nasi basi yang dikeringkan kemudian dinanak kembali. Nasi aking, yang biasanya dikonsumsi itik, kini menjadi makanan utama manusia. Kalau harga beras paling murah Rp 4.000, beras aking masih Rp 1.000 per kg.

Tapi kita coba kita lihat fakta lain. Seorang eksekutif di Jakarta, dia bergaji sekitar Rp 10 juta, istrinya juga punya usaha yang taruhlah bisa menambah Rp 5 juta. Jadi, per bulan minimal keluarga itu berpenghasilan Rp 15 juta. Dia punya dua mobil, satu untuk ke kantor dan satu untuk keperluan keluarga, termasuk mengantar anak-anak sekolah. Mobil yang untuk ke kantor diisi dengan Pertamax. Oke, jadi tanpa subsidi.

Mobil satunya dia isi dengan premium. Setiap bulan mobil itu menghabiskan sekitar 200 liter, dengan harga premium Rp 4.500 per liter. Berarti, setiap bulan dia mengeluarkan Rp 900 ribu untuk bahan bakar. Premium adalah BBM bersubsidi, jika tanpa subsidi, harganya sekitar Rp 8.000 per liter. Dengan begitu setiap liter yang dibeli, eksekutif itu mendapat subsidi Rp 3.500. Jika tiap bulan pemakaian premium 200 liter, berapa negara menyubsidi dia? Rp 700 ribu!

Pertanyaannya, pantaskah seseorang yang berpendapatan Rp 15 juta per bulan memperoleh subsidi Rp 700 ribu per bulan dari negara? Siapa yang salah? Bukan eksekutif itu, karena memang tidak ada larangan membeli premium, tetapi negara yang salah. Pemerintah yang salah, karena memberikan subsidi kepada yang tidak berhak.

Menaikkan harga BBM memang dilema. Di satu sisi jika BBM dinaikkan jutaan rakyat akan makin susah hidupnya. Akan makin banyak pula anak-anak yang tidak sekolah, karena orangtuanya makin tidak mampu membiayai. Pengangguran juga akan makin membengkak karena pertumbuhan usaha seret. Bahkan mungkin muncul kelaparan.

Tetapi di sisi lain jika tidak dinaikkan, subsidi akan jatuh ke orang yang salah. Barangkali benar hitungan pemerintah bahwa 82 persen atau sekitar Rp 104 triliun penerima subsidi itu orang menengah ke atas yang memiliki mobil. Ada puluhan triliun rupiah yang dihamburkan untuk menyenangkan orang mampu.

Mana yang kita pilih? Berdebat mengenai kenaikan BBM ini di tataran elite biasanya dikaitkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Intinya, jika dibiarkan begini-begini saja, maka APBN akan jebol, negara akan kewalahan mengatur keuangannya. Utang akan tambah besar karena defisit kian menggelembung.

Memang kemudian ada alternatif untuk menyelamatkan APBN. Misalnya, efisiensi di departemen ataupun di Pertamina dan PLN. Bisa juga dengan menekan cost recovery di perminyakan, atau mungkin melakukan lindung nilai (hedging) atas transaksi minyak. Semuanya baik, tapi tetap ada satu hal yang tidak lepas, yakni subsidi ke orang mampu tetap ada.

Kita tidak bisa membiarkan masyarakat makin susah kehidupannya, tetapi juga tidak ikhlas-ikhlas amat kalau negara memberi subsidi ratusan ribu rupiah untuk mereka yang berpenghasilan Rp 15 juta per bulan. Jalan tengahnya adalah, subsidi untuk orang mampu dihapus, atau setidaknya diminimalisasi, dan rakyat miskin tidak makin miskin.

Nelayan tetap perlu disubsidi besar. Begitu juga angkutan umum agar ongkos angkutan tidak naik. Karena biasanya kenaikan ongkos angkutan ini yang menjadi kambing hitam kenaikan berbagai macam harga, termasuk sembako. Atau mungkin seluruh angkutan umum dikonversi ke gas, sehingga pengaturannya menjadi mudah.

Pemberian BLT plus, boleh jadi menjadi setetes air penyegar, asalkan pelaksanaannya bisa seindah sebagaimana yang dikonsep di atas kertas. Data harus akurat dan terkini, sehingga semua orang miskin dan yang hampir miskin bisa mendapat jatah, tidak ada salah pencatatan, tidak ada salah sasaran, dan tanpa dipotong aparat.

BLT plus ibarat ikan, karenanya selain itu rakyat perlu juga diberi kailnya. Kail bisa berupa pinjaman tanpa bunga bagi rakyat kecil yang menjalankan usaha, bisa juga pemberian bibit unggul ke petani miskin, atau pemberian lapangan kerja bagi masyarakat lewat program-program padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Selain itu, pemakaian BBM perlu dibatasi. Kenaikan BBM rata-rata 30 persen itu berarti masih memberikan subsidi pada orang mampu. Untuk itu, jatah subsidi dikurangi dengan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Di sinilah nantinya smart card berfungsi. Smart card merupakan bagian dari program penghematan konsumsi BBM. Kendaraan yang memang masuk kategori mendapat jatah BBM bersubsidi, akan ditempel dengan smart card.

Jadi subsidi masih diberikan pada orang mampu, tapi terbatas, sampai suatu saat nol persen. Indonesia termasuk negara yang boros energi. Dibanding Jepang yang makmur itu, tingkat keborosan kita dua kali lipat. Terbukti dari intensitas (jumlah konsumsi energi per produk domestik bruto-PDB) di Indonesia 400 sedangkan Jepang 200, Thailand 300. Karena itu harus kenaikan ini dijadikan momentum melakukan penghematan energi.

Sepertinya kenaikan BBM tinggal menunggu waktu. Sayangnya, justru karena terlalu lama menunggu itu, situasi menjadi tidak terkendali. Penimbunan BBM mulai terjadi, terbukti dengan peningkatan pembelian BBM sebesar 15 persen sepekan terakhir ini.

Stasiun pompa bensin mulai membatasi pembelian, beberapa malah kehabisan. Di samping itu, harga-harga barang, terutama sembako juga sudah naik. Selain didorong oleh krisis pangan dunia, kenaikan pekan-pekan terakhir ini disebabkan adanya pengumuman bahwa harga BBM akan naik. Kelak jika hari-H kenaikan harga BBM ditentukan, harga-harga akan kembali naik. Jadi terjadi dua kali kenaikan.

Pemerintah harus segera memutuskan, berapa dan kapan kenaikan diberlakukan. Tapi juga harus dipersiapkan infrastruktur yang matang agar rakyat tidak terlalu terbebani. Jika tidak, kebijakan SBY-Kalla ini hanya akan menambah daftar rakyat yang makan nasi aking. Celakanya harga nasi aking pun sudah naik!

Dimuat di Republika 16 Mei 2008

The Rise and Fall of Soehartonomic (3)
Pondasi Rapuh, Ekonomi Runtuh

Oleh Anif Punto Utomo

Soeharto, penguasa republik ini selama lebih dari tiga dekade, harus membungkuk mendantangani kesepakatan dengan IMF dihadapan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus yang berdiri angkuh sembari bersedekap. Itulah upaya penyelematan ekonomi Indonesia yang jatuh terpuruk akibat krisis keuangan yang menimpa kawasan Asia.

Peristiwa tersebut sekaligus menandakan bahwa ekonomi Orde Baru telah ambruk. Julukan Macan Asia Baru rupanya hanya hirupan sesaat saja, ketika terbukti bahwa pereknomian yang dibangun dengan susah payah sejak Soeharto memegang tampuk kekuasaan itu, seolah tidak ada artinya lagi.

Lihatlah perekonomian yang diwariskan Soeharto: pertumbuhan ekonomi -13,1 persen (dari sebelumnya rata-rata 6-7 persen), inflasi 58,5 persen (6-8 persen), kurs dolar Rp 10.100 (Rp 2.400), suku bunga 70 persen (10-14 persen), rasio utang terhadap PDB 74,1 persen (24,3 persen). Pendaptan per kapita 610 dolar (1.100 dolar) .Tercatat 20 juta orang kehilangan pekerjaan. Ekonomi limbung.

Krisis keuangan itu diawali dari Thailand pada 2 Juli 1997. Bath terupuk 25 persen. Korea kemudian menyusul dengan merosotnya won. Tapi pemerintah saat itu ‘PD’ dengan mengatakan bahwa fundamental ekonomi amsih kuat, krisis tak akan terjadi. Tak lama kemudian perekonomian kita justru terhempas paling keras.

Runtuhnya perekonomian jelas lantaran fundamental ekonomi kita yang keropos, rapuh. Pertumbuhan ekonomi memang terjadi, tetapi hanya dinikmati mereka yang ditataran atas, rakyat hanya kebagian kue yang sangat kecil. Perusahaan besar diberi berbagai kemudahan, sehingga mereka tumbuh meninggalkan masyarakat kebanyakan.

Selama Orde Baru berkuasa, perekonomian dibangun berdasarkan konsep trickle down effect (menetes ke bawah). Artinya, kue ekonomi diberikan dulu kepada perusahaan besar, baru kemudian kekayaan itu menetes ke bawah untuk kalangan masyarakat. Tak heran, begitu banyak kemudahan yang diberikan kepada usaha besar untuk mengembangkan usahanya.

Dalam prakteknya, yang terjadi adalah munculnya pemburu rente (rent seeker). Mereka, menurut definisi Yoshihara Kunio dalam buku “Kapitalisme Semu Asia Tenggara’ adalah para kapitalis yang menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis. Ada juga yang mengistilahkan strategi tersebut dengan kroni kapitalisme (crony capitalism).

Siapa mereka? Tak lain adalah pra konglomerat, para pebisnis besar, para pemimpin politik, anak-anak dan keluarga pejabat. Mereka sibuk mencari rente. Begitu lisensi diperoleh, bisnis akan demikian mudah, demikian lancar, dan merekapun menjadi kian besar. Semakin menggurita.

Pemburu rente tersebut sudah mulai berkibar begitu Orde baru berkuasa pada akhir 1960-an. Tetapi kemudian makin berkembang pada 1980-an. Saat itu, pengusaha seperti Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Eka Tjipta, Bob Hasan, Samadikun Hartono, dll makin mencorong setelah sebelumnya memperoleh berbagai lisensi.

Dan yang tak kalah serunya adalah ketika putra-putri Soeharto masuk ke dalam bisnis. Mulai dari Sigit Hadjojudanto, Siti hardiyantio Rukmana (Tutut), Bambang Triatmojo, Siti Hediati (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy) sampai Siti Hutami Adiningsih (Mamiek). Semua memperoleh konsesi, bahkan sampai cucunya, Ari Sigit.

Tutut saat itu diberi kemudahan membangun jalan tol Cawang-Priok. Saat itu lintasan lajur tol itu belum seramai Cawang-Grogol, tapi Tutut bisa memperoleh pembagian untung yang nyaris sama besarnya. Tutut juga diberi hak untuk mendirikan televisi berbasis pendidikan (TPI yang akhirnya dia belokkan menjadi TV komersial).

Bambang diberi kemudahan memiliki Bank Andromeda meski kemudian ditutup. Tapi tak lama kemudian dia bisa mengakuisisi Bank Alfa. Dia juga memperoleh lisensi penjualan minyak Pertamina. Dia lewat Bimantara juga diberi lisensi siaran TV (yang saat itu masih terbatas) yaitu RCTI yang kemudian jadi TV umum.

Sementara Tommy, adalah tokoh paling kontroversial. Pangeran Cendana tersebut menggegerkan jagad bisnis ketika memperoleh hak pembelian dan penjualan cengkeh lewat BPPC. Setelah itu makin kontroversial lagi ketika dia memperoleh lisensi pengembangan mobil nasional (mobnas). Belum lagi lisensi ekspor impor minyak.

Dalam pandangan Yoshihara Kunio, iklim bisnis yang terjadi di Indonesia saat itu dia sebut ersatz capitalism (kapitalisme semu). Kira-kira artinya, kondisi ekonomi berkedok kapitalisme yang mendewakan persaingan bebas, tetapi sebetulnya tidak ada persaingan karena semua sudah dijatah pemerintah lewat pintu belakang.

Para pemburu rente tersebut pada akhirnya memang menjadi konglomerat yang menguasai perekonomian republik ini. Mereka memiliki kekayaan yang luar biasa besar. Liem Sioe Liong masuk dalam jajaran orang terkaya di Asia. Prajogo Pangestu memiliki hutan seluas negara Swiss, Eka Tjipta memiliki ratusan usha. Begitu pula Sudwikatmono dan Bob Hasan.

Tapi kekayaan kadang bisa seperti air laut, semakin kita teguk bukan haus yang hilang, tapi justru ingin meneguk lagi. Konglomerat itu rupanya juga menjadi makin rakus. Mereka bukannya mengambangkan usahanya untuk menjadi pemain global, tetapi masih terus berkutat pada perburuan rente, kalau perlu sampai akhir hayat.

Perekonomian pada gilirannya ditopang oleh segelintir orang yang menjadi kroni para pejabat negara. Rakyat kecil hanya kebagian sedikit dari kue pembangunan. Petani yang sebelumnya menjadi perhatian Soeharto lewat berbagai program seperti Bimas, KUT, dll, sempoyongan di tengah jalan, karena lemah dipelaksanaan.

Kelemahan juga terjadi karena pilihan kebijakan industri yang kurang tepat. Dari awal kebijakan industri yang dikembangkan adalah substitusi impor, tapi karena terlena oleh kemudahan, mereka tidak mengembangkan riset untuk kemajuan industrinya. Tak ada krativitas, tak ada inovasi. Teknologi semua beli, meskipun yang kadang teknologi usang.

Ini berbeda dengan Korea. Sekalipun mereka juga menerapkan proteksi lewat subsitusi impor, tapi negeri ginseng itu juga sekaligus menegaskan perlunya orientasi ekspor. Dengan begitu, riset berkembang karena pada saatnya nanti mereka harus ekspor. Itulah yang kemudian menjadikan Samsung, LG, Hyundai, dll bisa merambah pasar luar negeri.

Keberpihakan tinggi terhadap konglomerat tersebut membuat bangunan ekonomi rapuh. Sementara usaha kecil dan menengah yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dari sekumpulan konglomerat itu justru tersepelakan. Program pengembangan jalan ditempat, padahal usaha kecil ini pula yang tak rentan terhadap krisis.

Celakanya, justru konglomerat itu yang menyumbang kebangkrutan. Lihat saja, saat menjelang krisis utang asing mereka 82 miliar dolar. Begitu krisis, pinjaman itu dipaksa ditarik sehingga permintaan dolar tinggi, akibatnya rupiah kian merosot. Konglomerat itu pula yang telah menjadikan negara harus mengeluarkan Rp 600 triliun untuk menyelamatkan bank milik mereka.

Sayang, sebuah permulaan yang baik harus diakhiri dengan ketidakberdayaan. Ekonomi yang sudah dibangun dengan baik pada awal pemerintahan Soeharto, akhirnya harus terpuruk karena kebijakan Soeharto pula. Pondasi yang semula cukup kokoh itu kemudian rapuh. Ketika krisis menerjang, maka ekonomi pun menjadi runtuh.@

Dimuat di Republika edisi 28 Januari 2008
The Rise and Fall of the Soehartonomic (2)
Macan Asia, Sebuah Masa Keemasan

Oleh Anif Punto Utomo

Titik kestabilan awal sudah diperoleh pemerintah Orde Baru dalam tiga tahun pemerintahannya, 1966-1969. Berlandaskan kondisi tersebut, kemudian disusun pentahapan pembangunan ekonomi yang dirumuskan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Penyusunan Repelita tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada saat itu, dan bergerak kepada kondisi ke depan. Dalam tiga Repelita ke depan, titik pijak bagi pembangunan ekonomi adalah stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Mana dari ketiganya yang menjadi prioritas, disesuaikan dengan kondisi yang ada dan antisipasi ke depan.

Dalam Repelita I (1969-1974) garis kebijakan besarnya adalah stabilisasi-pertumbuhan-pemerataan. Pada Repelita II (1974-1979) menjadi pertumbuhan-pemerataan-stabilisasi. Dan pada Repelita III (1979-1983) kembali bergeser menjadi pemerataan-pertumbuhan-stabilisasi. Pada Repelita berikutnya rangkaian prioritasnya sudah berbeda.

Pada Repelita tersebut sudah digariskan target-target yang realistis. Sekaligus juga merumuskan berbagai prioritas pembangunan dengan sangat jelas. Repelita I memberikan tekanan pada peningkatan produksi pangan dan rehabilitasi prasarana, sedangkan Repelita II dan III memberikan penekanan pada masalah kesempatan kerja, pemerataan, dan pertumbuhan.

Karena ekonomi menjadi panglima, maka saat itu kegiatan politik benar-benar dikebiri. Prinsipnya: pemerintah berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi, politik jangan mengganggu. Soeharto sebagai presiden sekaligus kepala pemerintahan menjadi otoriter. Jika tidak setuju dikucilkan, kalau perlu dipenjara.

Pada saat hampir bersamaan, beberapa negara di Asia juga berkonsentrasi membangun ekonomi dengan pemerintahan otoriter. Di Korea dengan Park Jung Hee, di Singapura ada Lee Kuan Yew, kemudian di Malaysia ada Mahathir Mohammad. Kelak tiga-empat dekade berikutnya ketiga negara tersebut sudah sedemikian makmur, sementara Indonesia masih terus terpuruk.

Kondisi ekonomi pada tiga Repelita tersebut menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Dan itu tidak lepas dari strategi global pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara. Negara dengan berbasis pertanian tetap dipertahankan, tetapi sekaligus juga mengembangkan sektor industri, karena di sektor inilah nantinya tenaga kerja akan makin banyak terserap.

Secara garis besar, kebijakan ekonomi Orde Baru adalah diawali dengan stabilisasi makro ekonomi. Dari situ kemudian muncul langkah restorasi eksternal seperti penjadwalan utang dan penerapan nilai tukar yang tetap. Selain itu juga dilakukan pembenahan fiskal terutama berkaitan dengan pengereman belanja pemerintah, pengurangan subsidi untuk perusahaan negara, mengurangi kontrol harga dan keseimbangan belanja negara.

Di sisi perbankan, juga dilakukan regulasi sistem perbankan yang lebih terbuka dengan memperbaiki akses kresit, mengijinkan pendirian bank-bank baru, termasuk cabang bank asing. Liberalisasi investasi juga dilakukan dengan memberikan insentif dan jaminan bagi investor asing. Dan terakhir adalah food security dengan program stabilisasi harga sektor pertanian dan juga peningkatan produksi lewat berabgai program pertanian.

Terbukti bahwa dalam kurun hampir dua dekade, kestabilan ekonomi terjaga. Pertumbuhan ekonomi juga terus tinggi dan stabil. Sektor pertanian menunjukkan peningkatan berarti dengan kenaikan jumlah produksi. Industri juga tumbuh sedemnikian cepat sehingga Indonesia masuk dalam jajaran negara berjuluk ‘macan Asia’ bersama Malaysia dan Thailand.

Secara lebih detil, di sektor pertanian, lewat adanya penyebaran pupuk buatan dan penyebaran bibit unggul, terjadi peningkatan produksi. Peningkatan tersebut terus terjadi secara sigifikan, sampai pada puncak puncak keberhasilannya, pada 1982, Indonesia sudah swasembada beras. Penghargaan internasional diperoleh Soeharto atas keberhasilan tersebut.

Dalam industri, kemajuan yang dicapai bisa dilihat dari pergeseran struktur Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun sektor pertanian makin maju, tetapi sumbangan terhadap PDB turun yakni dari 52,4 persen pada 1965 menjadi 34,7 persen pada 1977. Sementara industri dan pertambangan menyumbang 12 persen pada 1965 sudah menjadi 24,1 persen pada 1976. Angka tersebut terus bergerak naik sampai akhir Pelita III.

Keberhasilan pertumbuhan industri tidak lepas dari keleluasaan perbankan dalam menyalurkan kredit. Disamping memang banyak deregulasi investasi yang memberikan kesempatan besar pada swasta untuk melakukan investasi besar-besara, baik investor asing maupun lokal.

Di sisi lain, terjadinya oil booming pada 1973 sangat membantu pemerintah mempercepat akselerasi pembangunan. Dengan kapasitas produksi 1,3 juta barel per hari, sementara pemakaian lokal hanya seperempatnya, maka pemerintah memiliki dana besar untuk modal pembangunan masyarakat sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Pada masa itu, ribuan sekolah kemudian dibangun, fasilitas kesehatan seperti pendirian Puskesmas juga menjamur hampir diseluruh kecamatan. Bersamaan dengan itu, lewat program Keluarga Berencana, pemerintah juga berhasil menekan angka kelahiran bayi. Pada saat itu pula pemerintah membangun industri-industri substitusi impor.

Selama periode tiga Repelita tersebut, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7,1 persen per tahun. Bersamaan dengan itu, otomatis pendapatan per kapita juga meningkat dari 100 dolar per tahun pada 1967 menjadi 131 dolar per pada 1973, dan menjadi 520 dolar pada 1984. Begitu juga persentase jumlah penduduk miskin yang semula lebih dari 60 persen sudah menjadi sekitar 40 persen.

Keberhasilan lain yang secara nyata dinikmati masyarakat adalah tersedianya infrastruktur berupa jalan, yang jika di Jawa hampir seluruh kecamatan sudah terhubungkan dengan aspal. Penerangan berupa listrik juga sudah banyak didinikmati masyarakat. Belum lagi prasarana sederhana seperti mandi cuci kakus (MCK) di pedesaan.

Masa pemerintahan Soeharto sampai pada Repelita III boleh dikata sebagai masa pemerintahan yang cukup gemilang dari sisi ekonomi. Tidak mudah membalikkan kondisi dari keterpurukan ekonomi yang demikian parah menjadi ekonomi yang stabil dan tumbuh dengan konsisten.

Tidak mudah pula membalikkan posisi dari pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada beras pada 1984. Prestasi swassembada tersebut membuahkan penghargaan dari Food and Agricultural Organization kepada Soeharto selaku Presiden Republik Indonesia. Prestasinya pada 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras 12,2 juta ton, kemudian pada 1984 sudah mencapai 25,8 juta ton.

Keberhasilan di sisi ekonomi tersebut sebetulnya merupakan gagasan-gagasan ekonomi yang sederhana dan menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Kemudian, mengembangkan jaringan ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan gagasan-gagasan pembaharuan. Dan yang pasti adalah, orientasi tanpa pamrih demi rakyat kecil.

Itulah yang dilakukan Soeharto sebelum anak-anak dan kroninya bergerak leluasa di bidang bisnis. Begitu anak-anaknya masuk bisnis pada pertengahan 1980-an, dan para kroninya semakin giat memupuk ekonomi rente, pada saat itulah muncul kebijakan-kebijakan yang kelak meruntuhkan pondasi ekonomi yang cukup kokoh tersebut. @
Dimuat di Republika edisi 28 Januari 2008
The Rise and Fall of the Soehartonomic (1)
Era Baru, Ekonomi Menjadi Panglima

Oleh Anif Punto Utomo

Hamengku Buwono IX, April 1966:Dalam tahun 1965 harga-harga pada umumnya naik 500 persen, sesungguhnya harga beras melonjak dengan lebih dari 900 persen. Kecuali jika diambil langkah-langkah untuk mengoreksinya, harganya bisa membumbung lebih dari 1.000 persen dalam 1966. Dalam tahun 1950-an, anggaran negara memikul defisit antara 10 sampai 30 persen dari penerimaannya, dan dalam 1960-an defisit meningkat menjadi lebih dari 100 persen. Dalam tahun 1965, ia bahkan mencapai 300 persen.

Kondisi ekonomi seperti itu yang dihadapi oleh Letjen Soeharto sesaat setelah dia mendapat mandat dari Presiden Soekarno lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966. Lewat mandat tersebut, Soeharto diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Sebagaimana ditulis Yahya Muhaimin dalam buku ‘Bisnis dan Politik’, perekonomian nasional saat itu nyaris ambruk. Inflasi ratusan persen, utang luar negeri 2,4 miliar dolar, infrastruktur berantakan, kapasitas produksi industri dan ekspor merosot tajam, pengawasan anggaran tidak menentu.

Dalam hal neraca perdagangan, dari tahun ke tahun menuju 1966, posisi defisit terus membengkak. Untuk mengatasi defisit, didatangkan kredit luar negeri. Tapi itupun tidak mencukupi sehingga harus menguras cadangan emas dan devisa. Ketika masih tetap tidak cukup, pemerintah berutang kembali. Itulah yang menyebabkan utang asing membesar.

Begitu pula dalam anggaran belanja negara. Defisit pada 1961 sekitar Rp 23,5 miliar, pada 1965 menjadi Rp 1,32 triliun, dan pada 1966 (triwulan I) sudah defisit Rp 2,13 triliun. Mengatasi defisit ini pemerintah dengan sewenang-wenang mencetak uang baru. Akibatnya uang beredar menjadi berlimpah, uang menjadi tiada berharga, maka barang kebutuhan secara otomatis harganya menjadi naik.

Warisan tersebut bisa dimaklumi, karena pada saat Soekarno berkuasa, politik menjadi panglima dalam berbangsa dan bernegara. Ekonomi hanya diletakkan sebagai subsistem pembangunan politik. Kemerosotan ekonomi bukan dijawab dengan langkah penyelamatan, melainkan dengan slogan-slogan revolusioner.

Situasi ekonomoyang corat-marut itulah mendorong aksi mahasiswa yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat) pada awal 1966. Tiga tuntutan itu adalah ‘Turunkan harga’, ‘Retool Kabinet’, dan ‘Bubarkan PKI’. Eskalasi kekecewaan rakyat makin memuncak, panggung politik makin kacau, sampai akhirnya dikeluarkannya Supersemar.

Malapetaka ekonomi tersebut menjadi perhatian khusus Soeharto. Karena itu prioritas utama dalam kepemimpinannya adalah pemulihan roda perekonomian. Selanjutnya, pada masa pemerintahannya yang dia sebut Orde Baru (periode Soekarno otomatis disebut dengan Orde Lama), ekonomi menjadi pegangan utama. Paradigma politik sebagai panglima pada masa Soekarno digeser dengan menempatkan ekonomi menjadi panglima.

Dengan kekuasaannya, Soeharto segera membuat langkah-langkah cepat dan strategis. Dia undang ekonom-ekonom dari Universitas Indonesia (UI) seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Frans Seda. Mereka kelak menjadi arsitek ekonomi Orde Baru. Kemampuan mereka dipadukan dengan tenaga profesional yang selama itu memiliki hubungan dekat dengan Angkatan Darat.

Para ekonom UI tersebut, terutama Widjojo, karena dia lulusan Universitas Berkeley di Amerika Serikat, dia kemudian disebut-sebut membawa misi Berkeley yang tak lain adalah Amerika Serikat. Saat itu juga lantas muncul istilah Mafia Berkeley, yakni sekelompok orang lulusan Berkeley yang memiliki ‘kekuasaan’ dalam mengatur perekonomian negara.

Kolaborasi antara para teknokrat ekonom dan Angkatan Darat tersebut terlihat dalam seminar Angkatan Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Masalah ekonomi dan politik, serta peran Angkatan Darat menjadi titik sentral dalam pembahasannya. Sebagian besar pula, hasil seminar itu menjadi landasan pembangunan ekonomi Indonesia.

Langkah berikutnya, dari hasil pengkajian dengan para ekonom yang tergabung dalam Dewan Stabilisasi Ekonomi, pada Oktober 1966, Soeharto mengeluarkan Program Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi Pemerintah Orde Baru. Tujuannya, untuk menata kembali sistem perekonomian yang dilanda malapetaka.

Program tersebut dilaksanakan dengan skala prioritas : (1) pengendalian inflasi, (2) pencukupan kebutuhan pangan, (3) rehabilitasi prasarana ekonomi, (4) peningkatan ekspor, dan (5) pencukupan kebutuhan sandang.

Hasil dari program tersebut cukup fantastis. Laju inflasi mulai jinak, dari posisi sekitar 650 persen pada 1966, turun drastis menjadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali pada 1969 sudah di posisi 13 persen (1969).’’Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,’’ ujar Emil Salim dalam sebuah seminar sewindu silam.

Dalam bidang pangan, terutama masalah perberasan, program Bimas (bimbingan masal yang menyediakan kredit dan paket sarana produksi bagi petani) yang sudah dirancang masa Orde Lama diintensifkan. Intensifikasi tersebut mampu menaikkan hasil produksi beras, terutama di Jawa yang menjadi wilayah utama program Bimas.

Di sisi lain, kebijakan ekonomi pada masa Orde Lama yang menutup diri terhadap modal asing, oleh Soeharto mulai dibuka. Maka sejak 1966 sebagaimana tertulis pada buku ‘Ekonomi Orde Baru’ yang disunting oleh Anne Booth dan Peter McCawley, Indonesia sudah meninggalkan sikap melihat ke dalam (inward looking) dan mulai melihat keluar (outward looking). Ini adalah pilihan pragmatis.

Realisasi dari outward looking itu adalah diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 10 Januari 1967. Harapannya, investor asing akan pendorong investasi dan menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi dikala perekonomian Indonesia masih tepuruk.

Lahirnya UU tersebut tidak lepas dari ‘nasehat’ dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang kembali digaet sebagai ‘mitra’. Beberapa nasehat di antaranya adalah bahwa kekuatan pasar akan memainkan peran yang vital dalam stabilitas ekonomi dan sektor swasta harus diberi dorongan dengan jalan menghapuskan pembatasan lisensi impor terhadap bahan baku dan perlengkapannya.

Selain itu, pemerintah Orde Baru juga menengok sumber-sumber dana asing untuk memperoleh sarana dalam mengatasi masalah kemandegan ekonomi, inflasi, dan kekacauan infrstruktur. Saat itu dibentuklah Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), sebuah organisasi negara kreditor, yang bertujuan untuk menjadwalkan kembali utang pemerintah Indonesia.

Strategi outward looking tersebut, memang pada gilirannya membuat kepercayaan asing terhadap Indonesia meningkat. Dalam waktu tidak lama, kucuran pinjaman sudah bisa dinikmati. Begitu pula investasi asing, meskipun masih banbyak keluhan mengenai birokrasi, sudah mulai masuk. Ekonomi sedikit demi sedikit mulai bergairah.

Dari berbagai strategi kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru tersebut, dalam waktu yang relatif singkat sudah cukup menstabilkan kondisi ekonomi. Setidaknya, problematika ekonomi sudah terurai, sebagian sudah tertata, dan sebagian lain menjadi tantangan berikutnya.

Seperti ditulis Mohammad Sadli di Kompas edisi 31 Desember 1968: Selama 1967 dan 1968 pemerintah telah berhasil banyak untuk mengubah kebijakan umum yang mengatur ekonomi. Pemerintah telah berhasil banyak mengubah spelregels (tata tertib) ekonomi ke arah yang sehat dan rasional. Untuk usaha stabilitas, sebetulnya belum cukup tetapi sudah berarti banyak.

@Dimuat di Republika edisi 28 Januari 2008