Monday, July 28, 2008

Sebuah Potret Jurang Kesenjangan

Berbicara tentang Indonesia, sekali waktu bicara yang ’indah-indah’. Tidakmelulu kemiskinan dan kesulitan hidup. Coba kita tengok Jakarta. PadaJuni-Juli ini ibukota negeri ini menggelar Great Jakarta Sale. Betul,sebuah program diskon besar-besaran sebagaimana layaknya Singapore Great Sale.

Salah satu mal termewah di Jakarta mengelar ’Midnight Sale’ yang berlaku mulai pukul 21.00-24.00. Dengan diskon hingga 70 persen, sambutan dari masyarakat kelas atas luar biasa. Parkir mal yang mampu menampung lebih dari seribu mobil penuh, jalan disekitar mal macet. Antrean dikasir pun tidak mau kalah, berderet dan antre belasan meter.

Harga barang, baju, celana, dll yang ratusan ribu hingga jutaan rupiah itularis bak kacang goreng. Tak ketinggalan, bantal pun menjadi rebutan,bahkan ada yang bersedia menunggu pengambilan bantal yang masih di gudang.Padahal setelah didiskon pun, harga bantal itu masih Rp 350 ribu.

Rupanya kelas atas pun masih haus juga dengan harga diskonan. Tapi bukan itu poinnya. Melainkan bahwa kelas menengah atas di Indonesia, khususnya Jakarta semakin banyak jumlahnya. Muncul orang-orang kaya baru bersamaan dengan membaiknya perekonomian. Mereka telah menikmati kue perekonomian dengan porsi lebih tinggi dibanding masyarakat lainnya.

Munculnya orang kaya baru itu juga dibuktikan dengan data dari WorldWealth Report (WWR) yang dirilis akhir Juni silam. Dari data tersebutterlihat bahwa pertumbuhan jutawan di Indonesia cukup tinggi, yakni 16,8persen, sehingga jumlahnya menjadi 23 ribu orang. Indonesia masuk dalamlima besar pertumbuhan jutawan tertinggi bersama dengan Cina, India,Korea, dan Brasil.

Berapa kekayaan jutawan itu? Menurut WWR yang masuk dalam kriteria jutawana dalah mereka yang memiliki kekayaan di atas 1 juta dolar atau sekitar Rp9,2 miliar, diluar aset tak bergerak seperti rumah, apartemen, perhiasan,mobil dll. Jadi yang dihitung lebih pada berapa simpanan bank, saham dan reksadana yang dimiliki, kekayaan lain yang sifatnya cair.

Sebetulnya kalau dilihat dari kepemilikan uangnya, mereka bukan lagi jutawan, melainkan miliader karena kekayaannya sudah miliaran rupiah.Tapi, sepertinya penyebutan itu tak penting-penting amat, yang sudah jelas mereka orang kaya. Justru yang lebih penting adalah darimana mereka bisamemiliki kekayaan begitu banyak.

Menurut laporan lembaga tersebut, para jutawan tersebut muncul kebanyakan dari para pemain di bursa saham. Kapitalisasi saham dan harga saham yang meningkat telah menciptakan generasi jutawan baru di berbagai negara,terutama India, Cina, dan Indonesia. Selain itu tentu saja tidak lepas karena pertumbuhan ekonomi yang relatif mantap di negara-negara tersebut.

Pertanyaanya, mengapa pertumbuhan jumlah jutawan tersebut hampir tiga kali lipat pertumbuhan ekonomi kita yang 6,4 persen pada tahun lalu? Sepertid ianalisis oleh lembaga tadi, munculnya jutawan baru tersebut banyak didorong oleh kinerja bursa yang mencengangkan, sehingga mereka yangbermain di bursa yang memperoleh kekayaan lebih. Dan kita tahu, tahun lalupeningkatan bursa hampir dua kali lipat.

Jutawan baru itu juga lahir karena pertumban ekonomi yang cukup baik tahun silam. Tapi dengan tingkat pertumbuhan orang kaya yang jauh melebihi pertumbuhan ekonomi, menjadi bukti bahwa kue pertumbuhan ekonomi tidak merata dinikmati masyarakat. Mereka yang kaya, meskipun jumlahnya hanya sedikit, memperoleh kue yang lebih besar dibandingkan masyarakat kecil yang jumlahnya puluhan juta.

Namun barangkali ada yang lolos dari pengamatan WWR, khususnya diIndonesia. Karena hampir pasti mereka tidak memasukkan koruptor-koruptor baik para yudikatif, legislatif, ataupun eksekutif. Mereka memiliki kekayaan tunai yang luar biasa besar dan menembus batas 1 juta dolars sebagaimana kriteria jutawan versi lembaga ini.

Di yudikatif, kita lihat Jaksa Urip Tri Gunawan. Dari satu kasus saja dia menerima sogokan Rp 6 miliar dari Ayin, yang ditengerai sebagai uang jasa atas dibatalkannya kasus BLBI. Dengan asumsi dua kasus besar saja yang dia pegang, maka kekayaannya sudah menembus kriteria jutawan versi WWF. Masihbanyak teman-teman Urip yang memperoleh kekayaan dari langkah serupa.

Kemudian legislatif, sang anggota dewan yang terhormat. Anggota DPR Buyan Royan yang ditangkap tangan bersama istrinya, membawa uang suap Rp 700juta. Itu suap tahap pertama karena total dijanjikan Rp 1,4 miliar. Kalau ada tujuh masalah yang dia peras, Buyan pun masuk dalam jutawan baru tersebut. Masih ada juga Al Amin, ada Hamka Yandu dan anggota DPR yang membagi-bagi uang korupsi dengan rekan-rekannya.

Dari kursi eksekutif, kita coba lihat mantan bupati Kutai Kertanegara Syaukani Hasan Rais. Dari persidangan dia terbukti melakukan korupsi Rp120 miliar. Belum lagi bupati Kendal Hendy Budoro yang menilep uang rakyat Rp 16,8 miliar. Ada juga bupati Pemalang, M Machroes yang melakukan korupsi Rp 26,5 miliar. Mereka tentu saja masuk dalam kriteria jutawan tersebut.

Barangkali dari 23 ribu jutawan yang ada di Indonesia, sebagian adalah para koruptor, para korupwan, yang telah merusak sendi-sendi moral dan ekonomi negara. Anggota DPR saja ada 550 orang, kalau separo saja yangberbuat seperti Buyan dkk itu, berarti sudah ada 275 orang yang masuk dalam daftar jutawan. Belum lagi jaksa, belum lagi polisi, belum lagip egawai bea cukai, belum lagi pegawai pajak, dll.

Betapa kayanya orang Indonesia juga bisa dibuktikan bahwa ada 400 ribu unit apartemen di Australia dimiliki orang Indonesia. BUkan itu saja, diSingapura 100 ribu unit apartemen dimiliki juga oleh orang Indonesia,sedangkan di Kuala Lumpur tak kurang dari 25 ribu unit.

Berapapun jumlahnya, dari manapun kekayaannya, entah hasil kerja keras,entah kerja meras, entah korupsi, entah jutawan beneran atau korupwan, mereka telah menikmati kehidupan yang gemilang alias bergelimang dengan uang. Mereka adalah sebagian kecil dari sekian juta penduduk Indonesiayang bisa menikmati indahnya kekayaan.

Tapi, memang tidak lengkap kalau kita tidak membandingkan dengan kenyataan lain di negeri ini, yakni rakyat miskin yang harus hidup dengan Rp 182ribu per bulan. Data terbaru, Maret 2008 jumlah penduduk miskin atau miskinwan 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen. Turun dibanding Maret 2007 yang 16,58 persen atau sekitar 36,17 juta.

Jangan berbangga dulu, juga jangan terkelabui dengan penurunan tersebut. Dapat dipastikan, pada Juli ini kalau ada survei dari BPS jumlah orang miskin tersebut akan kembali membengkak karena efek dari kenaikan bahanbakar minyak (BBM). Biasanya setiap kenaikan BBM akan menjadikan jumlah penduduk miskin makin banyak.

Kita lihat saja, ada berapa banyak bayi dan anak-anak yang kekurangan gizi. Di Jogja misalnya, 10,9 persen bayi mengalami kekurangan gizi. Di Jakarta tak jauh beda. Bayi-bayi kurus dengan kepala besar sering menghiasi halaman muka surat kabar. Bahkan ada beberapa bayi kekurangan gizi yang meninggal.

Belum lagi larisnya nasi aking atau nasi basi, yang dimakan sebagai pengganti nasi beneran. Beberapa ibu-ibu yang tadinya beli susu untuk anak, terpaksa mengganti dengan tajin karena susu mahal. Banyak rakyat yang makan hanya sekali sehari. Itu semua pertanda bahwa kemiskinan meningkat. Beberapa lembaga penelitian memperkirakan jumlah rakyat miskin akan menjadi 40 juta tahun ini.

Begitulah. Jumlah jutawan tumbuh luar biasa, jumlah orang miskin tumbuh signifikan. Ketika jutawan dan kemiskinan sama-sama tumbuh, maka yangt erjadi adalah kesenjangan. Itulah potret negeri ini. Sebuah potret yang harus segera direkontruksi.

Dimuat di Repulika 28 Juli 2008

Tuesday, July 15, 2008

Mereka Berharap tak Jadi Pengungsi Abadi


Atas undangan Departemen Luar Negeri, wartawan Republika, Anif Punto Utomo, melakukan liputan terkait isu-isu Palestina di Jordan, sebagai bagian dari persiapan acara 'Minister Conference on Capacity Building for Palestine' di Jakarta, 14-15 Juli 2008. Berikut bagian terakhir dari dua tulisan mengenai rakyat Palestina yang sudah 60 tahun berada di pengungsian.

''Saya kerja di toko, bikin mebel dari kayu,'' kata Hammam membuka pembicaraan.
''Boleh tahu gajinya?''
''Sekitar 125 dinar per bulan.''
''Cukup?''
''Tidak. Saya harus cari tambahan. Kadang bantu adik angkut-angkut barang, kadang bantu paman jualan di toko,'' tambahnya.


Hammam dengan nama lengkap Hammam Aburasyid adalah generasi ketiga pengungsi Palestina yang tinggal di kamp pengungsian Baqa'a di Jordan. Di usianya yang sudah 32 tahun, dia belum pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran orang tuanya, Palestina, meski jaraknya hanya dua jam perjalanan darat.

Ketika membaca kamp pengungsi, bayangan kita adalah sebuah lokasi dengan deretan tenda yang di depannya ada seperangkat alat masak seadanya. Tidak. Ini kamp pengungsian yang sudah berusia setengah abad. Jadi, kamp ini sudah seperti kota kecil, rumah dari tembok meski kualitas rendah, jalan-jalan beraspal meski tak rata. Ada pertokoan, terminal, dan pasar.

Strata masyarakat di kamp kebanyakan seperti Hammam. Warga kelas bawah yang pendapatannya sangat mepet bahkan tidak mencukupi untuk hidup layak dengan seorang istri dan dua anak. Kalaupun ada yang punya mobil--kebanyakan Kia Sephia yang di sini dikenal dengan nama Timor-- mereka adalah pemilik toko yang jumlahnya sedikit.

Garis kemiskinan di Jordan adalah 130 dinar Jordan (Rp 1,6 juta) per bulan untuk sebuah keluarga dengan dua anak. Hammam masuk dalam kriteria penduduk miskin. Beruntung dia punya istri yang biasa prihatin, yang kebetulan orang Cirebon! ''Nama saya Pidiasih, tapi orang di sini susah panggil nama itu. Jadi diganti San-san,'' kata Pidiasih yang hatinya kecantol dan langsung menikah dengan Hammam saat kerja di Abu Dhabi.

Keluarga besar Hammam adalah ibu dan empat saudaranya. Rumah ibunya, berdiri seperti huruf U di tanah seluas 100 meter persegi. Di tengah ada halaman tempat bermain anak-anak dan makan bersama. Tradisi masyarakat tradisional Palestina, setiap makan selalu bersama dalam lingkup keluarga besar itu.
Bangunan U itu terdiri atas lima kamar dengan ukuran 3x3 meter, seperti kos-kosan. Setiap kamar dihuni satu anggota keluarga. Adiknya ada yang sudah berkeluarga dengan dua anak, mereka ya tinggal bersama dalam satu kamar. Hammam sendiri karena tidak kebagian kamar, harus mengeluarkan 80 dinar per bulan untuk kontrak rumah dengan dua kamar di kamp pengungsian juga.

Tidak ada data resmi berapa rata-rata penghasilan para pengungsi Palestina. Tapi, secara sekilas terlihat bahwa kondisi secara umum di kamp pengungsian Baqa'a tidak jauh dari taraf hidup Hammam. Tingkat kehidupan, tingkat ekonomi, dan tingkat pendidikan relatif rendah. Hal serupa juga terlihat di kamp pengungsi lain di berbagai wilayah Jordan.

Barangkali yang sedikit berbeda di kawasan pengungsi Al Wihdat. Karena lokasinya berada di pinggir Amman dan kini wilayahnya sudah menyatu dengan Amman, perekonomian di kamp itu lebih hidup. Taraf kehidupan masyarakat pun relatif lebih tinggi, setidaknya dibanding di Baqa'a.

Berdasarkan data United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNWRA), Baqa'a merupakan kamp pengungsian terbesar di Jordan dengan jumlah pengungsi terdaftar 68.386 orang. Lokasi pengungsian lainnya adalah Al Wihdat (50.703), Irbid (24.351), Husn (20,988), Souf (15.882), Jabal el-Hussein (29.998), Zarqa (18.004), Marka (38.425), Talbieh (871), dan Jerash (15.488). Total ada 13 kamp pengungsian yang tersebar di Jordan.

Tapi, tidak semua pengungsi Palestina tinggal di kamp pengungsian. Bahkan, mayoritas justru tinggal di luar. ''Dari jumlah pengungsi di Jordan yang 1,9 juta, hanya 20 persen yang tinggal di kamp. Selebihnya berada di luar berbaur dengan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan,'' kata Wajeeh Azayzeh, direktur jenderal Urusan Palestina, ketika diwawancarai di kantornya di Amman awal Juli silam.

Pemerintah Jordan sendiri sangat welcome terhadap pengungsi Palestina. Ada keterikatan sejarah dan emosional sehingga pengungsi Palestina diterima dengan hangat sebagaimana saudara dan disediakan lahan yang cukup. Ratusan juta dolar juga dialokasikan untuk pengungsi. ''Sebaliknya, rakyat Palestina juga baik dan mudah berbaur dengan masyarakat Jordan,'' kata Wajeeh.

Umumnya, pengungsi yang sudah menapaki kehidupan yang lebih baik pindah dari kamp pengungsian. Meski ada pula yang enggan pindah, karena di kamp mereka memperoleh fasilitas gratis dari UNWRA untuk pendidikan anak sampai setingkat SMP dan perawatan kesehatan. Harga bahan pangan juga murah. Setiap warga di kamp mendapat kartu untuk menikmati fasilitas itu. Kartu dicabut jika dia meninggalkan kamp.

Memang, secara rata-rata kehidupan orang Palestina, khususnya di Jordan --apalagi di kamp-- mayoritas kelas bawah. Tapi, tak sedikit yang sukses. Ada yang jadi dokter, akuntan, ahli teknik, pengacara, dan lain-lain. Pengacara KBRI di Amman adalah keturunan Palestina. Bahkan, kabarnya, dua pengusaha terkaya di Jordan adalah dari Irak (pemilik Le Royale Hotel) dan dari Palestina (pemilik Arab Bank).

Berbicara mengenai pengungsi, maka pengungsi Palestina adalah yang paling fenomenal. Bukan dari cuma jumlahnya, tapi juga rentang waktu penyebarannya. Dari sisi jumlah, saat ini tercatat 4,5 juta orang. Dari rentang waktu --mulai 1948 sampai sekarang-- sudah 60 tahun. Kemudian, penyebaran ada di tiga negara, Jordan, Lebanon, dan Suriah. Belum lagi yang mengungsi secara sendiri-sendiri di Irak, Saudi, dan Mesir.

Dan, apa pun strata ekonomi orang Palestina di negeri orang, sebagian besar mereka merindukan kembali ke tanah leluhur. Entah mereka yang pernah merasakan hidup di Palestina kemudian mengungsi karena serangan Israel, ataupun generasi berikutnya yang belum pernah menginjakkan kaki di Palestina. Kerinduan itu terlihat dalam setiap getaran lidah mereka sewaktu mengucapkan Palestina.

Hanya satu yang mereka butuhkan untuk bisa pulang: perdamaian dan kemerdekaan di Palestina. Perdamaian harus dimulai dengan diakhirinya perseteruan Hamas dan Fatah. Setelah itu kemerdekaan harus diperoleh, entah direbut atau dinegosiasikan. Perdamaian dan kemerdekaan harus segera diwujudkan agar Hammam-Hammam ini tidak menjadi pengungsi abadi.
Dimuat di Republika 15 Juli 2008

Monday, July 14, 2008

Keyakinan Pengungsi Palestina


Atas undangan Departemen Luar Negeri, wartawan Republika, Anif Punto Utomo, melakukan liputan terkait isu-isu Palestina di Jordan, sebagai bagian dari persiapan acara 'Minister Conference on Capacity Building for Palestine' di Jakarta, 14-15 Juli 2008. Berikut bagian pertama dari dua tulisan mengenai rakyat Palestina yang sudah 60 tahun berada di pengungsian.

A'sleen, sebuah desa kecil di dekat Jerusalem. Sudah dua tiga hari berlangsung perang antara Israel melawan Arab. Peluru berdesing, bom berdentum, granat menyalak, asap mesiu tercium di segala penjuru. Semakin lama intensitas perang semakin tinggi, Israel semakin membabi buta menyerang, merusak fasilitas umum, dan meneror masyarakat.

Suatu ketika, hujan bom mengoyak wilayah kecil itu. Segera saja tangan gadis kecil itu ditarik lari oleh ayahnya. Bersama kedua orang tua dan tiga saudaranya, gadis kecil itu menyelusup di antara desingan peluru dan dentuman bom. Tak sempat membawa bekal. Begitu pula warga lainnya. Mereka tak kuasa menahan kebiadaban Israel.

Keluarga gadis kecil itu bersama puluhan ribu warga dari berbagai wilayah mengungsi ke Jericho. Tapi, kondisi di daerah itu juga tidak jauh berbeda. Keadaan tidak juga aman. Sekolah sebagai tempat mengungsi dibom Israel. Akhirnya, rombongan pengungsi itu lari ke perbatasan Jordan. Berjalan terseok-seok tanpa bekal apa pun di tengah musim yang tidak bersahabat: musim dingin.

Beruntung mereka sampai di Jordan. Karena, tak sedikit keluarga yang kehilangan anggotanya. ''Di situ tidak ada air. Tapi, setidaknya kami diberi tenda serta selimut dan piring enam biji sesuai jumlah keluarga kami,'' kenang Ny Suhaylah, gadis kecil itu, yang kini sudah berusia 54 tahun dengan empat cucu di kamp pengungsian Baqa'a di Jordan. Tenda mereka sempat ambruk karena penyangga tak kuat menahan salju yang membebani atap. Untuk makan, di pengungsian dibuat dapur umum.

Peristiwa tersebut terjadi pada 1967, yakni ketika berlangsung 'Perang Enam Hari' antara Israel melawan gabungan tiga negara Arab, yakni Mesir, Jordania, dan Suriah. Ketiga negara itu juga mendapat bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, dan Aljazair. Perang yang terjadi 5-10 Juni 1967 itu memaksa ratusan ribu orang mengungsi dari wilayah Palestina.

Perang Enam Hari ini merupakan perang ketiga dalam konflik Arab-Israel. Perang pertama terjadi pada 1948 ketika Inggris secara tak bertanggung jawab meninggalkan wilayah Palestina yang dihuni zionis Yahudi dan Arab Palestina. Begitu Inggris pergi, zionis memproklamasikan negara Israel dan sekaligus memicu perang. Zionis menang, Arab Palestina terusir. Ribuan mengungsi. Perang kedua pada 1956 terjadi karena krisis Suez.

Dari ketiga perang itu, perang 1967-lah yang paling sukses bagi Israel. Dalam perang ini, Israel menduduki seluruh wilayah Palestina dengan merebut Tepi Barat dan Jerusalem Timur, menganeksasi Semenanjung SInai dari Mesir, dan Merampas Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Kelak, pada 1973 Semenanjung Sinai kembali ke pangkuan Mesir setelah terjadi perang terbuka antara Mesir dan Suriah melawan Israel. Sedangkan, Dataran Tinggi Golan kini masih dikuasai Israel. Tapi, kabarnya Israel akan melepas Golan ini dengan beberapa konsesi yang salah satunya, Suriah menutup jalur komunikasi dan transportasi Hamas yang selama ini banyak bermukim di Suriah.

Pengungsian besar-besaran memang terjadi ketika perang pertama dan kedua. Gelombang pertama terjadi pada 1948, dengan jumlah pengungsi diperkirakan 726 ribu orang. Gelombang kedua terjadi pada perang 1967, ketika 323 ribu orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka, sepertiganya merupakan pengungsi pada 1948.

Lokasi pengungsian tersebar di negara-negara yang berbatasan dengan Palestina, yakni Jordan, Suriah, dan Lebanon. Ny Suhaylah adalah salah satu dari pengungsi pada 1967 yang masuk di Jordan. Saat ini, pengungsi Palestina dirawat oleh UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugee in the Near East), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang khusus mengurus pengungsi Palestina.

Dari data terakhir yang diperoleh, jumlah total pengungsi Palestina yang pada 1950 sebanyak 914 ribu, kini setelah beranak pinak mencapai 4,5 juta orang. Pengungsi tersebut tersebar di Jordan sebanyak 1,88 juta, Lebanon (411 ribu), dan Suriah (446 ribu). Sedangkan untuk yang di wilayah Palestina ada di Tepi Barat (735 ribu), dan Jalur Gaza (1,03 juta).

Sepertiga pengungsi tinggal di kamp pengungsian, lainnya hidup berbaur di pedesaan dan perkotaan di negara tuan rumah. ''Pengungsi yang paling sengsara di Gaza, sebagian juga yang di Lebanon,'' kata Peter Ford, petinggi UNWRA sewaktu diwawancarai di Amman, awal Juli silam. Masalahnya, di wilayah itu masih sering terjadi pertempuran.

Kondisi di Gaza sebagaimana buku laporan UNRWA menjadi lebih parah ketika Hamas menang dalam pemilu. Dana untuk operasional otoritas Palestina disetop. Arus listrik dan bahan bakar untuk masyarakat dihentikan. Kehidupan masyarakat, terutama para pengungsi menjadi makin sulit karena diisolasi oleh kekejaman zionis Israel. Tak heran kalau 30 persen staf lokal yang 28,9 ribu dialokasikan ke wilayah konflik ini.

Dalam progam tahunannya, UNRWA memberikan pelayanan kepada pengungsi untuk pendidikan, kesehatan, suplai makanan, dan rehabilitasi sosial. Untuk pendidikan, saat ini sudah didirikan 666 sekolah di seluruh wilayah untuk taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Untuk kesehatan dasar, terutama buat ibu dan anak-anak sudah dibangun klinik sebanyak 128 buah. Pengungsi juga memberikan pinjaman untuk kredit mikro.

Begitu banyak program dan begitu banyak pengungsi tentu membutuhkan dana besar. Berdasarkan anggaran yang diajukan 2008-2009, dana yang dibutuhkan mencapai 1,093 miliar dolar (Rp 10 triliun). Perinciannya, pendidikan 565 juta dolar (500 juta dolar habis untuk staf), kesehatan (211 juta dolar), pelayanan sosial (106,8 juta dolar), pelayanan pendukung (145,3 juta dolar), dan kebutuhan lainnya (63,3 juta dolar).

Sejauh ini, dana diperoleh dari PBB dan donatur. Tapi, dari PBB sangat kecil karena sekitar 99 persen diperoleh dari donatur, baik perseorangan, perusahaan, ataupun negara. Ironisnya, donor dari negara-negara di teluk yang semestinya punya kepedulian besar pada rakyat Palestina justru sangat kecil. ''Hanya empat persen,'' kata Peter.

Sampai kapan jutaan pengungsi tersebut hidup di pengungsian? Kapan bisa kembali ke Tanah Air mereka? ''Saya tidak tahu kapan, tapi saya yakin bisa kembali. Saya akan tinggal di tanah saya yang direbut Israel,'' kata Ny Suhaylah penuh semangat. ''Saya yakin.'' Begitu dia menutup wawancara.

Dimuat di Republika 14 Juli 2008

Thursday, July 10, 2008

Presiden Abbas: Indonesia Tahu Kebutuhan Palestina


"Oo..dari Republika," begitu respon Presiden Palestina Mahmoed Abbas ketika kartu nama saya sodorkan. "Saya tahu Republika, koran untuk komunitas muslim, jadi kita bersaudara, satu perjuangan," sambungnya.

Bukan hanya Republika yang dia tahu, tokoh Islam pun dia kenal, setidaknya M Natsir yang dia sebut. "Saya tahu M Natsir sebagai tokoh muslim, saya pernah bertemu di Damaskus, tapi sudah lama sekali. Dia juga pendiri partai Islam Masyumi," kenangnya.

Begitulah Presiden Abbas sesaat sebelum wawancara khusus dengan wartawan Republika Anif Punto Utomo dan Jakarta Post di kediamannya di Amman Jordan, Sabtu (4/7). Wawancara ini sekaligus dilakukan sebagai pemanasan acara Minister Conference on Capacity Building for Palestine di Jakarta 14-15 Juli 2008.

T:Apakah Anda bisa hadir di konferensi itu?J:Yang mulia presiden mengundang kami. Sayangnya saya tidak bisa hadir karena pada tanggal itu saya sudah dijadwalkan jauh hari untuk bertemu Presiden Perancis Nicolas Sarkozy. Tetapi say sudah meminta perdana menteri untuk hadir bersama beberapa menteri.

Seberapa penting Anda melihat pertemuan tersebut?Sangat penting karena embrionya sudah dimulai pad 1955 di Bandung ketika Soekarno, Abdul Nasser, Nehru, Tito, dan lain-lain. Saat itu pertayaan tentang Palestina juga mengemuka. Sekarang setelah 50 tahun Palestina masih tetap sama.

Untuk itu saya percaya bahwa konferensi yang digagas Indonesia dan Afrika ini sangat penting bagi rakyat Palestina. Sekaligus sebagai komplementer dari pertemuan Annapolis dan Paris. Konferensi tersebut akan di follow-up sebuah komite dan kemudian diimplementaskan dalam sejumlah projek yang akan dijadwalkan kemudian.

Ini akan mengulang konferensi 1955. Kami tidak bisa lupa bagaimana Indonesia secara terus menerus peduli dan membantu rakyat Palestina. Untuk itu kami sangat hormat pada negara Anda, sebagai saudara, dan tentu saja kepada Presiden.

Pengembangan apa yag menjadi prioritas bagi Palestina?Kami punya beberapa prioritas. Pertama keamanan dan perekonomian. Keamanan saya kira di pantai barat sudah stabil, kami butuh penge,bangan industr, perumahan, infrastuktur, listrik. Itu menjadi prioritas.

Mengenai pembangunan kapasitas kami punya beberapa aspek yang perlu dikembangkan. Itu sangat berguna untuk memperbaiki kehidupan rakyat Palestina dan proses perdamaian secara menyeluruh. Tapi bagaimanapu, tanpa keamanan, tanpa ekonomi, semuanya bisa sia-sia.

Dengan situasi seperti sekarang apakah pembangunan kapasitas bisa diimplementasikan?Bisa, karena situasi sekarang secara keseluruhan sudah siap untuk mendukung projek-projek itu.

Keamanan sangat penting untuk terlaksananya projek ini, bagaimana situasi di Palestina sekarang?
Kondisi keamanan sangat bagus terutama di tepi barat. Di Gaza masih ada masalah, karena perseteruan antara Israel dan Hammas, sehingga tidak bisa diimplementasikan secara penuh. Tapi sekarang sudah lebih baik dibanding sebelumnya, dan saya harap nantinya akan stabil.

Bagaimana hubungan Pemerintah Palestina dengan Hammas?
Dengan Hammas, saya berinisiatif menghubungi mereka untuk rekonsiliasi sebulan lalu. Sekarang inisiatif ada ditangan liga Arab yang sedang membahas ide untuk bisa diimplementasikan dalam rekonsiliasi kelak. Saya harap dalam dua bulan ini sudah ada konklusi yang dihasilkan.

Apakah konferensi di Jakarta ini juga dibicarakan dengan Hammas?
Tidak. Kami otoritas pemerintahan yang diakui, dan saya presiden otoritas Palestina. Ini bagian dari urusan pemerintah, biar kami yang berperan di sini. Hammas sebagai oposisi biarlah dengan agendanya sendiri. Tentu saja kami akan mengajak mereka, tetapi sampai saat ini mereka diam saja.

Bagaimana pembicaraan mengenai perdamian saat ini?
Seperti Anda ketahui, sejak pertemuan di Annapolis, kita dusah membicarakan dengan Israel pada enam isu inti, yaitu Jerusalem, pengungsi, penempatan, perbatasan, keamanan dan air. Semuanya kita terbuka dengan Israel. Tentu saja ada partisipasi dari Amerika dari waktu ke waktu. Kami sudah berbicara secara intensif dengan Israel. Hanya sayangnya sampai saat ini belum ada finalisasi konkret dari isu-isu itu. Masih ada waktu enam bulan sampai 2008 ini semoga nanti ada yang suda membuahkan hasil.

Apa yang Anda harapkan dari Indonesia berkaitan dengan isu proses perdamaian tersebut?Kami memandang Indonesia sebagai saudara. Kami punya hubungan baik sejak di Bandung, bahkan sebelumnya.

Kami berharap segala-galanya dari Indonesia. Kami berharap Indonesia terus mensupport apa yang bisa dilakukan Indonesia. Kami tahu, Indonesia selalu memberikan yang terbaik utnuk membantu rakyat Palestina. Kami tidak meminta Indonesia untuk melakukan sesuatu, karena Indonesia tahu benar apa yang harus dilakukan untuk Palestina.