Friday, August 29, 2008

Negosiasi Ulang Gas Tangguh

Tidak banyak yang tahu, betapa negara dirugikan puluhan triliunan rupiah karena negosiasi aneh yang dilakukan pemerintah. Ini terkait dengan penjualan liquid natural gas (LNG) dari ladang Tangguh ke Cina. Masalahnya, harga yang disepakati terlalu murah.

Dalam kontrak jual beli yang dibuat pada 2002, disepakati harga jual 2,4 dolar AS per mmbtu (million metric british thermal unit) dengan berpatokan pada harga minyak 25 dolar per barel. Kemudian pada 2006 dilakukan peninjauan kontrak baru, dan disepakati harga jual naik menjadi 3,35 mmbtu, dengan standar harga minyak 28 dolar per barel.

Harga murah atau tidak itu relatif, tergantung dari situasi. Di sini yang jadi masalah adalah bahwa harga jual gas tersebut dipatok secara flat (tetap), padahal lazimnya harga jual gas dilepas secara mengambang dengan mengambil harga patokan minyak. Jadi ketika harga minyak naik, maka otomatis harga jual gas juga naik, begitu sebaliknya.

Karena itu, semestinya dengan harga minyak di sekitar 120 dolar seperti sekarang ini, dan permintaan terhadap gas yang begitu tinggi, harga jual gas Tangguh ini bisa mencapai 20 dolar per mmbtu. Di sinilah potensi kerugian dari negara. Menurut perhitungan pengamat perminyakan Kurtubi, dengan kontrak itu negara dirugikan empat miliar dolar per tahun.

Dari berbagai kontrak penjualan gas, terbukti bahwa penjualan ke Cina ini memang yang paling rendah. Kontrak penjualan gas ke Jepang misalnya, yang berlaku mulai 2011 sampai 2021 disepakati 15 dolar per mmbtu, naik dari sebelumnya yang 9 dolar per mmbtu. Bahkan harga jual ke Korea lebih tinggi lagi, yakni 20 dolar per mmbtu.

Siapa yang salah dalam negosiasi itu? Wapres Jusuf Kalla menyalahkan mantan presiden Megawati yang saat itu jalan sendiri dan kena bujuk rayu dari Cina agar membuat kontrak dengan harga flat. Megawati tak mau disalahkan, karena saat itu Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono juga anggota kabinet, meski bukan di kabinet ekonomi.

Memang dari posisi kontrak terhadap Cina, kita memiliki titik lemah karena peninjauan kontrak baru bisa dilakukan empat tahun sekali. Dengan begitu, negosiasi kontrak baru bisa dilakukan lagi pada 2010 lantaran kesepakatan terakhir ditandatangani 2006 silam. Tapi melihat begitu besar kerugian yang kita alami, menunggu 2010 terlalu lama.

Negosiasi ulang harus dilakukan dengan segera. Presiden mengintruksikan Menko Ekonomi untuk membentuk tim negoisator. Tentu tim itu nantinya harus tim yang pengalaman, cerdas, dan berpihak kepada rakyat. Sulit untuk mengharapkan tim lama dari departemen energi, karena merekalah yang terlibat dalam kesepakatan-kesepakatan sebelumnya.

Sebetulnya, kita bisa mengakhiri kontrak dengan Cina itu secara sepihak, hanya dikenai denda finalti 300 juta dolar. Jumlah yang tidak begitu besar dibanding dengan kerugian yang kita alami. Tapi pemutusan kontrak sepihak tidak sehat, membuat citra burukbagi kita, lebih baik dinegosiasikan baik-baik, dengan matang, dengan cerdas.

Ironis memang. Ketika industri dalam negeri harus membeli gas dengan harga tinggi, bahkan sempat kekurangan pasokan, Cina justru mendapat pasokan melimpah plus harga super murah. Karena itu wajib bagi pemerintah untuk melakukan negosiasi ulang agar negara tidak dirugikan. Kasus ini menjadi pelajaran bagi pemerintah agar tidak lagi melakukan negosiasi buruk yang merugikan negara.

Dimuat di tajuk Republika edisi 29 Agustus 2008

Tuesday, August 26, 2008

Menyengsarakan Rakyat

Kabar buruk itu datang lagi: harga elpiji naik! Belum reda jeritan masyarakat akibat kenaikan harga pada Juli lalu, kini pada bulan kemerdekaan ini, kemerdekaan masyarakat justru kembali diberangus. Elpiji dinaikkan tanpa sosialisasi.

Benar, belum genap dua bulan, gas elpiji ukuran 12 kg sudah naik dua kali. Kenaikan pertama yakni dari Rp 51 ribu per tabung menjadi Rp Rp 63 ribu dilakukan pada 1 Juli lalu. Kemudian pada 25 Agustus silam, harga gas kembali dinaikkan menjadi Rp 69 ribu per tabung.

Pemerintah, dalam hal ini Pertamina selalu punya alasan untuk kenaikan-kenaikan yang mereka lakukan. Kenaikan pada Juli beralasan karena bahan bakar minyak (BBM) naik maka ongkos distribusi juga naik. Dengan begitu harga gas perlu dinaikkan untuk mengkompensasi kenaikan distribusi tersebut.

Kenaikan kali ini adalah demi mengejar harga keekonomian. Hitung sana hitung sini, menurut Pertamina biaya per kilogram untuk gas ini mencapai Rp 11 ribu-an. Sementara harga sebelum kenaikan adalah Rp 5.250 per kg dan dinaikkan menjadi Rp 5.700 per kg. Jadi dengan kenaikan itu pun masih rugi sekitar Rp 6,5 triliun.

Harga keekonomian yang menjadi dasar perhitungan, dari sisi bisnis memang masuk akal. Tapi kita bicara tentang negara, tentang rakyat. Negara dan rakyat bukan perusahaan dan pelanggan, maka penyelesaiannya pun bukan sekadar untung rugi. Bicara negara dan rakyat adalah bicara kebijakan politik yang berpihak kepada rakyat.

Barangkali benar dengan harga baru pun Pertamina rugi, tapi apa memang benar-benar rugi atau sekadar potential lost, kerugian potensial. Misalnya, semestinya mereka untung Rp 10 triliun, tapi karena harga jual rendah maka keuntungannya tinggal Rp 3,5 triliun. Sebab kalau kita lihat keuntungan Pertamina pada 2007 mencapai Rpo 24,5 triliun.

Memang dalam undang-undang disebut bahwa BUMN tidak boleh mensubsidi, jadi setiap ada subsidi yang diberikan Pertamina misalnya, berarti mereka melanggar undang-undang. Tapi rakyat tidak peduli dengan itu. Bagi masyarakat yang penting harga tidak naik, apakah itu dibebankan ke Pertamina atau pemerintah.

Perlu diketahui bahwa masyarakat sudah terbebani dengan berbagai kenaikan barang yang diluar kemampuan mereka. Kecuali harga BBM yang naik, harga pangan juga naik, begitu juga kebutuhan lain. Menjelang puasa dan lebaran ini, dipastikan harga-harga juga akan naik. Betapa berat beban yang harus ditanggung masyarakat.

Sepertinya Pemerintah tidak peduli dengan semua itu. Para penyelenggara negara itu kurang memiliki empati terhadap kondisi yang dirasakan rakyatnya. Terbukti Pemerintah lepas tangan terhadap kenaikan ini. Rakyat dipaksa menelan harga tinggi, karena tidak disediakan alternatif.

Betul bahwa sekarang sudah ada ukuran 3 kg, tapi itu untuk kalangan bawah. Lagi pula pemakai gas ukuran 12 kg bukan cuma kelas menengah atas, tapi juga menengah bagan bawah yang sensitif terhadap harga. Bukan tak mungkin akan banyak perpindahan ke tabung 3 kg, dan saat itu pemerintah lagi-lagi tak kuasa menyediakan pasokan.

Apakah tidak terbersit di pikiran Pemerintah bahwa kenaikan harga elpiji ini akan membebani rakyat. Pemerintah menjual gas ke Cina dengan harga jauh lebih rendah dibanding pasar internasional, tapi justru di dalam negeri mereka menaikkan harga tanpa peduli kesengsaraan rakyatnya.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 26 Agustus 2008

Friday, August 22, 2008

Pengakuan Agus Condro

Mengaku menerima suap. Tidak banyak yang berani melakukan, karena konsekuensinya adalah dia sendiri akan terkena masalah itu. Jangankan mengaku, sudah terbukti pun kebanyakan masih berkelit tidak melakukan korupsi. Tapi rupanya, bukan itu yang dilakukan Agus Condro, dia lebih memilih mengaku.

Anggota DPR di Komisi II dari PDIP itu mengaku menerima uang Rp 500 juta dari Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Goeltom. Uang tersebut diberikan rekannya sesama anggota DPR beberapa hari setelah Miranda terpilih menjadi deputi senior pada 2004 silam.

Pengakuan Agus Condro cukup mengejutkan, meskipun sebetulnya isu tersebut sudah beredar sejak lama. Miranda ketika sendiri tidak membantah maupun mengiyakan. Dia hanya mengatakan tidak tahu, dan meminta menanyakan masalah itu kepada pihak-pihak yang memberi pernyataan.

Miranda memang bersaing menduduki kursi deputi senior pada 2004 bersaing dengan Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono. Pada pemilihan ini Miranda unggul karena disokong penuh oleh Fraksi PDIP. Sebelumnya Miranda pernah dicalonkan menjadi gubernur BI bersaing dengan Burhanudin Abdullah dan Cyrillus Harinowo pada Mei 2003. Saat itu Miranda gagal, yang terpilih Burhanudin.

Dari pengakuan Agus Condro tersebut kita menjadi makin terperangah, betapa carut-marutnya moral wakil rakyat kita. Semua hal bisa dijadikan uang. Mereka yang berkepentingan terhadap DPR harus menyediakan uang berlimpah agar urusannya bisa lancar. Istilah Teten Masduki, di DPR acap kali terjadi political buying.

Jika benar itu terjadi, maka daftar dosa para anggota DPR bertambah panjang. Daftar koruptor di DPR juga akan bertambah. Ada kasus pengalihan hutan lindung, ada kasus suap pembuatan undang-undang, dan masih banyak lagi. Puluhan anggota dewan, bhakan bisa jadi ratusan, bakal terseret dalam berbagai kasus tersebut.

Begitu pula di Bank Indonesia (BI). Bank sentral itu kini sedang disorot masalah penggunaan uang sebesar Rp 100 miliar, di mana Rp 32 miliar diberikan kepada anggota DPR untuk memuluskan undang-undang. Menurut pengakuan orang BI pula, pemberian uang ke DPR itu sudah berlangsung sejak 1970.

Kasus penyuapan dalam pemilihan deputi senior ini akan memperparah citra BI. Barangkali BI tidak secara langsung mengeluarkan uang untuk itu, tapi jika petinggi BI harus menyogok kiri-kanan di DPR agar dirinya terpilih, itu sudah menyalahi aturan. Siapa tahu ketika dia menjabat harus mengembalikan modal, BI lagi yang akan dikorup.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah mendapat laporan dan pengakuan dari Agus Condro tersebut harus segera memeriksa dan mencari bukti-bukti terhadap kasus penyuapan tersebut. Lampu hijau sudah diberikan dari penerima langsung, tinggal bagaimana KPK mengumpulkan bukti untuk segera menjerat mereka yang terlibat.

Jangan biarkan kasus ini mengantung. Kesigapan dari KPK sangat dibutuhkan agar kebenaran segera terkuak: Apakah pengakuan Agus Condro itu benar, atau hanya mencari popularitas. Kita ingin korupsi segera diberantas. Kita ingin pejabat yang bersih, pejabat yang dipromosikan karena prestasinya, bukan karena membeli.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 22 Agustus 2008

Wednesday, August 20, 2008

SUMUT

Kalau Anda punya uang Rp 200 juta atau Rp 400 juta, harus diinvestasikan untuk apa agar menguntungkan? Agak susah menjawabnya.

Ekonomi makro memang cukup stabil. Inflasi rendah, cadangan devisa tinggi, uang beredar terkendali, dan rupiah relatif stabil. Tapi ekonomi makro tak menjamin bergairahnya sektor riil, sehingga banyak yang bingung menginvestasikan uangnya.

Kita lihat bunga bank, saat ini bunga deposito hanya berkisar 3,0 persen sampai 8,5 persen. Kalau Anda punya dana puluhan miliar dan menjadi nasabah premium, paling diberi tambahan satu sampai dua persen.

Mau investasi di bursa, juga sedang buram atau istilah kerennya lagi bearish, terutama dalam tiga hari terakhir ini. Terpuruknya bursa internasional dan terkoreksinya laba Telkom telah merontokkan indeks bursa Jakarta.

Investasi di bisnis riil, juga tidak gampang. Banyak pengusaha kecil-menengah yang megap-megap karena situasi bisnis tak mendukung. Mereka yang bisnis percetakan, kurir ekspor, biro iklan, dll, sebagian besar mengeluh kesulitan mengembangkan pasar. Main tanah juga berisiko surat bodong.

Kalau sekarang ini, mungkin ada perkecualian, yakni bisnis yang berhubungan dengan lebaran seperti bengkel, jual beli mobil bekas, pakaian, sepatu, parsel, dll. Tapi ini sifatnya hanya sesaat, hanya temporer. Selesai lebaran, megap-megap lagi.

Meski begitu, jangan terlalu khawatir. Kalau Anda punya uang, peluang selalu ada saja di negara yang terkorup di dunia tapi tidak pernah ada koruptornya ini. Ladang investasi yang menggiurkan itu adalah menjadi wakil rakyat alias anggota DPR/DPRD.

Menurut Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) sebagaimana dimuat Media Indonesia, di wilayah Sumatera Utara (Sumut) untuk menjadi calon anggota DPRD Propinsi, parpol seperti PDIP dan Golkar memungut iuran Rp 200 juta-Rp 300 juta. Lantas untuk menjadi anggota DPR dipatok setoran Rp 400 juta.

Bagitu pula Partai Bintang Reformasi. Partai yang merupakan pecahan dari PPP itu mengaku bahwa calon legislatif (caleg) dari luar partai yang ingin masuk di urutan satu sampai lima diminta menyetor Rp 200 juta. Untuk kas partai, katanya.

Bagaimana prospek dari investasi tersebut? Hukum dalam dunia bisnis adalah high risk high return, investasi yang berisiko tinggi akan diperoleh pengembalian yang besar pula. Investasi di caleg ini, terutama untuk partai kecil, termasuk tinggi. Tapi, kalau mau, efek baliknya bisa berlipat ganda.

Kenyataan membuktikan bahwa menjadi dengan menjadi wakil rakyat, kesejahteraan bisa langsung melesat. Orang yang tadinya lantang-lantung dijalanan sebagai preman, begitu menjadi anggota DPRD langsung memiliki rumah mentereng dengan mobil sedan --sekalipun ada sebagian yang kemudian masuk bui.

Situasi ini mengingatkan pada pilihan lurah di wilayah Ciputat pertengahan 1990-an. Saat itu ada seorang calon lurah yang rela merogoh uang lebih dari satu miliar rupiah. Kenapa seberani itu? Karena saat itu sedang booming perumahan, sehingga pembebasan tanah marak. Tak sampai setahun, uang sudah kembali.

Jer basuki mowo bea. Begitu istilah Jawa yang artinya, untuk mendapatkan kemakmuran maka harus ada pengorbanan. Plesetannya, untuk mendapatkan jabatan di pemerintahan diperlukan pengorbanan berupa uang muka.

Sekarang ini, tipe plesetan itu yang kerap dipegang tegus. Untuk jadi anggota dewan harus setor ratusan juta, untuk jadi bupati atau walikota bisa miliaran rupiah. Untuk jadi gubernur harus tersedia belasan belasan miliar. Dan untuk jadi presiden, perlu triliunan rupiah.

Dalam dunia yang makin pragmatis dan serba hedonis ini maka uang banyak bicara. Tak salah kalau kemudian KIPP memberikan singkatan khusus buat para investor politik ini, yakni SUMUT. Jangan salah, SUMUT bukan singkatan Sumatera Utara, melainkan Semua Urusan Mesti Uang Tunai.@

Resonansi 12 Nopember 2003

* Tulisan ini terinspirasi oleh calon wakil rakyat yang harus membayar ratusan juta agar menjadi calon legislatif

Hantu Suap

Anda akrab dengan internet? Sekali waktu cobalah buka mesin pencari www.google.com. Tulis di kolom pencarian kata 'suap' dan pilih 'cari di halaman Indonesia', kemudian diklik.

Seketika akan muncul 15.700 lokasi web mengenai suap. Jika satu halaman menyajikan 10 alamat web, kita perlu mengklik 1.530 kali. Dan jika diperlukan waktu empat detik untuk buka satu halaman, berarti butuh dua jam untuk membuka semua lokasi yang tampil.

Di situ ada tulisan mengenai tudingan suap pada polisi, praktek suap di DPR dan DPRD, suap pada wartawan, suap kepada para pejabat negara, suap pada pimpinan partai terbesar, suap untuk hakim dan jaksa, suap pada pemain bola, sampai pada suap beneran, yakni tatacara menyuap bayi.

Banyaknya website yang menampilkan kata suap, berarti suap sudah menjadi pembicaraan sehari-hari dan menjadi bagian dari kehidupan kita. Kenyataannya memang di setiap kita berurusan dengan birokrat, maka suap berlaku. Tak ada suap urusan jadi tak karuan.

Saat Anda mengurus surat ijin mengemudi (SIM) misalnya, kalau mau jujur-jujuran Anda hanya diping-pong kanan kiri, dan jangan berharap sehari kelar. Tapi dengan suap kiri-kanan, Anda cuma diminta foto dan tanda tangan, tunggu di kantin, dua jam kemudian SIM sudah ditangan.

Hal serupa terjadi di semua instansi. Mau mengurus ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin mendirikan perusahaan, membikin paspor, ijin investasi, ikut peserta tender, dll, baru beres jika disediakan uang suap. Bahkan yang aneh, membayar pajak pun terkadang harus menyuap para petugas.

Suap sudah membudaya dalam setiap aspek kehidupan, dan celakanya cenderung semakin akut. Suap menjadi sangat biasa. Suap sudah tidak lagi dianggap perbuatan kriminal. Sebagian besar orang sudah menganggapnya sebagai bagian dari rejeki yang diberikan oleh yang di Atas.

Dari sisi ekonomi-bisnis, budaya suap telah merontokkan daya saing perekonomian dan iklim usaha di Indonesia. Para pengusaha yang semestinya dilayani dengan baik agar betah berinvestasi di sini, malah menjadi pihak yang harus diperas dengan berbagai alasan.

Tak pelak, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pun kemudian menyatakan perang terhadap suap. Perang itu tersebut diwujudkan dalam Kampanye Nasional Anti Suap (KNAS) 2003-2004 dan Gerakan Nasional Anti Suap (GNAS) 2005-2015.

Dalam pidato di depan peserta ASEAN Business and Invesment Summit di Bali, PM Malaysia Mahathir Mohammad mengatakan bahwa pemerintah jangan menjadi hantu yang menakutkan bagi dunia usaha. Karena jika hantu yang diperankan, maka pembangunan ekonomi suatu negara akan terhambat.

Suap, dalam terminologi Mahathir tersebut bisa dimasukkan dalam kategori hantu. Dengan begitu, Kadin bersama komunitas bisnis yang lain, sedang berperang melawan hantu. Akankah Kadin akan menang dalam peperangan yang maha berat tersebut?

Hantu acap kali disamakan dengan setan. Karena itu, senjata melawan hantu adalah kebersihan hati. Masalahnya, apakah anggota Kadin dan komunitas bisnis lain juga sudah benar-benar bersih untuk bisa melawan hantu?

Lagi pula, masalah suap menyuap, selalu melibatkan dua pihak, yakni pihak yang menyuap dan disuap. Nah, bagaimana kalau pihak yang menyuap sudah sadar, tapi yang ingin disuap masih saja menjadi hantu? Dipastikan tidak akan jalan.

Di jagad persuapan ini, yang lebih menjadi kunci sebetulnya adalah penerima alias para birokrat itu. Jika mereka mengikrarkan diri tidak mau terima, maka tak ada lagi suap menyuap. Tapi kalau mereka masih dan bahkan minta disuap, maka keinginan menghapus suap tinggal cita-cita.

Sanksi moral tidak lagi cukup untuk menghukum para penerima suap. Moral mereka sudah terdegradasi ke titik paling nadir, sehingga tak ada lagi rasa malu. Kisah-kisah tragis kehidupan para koruptor di masa senja tak juga mengusik mereka yang baru asyik menerima suap.

Suap semestinya hanya diberikan kepada bayi atau anak kecil. Kalau para penyelenggara negara masih saja ingin disuap, apa bedanya dengan anak kecil. Pantas saja negara kita kemudian tidak bisa maju-maju.@

Resonansi 08 Oktober 2003

* Tulisan ini terisprirasi oleh KADIN yang menyatakan perang terhadap suap

Stealth Corruption

Di Amerika, sekarang sedang populer sebuah istilah pemasaran yang disebut 'stealth marketing'. Pemikiran tersebut awalnya ditulis Daniel Eisenberg di majalah Time dan kemudian berkembang dalam diskusi-diskusi pemasaran di negara yang sering menjadi inspirasi ilmu-ilmu pemasaran tersebut.

Kata 'stealth' diambil dari jenis pesawat tempur Amerika yang super canggih. Kecanggihan pesawat ini tidak hanya karena dilengkapi senjata modern, tetapi --ini yang terpenting-- juga kemampuannya menerobos ruang udara lawan tanpa bisa dilacak radar. Stealth adalah pesawat antiradar.

Dari situ, pengertian standar dari stealth marketing adalah sebuah strategi pemasaran di mana cara yang dilakukan adalah 'mengelabui' konsumen. Benak konsumen dimasuki dengan trik pemasaran tanpa mereka sadari. Misalnya, membanjiri mobil merek terbaru di jalan, sehingga seolah-olah mobil itu telah laris.

Di Indonesia lain lagi. Di berbagai tempat dan diberbagai kesempatan, kita sering mengeluhkan betapa tingginya korupsi di negeri ini. Bahkan lebih tinggi ketimbang jaman Orde Baru dulu. Tapi kenapa mereka aman-aman saja? Apakah karena para koruptor pandai berkonspirasi 'mengelabui' masyarakat?

Korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggera negara sebetulnya terlihat begitu telanjang. Tapi, entah kenapa, radar penegak hukum tidak mampu menangkapnya. Mengacu pada istilah di atas, barangkali cocok kalau kemudian disebut 'stealth corruption'. Sebuah korupsi yang tak bisa tertangkap radar.

Kasus terbaru kita lihat bagaimana Bupati Kepri Huzrin Hood yang menjadi tersangka kasus penyimpangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2001 senilai Rp 4,3 miliar bisa loloskan dari tahanan. Korupsi yang dilakukan nyaris begitu transparan sehingga harus ditahan, tapi oleh kejaksaan Tanjung Pinang dibolehkan tinggal dirumah dinasnya.

Kalau mau kasus yang lebih besar, ada juga. Misalnya sampai sekarang para penjahat kerah putih yang membobol uang negera lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tetap berleha-leha, dan masih sibuk memimpin perusahaan. Triliunan rupiah yang ditilep lima tahun silam tidak terendus oleh radar-radar penegak hukum.

Benarkan para koruptor itu bagaikan pesawat siluman sehingga perilaku korupnya tidak mampu dibaui penegak hukum? Atau para penegak hukum yang secara sengaja mematikan tombol listriknya agar peralatan pemantau radar yang dimiliki tidak bisa menangkap sinyal yang ada.

Kalau kita melihat dari berbagai kasus korupsi yang mentok tersebut, jenis korupsi yang dilakukan, tidak canggih-canggih amat. Artinya, siapapun bisa membaui korupsi tersebut. Radar masyarakat bisa menangkap secara jelas aktivitas korupsi yang dilakukan para pejabat negara.

Kalau peralatan radar masyarakat mampu menangkap gerakan koruptor, sedangkan aparat hukum tidak bisa, berarti memang aparat sendiri yang mematikan tombol-tombol peralatan radar. Radar itu adalah hati nurani. Dengan begitu para penegak hukum telah mematikan hati nurani mereka sehingga kebejatan yang ada di sekitarnya tak mampu terendus.

Pantas kalau kemudian tampaknya para koruptor melakukan stealth corruption, padahal sebetulnya korupsi dilakukan secara terang-terangan. Kalaupun sepertinya mereka benar-benar mampu menghindar dari radar masyarakat, itu karena mereka pandai bermain mata dengan aparat hukum, lewat mafia peradilan yang melibatkan kepolisian, jaksa, pengacara, dan hakim.@

Resonansi 10 juni 2003

* Korupsi ada dimana-mana tapi radar aparat tak mampu melacaknya, begitu ide dasar artikel ini

Peringkat

World Investment Report (WIR) 2003 membuat peringkat indeks kinerja Foreign Direct Investment (FDI) periode 1999-2001. Dari 140 negara yang dinilai, Indonesia menempati urutan 138, dua dibawahnya adalah Gabon dan Suriname. Periode 1994-1996 kita masih peringkat ke-52.

***
Human Development Report 2002 beberapa waktu lalu dipublikasikan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP). Dari 173 negara di dunia, kita harus tersipu melihat bahwa Indonesia berada di peringkat 110, di bawah Filipina, Cina, dan bahkan Vietnam.

***
Dari 185 negara yang disurvei mengenai country risk, Indonesia menempati urutan ke-150. Peringkat ini hasil dari kompilasi pemeringkatan di antaranya oleh Marvin Zonish & Associate (MZ+A), Standard & Poors (S&P), Moodys Investor Services (Moody), Economist Intelligence Unit (EIU), dan World Market Research Centre (WMRC). Di bawah kita ada Afghanistan, Burundi, dan Somalia.

***
Indonesia menempati urutan ketiga negara pembajak software. Hasil survei yang dilakukan Microsoft, dari total penggunaan software di sini, 88 persen di antaranya adalah bajakan. Urutan pertama dalam hal pembajakan ini adalah Cina dan kemudian disusul Vietnam.

***
Berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2002, Indonesia tercatat sebagai negara terkorup di Asia. Sementara indeks korupsi versi Transparency International (TI) menempatkan Indonesia di posisi ketujuh terkorup dari 102 negara.

***

Setiap ada pemeringkatan negara, Indonesia selalu berada pada titik ekstrim, kalau tidak di atas, ya di urutan buncit. Nyaris kita tak pernah 'banci' alias berada di posisi tengah. Posisi atas atau bawah sendiri sangat tergantung dari 'barang' apa yang diperingkat.

Jika pemeringkatan itu berkaitan dengan hal-hal yang baik, kita selalu berada di tempat bawah. Untuk indeks pembangunan manusia misalnya, maka Indonesia berada di urutan belakang. Tapi jika berkaitan dengan hal yang buruk, seperti korupsi atau pembajakan, kita selalu di lini terdepan.

Sudah sebegitu buruk rupakah kita sehingga setiap ada pemeringkatan negara, kita selalu berada di posisi yang tidak mengenakkan? Kenyataan memang begitu. Ketika yang diperingkat adalah kondisi negara secara keseluruhan, maka prestasi buruk yang didapat. Tapi kalau untuk perorangan, sesekali tertoreh kejutan menyegarkan.

Kita lihat peringkat pendidikan. Menurut Menko Kesra Yusuf Kalla, pendidikan Indonesia lebih buruk dari tiga dasawarsa silam, dan kini berada pada urutan 160 dunia dan urutan 16 di Asia. Tapi di tengah keterpurukan itu, prestasi individu terukir dengan berhasilnya Tim Olimpiade Fisika Indonesia menempati urutan pertama di Bangkok.

Bagaimanapun, jika melihat berbagai pemeringkatan yang dilakukan lembaga dunia, kita pantas prihatin. Di situ juga terlihat betapa berat tugas yang harus diemban oleh pemimpin dan para elite di negara ini. Sekumpulan tugas yang tak bisa hanya diselesaikan dengan retorika.

Tapi mungkin sebetulnya sederhana juga tugas pemimpin negeri ini, yakni membolak-balikkan peringkat. Peringkat korupsi yang tadinya di urutan teratas dibikin yang terbawah, peringkat kesejahteraan yang saat ini diurutan bawah menjadi urutan atas, dsb.

Sederhana diucapkan, namun tentu saja tak mudah dilaksanakan. Apalagi Indonesia saat ini terlanjur masuk dalam perangkap krisis multidimensi, mulai dari krisis ekonomi, politik, sosial, sampai moral. Terlalu banyak bias-bias yang akan ditemui di lapangan.

Sederhana atau tidak, yang pasti kita memerlukan pemimpin yang mampu menaikkan peringkat negara. Untuk itu, kita butuh orang yang memiliki peringkat tinggi dalam masalah kebersihan moral, ketegaran, ketegasan, dan kecerdasan.

Kita juga butuh pemimpin yang memiliki peringkat keihlasan yang tinggi. Karena itu, kita tidak perlu memaksa seseorang menjadi pemimpin jika dia merasa terbebani dengan urusan negara, sehingga akhirnya cuma mengeluh dan merasa pusing.@

Resonansi 24 September 2003

* Tulisan ini terinspirasi oleh berita mengenai peringkat Human Development Indeks yang baru saja dirilis

Korupsi Legal

Anda masih ingat Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) pada awal 1990-an? Badan yang semestinya menyangga harga cengkih agar petani sejahtera itu, ternyata justru menyengsarakan. Harga cengkih di petani jeblok, sementara bosnya BPPC, yakni Tommy Soeharto, mengantongi keuntungan sangat besar.

Apakah kemudian hal tersebut bisa sebagai alat untuk menggugat korupsi yang dilakukan oleh Presiden Soeharto? Tidak. Aparat hukum sudah mencoba --mungkin juga tidak serius-- tapi tidak ditemukan indikasi korupsi. Kenapa? Karena pembentukan badan tersebut legal dan dibuat berdasarkan surat keputusan (SK) yang ditandatangani oleh menteri.

Kita bisa menduga bahwa Soeharto melakukan korupsi dengan memberikan kemudahan bagi anaknya untuk mengeruk uang. Tapi ketika ada SK yang ditandatangani menteri, pembentukan badan itu menjadi sah. Bahwa ketika menandatangangi para menteri itu diinjek kakinya oleh Soeharto, itu lain soal. Begitulah korupsi legal.

Kini, dijaman reformasi ini, korupsi legal ternyata masih berlangsung. Bahkan dilakukan secara massal dan tanpa rasa malu. Mereka, para pelaku tersebut, para wakil rakyat dan para eksekutif, mempertontonkan pertunjukan korupsi terselubung tersebut secara telanjang.

Bagaimana caranya? Kita bisa lihat banyak kasus di berbagai daerah di mana para wakil rakyat dengan gubernur, bupati, ataupun walikota berloma-lomba membikin anggaran 'kesejahteraan' buat anggota DPRD dan eksekutif. Ini terjadi hampir di seluruh Indonesia.

Bekasi misalnya, DPRD bersama dengan eksekutif membikin anggaran di mana seluruh anggota dewan mendapat mobil Kijang seharga Rp 135 juta. Dengan total anggota DPRD yang 45 orang, maka dibutuhkan Rp 5,85 miliar. Sementara banyak anak-anak terlantar di wilayah itu yang tidak mendapatkan pendidikan.

Anda tentu juga masih ingat anggota DPRD Jawa Barat yang bersama gubernur membikin anggaran kadedeuh (hadiah) senilai Rp 250 juta per anggota. Atau anggota DPRD Jawa Tengah yang mensahkan anggaran dana pensiun Rp 10 miliar dan gaji bulanan Rp 37 juta per bulan --pantas saja mahasiswa melemparinya dengan telur busuk.

Lihat juga, sebuah kota kecil di atas Malang, Batu, tempat kelahiran Yuni Shara. Anggota DPRD dan walikota di kota dingin itu sepakat menganggarkan Rp 5 miliar untuk fasilitas mobil. Lima petinggi DPRD masing-masing mendapat Teranno. Harga mobil tersebut kini Rp 250 juta per biji.

Masih banyak lagi contoh-contoh di berbagai kota maupun propinsi. Jika Anda keliling Indonesia, dan membaca koran-koran lokal, hampir pasti Anda temui berita semacam itu mengenai penghianatan sebagian besar anggota DPRD yang berkolusi dengan eksekutif untuk menjarah uang rakyat.

Pada eksekutif memang takut pada anggota DPRD, karena para wakil rakyat tersebut bisa dengan gampang memecatnya. Karena itu apa yang dimintanya, segera saja diberikan. Tanpa peduli rakyat. Tak heran kalau setiap ada laporan pertanggungjawaban (LPJ) eksekutif membagi-bagi amplop tebal agar tidak ditolak. Dari mana dananya? Ya uang rakyat, entah gimana caranya.

Begitulah korupsi legal yang marak berkembang. Menjadi legal karena pencurian dari harta rakyat itu dilakukan secara resmi lewat APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Jadi secara hukum sudah sah. Bagaimana pertanggungjawaban moral? Orang-orang bilang: itulah yang mereka tak punya?

Tampaknya para pejabat negara kita itu perlu membaca biografi Bung Hatta yang tanggal kemarin diperingati satu abad kelahirannya. Dari situ akan diperoleh perilaku seorang proklamator yang disiplin, jujur, santun, dan sederhana. Mereka diharap mencontohnya.

Jika setelah membaca buku itu tetap tidak mempan, barangkali sebagaimana diusulkan Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid: hukum mati para koruptor. Tapi bung, kalau usul itu diterapkan, bukankah kemudian tidak ada pemerintahan lagi didaerah, karena kantor para eksekutif dan legislatif tidak ada orang?@

Resonansi 14 Agustus 2002

*Di berbagai daerah muncul anggaran masing-masing daerah yang umumnya memberikan fasilitas berlebihan kepada eksekutif dan legislatif

Siapa Mengorbankan Siapa

Hari raya korban sudah menjelang, sudahkah Anda menyiapkan sebagian harta untuk berkorban? Kalau belum, segeralah alokasikan dana untuk berkorban demi berbagi daging dengan masyarakat miskin.

Korban dalam Idul Adha merupakan ritual tahunan memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk berani mengorbankan puteranya, Ismail. Kita sendiri 'cuma' diuji untuk mengorbankan sebagian harta untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.

Tapi lumayan. Dengan adanya hari raya korban ini, sebagian masyarakat kita yang tidak pernah menyantap daging kambing ataupun sapi --karena tak mampu beli-- bisa menikmatinya. Ada semacam pemerataan kenikmatan di sini.

Seorang ibu tua di daerah Magelang misalnya, baru sekali makan daging selama hidupnya setelah Dompet Dhuafa Republika menebar korban sampai ke pelosok pedesaan di mana dia tinggal. Bagi dia, sekerat daging kambing adalah sebuah kemewahan yang tak mungkin lagi dinikmati kecuali ada tebaran korban lagi.

Dibalik ritual tahunan itu sendiri, tersembul makna filosofis dari hari raya korban. Jadi, korban bukan sekadar membeli kambing atau sapi lantas disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan, tetapi juga: bagaimana sebetulnya kita berkorban dalam kehidupan sosial dan bernegara.

Kenapa krisis di negara ini tak kunjung selesai? Karena masing-masing orang atau kelompok yang berkuasa lebih suka mengedepankan egonya masing-masing. Mereka, para elite, seolah bersumpah tak akan mengorbankan ambisinya, sekalipun demi kepentingan rakyat banyak.

Di kehidupan sekeliling kita, banyak kita temui orang-orang yang bukannya rela berkorban, tetapi justru mengorbankan rakyat untuk memenuhi nafsu ambisiusnya. Itulah yang membikin krisis ekonomi dan sosial di negeri kita berlarut-larut penyelesaiannya.

Mau contoh? Kita lihat misalnya, kenaikan BBM yang dikeluarkan nyaris bersamaan dengan pemberian pembebasan tuntutan hukum pada konglomerat hitam. Di situ masyarakat disuruh berkorban demi mensubsidi konglomerat yang telah membangkrutkan negara.

Atau, kita tengok bagaimana masyarakat harus berkorban untuk negara lewat pemotongan pajak, sementara oleh elit, dana itu justru dijadikan bancaan. Rakyat juga harus berkorban untuk tidak mendapatkan pelayanan umum maksimal, karena dana pemerintah dialokasikan untuk kenaikan gaji pejabat dan anggota DPR.

Bahkan ada masyarakat yang dikorbankan nyawanya demi kepentingan politik praktis para elit. Tewasnya mahasiswa saat menggulirkan reformasi adalah contoh betapa nyawa seseorang bisa dikorbankan untuk melampiaskan ambisi politiknya.

Tak bisa dipungkiri bahwa jumlah hewan korban sendiri, baik kambing maupun sapi, belakangan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pemberi korban. Setidaknya itu terlihat dari daftar penyumbang di berbagai lembaga penyelenggara korban.

Tapi benarkah mereka yang riil berkorban? Belum tentu. Bisa jadi bahwa dari sebagian pemberi korban tersebut, yang berkorban adalah rakyat. Misalnya, pengorban yang uangnya berasal dari penyelewengan beras untuk orang miskin raskin, bukankah masyarakat kecil yang sebetulnya berkorban?

Korban dalam arti harfiah seperti pelaksaan korban di saat Idul Adha adalah penting. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Mengorbankan harta, mengorbankan kepentingan pribadi, mengorbankan ego, untuk kepentingan rakyat.

Terpuruknya negeri ini adalah karena rendahnya kesediaan berkorban. Prinsip 'kalau bisa mengorbankan orang lain kenapa harus mengorbankan diri sendiri' kuat dianut oleh elit politik.

Untuk itu, semestinyalah hari raya korban ini kita jadikan momentum untuk berefleksi, tentang makna kurban dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Tidak perlu lagi kita mempermasalahkan siapa mengorbankan siapa.@

Resonansi 05 Feberuari 2003

* Tulisan ini mentautkan antara peringatan Hari Raya Idul Adha dengan kondisi masyarakat kita

Antara Gizi dan 'Gizi'

Jika Anda jalan-jalan ke mal mewah seperti Plaza Indonesia, dan menemui keluarga muda belanja, akan terlihat anak mereka yang sehat, berisi, dan biasanya putih bersih. Wajah mereka juga tampak cerah, tersirat semangat yang menyala karena energi yang berlebih.

Pulangnya, jika Anda menuju ke arah Tanah Abang, hanya beberapa ratus meter dari mal itu, banyak terlihat anak jalanan yang kurus, dekil, dan sesekali tangannya menggaruk-garuk badan. Wajah mereka sayu, tak terpancar adanya semangat. Gerakan mereka nyaris tak berenergi.

Kenapa kondisi dua komunitas anak itu begitu berbeda? Gizi, jawabnya. Anak-anak yang gizinya cukup akan tampak sehat dan bersemangat, sedangkan yang gizinya kurang, badannya akan kurus dan gampang penyakitan. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia.

Survei Kesehatan Nasional 1998 - 1999 menunjukkan delapan juta balita Indonesia menderita kurang gizi. Pantas saja kalau kemudian posisi Human Development Index (HDI) versi UNDP kita rendah. Pada 2002 silam, dari 173 negara yang disurvei, Indonesia berada di urutan 110, tepat satu angka di bawah Vietnam.

***

Nurcholis Madjid, sempat terkejut ketika kampanye menjadi calon presiden ke daerah --dalam rangka konvensi Golkar-- ditanya soal gizi yang mereka nilai lebih penting ketimbang visi. Ternyata, gizi yang mereka maksud adalah gizi dalam tanda petik ('gizi').

Jadi 'gizi' itu bukan dalam artian sebenarnya yang merupakan nutrisi. 'Gizi' di sini adalah uang, makanya dengan tanda petik. Rupanya, mereka menanyakan, berapa uang yang disiapkan untuk membeli suara yang dimiliki. Mereka siap untuk membarter hak suara dengan segepok uang.

'Gizi' politik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Pada pemilihan Gubernur Bali misalnya, anggota DPRD dari PDI-P menjelang hari-H diberi 'gizi' Rp 50 juta per orang agar memilih calon drop-dropan dari DPP PDI-P. Di Batu, Malang, seorang yang ingin dicalonkan menjadi dirut PDAM setempat harus setor 'gizi' Rp 2 miliar ke anggota DPRD.

'Gizi' ternyata sangat penting dalam percaturan politik nasional. 'Gizi' juga menjadi sedemikian penting dalam memuluskan proyek di pemerintahan. 'Gizi' juga penting untuk meloloskan seorang terpidana berobat ke luar negeri, atau bisa juga menjadikan seorang terpidana tetap menjadi salah satu ketua lembaga tinggi negara.

***
Kekurangan gizi dalam pandangan ilmu kesehatan akan menyebabkan efek serius seperti: kegagalan pertumbuhan fisik, menurunnya perkembangan kecerdasan, dan menurunkan produktivitas. Selain itu juga menurunkan daya tahan terhadap penyakit sehingga mudah sakit dan memiliki tingkat risiko kematian tinggi.

Kekurangan 'gizi' bagi elit politik dan penyelenggara negara juga menyebabkan efek serius seperti: tidak percaya diri (pede) dan tak punya harga diri. Karena bagi mereka harga diri bukan diukur dari totalitas dalam membela rakyat dan negara. Mereka merasa harga diri diukur dari tebalnya dompet, dan baru pede kalau naik mobil mewah.

Ironis sekali, perjalanan bangsa besar ini ternyata ditentukan oleh 'gizi'. Siapa yang memiliki 'gizi' lebih dan bisa membagikan kepada para pemegang kunci di negara ini, maka dia dapat menyetir kemana bangsa ini akan diarahkan. Begitu besar peran 'gizi' dalam menentukan hidup kita.

***

Jutaan anak di Indonesia yang kekurangan gizi bukanlah jumlah sedikit. Mereka adalah anak-anak bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin negara besar ini. Jika gizi mereka terbengkelai, maka akan ada generasi yang hilang akibat rendahnya kecerdasan anak-anak itu.

Penghuni negeri ini membutuhkan gizi yang cukup, terutama anak-anak, agar kelak dihasilkan sumber daya manusia yang andal. Kita tidak membutuhkan 'gizi' yang hanya dinikmati segelintir orang. Pemberian 'gizi' berarti merampas hak anak-anak kita untuk mendapatkan gizi.

Gizi dan 'gizi' hanya beda dalam tanda petik, tetapi efeknya akan luar biasa buat negeri ini jika salah menempatkan.@

Resonansi 20 Agustus 2003

* Tulisan ini terinspirasi langkah Cak Nur yang mundur dari Konvensi Golkar karena tidak punya uang

Sabar dalam Kemiskinan

Anda puasa? Hampir pasti, ya! Kalau kebetulan Anda membaca tulisan ini di siang atau sore hari, rasa lapar tentu sudah mulai menyergap. Puasa memang lapar. Kalau tidak, berarti tidak normal, karena perut tidak terisi apapun seharian.

Tapi sesungguhnya puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Karena dengan puasa kita menjaga hawa nafsu agar tidak mengarah pada kejelekan, sekaligus menjaga hati dan amalan kita, mengontrol diri dari tindakan kemaksiatan dan kemungkaran.

Lapar adalah satu konsekuensi dari puasa. Dan setiap konsekuensi, selalu ada hikmahnya. Hikmah dari lapar adalah kita akan merasakan penderitaan orang lain. Mereka yang hidup miskin dan nyaris menahan lapar tiap hari itu ada di sekeliling kita, bahkan mungkin di sebelah tembok rumah kita.

Merasakan penderitaan orang lain sangat diperlukan bagi sebagian masyarakat Indonesia yang kian lama kian hedonis (hanya memikirkan kekayaan dan kesenangan semata). Apalagi jika kita melihat kenyataan bahwa ada puluhan juta orang yang harus mengais-ngais makanan untuk sekadar bertahan hidup.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dengan pendapatan per kapita 6,4 juta pertahun, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada 2001 tercatat 37,1 juta (18,4 persen penduduk Indonesia). Sebanyak 8,5 juta di perkotaan dan 28,6 juta di pedesaaan. Berapa batas kemiskinan? Rp 100.011 di perkotaan dan Rp 80.382 di pedesaan, untuk hidup sebulan.

Bisakah Anda bayangkan seseorang bisa hidup dengan uang Rp 100.000 sebulan di kota atau rata-rata Rp 3.300 per hari? Kalau mau dipaksakan makan tiga kali, itu hanya cukup makan Indomie di pagi, siang, dan malam hari. Tapi memasaknya harus di tetangga, karena dia tak mampu beli minyak, apalagi kompor. Makannya pun sambil telanjang, karena tak mampu beli baju.

Penderitaan penduduk miskin kian lengkap ketika beban hidup makin naik. Seolah tak peduli pada penderitaan mereka, pemerintah lewat tangan badan usaha yang dimilikinya menaikkan berbagai tarif, mulai dari telepon, listrik, sampai bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan itu otomatis mendongkrak harga kebutuhan pokok.

Tak heran kalau kemudian makin banyak orang di negara kita ini yang hanya makan sekali sehari. Itu pun tidak selalu nasi. Seperti yang kita saksikan di daerah kering di wilayah pesisir selatan, mereka sehari-hari hanya makan tiwul (singkong yang diolah). Lauk menjadi barang mewah, sekalipun hanya tahu dan tempe.

Hanya lewat puasa dengan penghayatan yang tinggi, kita bisa menyelami penderitaan orang miskin. Sedikit banyak kita akan merasakan betapa menderitanya puluhan juta orang miskin itu ketika harus menahan lapar tiap hari, tiap tahun, bahkan selama hidupnya.

Kita juga perlu berdoa agar para pejabat mampu menjalankan puasa dengan sebenar-benarnya agar mata, hati, dan pikiran mereka terbuka, untuk kemudian teringat bahwa kemiskinan ada di depan mata. Dengan begitu dalam mengemban jabatan, mereka tidak lagi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, melainkan selalu ingat untuk berpihak pada masyarakat miskin.

Selain merasakan penderitaan orang lain, puasa juga ajang melatih kesabaran. Kesabaran untuk selalu tabah dan tahan uji ketika menerima musibah, kesabaran untuk mampu mengendalikan diri, serta kesabaran untuk tidak mudah putus asa. Ibaratnya seorang petani mustahil berhasil memanen tanpa kesabaran menanam dan merawat tanamannya

Dalam konteks Indonesia maka kita harus bersabar menerima ujian atas berlarutnya aneka kekerasan yang menewaskan puluhan ribu orang, sabar untuk tidak menfitnah dan menuduh orang sembarangan, serta sabar dalam kemiskinan sembari terus mewujudkan cita-cita menjadikan Indonesia negara yang adil dan makmur.

Tak kalah pentingnya, kita harus sabar menerima kenyataan bahwa pemerintah tak mampu mengemban amanat untuk mensejahterakan rakyat. Kita harus sabar menerima kenyataan bahwa pemerintah telah menggadaikan harga diri kita dengan bertekuk lutut terhadap kekuatan asing, baik dalam hal ekonomi maupun politik.

Selamat menjalankan ibadah puasa. @

Resonansi 6 Nopember 2002

* Tulisan ini dibuat untuk menyambut bulan Ramadhan

Perikehewanan di Cancun

Forgea terlihat pucat. Terpancar dari wajah mungilnya sebuah ketakutan yang amat sangat. Baru sekali ini dia mengalami peristiwa yang sangat luar biasa: terperangkap di sebuah kapal tanker yang terbakar, dan terkatung-katung di tengah laut.

Kapal tanker dengan nama Insiko 107 tersebut terbakar pada 13 Maret 2002, dan terseret arus laut hingga 1.100 kilometar ke arah tenggara Hawaii. Untung ada kapal wisata sehingga semua awak kapal bisa diselamatkan. Tapi rupanya, si Forgea lewat dari penyelamatan itu.

Kemudian dilakukan operasi penyelamatan terhadap Forgea. Tapi perlu biaya besar untuk operasi tersebut. Maka dilakukanlah penggalangan dana oleh Kelompok Perhimpunan Kemanusaiaan Hawaii, yang akhirnya bisa mengumpulkan dana 50.000 dolar (Rp 430 juta).

Siapakah Forgea sampai-sampai banyak donatur yang merelakan dana ratusan juta untuk menyelamatkannya? Forgea adalah anjing jenis terrier campuran. Dia naik ke kapal bersama tuannya, tetapi tertinggal saat penyelamatan awak kapal.

Entah, apakah akhirnya anjing itu terselamatkan atau tidak. Kita hanya perlu tahu bahwa, ternyata untuk menyelamatkan seekor anjing, tak segan para donatur mengeluarkan hampir setengah miliar rupiah dari kantongnya.

***

Kemewahan bagi gorila adalah jika dia dapat makan dengan enak, dan makanan tersebut bisa diperoleh dengan mudah. Tentu, tersedia juga pohon-pohon yang rindang, sehingga dia bisa bergelantungan, bermain-main dengan anaknya.

Meski begitu toh ada orang kaya yang mewariskan Rp 6 miliar hartanya untuk membangun istana buat gorila. Di situ ada ruang tidur ber-AC, lantai keramik, hutan beserta kolam yang dibuat senatural mungkin, termasuk bukit-bukit cadasnya. Rumah berbentuk gua berkubah itu, berdiri megah di atas tanah seluas 6.000 meter persegi di Kebun Binatang Ragunan.

***
Ada sebuah keluarga di Jakarta yang memelihara anjing doberman. Biaya untuk memberi makan anjing tersebut dua kali lipat dari gaji yang diberikan kepada pembantunya. Pekerjaannya, anjing itu hanya lari pagi, istirahat, makan, tidur, dan menggonggong, sedangkan pembantu mengurusi kerjaan rumah dari pagi sampai malam.

***
Begitulah nasib hewan, terkadang mereka lebih diperhatikan dibanding manusia. Orang kaya, entah kenapa acap kali rela mengeluarkan dana jutaan, bahkan miliaran, untuk kepentingan hewan atau binatang, sementara untuk sesamanya terkesan enggan.

Kondisi seperti itu sebetulnya terjadi pada para petani di negara berkembang --sekalipun mungkin tak seorang pun merasakan. Di mana hewan ternak disubsidi oleh pemerintah negara maju hanya sekadar untuk menekan kehidupan petani di negara miskin.

Di Amerika Serikat misalnya, pemerintah memberikan subsidi dua dolar per hari untuk hewan peliharaan di sana. Hal serupa juga dilakukan di Uni Eropa, dengan nilai tak jauh beda. Subsidi itu diberikan mengingat hewan di sana tidak mampu bersaing dengan hewan luar negeri, sehingga petani dan peternak di sana perlu disuntik dana gratis.

Besarkah nilai subsidi tersebut? Relatif. Tapi yang jelas subsidi untuk hewan itu besarnya dua kali lipat pendapatan penduduk miskin di negara berkembang, yang oleh lembaga internasional dipatok satu dolar per hari.

Indonesia dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Cancun, Maksiko pekan silam berusaha agar subsidi pada hewan dan subsidi lain di negara maju bisa dihapus. Alasannya, subsidi tersebut mematikan kehidupan petani di Indonesia maupun negara miskin lain.

Indonesia yang didukung 32 negara berkembang, bertarung dengan negara maju yang tergabung dalam Organisasi Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang mengalokasikan 350 miliar dolar untuk mensubsidi petaninya (di antaranya Amerika Serikat 90 miliar dolar, Uni Eropa 112,6 miliar dolar, dan Jepang 55,7 miliar dolar). Tapi rupanya usaha itu gagal.

Negara maju tak peduli dengan nasib petani di negara berkembang yang kian lama kian miskin. Mereka lebih suka mensubsidi sapi, domba, atau hewan lainnya, ketimbang memberi peluang bagi sesamanya untuk mengecap kehidupan yang lebih baik.

Orang-orang kaya terkadang memang lebih sayang kepada binatang ketimbang sesama manusia. Cancun juga membuktikan bahwa negara kaya dalam satu item memiliki perikehewanan yang lebih tinggi ketimbang perikemanusiaan.@

Resonansi 17 September 2003

* Ketidakadilan ekonomi barat dan dunia ketiga menjadi inspirasi munculnya tulisan ini

Memperalat Kemiskinan

Kenapa Megawati menyetujui kenaikan bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan telepon? Bukankah kebijakan itu bertentangan dengan slogan partai wong cilik-nya, sehingga semestinya orang miskin harus dientaskan?

Logikanya seperti itu. Tapi Mega tidak. Dia menggunakan logika terbalik ketika merilis kebijakan tersebut.

Begini logikanya. Taruhlah jumlah orang miskin alias wong cilik sekarang 35 juta. Mereka inilah yang menjadi basis massa dari partainya Megawati. Nah, jika BBM, listrik, dan telepon naik, maka harga-harga akan membumbung tinggi. Akibatnya jumlah rakyat miskin akan meningkat.

Sebut saja, akibat kenaikan harga tersebut jumlah orang miskin bertambah 10 juta orang. Dengan begitu, secara dengan hitungan anak SD saja sudah ketahuan bahwa jumlah wong cilik menjadi 45 juta. Itu artinya, secara otomatis massa pendukung Mega menjadi lebih banyak.

Buat Anda pengagum Megawati, cerita tersebut jangan dimasukkan hati. Itu cuma joke yang beredar di berberapa milis di internet. Sekalipun ada juga yang sok menganggap bahwa itu bukan joke, tapi memang strategi serius yang coba dikomunikasikan lewat joke, sehingga terkesan main-main.

Namun sebetulnya inti dari cerita tersebut bukanlah pada kebijakan Megawati, melainkan bahwa betapa orang miskin acap kali menjadi ajang permainan orang-orang di atas. Orang miskin sering ditempatkan sebagai objek untuk memperkaya diri dan kepentingan politik.

Kita lihat operasi beras untuk rakyat miskin (raskin). Dalam program itu, pemerintah menyediakan 2,3 juta ton beras untuk dibagikan kepada 9,7 juta kepala keluarga (KK) prasejahtera di seluruh Indonesia. Mekanismenya, beras yang di pasaran berharga Rp 2.700 per kg, dijual Rp 1.000 per kg. Maksimal pembelian per kk per bulan 20 kg.

Tapi sebagaimana biasa, program mulia tersebut sebagian kandas di tengah jalan. Di beberapa tempat sudah diketahui ada kecurangan dalam pembagian raskin. Ada yang disunat, ada yang harganya dinaikkan, dan lain-lain.

Di Cikatomas, Tasikmalaya, Jawa Barat misalnya, dua orang staf kecamatan menyelewengkan 21 ton raskin dengan menjual ke pedagang seharga Rp 1.300 per kg. Semestinya beras tersebut diberkan kepada 1.076 keluarga miskin di wilayah itu. Tak pelak ratusan warga menyerbu kantor kecamatan untuk meminta haknya.

Kemudian di salah satu kelurahan di Balikpapan, Kalimantan Timur, koperasi yang bertugas mendistribusikan, memungut tambahan biaya Rp 300 per kg. Selain itu, mereka juga menurunkan jumlah timbangan yang seharusnya 20 kg, dikurangi menjadi 19 kg.

Di Jakarta sendiri, beberapa wilayah harus membayar Rp 1.300 per kg, dengan alasan untuk biaya transportasi. Itu pun kualitas berasnya sangat rendah yang dicirikan dengan bau apek, banyak kutu, dan kotor. Mereka terpaksa menjual kembali sebagian raskin untuk ditukarkan beras normal. Selanjutnya kedua beras itu dicampur agar layak dimakan.

Dalam hal lain, kita juga ingat beberapa waktu lalu, ketika awal Jaring Pengaman Sosial (JPS) diluncurkan. Pada tahun anggaran 1998/1999 misalnya ditengerai terjadi penyimpangan Rp 6 triliun. Salah satunya adalah JPS senilai Rp 40 miliar yang disalahgunakan untuk kepentingan partai. Penyelewengan itu terbukti dengan dijatuhkannya vonis tiga tahun penjara bagi pelaku.

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus tersebut? Adalah bahwa kemiskinan tidak mungkin terhapus dari bumi Indonesia. Karena, terlalu banyak penguasa yang mampu memperalat kemiskinan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kemiskinan menjadi ladang untuk memperkaya diri.

Selagi mental seperti itu masih melekat di penguasa, jangan berharap kemiskinan akan pergi dari sekeliling kita. Untuk itu, jangan pula berharap adanya kestabilan sosial, karena tidak ada sejarahnya kondisi sosial akan stabil manakala kesenjangan kaya miskin makin menganga dan jumlah rakyat miskin makin membengkak.@

Resonansi 29 Januari 2003

* Tulisan ini terinspirasi oleh adanya penyelewengan beras untuk rakyat miskin oleh pegawai negeri

Masyarakat Kapiran

Ada sebuah berita yang tidak terlalu menonjol tapi sangat menyentuh hati.

Tersebutlah seorang anak bernama Siti Zubaidah (1,5 tahun), tinggal bersama kedua orangtuanya di Mataram, Lombok. Semalaman dia menangis. Tetangga yang mendengarnya menganggap tangisan itu sebagai rewel biasa, sebagaimana anak kecil.

Paginya, para tetangga itu menjadi termangu. Rupanya tangisan semalam adalah tangis terakhir dari bocah kecil perempuan tersebut. Balita itu meninggal. Dia mati kelaparan. Tangis yang terdengar parau semalaman itu adalah tangis ekspresi kelaparan.

Kasus Zubaidah bukan yang pertama kali. Sebelumnya seorang balita di Bekasi juga harus menghadap yang kuasa dengan penyebab sama: kelaparan. Mungkin masih banyak lagi bocah yang mengalami nasib serupa yang tak terpublikasi, mengingat sejak krisis ekonomi, jumlah rakyat miskin tumbuh berlipat-lipat.

Kelaparan seperti kata Amartya Sen --salah seorang peraih nobel ekonomi yang banyak berkutat di kubangan kemiskinan-- disebabkan oleh kemiskinan yang akut. Tapi bisa juga dipicu oleh kejadian hebat lain yang untuk kasus kita saat ini adalah musibah banjir.

Banjir telah makin memiskinkan sebagian besar masyarakat yang menjadi korban. Bahkan sebagian sudah dilanda kekurangan pangan karena bantuan tidak segera tiba sementara mereka tidak punya tabungan apapun untuk dijadikan makanan.

Kemiskinan sendiri memang sudah akrab dengan kita. Ketika Orde Baru berkuasa, jumlah orang miskin tidak mengalami penurunan secara signifikan sekalipun kita mencetak pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Seiring dengan runtuhnya orde otoriter yang dibarengi dengan
krisis ekonomi, jumlah orang miskin melejit menjadi 80 juta.

Dalam terminologi yang disodorkan oleh Amartya Sen, pada saat ekonomi membaik, keberuntungan dinikmati semua orang, tapi begitu merosot hanya sekelompok masyarakat yang merasakan. Dan kelompok itu adalah rakyat miskin. Logikanya, semakin banyak rakyat miskin, maka terbuka kemungkinan untuk terjadinya kelaparan massal.

Di India, negara di mana Sen dilahirkan, pernah terjadi bencana kelaparan yang merenggut tiga juta nyawa. Cina lebih dahsyat lagi. Di sana pernah tercatat rekor dengan 30 juta orang tewas akibat kelaparan lantaran kegagalan program 'Lompatan Jauh ke Depan', 1958-1961.

Teori mengatakan bahwa kemiskinan merupakan produk ketidakadilan, khususnya di keadilan ekonomi. Dalam skala global, ketidakadilan dihadirkan lewat atribut perdagangan bebas yang secara signifikan makin meminggirkan negara dunia ketiga. Negara-negara kaya memetik keuntungan, sementara negara miskin menuai petaka.

Begitu pula dalam skala nasional di negara kita. Kapitalisme yang selama ini kita anut, telah memberi peluang pada yang besar untuk memberangus yang kecil. Akibatnya peluang untuk membangkitkan peluang usaha bagi masyarakat kecil menyempit, sehingga pengangguran meningkat. Kita tahu, pengangguran sangat dekat dengan kemiskinan.

Kasus kematian Zubaidah memang terlalu jauh untuk dikaitkan dengan masalah keadilan ekonomi. Kematian balita ini 'hanyalah' kasus kematian di sebuah desa yang letaknya jauh dari ingar bingar wacana keadilan ekonomi yang acap bergema di Jakarta.

Tapi jika ternyata banyak kita temukan kasus Zubaidah-Zubaidah yang lain, maka tak salah jika mengkaitkannya dengan keadilan ekonomi --yang tak lain merupakan bentuk kebijakan pemerintah. Karena jika kebijakannya benar, maka hampir tak mungkin kita temui anak-anak mati kelaparan di negeri yang kaya akan sumber alam.

Kebijakan yang dirilis oleh Orde Baru terlanjur menciptakan masyarakat kapiran, masyarakat yang miskin tak terurus. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintahan Megawati untuk mengurangi masyarakat tak terurus itu tanpa harus mengeluhkan kebijakan masa lalu dan tanpa perlu mengucapkan keranjang sampah di depan rakyat.@

Resonansi 13 Februari 2002

*Kematian seorang balita karena kekurangan gizi mulai banyak ditemukan pada saat tulisan ini diterbitkan.

Jangan jadi Petani

Pada 1980-an awal, seorang petani dengan lahan satu hektar bisa menghasilkan panen 5-6 ton gabah. Jika dirupiahkan, maka dia akan mendapatkan uang sekitar Rp 1,8 juta.

Sekarang, pada 2002 ini dengan hasil panen yang sama petani bisa memperoleh sekitar Rp 6,6 juta, dengan harga gabah kering Rp 1.100 per kg (sebetulnya pemerintah menetapkan harga gabah 1.519 per kg, tapi hanya mimpi saja yang bisa mencapai harga itu).

Kelihatannya lonjakan pendapatan 3,6 kali lipat itu menyenangkan. Tapi apakah semenyenangkan itu kenyataannya? Jawabnya: tidak. Karena, kebutuhan hidup juga meningkat pesat, bahkan jauh melebihi kenaikan pendapatan petani.

Kita coba bandingkan secara sederhana. Pada awal 1980-an, panenan satu hektar bisa untuk membeli motor Honda Bebek, bahkan masih tersisa, karena harganya berkisar Rp 1,2 juta. Kini panenan yang sama tidak cukup membeli Honda Bebek yang levelnya paling murah sekalipun.

Dalam wacana ilmiah, merosotnya kehidupan petani tersebut dicerminkan pada indeks Nilai Tukar Petani (INTP). Yaitu, perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan Indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase.

INTP menyatakan tingkat kemampuan tukar atas produk yang dihasilkan petani terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian. Nilai impasnya 100. Jika kurang berarti petani tekor, jika lebih berarti pendapatan dari pertanian bisa untuk hidup.

Mengambil tahun dasar 1993, indeks INTP pada 2000 dan 2001, selalu dibawah 100, yaitu berkisar 91,4 sampai 96,7. Hanya daerah yang menghasilkan cengkih dan coklat seperti di Sulawesi yang cukup beruntung, karena harganya melonjak akibat menguatnya dolar. Indeks nilai tukar mereka mampu menembus 200.

Kesenjangan hidup petani dengan nonpetani pun makin membesar. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 1985 pendapatan rumah tangga (RT) buruh tani Rp 247.400 pertahun, sedangkan RT nonpertanian golongan atas di kota Rp 906.600. Pada 1999, buruh tani naik menjadi Rp 1,63 juta, sementara nonpertanian melejit ke Rp 9,31 juta.

Celakanya, terpuruknya sektor pertanian ini secara tersirat justru membanggakan pemerintah. Karena dengan merosotnya nilai jual pertanian, inflasi menjadi rendah, bahkan deflasi. Inflasi rendah ini akan dibawa-bawa pemerintah sebagai salah satu keberhasilan pengendalian harga.

Kita lihat pada April silam terjadi deflasi 0,24 persen lantaran harga kelompok bahan makanan turun, terutama beras. Sebaliknya kelompok lain terjadi kenaikan, seperti jasa, properti, dll. Akibatnya daya beli petani terpuruk karena pendapatan turun sedangkan biaya hidup naik. Dan indeks nilai tukar pun makin terjungkal.

Memang tidak mudah serta merta menaikkan harga beli gabah sebagaimana diusulkan DPR Februari silam menjadi Rp 2.000 per kg. Pasalnya, harga beras internasional sedang turun, sementara bea masuknya rendah. Sehingga jika dipaksakan beras impor yang akan merajai.

Namun jika dibiarkan, nasib petani juga buntung. Subsidi jadi pilihan. Jepang, Eropa, dan banyak negara masih mensubsidi dan memproteksi produk pertanian mereka. Bahkan Amerika kabarnya sedang menyusun farm bill untuk membantu petani selama 10 tahun dengan anggaran 100 miliar dolar per tahun.

Semua negara memang memerlukan ketahanan dan cadangan pangan yang kuat. Karena sewaktu-waktu terpaksa harus perang dengan negara lain, kita punya logistik yang memadai. Dan itu tidak bisa mengandalkan impor. Itulah kenapa negara besar kaya, tetap mempertahankan pertanian sekalipun harus memberi subsidi besar.

Apakah pemerintah menyadarinya? Entah. Yang jelas, saat ini kita masih mengandalkan beras impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sementara ada 22,5 juta keluarga yang mengandalkan hidup dari pertanian, dan sebagian besar hidup miskin. Karena itu janganlah jadi petani selama pemerintah masih tidak peduli pada pertanian.@

Resonansi 08 Mei 2002

* Tulisan ini muncul ketika diperoleh data bahwa nilai tukar petani nyaris tidak pernah beranjak naik

Good Old Days

Lambat laun makin banyak bermunculan kerinduan masyarakat, terutama rakyat kecil, terhadap suasana dulu, sebelum reformasi. Kerinduan itu terus terpupuk ketika kehidupan mereka tidak juga beringsut dari kemiskinan. Bahkan malah bertambah miskin.

Sebetulnya bukan cuma masalah kebutuhan hidup yang memupuk kerinduan itu. Tapi kondisi secara keseluruhan juga telah menjadi tempat persemaian yang sempurna bagi kejengkelan masyarakat. Mulai dari kacaunya infrastruktur, makin banyaknya pengangguran dan PHK, kerusuhan di berbagai tempat, sampai korupsi.

Secara kasat mata, kita bisa lihat bagaimana infrastuktur yang ada saat ini jauh lebih buruk dibanding masa lalu. Lobang jalan kian menganga, tarif listrik naik terus tapi frekuensi byar-pet makin tinggi, air minum mati-nyala tidak beraturan, saluran irigasi banyak jebol sehingga petani tak bisa bercocok tanam, dll.

Pengangguran juga makin meningkat, apalagi beberapa perusahaan melakukan PHK karena iklim berusaha di sini tidak kondusif. Melimpahnya pengangguran sekaligus menjadi salah satu pemicu maraknya kerusuhan di berbagai wilayah yang memakan korban nyawa, sehingga menjadikan harga nyawa demikian murah.

Kemudian dari sisi korupsi, terlihat makin merajalela, termasuk korupsi legal hasil kolaborasi eksekutif dan legislatif. Berbagai penelitian lembaga di luar negeri, menunjukkan bahwa korupsi dimasa demokrasi ini justru makin parah. Para elit yang dulu teriak antikorupsi kini justru lebih rakus dan lebih tak tahu malu.

Dengan kondisi tersebut, wajar kalau ada sebagaian masyarakat yang kemudian beromantisme dengan masa-masa Orde Baru. Ketika memori mereka melanglang ke masa lalu, maka yang dikenang hanyalah yang indah-indah. Harga barang pokok rendah, tarif listrik rendah, BBM juga relatif terjangkau, dll.

Meromantiskan masa lalu ini umum terjadi di dunia manapun. Jennifer James dalam bukunya ‘Thinking in the Future Tense’ menuliskan bahwa memang ada kecenderungan pada manusia untuk mengagungkan dan meromantiskan masa lalu. Cukup setitik kelebihan masa lalu dibandingkan dengan masa sekarang, sudah menjelma menjadi kerinduan.

Dalam literatur perilaku, gejala semacam itu dikenal dengan sebutan good old days: suatu periode yang indah di masa lalu. Sekalipun sebetulnya kenyataan masa lalu tidak seindah yang diromantiskan, dan tak lepas dari kecacatan. Tapi kebobrokan yang ada saat ini seolah telah menyublim cacat-cacat masa lalu.

Ketika good old days makin menjangkiti masyarakat, berarti sudah terlampau banyak keteraniayaan yang dirasakan masyarakat oleh pemerintah di masa sekarang. Ini adalah pertanda bahwa secara keseluruhan apa yang terjadi pada masa demokrasi ini tidak sesuai dengan harapan rakyat.

Proses demokratisasi di Indonesia, jika dikaitkan dengan apa yang ditulis ahli perang Cina, Tsun Tzu, adalah: menang dalam beberapa pertempuran tapi kalah dalam peperangan.

Pertempuran yang dimenangkan misalnya terpilihnya pemimpin secara demokratis, bebas mengkritik dan berbeda pendapat dengan siapa saja, tak ada pemberangusan media massa dan bahkan siapapun bisa bikin koran tanpa perlu ijin. Begitu pula tahanan politik sudah tidak ada lagi.

Tapi kemenangan pertempuran itu menjadi sirna manakala tidak ditemukan aparat yang bersih, hukum yang tak adil, dll. Dan ujung dari seluruh upaya demokrasi adalah kesejahteraan rakyat. Kenyataannya, dalam pemerintahan demokratis ini rakyat bukannya makin sejahtera, tapi malah makin miskin. Demokrasi kita telah kalah.

Konsekuensi dari kegagalan demokrasi itu adalah nama Soeharto mulai rebound. Dengan berbagai alasan, Presiden Soekarno butuh waktu 25 tahunan untuk me-rebound namanya, sedangkan Soeharto rupanya cukup lima tahun untuk rebound.

Siapa yang bertanggung jawab atas menggejalanya good old days ini? Pemerintah dan para elit politik yang terpilih tentu saja. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka telah berbuat sesuatu yang memenjarakan demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.@

Resonansi 25 September 2002

* Artikel ini ditulis setelah mulai banyak terdengar keluhan bahwa masa pemerintahan Orde Baru lebih baik dari pemerintahan sekarang

Demokrasi kok masih Miskin

Per Juni kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 38,39 juta atau 19 persen penduduk miskin di Indonesia. Jadi seandainya Anda melihat ada sekumpulan yang terdiri atas enam orang, maka satu di antaranya hidup di kubangan kemiskinan.

Berapa batas miskin? Paling simpel jika dikaitkan ke dolar. Jutaan orang miskin tersebut, hidup dengan pendapatan di bawah satu dolar (sekitar Rp 8.400) per hari. Uang sebesar itu harus cukup untuk makan, pakaian, dan tempat tinggal.

Belakangan ini, sejak reformasi digulirkan dan terselenggaranya pemilu 1999, kita didaulat menjadi negara yang demokratis. Dan kita bangga dikatakan masyarakat dunia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat.

Tetapi apa arti kebanggaan itu jika masyarakat tidak menikmati secara konkret berupa naiknya kesejahteraan. Apa arti demokrasi jika pemerintah semena-mena menaikkan harga. Apa artinya demokrasi jika kehidupan masyarakat justru bertambah miskin.

Jangan-jangan negara seperti kita ini membutuhkan pemimpin yang otoriter untuk bisa membangkitkan keterpurukan bangsa. Dengan catatan, pemimpin itu lurus, tidak gila uang, dan memiliki visi yang jelas kemana bangsa ini dibawa.

Negara Barat, khususnya Amerika memang terbangun oleh kekuatan demokrasi. Mereka menjadi negara kaya dan super power karena mereka menerapkan prinsip-prinsip demokrasi --meski dalam kebijakan luar negerinya mereka lebih sering antidemokrasi.

Tetapi kasus negara di Asia lain. Negara yang perekonomiannya maju, tidak dibangun dari demokrasi, melainkan karena adanya pemimpin yang kuat yang cenderung otoriter. Mereka membangun negara dengan 'tangan besi'.

Kita ambil contoh Jepang. Dasar-dasar kebangkitan mereka diletakkan satu setengah abad silam ketika dilakukan Restorasi Meiji (1858). Saat itu jelas bahwa Jepang belumlah berdiri sebagai negara demokrasi sebagaimana saat ini.

Korea juga begitu. Park Chung Hae yang menjadi peletak dasar perekonomian Korea adalah seorang otoriter. Dia membangun Korea tanpa kompromi. Lawan-lawan politik dihabisi. Tapi imbalannya, Korea disulap dari negara miskin dengan pendapatan per kapita 100 dolar pada 1960-an, kini menjadi negara makmur dengan pendapatan per kapita 10.000 dolar per tahun.

Tak ketinggalan Singapura dan Malaysia. Pemerintahan kedua negara sampai kini masih otoriter. Tetapi, lagi-lagi, perekonomian mereka maju. Pendapatan per kapita Singapura kini 23.000 dolar, sedang Malaysia 3.900 dolar. Cina dengan pemerintahan yang otoriter juga segera menjadi negara digdaya ekonomi.

Sebaliknya, India yang sejak dulu sudah melaksanakan demokrasi tetap menjadi negara miskin dengan pendapatan per kapita hanya sekitar 1.000 dolar. Begitu pula Filipina. Negara yang meniru demokrasi Amerika itu, pendapatan per kapita 1.100 dolar dan 35 persen penduduknya masih miskin.

Soeharto barangkali hampir serupa dengan Park Chung Hae yang tewas dibunuh pada 1979. Pada awal kepemimpinan Soeharto, sekalipun otoriter, tapi masih bersih. Sayang, dia terlalu lama berkuasa sehingga belepotan oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akibatnya, bukan seperti Korea yang terjadi, Indonesia justru makin carut marut.

Kini, dengan iklim yang sangat demokratis, ternyata tidak ada kemajuan yang dirasakan masyarakat. Hidup masih susah. Kemiskinan meningkat. KKN makin merata dan makin membabibuta, tanpa malu-malu.

Apakah berarti kita harus mundur dengan memilih pemimpin yang otoriter? Tentu saja tidak. Karena pada dasarnya demokrasi membebaskan orang untuk berkreasi, dan ekonomi akan tumbuh dengan adanya kreasi-kreasi yang teruji.

Hanya saja ada persyaratan agar iklim demokratis tetap bisa meningkatkan kesejahteraan. Syarat itu, sebagaimana ditulis Amartya Sen dalam buku "Demokrasi 'Tidak' bisa Memberantas Kemiskinan" di antaranya: Penguasa memiliki dorongan untuk mendengar apa yang diinginkan rakyat jika mereka diharuskan menghadapi kritik rakyat.

Selama ini para pemimpin buta terhadap kritikan rakyat. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Para elit itulah sejatinya yang mencoreng muka demokrasi. Mereka harus bertanggungjawab terhadap persepsi rakyat bahwa demokrasi tak mampu memberantas kemiskinan.@

Resonansi 30 Juli 2003

* Data terbaru mengenai jumlah kemiskinan yang tak kunjung menyurut menjadi tema tulisan
ini

Miskin Bersama

Kota budaya, Yogyakarta, Oktober ini akan menjadi tempat sidang CGI (Consultative Group for Indonesia). Di situ pemerintah akan mengajukan pinjaman sebesar 2,6 miliar dolar (Rp 24 triliun) untuk menambal defisit anggaran belanja 2003. Dan sebagaimana biasanya, menjelang sidang CGI wacana mengenai utang merebak di media massa.

Pertanyaan yang biasanya muncul adalah seberapa perlu kita berutang kepada asing? Karena kenyataannya, setelah lebih dari 34 tahun kita menarik utang dengan jumlah lebih dari seratus miliar dolar, tetap saja jadi negara miskin. Puluhan juta rakyat masih berpikir hari ini bisa makan apa tidak.

Tahun lalu, ketika CGI memberi lampu hijau untuk memberikan pinjaman 3,14 miliar dolar, Kwik Kian Gie mengaku tidak bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak dikorupsi. Aneh memang. Tapi begitulah kenyataannya. Dan barang kali tiadanya jaminan itu juga akan berlaku juga pada pinjaman untunk tahun 2003.

Bahwa pinjaman asing, terlebih dari Bank Dunia itu dikorup bukanlah berita baru. Jeffrey A Winters, seorang Indonesianis yang sempat terkena kasus pelecehan seksual di kota penyelenggara CGI 2002 itu pernah menulis artikel mengenai korupsi di bank dunia di Far Eastern Economic Review edisi Februari 1997.

Dalam tulisan berjudul 'Down with the World Bank' itu dia mengatakan kalau kiprah Bank Dunia banyak menuai kegagalan. Data yang tersaji pada 1992 menunjukkan bahwa 1.800 proyek di 113 negara, 37,5 persen gagal! Salah satu faktor penyebabnya, korupsi di lembaga itu. Setidaknya, mereka membiarkan adanya korupsi di negara pengutang.

Khusus mengenai Indonesia, Business Week edisi April 2001, memetakan adanya the good dan the bad. The good-nya adalah Bank Dunia membantu pembangunan jalan, jaringan listrik, jaringan telepon, dan secara dramatis mengurangi kemiskinan. The bad-nya adalah 30 persen dana menguap karena proyek yang dikorup.

''Korupsi dalam proyek lokal Bank Dunia begitu sistematis dan tertutup rapi sehingga tidak mudah untuk mengungkapkannya,'' begitu pengakuan Mark Baird, direktur Bank Dunia untuk Indonesia.

Terhitung sejak 1967, ada 250 proyek dibiayai Bank Dunia dengan total dana 25 miliar dolar. Jika 30 persen dikorupsi, berarti 7,5 miliar dolar (Rp 70 triliun) telah mengalir ke kantong pejabat Indonesia dan Bank Dunia.

Celakanya, yang harus terseok menanggung derita atas utang yang sekarang mencapai 73 miliar dolar AS adalah rakyat jelata. Alokasi dana untuk peningkatan taraf hidup mereka menjadi prioritas nomor sekian, di bawah alokasi dana bayar utang. Jumlahnya pun jauh dibawah, untuk bayar cicilan dan bunga utang asing Rp 59,4 triliun, sedang dana kemiskinan tak sampai Rp 10 triliun.

Tak semestinya rakyat yang harus sengsara akibat kebijakan utang tersebut. Ini bukan kesalahan kolektif sebagaimana yang sering dilontarkan banyak orang. Rakyat di bawah tidak ikut bersalah dalam keterpurukan bangsa ini, karena itu mereka tak berhak untuk menanggung beban negara.

Karena itu yang dibutuhkan negara ini bukannya utang baru lewat CGI atau apapun namanya, melainkan pemotongan utang (hair cut). Dengan langkah itu, anggaran untuk pembayaran utang bisa dialihkan untuk menghapus kemiskinan. Lagi pula bagaimana bisa masuk akal kalau utang yang ditarik cuma Rp 25 triliun sedangkan utang luar negeri yang harus dibayar Rp 59,4 triliun.

Ada kekhawatiran bahwa langkah pemotongan utang akan menyurutkan asing untuk investasi ke Indonesia, bisa jadi benar. Tapi tanpa itu pun, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama setahun terakhir investasi asing 'nol'. Kalaupun investor asing ngambek, mereka juga tak akan lama. Indonesia terlalu eksotis untuk didelete dari daftar investasi mereka.

Masalahnya, berani tidak pemerintah mengajukan hair cut, dengan menanggung konsekuensi jangka pendek yang memang cukup berat. Kalau saja para penyelenggara 'berani miskin bersama', potong utang bukan mustahil. Masalahnya, bapak-bapak di atas tidak mau diajak miskin. Maunya, mereka tetap kaya, sedang rakyat boleh tetap miskin.@

Resonansi 9 Oktober 2002

* Tulisan ini dibuat saat CGI melakukan sidang di Yogyakarta

Tanpa Terobosan

Seperti sudah diduga, tidak ada yang mengejutkan dalam Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan anggota DPR. Persentase alokasi anggaran untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Bahkan untuk target perekonomian sepertinya tak menyiratkan optimisme.

Total anggaran pendapatan memang mencatat rekor baru dengan menembus seribu triliun atau tepatnya Rp 1.022 triliun. Tapi defisit tetap masih ada Rp 99,6 triliun, karena belanja masih lebih besar. Sementara subsidi dianggarkan Rp 227,2 triliun, yang sebagian besar habis untuk subsidi BBM senilai Rp 101,4 triliun dan listrik yang Rp 60 triliun.

Barangkali yang baru adalah bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan sudah mencapai 20 persen sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD. Tapi itu pun setelah sedikit direkayasa dengan memasukkan anggaran operasional untuk guru seperti gaji misalnya, sebagai bagian dari anggaran pendidikan.

Kemudian yang menggembirakan bagi sebagian masyarakat adalah naiknya gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan pensiunan sebesar 15 persen. Dengan begitu gaji terendah PNS nantinya Rp 1,72 juta. Semestinya kenaikan gaji tersebut juga disertai peningkatan kinerja PNS yang masih rendah, dan juga mengikis segala bentuk pungli dan korupsi.

Dari sisi ekonomi, target yang ditetapkan hanya moderat. Kita lihat pertumbuhan ekonomi dipatok 6,2 persen tahun depan, kemudian pertumbuhan investasi 12,1 persen. Dari situ nantinya produk domestik Bruto (PDB) total menjadi Rp 5.200 triliun sampai Rp 5.300 triliun. Tidak ada yang mengejutkan, datar-datar saja.

Semestinya, dalam kondisi bangsa yang sedang menuju kebangkitan seperti sekarang ini, tidak bisa diatasi dengan cara datar. Harus ada optimisme yang besar yang nantinya melandasi kebijakan yang lebih berani dan terukur. Harus ada keberanian membuat terobosan. Target rendah seperti itu juga tak memicu kita untuk kerja keras.

Padahal, bekal untuk optimis itu sedikitnya sudah terukir di pertumbuhan ekonomi 2008 semester pertama yang 6,38 persen. Di tengah resesi dunia dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pertumbuhan tersebut cukup menggembirakan dan menjadi modal besar untuk pertumbuhan di masa berikutnya.

Lagi pula, jika hanya dipatok 6,2 persen, bagaimana bisa mengurangi penganguran dan kemiskinan secara signifikan? Saat ini saja pengangguran yang terserap masih terbatas, karena pertumbuhan ekonomi banyak disokong oleh industri padat modal. Kalau pada masa lalu setiap satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja, kini hanya 200 ribu. Jadi selain target tinggi, kualitas pertumbuhan juga ditingkatkan.

Bahwa kemiskinan dan pengangguran sudah berkurang pada pemerintah sekarang, itu betul. Tapi pertanyaananya adalah apakah pengurangan itu sudah cukup. Apalagi di tengah kemiskinan yang masih membelit rakyat, ada segelintir orang yang kekayaannya makin bertambah dengan pesat. Ada ketidakseimbangan dalam pembagian kue pertumbuhan.

Ke depan, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, perekonomian kita juga harus merdeka, harus bebas dari intervensi. Untuk itu, perekonomian kita harus maju dengan pertumbuhan yang tinggi disertai pemerataan yang memadai. Negara yang perekonomiannya kuat akan menjadi negara yang disegani.

Dengan pemerintah yang memiliki visi kuat dan menjalankan prinsip good governance, kita bisa menjadi besar dan disegani. Apalagi kita memiliki sumber daya yang melimpah. Tapi kita memerlukan akselerasi untuk segera mewujudkannya. Akselerasi ini perlu terobosan. Sayang, terobosan ini yang tidak terlihat dalam pidato presiden.

Dimuat di tajuk Republika edisi 16 Agustus 2008

Monday, August 11, 2008

Baju Koruptor

Hotel prodeo rupanya tidak menjadi efek jera bagi para koruptor. Apalagi sebagian besar koruptor hanya divonis ringan, setidaknya dibandingkan dengan kejahatan yang telah dia perbuat. Hanya beberapa tahun di penjara, mereka keluar dan bebas melakukan aktivitas. Terkadang malah disambut bak pahlawan.

Bahkan yang ironis, bupati Kendal yang sudah divonis pun, sampai saat ini masih berposisi sebagai bupati non aktif. Dengan begitu, gaji dan berbagai fasilitas lain sebagai bupati masih dia nikmati. Bagaimana mungkin seorang yang sudah divonis karena korupsi masih saja digaji oleh negara. Dimana efek jeranya?

Efek jera sepertinya hanya angan-angan saja. Hukuman penjara, tidak mempan untuk memberikan efek jera. Untuk itu perlu dipikirkan lagi, hukuman apa yang bisa menjadi efek jera bagi pra koruptor tersebut. Usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar para koruptor tersebut diberi baju khusus sangat menarik.

Pemakaian baju khusus koruptor adalah strategi membuat efek jera lewat cara mempermalukan koruptor. Setelah hukuman badan dan denda tidak mempan, maka hukuman berupa mempermalukan ini bisa jadi lebih efektif memberikan efek jera. Bagaimana desain baju, tidak jadi persoalan yang penting baju itu sudah bisa menandakan bahwa pemakai adalah koruptor.

Memang masih terjadi pro-kontra terhadap usulan ini. Bagi yang setuju, pemakaian baju khusus ini akan mempermalukan para koruptor. Bukan hanya dia yang akan malu, tapi juga keluarganya. Membuat malu keluarga adalah aib. Karena itulah diharapkan bisa memberikan efek jera bagi koruptor dan calon koruptor.

Bagi yang tidak setuju menganggap bahwa ketika kasus tersebut disidang, koruptor tersebut belum tentu bersalah. Kejaksaan Agung termasuk pihak yang tidak setuju. Tidak ada alasan yang jelas, kecuali bahwa persidangan harus dihargai dengan memakai pakaian yang pantas. Atau barangkali mereka takut banyak aparatnya yang kelak berganti seragam.

Masalahnya, sekarang ini korupsi sudah menjadi musuh masyarakat, istilah seorang pakar hukum, korupsi sudah begitu endemik, merajalela, sehingga perlu suatu jalan pamungkas untuk menimbulkan efek jera yang lebih ampuh. Dalam kondisi seperti itulah baju khusus koruptor menjadi terobosan pamungkas.

Lagi pula beberapa negara di dunia sudah memberlakukan hal ini. Di Korea Selatan misalnya, ketika dua mantan presiden, Roh Tae Woo dan Chun Doo-Hwan didakwa terlibat korupsi, saat persidangan mereka memakai baju tahanan. Mereka tidak datang ke persidangan dengan perlente, berdasi, berjas, tapi memakai baju tahanan.

Pada intinya, pemberian baju khusus koruptor tersebut adalah memberikan efek jera kepada koruptor. Sehingga jika saja para koruptor itu dihukum berat sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan, dan mampu memberikan efek jera, barangkali tak perlu lagi baju khusus koruptor. Tapi jika saja vonis kepada koruptor masih saja ringan, baju koruptor menjadi wajib.

Sekali lagi, ini demi efek jera yang pada ujung-ujungny adalah demi pemberantasan korupsi. Kita tidak akan mempermalukan orang yang tidak layak dipermalukan. Tapi kita mempermalukan orang yang sangat layak dibuat malu, yaitu koruptor.

Dimuat di tajuk Republika edisi 11 Agustus 2008

Wednesday, August 6, 2008

Jangan Pandang Bulu

Negeri ini sudah terlalu dalam terperosok dalam jurang kemiskinan, ketidakberdayaan, dan ketidakmandirian. Penyebabnya, karena para pengelola negara selama ini lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dimana salah satu ujungnya adalah: korupsi.

Korupsi telah menyandera kita sehingga kekayaan alam yang melimpah ruah diberikan kepada negeri ini tidak mampu memakmurkan rakyat Indonesia. Coba apa yang kita tidak punya, emas bertaburan, perak tersedia, timah tinggal ambil, minyak ada, batubara tersebar dimana-mana. Tapi kenapa 40 juta rakyat masih miskin.

Dalam pekan ini, korupsi mendominasi pemberitaan. Ada tentang vonis sang ratu suap, Artalyta Suryani, kemudian kasasi terhadap Syaukani Hassan Rais yang diputus dua kali lebih berat dari putusan pengadilan. Begitu juga penggeledahan rumah anggota DPR Yusuf Faishal yang memeras atas nama kasus Tanjung Api-api.

Tapi yang paling fenomenal adalah diungkapnya korupsi di DPR terkait dana Bank Indonesia oleh Hamka Yandhu yang melibatkan 52 wakil rakyat. Dan menjadi lebih menyedot perhatian lagi, karena dua dari wakil rakyat tersebut sekarang menjadi anggota kabinet, yakni Menteri Negara Perancana Pembangunan/Ketua Bappenas Paskah Suzetta dan Menteri Kehutanan MS Kaban.

Dalam pengakuan Yandhu, tersangka penyuapan BI, Paskah menerima Rp 1 miliar dengan pemberian secara bertahap, empat kali. Kemudian Kaban kebagian Rp 250 juta. Semuanya diberikan secara kepada yang bersangkutan langsung oleh Yandhu, tanpa perantara.

Tentu hampir semua yang dikonfirmasi membantah, termasuk Paskah dan Kaban. Hak mereka pula untuk membantah bahwa dirinya tidak menerima uang suap dari BI tersebut. Lagi pula bukan hal yang aneh, semua koruptor yang sudah divonis, awalnya juga membantah bahwa dia telah melakukan korupsi.

Sebelum pengadilan membuktikan apakah kedua anggota kabinet itu melakukan korupsi atau tidak, kita tidak boleh memojokkan mereka. Dalam bahasa pers, maka pers tidak boleh melakukan trial by the press. Tapi bagaimanapun kita akan tetap menuntut bahwa kasus tersebut harus dituntaskan secara transparan dan fair.

Kita perlu mengingatka kepada Presidne bahwa anggota kabinet ibarat keluarga inti dari pemerintahan. Bersamaan dengan keinginannya untuk memberantas korupsi, maka presiden pun harus mensterilkan anggota keluarga intinya dari korupsi. Presiden harus memberi ruang lebar bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa mereka.

Ini ujian bagi pemerintah, termasuk juga bagi KPK. Selama ini KPK memang telah berbuat cukup banyak dalam memberantas korupsi. Bupati dan gubernur sudah ada yang ditahan, mantan kapolri sudah dijeloska ke penjara, mantan menteri sudah pula divonis korupsi. Kini tinggal menguji, apakah KPK berani memberantas korupsi mereka yang masih aktif di kabinet.

Untuk itu, KPK sendiri seperti dikatakan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, harus segera memeriksa dan menentukan status Paskah dan Kaban, apakah terlibat atau tidak. Karena jika berlaru-larut akan menganggu jalannya pemerintahan, apalagi keduanya dari partai sehingga sudah mulai sibuk dengan kampanye.

Selalu akan ada rintangan, termasuk dari partai kedua anggota kabinet itu. Bagaimanapun partai mereka adalah partai pendkung pemerintah. Tapi sudah saatnya kepentingan hukum disterilkan dari kepentingan politik. Saatnya hukum berdiri di atas segalanya.

Korupsi telah menjadi musuh kita bersama. Jadi siapapun yang melakukan korupsi tidak perlu segan, tidak perlu khawatir, tidak perlu takut untuk menindaknya. Korupsi telah menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia, maka siapapun yang melakuan korupsi harus ditindak dengan tegas, tidak peduli menteri atau siapaun. Tak perlu pandang bulu.

Dimuat di Tajuk Republika 31 Juli 2008

BUMN bukan Sapi Perah


BUMN atau badan usaha milik negara merupakan badan usaha yang dimiliki oleh negara. Siapa yang lantas berkuasa atas BUMN itu? Pemerintah. Dalam posisi seperti itu maka BUMN sering dijadikan sebagai sumber pendanaan bagi kepentingan pemerintahan yang sedang berkuasa.

Tapi bukan cuma pemerintah atau eksekutif saja yang menjadikan BUMN lumbung dana, para anggota legislatif pun tidak mau tinggal diam, mereka tidak mau kalah. BUMN juga mereka jadikan sapi perah untuk kepentingan pribadi dan partai para anggota dewan tersebut. Entah dia dari partai pendukung pemerintah maupun oposisi.

Antara pengelola BUMN dan politikus, terjalin suatu hubungan yang simbiosis mutualisme, suatu hubungan yang saling menguntungkan. Para politikus membutuhkan uang untuk menggerakkan mesin politiknya, sementara para pengelola BUMN membutuhkan keamanan agar kedudukannya tidak terancam.

Eksekutif memiliki kekuasaan langsung untuk mendudukkan atau mencopot seseorang di kursi empuk pengelola BUMN, karena itu mereka harus dilayani dengan sepenuh hati. Begitu pula legislatif, meskipun mereka tak punya kekuasaan langsung tetapi mereka bisa menghabisi karir seseorang di ruang sidang DPR, sehingga harus pula diberi setoran.

Dalam sejarahnya, BUMN memang menjadi sapi perah bagi partai-partai politik. Dengan kekayaan yang besar dan pengawasan yang kurang optimal, miliaran rupiah bisa mengalir dengan lancar ke partai politik. Bisa secara langsung maupun tidak langsung lewat berbagai tender-tender yang direkayasa.

Menjelang Pemilu 2009 ini, situasi sudah mulai memanas. Masa kampanye sudah dimulai, sehingga partai-partai sudah mulai melakukan sosialisasi berikut mengobral janji. Tentu dibutuhkan banyak biaya untuk melakukan kampanye, dan salah satu yang jadi incaran untuk pendanaan adalah BUMN.

Bagi partai besar, bisa saja mereka menjanjikan bahwa jika nanti mereka memegang pemerintahan, direksi atau pengelola yang sekarang akan dipertahankan. Bagi partai kecil tak mau kalah dalam mengumbar janji, setidaknya mereka tidak akan mengganggu para direksi tersebut kelak.

Dalam situasi seperti itu, tepat sekali pernyataan Menteri Negara BUMN Sofyan Jalil yang melarang BUMN memberikan dana kepada partai politik menjelang Pemilu 2009. Dia mewanti-wanti bahwa direksi jangan coba-coba untuk mengambil dana dari kantong perusahaan untuk politik, kalau mau berkontribusi ke politik pakai uang sendiri.

Meskipun untuk memberikan dana ke partai politik saat ini tak semudah dulu lagi, karena adanya pemeriksaan yang intensif dari Badan pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tapi pernyataan Sofyan tetap penting. Sebagai penguasa dari BUMN dia bertanggungjawab atas apa yang terjadi di BUMN.

Kita perlu terus mengingatkan bahwa BUMN adalah milik negara yang pada ujungnya adalah milik rakyat. BUMN bukan milik pemerintah yang berkuasa, BUMN bukan milik partai politik. Karena itu pengelolaan BUMN harus profesional, tidak memihak kepada kepentingan tertentu, tidak disetir kelompok tertentu. BUMN bukan sapi perah. @

Dimuat di tajuk Republika 25 Juli 2008