Friday, September 26, 2008

Makanan Berbahaya

Dalam beberapa pekan terakhir ini, kita ditimbuni oleh berita mengenai makanan berbahaya yang dijual bebas di masyarakat. Makanan berbahaya bagi kesehatan manusia itu dijual, bukan hanya di pasar tradisional, tetapi juga di hipermarket atau pasar modern.

Di pasar tradisional, kita sering dengar penjualan makanan kedaluwarsa. Juga, daging gelonggongan, yakni daging sapi yang banyak berisi air karena sebelum disembelih, sapi itu digelontori air. Ada yang menjual ayam tiren (mati kemarin), yang tak lebih sebagai bangkai ayam. Bahkan, ada pula yang menjual gorengan daging sampah, yakni makanan sisa dari restoran atau hotel yang diracik kembali.

Hipermarket tidak kalah. Di Carrefour Ciledug, misalnya, beberapa petugas menemukan makanan yang sudah kedaluwarsa masih dijual di jejeran produk makanan lain. Makanan kedaluwarsa juga ditemukan di Foodhall, Giant, dan Hero. Lain lagi di Makro Kembangan, petugas juga menemukan daging busuk dijual bebas.

Akal-akalan juga dilakukan di beberapa toko di Kediri. Di sana, mereka mengganti tanggal kedaluwarsa yang tertera sebelumnya dengan menempelkan kertas tambahan dan ditulis kembali masa kedaluwarsa yang diperpanjang masanya dengan tulisan tangan. Kertas tambahan itu ditempel menutupi tanggal kedaluwarsa yang asli sehingga tampak bahwa masa kedaluwarsa masih panjang.

Dalam waktu yang bersamaan, ditemukan pula produk susu dan turunannya dari Cina yang mengandung melamin. Akibat melamin ini salah satunya dapat merusak ginjal. Di Cina, ada 69 merek yang ditarik dari pasaran, beberapa negara, seperti Singapura, melarang impor susu Cina ini. Indonesia pun sudah menarik 28 produk yang berbahan baku susu Cina.

Kasus kedaluwarsa dan lain-lain tersebut bukan kasus pertama di negeri kita. Setiap ada pemeriksaan yang dilakukan aparat, bisa dikatakan selalu ada pelanggaran.

Pelanggaran yang banyak terjadi justru di pasar tradisional, sebuah pasar yang banyak dikunjungi oleh masyarakat menengah bawah. Bukan hanya makanan kedaluwarsa, acap kali pula ditemukan timbangan yang curang. Masyarakat kecil menjadi sasaran empuk kecurangan para pedagang.

Akan halnya dengan hipermarket. Semestinya, dalam persaingan yang ketat seperti sekarang ini, kejujuran dalam menjual produk makanan dijunjung tinggi. Tapi, rupanya mereka pun ingin mengeruk keuntungan besar sehingga kecurangan pun dilakukan. Makanan kedaluwarsa dan daging busuk pun mereka jual ke masyarakat.

Bagaimana nasib kita sebagai masyarakat? Di pasar tradisional, ada makanan kedaluawrsa, ada daging busuk, daging sampah, dan sebagainya. Mau masuk ke pasar modern? Hal serupa juga kita temukan. Pasar mana yang bisa dipercaya lagi?

Tapi, poin utamanya bukan itu. Di sini, yang lebih utama adalah bagaimana pemerintah melindungi masyarakat dari makanan yang berbahaya, makanan beracun. Kasus seperti ini berulang karena tidak ada tindakan tegas dari pemerintah. Begitu ditemukan pelanggaran, entah beberapa lama kemudian kasus itu selesai.

Kini, saatnya hukum ditegakkan. Siapa pun pelanggar masalah makanan ini, harus dihukum, tidak peduli mereka orang kalangan bawah yang berjualan di pasar tradisional ataupun pengelola pasar modern, termasuk aparat yang bermain mata. Pemerintah harus melindungi warganya dari makanan berbahaya yang mengancam jiwa.

Dimuat di tajuk Republika edisi 26 September 2008

Wednesday, September 24, 2008

Berbagi, Bersinergi

Ada berapa orang Temanggung yang merantau ke kota lain? Tentu jumlahnya sulit untuk dihitung. Tapi yang jelas setiap tahun selalu ada yang meninggalkan Temanggung untuk berjudi dengan nasibnya di kota lain, bahkan tak jarang ke negara lain.

Posisinya juga macam-macam. Ada yang buka warung, ada yang jadi tukang, ada yang jadi pengusaha, pengusaha pun ada yang masih kecil-kecilan tapi tak sedikit yang sudah jadi bos besar. Ada yang karyawan kecil, tak jarang yang jadi profesional. Ada yang guru, banyak pula yang dosen dan profesor. Ada yang jadi dirjen, ada pula yang jadi menteri, bahkan sebentar lagi Kapolri pun dari Temanggung.

Begitu beragam jabatan dan profesi para perantau Temanggung. Sebagian besar dari mereka peduli terhadap Temanggung. Terbukti mereka pun saat ini ikut prihatin karena melihat Temanggung yang sedang berada di titik nadir. Sebagian dari mereka ingin berbuat sesuatu untuk memajukan Temanggung yang 'membesarkannya'.

***
Suatu kali Jurusan Teknik Geologi UGM akan membuat kurikulum baru. Para pengelola merasa bahwa kurikulum yang sekarang sudah tidak sesuai dan tidak update lagi terhadap perkembangan jaman. Dunia bisnis sudah jauh bergerak, karena itu kurikulum universitas pun harus liat mengikuti pergerakan tersebut. Kalau tidak maka universitas lain yang akan menangkapnya.

Sebelumnya, bisa dikatakan, mereka membuat kurikulum dari hasil pembicaraan dengan sesama dosen. Tapi saat itu, mereka mengundang alumni yang telah sukses untuk berbagi cerita sekaligus memberikan masukan untuk pembuatan kurikulum berikutnya. Alumni yang diundang ada yang profesional dari perminyakan, dari pertambangan, dari birokrat, dan juga mereka yang jadi pengusaha. Komplit..plit.

Hasilnya? Kurikulum yang sekarang lebih friendly terhadap dunia industri, tanpa meninggalkan sisi-sisi keilmuan dasar yang selama ini menjadi unggulannya. Kurikulum lebih menatap ke depan terhadap kebutuhan industri yang ada saat ini. Sementara mereka yang akan melanjutkan karir di lembaga pengajaran maupun penelitian tetap memiliki bekal yang kuat.

Peran alumni bukan sekadar berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk kurikulum, tapi mereka juga menyediakan akses bagi mahasiswa untuk berkembang, sekaligus juga akses kepada jurusan untuk meningkatkan mutu jurusan. Tentu saja yang tidak ketinggalan kucuran dana dari alumni, entah itu mengatas namakan pribadi atau perusahaan.

Universitas besar di dunia seperti Harvard University, Stanford University, dan lain-lain, juga menjadi besar salah satunya karena peran serta para alumni. Apalagi alumni mereka tersebar di berbagai bidang, bahkan juga diberbagai penjuru dunia. Jaringan alumni yang mereka bina terus meluas, dan pada akhirnya berujung ke kebesaran universitas.

***
Ada keterikatan yang kuat di antara para perantau Temanggung sebagaimana juga alumni sebuah perguruan tinggi. Banyak kesan-kesan tak terlupakan sehingga meski sudah puluhan tahun meninggalkan Temanggung pun selalu ingin mengetahui berita tentang Temanggung. Jika berita itu bagus, ikut senang, jika berita buruk ikut prihatin.

Jadi perantau ini tak beda dengan alumni. Alumni alias perantau ini sebetulnya boleh dibilang sebagai 'aset' pemerintah daerah (Pemda). Beragamnya profesi yang dimiliki perantau ini menjadi semacam mataair yang tak pernah kering dalam mengalirkan ide-ide mengenai pembangunan Temanggung. Mulai dari pertanian, agroindustri, pembinaan usaha kecil, pembangunan infrstuktur, pengembangan pariwisata, dll.

Sayang jika aset yang sangat berharga ini tak dioptimalkan. Apalagi sebagian besar alumni Temanggung ini punya kepedulian besar terhadap kemajuan Temanggung. Mereka semua ingin agar Temanggung memiliki nama besar dan keharuman sebagaimana masa lampau. Mereka akan bangga jika Temanggung bisa dibanggakan.

Lebaran nanti, akan ada pertemuan para perantau dengan bupati dan jajarannya. Selain silaturrahim juga akan ada forum diskusi yang membahas mengenai potensi apa yang ada di Temanggung dan bagaicana strategi pengembangannya. Ini akan menjadi momen berharga bagi Temanggung dalam melangkah ke depan. Pada saat itulah kita semua akan berbagi untuk bersinergi.

Masing-masing memiliki keahlian dan kelemahan. Para perantau memiliki kelebihan di bidang keluasa pengetahuan dan akses, aparat pemda memiliki kelebihan dalam mengetahui permasalahan yang ada di pemerintaha dan masyarakat. Kelemahan kita tutupi dengan keahlian masing-masing, sehingga terbentuk bulatan sempurna. Bulatan yang sempurna ini akan menggelinding lebih cepat.

Temanggung memang membutuhkan kecepatan tinggi dalam pembangunan agar tak makin tertinggal dibanding daerah lain. Sinergi perantau, Pemda, dan masyarakat Temanggung akan mempercepat akselerasi pembangunan. Mari kita saling berbagi dan bersinergi untuk Temanggung.

Friday, September 19, 2008

Mewaspadai Krisis Global

Berita mengenai kebangkrutan bank investasi Lehman Brothers mengingatkan kita bahwa setangguh apapun perusahaan keuangan jika terlalu rakus akan meluncur ke tepi jurang. Bukan jaminan pula bahwa profesional kelas satu yang ada di perusahaan keuangan bisa mengelola perusahaan dengan baik.

Kebangkrutan Lehman adalah ekses dari krisis pembiayaan perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada Juli 2007 lalu. Kini Lehman sedang mengajukan perlindungan Chapter II. Tujuannya agar Lehman dibebaskan dari gugatan hukum para kreditor dengan tidak membayar tagihan.

Bisa dikatakan inilah krisis terbesar sepanjang sejarah keuangan Amerika sejak depresi besar pada 1930. Saat itu meski depresi begitu besar, Lehman yang berdiri pada 1850 itu masih tetap berdiri tegar. Begitu juga ketika terjadi krisis yang lebih kecil pada 1988 silam.

Lehman tidak sendirian. Dalam krisis subprime ini, perusahaan raksasa keuangan lebih dulu bertumbangan, dengan akumulasi kerugian lebih dari satu triliun dolar. Beberapa di antaranya Citigroup merugi 24,1 miliar, Merril Lynch tekor 22,5 miliar dolar, begitu juga Freddie Mac dan Fannie Mae yang rugi miliaran dolar.

Perusahaan raksasa itu bahkan tidak mampu menutup kerugiannya, sehinga mereka harus diselamatkan pemerintah Amerika. Freddie Mac dan Fannie Mae misalnya, perusahaan pemberi kredit perumahan terbesar itu harus diambil alih oleh pemerintah. Merrill Lynch, diselamatkan oleh Bank of America. Sementara Citigroup disuntik investor Timur Tengah.

Beda halnya dengan Lehman, perusahaan ini tampaknya dibiarkan terkapar oleh pemerintah Amerika. Entah apa alasan utamanya, tapi yang jelas mereka memberi sinyal peringatan kepada perusahaan finansial bahwa siapapun pengelolanya harus hati-hati dalam menjalankan bisnis, dan pemeritah tak akan begitu saja menyelematkannya.

Amerika merupakan negara dengan bisnis jasa keuangan terbesar di dunia. Jadi jika negeri itu pilek, seluruh dunia akan meriang. Bagaimana jika Amerika sudah hampir masuk ICU seperti sekarang ini, tentu saja negara-negara yang masuk dalam jaringan arus kapital global akan menuju krisis yang sama pula.

Terbukti bahwa dalam beberapa pekan terakhir ini bursa dunia anjlok, bursa Shanghai turun 60 persen, begitu juga Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terus mencatat rekor kejatuhan indeks. Terakhir berada pada posisi 1.700-an, atau setara dengan posisi pada awal 2007. Ratusan miliar rupiah dana investor pun melayang.

Pasar keuangan pun ikut tergoncang. Ketika broker-broker keuangan, termasuk di Eropa mengalami kerugian, mereka pun menarik dananya dari Indonesia. Akibatnya dalam beberapa pekan saja, triliunan rupiah terbang kembali meninggalkan Indonesia. Para investor itu melepas portofolio, ujung-ujungnya nilai rupiah juga merosot.

Tapi bukan bursa saja yang terancam krisis. Kita tahu bahwa ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat termasuk salah satu yang terbesar. Dengan kondisi Amerika yang sedang krisis, permintaan ekspor akan menurun. Belum lagi imbas krisis ini yang menurunkan harga minyak dan CPO yang jadi andalan ekspor kita.

Kita perlu mengantisipasi kondisi krisis global ini, meskipun barangkali dampaknya tidak akan sebesar krisis ekonomi 1997 lalu. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu kerjasama secara lebih intensif, termasuk dengan otoritas keuangan di negara lain untuk menghindari dampak yang lebih besar.

Dimuat di tajuk Republika edisi 19 September 2008

Sunday, September 14, 2008

Tuntaskan Kasus 400 Cek

Entah berapa cek yang berselieeran tiap hari di gedung DPR. Tapi yang jelas, pada kasus terpilihnya Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), ada 400 cek masing-masing senilai Rp 50 juta beredar dan terdistribusi ke 41 anggota DPR.

Adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang membeberkan data bahwa cek perjalanan telah terbagi ke puluhan anggota DPR. Sebagian besar sudah dicairkan. Jumlah minimal yang diterima anggota DPR tersebut Rp 500 juta rupiah, tergantung dari posisi struktural penerima tersebut.

Dalam pemilihan deputi senior gubernur BI pada 2004 silam, Miranda berhasil mengalahkan Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono dalam voting di Komisi IX DPR-RI. Miranda yang didukung oleh dua fraksi besar yakni Golkar dan PDIP memperoleh 41 suara dari 54 yang diperebutkan. Jumlah suara itu sama persis dengan jumlah cek.

Sulit untuk disangkal bahwa ke-41 anggota DPR tersebut tidak menerima imbalan apapun dari suara yang dia berikan kepada Miranda. Apalagi salah satu dari penerima itu, yakni Agus Condro, jauh-jauh hari sudah mengaku bahwa dirinya menerima 10 lembar cek masing-masing Rp 50 juta. Jumlah yang juga sama persis dengan temuan PPATK.

Anggota-anggota DPR yang pernah disebut Agus Condro sebagai penerima cek tersebut akan mati kutu. Karena sebelumnya, mereka membantah telah menerima cek sebagaimana Agus. Bahkan mereka membalikkan fakta bahwa Agus-lah yang menuduh sembarangan, sampai akhirnya sang peniup peluit itu dipecat dari PDIP.

Memang mereka mengaku tidak menerima langsung dari Miranda. Tapi apa bedanya jika mereka menerima dari orang lain utusan Miranda, atau dari sponsornya. Karena dalam pemilihan ini beberapa bank berkepentingan terhadap sosok deputi senior yang bisa membawa aspirasi mereka dan sekaligus melindungi.

Kita sangat prihatin dengan kondisi ini. Mereka, para anggota DPR itu dipilih rakyat dengan kesungguhan agar negera ini segera keluar dari krisis, justru mereka memperparah krisis ini dengan perilaku korupsinya. Mereka dipilih lewat pemilu yang memakan dana puluhan triliunan rupiah, tetapi mereka tak mampu mengemban amanah.

Begitu banyak drama yang dimainkan oleh wakil rakyat. Tetapi drama-drama tersebut adalah drama yang menyakitkan hati rakyat. Rakyat sudah mewakilkan suaranya lewat mereka, tetapi mereka hanya mewakili diri sendiri dan kelompoknya, partainya. Tidak peduli lagi mereka dengan konstituen. Rakyat hanya dibutuhkan saat pencoblosan.

Data penerima cek dan pencairan sudah diberikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi bola kini sudah ditangan lembaga baru ini. Tak ada alasan lagi, KPK harus segera menuntaskan masalah ini. Buktikan bahwa keraguan masyarakat bahwa KPK tidak berani menindak kasus yang melibatkan begitu banyak anggota DPR ini tidak betul.

Kita tidak membutuhkan anggota DPR yang menghianati rakyat. Jadi meski harus mengorbankan ratusan anggota DPR, tidak masalah. Ganti saja para wakil rakyat yang korup. Negeri ini masih banyak memiliki orang-orang yang bersih, cerdas, dan memiliki komitmen membangun negara untuk kesejahteraan rakyatnya.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 12 September 2008

Friday, September 5, 2008

Hukuman yang Pantas

Urip Tri Gunawan tertunduk lesu begitu vonis dibacakan hakim. Dia tidak menyangka bahwa hakim akan memberikan vonis yang begitu takuti para koruptor, yakni hukuman maksimal penjara 20 tahun. Urip pun masih dikenai denda Rp 500 juta. Tangisan Urip semasa sidang tak mampu meluluhkan keteguhan hati para hakim Tipikor.

Vonis tersebut melampaui tuntutan jaksa yang menuntut 15 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta. Vonis ini sekaligus juga merupakan vonis tertinggi dari hakim yang dijatuhkan kepada koruptor. Selama ini, sebagian besar para koruptor, seberapapun besarnya uang dikorupsi, hanya dibawah 10 tahun.

Keputusan hakim itu merupakan hadiah dari perbuatan Urip sebagai jaksa yang terbukti menerima suap dari Artalyta sebesar 660.000 dollar AS untuk melindungi Sjamsul Nursalim, bos BDNI dari penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ditangani Kejaksaan Agung. Selain itu, Urip terbukti melakukan pemerasan terhadap Glenn Jusuf.

Tidak ada yang meringankan Urip. Justru banyak hal yang memberatkan seperti keterangan yang berubah-ubah, ketidakjujurannya dalam memberikan pernyataan, tidak kooperatif, dan tidak mengakui bahwa uang yang diterimanya adalah uang suap. Kalaupun ada yang meringankan yang diungkapkan oleh jaksa penuntut adalah bahwa dia pernah jadi abdi negara. Tapi itu sekaligus juga jadi bumerang bagi Urip.

Hukuman ini memang pantas diberikan buat Urip. Sebagai seorang aparat hukum semestinya dia memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Tapi kenyataannya, dia justru menjadikan keaparatanya itu sebagai senjata untuk menodong orang-orang yang bersalah. Mereka ada yang diperas, ada yang ’dibantu’ dengan hadiah uang.

Urip tentu tidak sendirian dalam kasus BLBI ini. Ada banyak jaksa yang masuk dalam tim tersebut. Sulit dipercaya jika tidak ada satu pun dari jaksa-jaksa itu yang tidak terlibat dalam kasus ini. Untuk itu pemeriksaan terhadap 11 jaksa yang masuk dalam tim yang diduga mengetahui, bahkan mungkin ikut menerima ini harus segera diperiksa.

Negara ini menjadi terpuruk salah satunya karena hukum dipermainkan. Tiga pilar penegak hukum, jaksa, hakim, dan polisi, semuanya mempermainkan hukum. Mereka memanfaatkan jabatan untuk mengeruk kekayaan. Hukum yang berlaku adalah uang, siapa bisa membayar dia yang akan lolos dari jerat hukum.

Karenanya, sudah semestinya koruptor diganjar dengan hukuman maksimal, apalagi dia aparat penegak hukum. Jangan ulangi kasus mantan Kapolri Rusdihardjo yang hukumannya justru dikurangi di pengadilan tinggi Tipikor dengan berbagai alasan, yakni dari dua tahun penjara menjadi 1,5 tahun.

Hukuman pada intinya adalah agar membuat jera. Untuk itu, hukuman yang diberikan harus maksimal. Jika hukuman hanya ringan, ujung-ujungnya orang tidak takut melakukan korupsi. Terbukti sudah banyak kasus korupsi yang masuk persidangan pun sekarang ini masih banyak penyelenggara negara yang berani melakukan korupsi.

Hukuman bagi Urip ini meskipun sebagian masih berpendapat terlalu ringan, tapi cukup menjadi contoh bagi hakim lain agar memberikan vonis maksimal kepada koruptor. Negeri ini harus dibangun dengan penegakan hukum. Siapapun yang melanggar, pantas dihukum berat, apalagi pelanggar hukum itu adalah aparat hukum itu sendiri.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 4 September 2008