Monday, November 24, 2008

Mari Menyalahkan Amerika

Krisis global sudah membikin derita ratusan juta manusia di bumi ini. Siapa yang pantas disalahkan? Ada yang mengatakan kita tidak perlu saling menyalahkan. Mari kita hadapi bersama kesulitan ini. Tapi, itu tidak adil karena ada pihak yang secara jujur harus dikatakan sebagai penyebab menderitanya masyarakat seluruh dunia, yakni Amerika!

Kita tahu bahwa krisis ini berawal dari pemberian kredit perumahan di Amerika kepada konsumen yang kurang layak diberi pinjaman. Karena itu disebut subprime mortgage untuk mereka yang layak disebut prime mortgage. Tak kurang dari 1,2 triliun dolar AS digelontorklan untuk kredit tak layak ini, kemudian ketika suku bunga naik, pengembalian seret, hasilnya 600 miliar dolar macet.

Efek dari macetnya kredit tersebut berimbas ke institusi keuangan lain karena kredit tersebut disekuritisasi melalui penciptaan derivatif yang disebut CDO (collateralized debt obligation), semacam surat utang. Penjualan itu dilakukan secara berantai sehingga ketika ujungnya sakit, maka semua rentetannya akan merasakan dampaknya.

Apa yang terjadi berikutnya adalah kebangkrutan beberapa bank investasi dan lembaga keuangan lainnya. Di Amerika, Lehman Brother mendadak bangkrut. AIG, asuransi terbesar di belahan bumi ini, harus diselamatkan pemerintah. Freddie Mac dan Fannie Mae, kreditor terbesar juga diselamatkan pemerintah. Tak kurang Pemerintah Amerika mengucurkan 700 miliar dolar untuk menyelamatkan perekonomian mereka.

Krisis di Amerika itu dengan cepat merambat ke berbagai belahan dunia. Eropa terkena dampak terparah dari krisis ini. Beberapa bank nyaris kolaps sehingga harus diselamatkan. Di Inggris pemerintah menganggarkan rescue plan664 miliar dolar termasuk mengeluarkan 55 miliar dolar AS untuk menyelamatkan tiga bank. Jerman mengucurkan 664 miliar dolar AS, 68 miliar dolar di antaranya untuk bailout pinjaman real estate. Belanda terpaksa menyelamatkan Fortis.

Kenyataannya tak hanya sektor keuangan yang tumbang karena pada fase berikutnya sektor riil pun terkena imbasnya. General Motor di Amerika terancam bangkrut jika pemerintah tidak memberi suntikan dana. Opel di Jerman juga perlu mendapat jaminan dari pemerintah untuk mampu membayar utang-utangnya. Masih banyak yang lain sehingga bailout yang dilakukan separuhnya digeser ke sektor riil, bukan cuma sektor finansial.

Asia mau tak mau juga terkena dampaknya. Jepang dan Korea yang banyak terkait dengan Amerika dan Eropa dalam urusan ekspor, terseret cukup dalam di pusaran krisis global ini. Hong Kong dan Singapura juga terpuruk sehingga pertumbuhan ekonomi mereka akan terpangkas. Cina meski terkena juga, tapi relatif masih perkasa. Indonesia sendiri meski ekonomi tetap tumbuh cukup dipusingkan dengan krisis ini.

Ketika perusahaan bertumbangan, otomatis PHK-pun terjadi di mana-mana. Bangkrutnya beberapa perusahaan di Amerika, baik institusi keuangan maupun industri lain termasuk otomotif, memaksa 1,2 juta orang di-PHK. Di Jerman ratusan ribu orang dipecat, Siemens saja sejauh ini telah memecat 17 ribu karyawan. Di Singapura pun sudah mulai terjadi gelombang pemecatan.

Tak terkecuali Indonesia. Perusahaan baja sudah siap merumahkan ribuan karyawan. Perusahaan sepatu dan tekstil yang banyak mengandalkan pasar Amerika dan Eropa sudah mulai memangkas karyawan dan jumlah pemangkasan akan bertambah lagi karena permintaan merosot. Belum lagi hasil pertanian seperti kelapa sawit dan juga kerajinan rakyat. Puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu pegawai terancam PHK.

Krisis global ini semakin tampak nantinya pada pertumbuhan ekonomi. Amerika dan Eropa yang paling terpukul dengan krisis ini dan akan mengalami pertumbuhan rendah, bahkan sebagian negatif pada 2009. Eropa rata-rata akan tumbuh negatif 0,5 persen, Amerika lebih parah sekitar 0,9 persen. Jepang juga negatif 0,1 persen.

Memang beberapa negara Asia meski terimbas masih mampu mencatat pertumbuhan lumayan. Cina meski turun masih di kisaran sembilan persen. Indonesia dengan segala keterbatasannya masih tumbuh enam persen, pertumbuhan tertinggi di wilayah Asia Tenggara. India juga masih tumbuh relatif baik. Sementara Singapura dan Malaysia yang banyak mengandalkan ekspor dan memiliki keterkaitan jasa keuangan yang tinggi ke Amerika akan mengalami pertumbuhan rendah.

Karena itu pula Cina, India, Indonesia, dan kemudian ditambah Brasil menjadi diperhitungkan dalam kancah perekonomian dunia. Skala ekonomi di empat negara tersebut cukup besar dan masih tumbuh dengan baik. Dengan begitu negara yang masuk emerging market ini akan menjadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi dunia setelah Amerika, Eropa, dan Jepang terperosok ke dalam depresi ekonomi. Pergeseran peta kekuatan tersebut muncul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Washington.

Di sisi lain, negara kecil seperti Islandia, Pakistan, dan beberapa negara di Afrika misalnya, makin megap-megap dengan krisis ini. Tak pelak mereka pun harus menadahkan tangan ke IMF untuk mengucurkan dana penyelamatan. Tentu IMF dengan senang hati karena dalam dua tahun terakhir ini banyak negara peminjam yang mengembalikan sebelum jatuh tempo, termasuk Indonesia.

Krisis ini memang memberikan pelajaran sangat berharga bagi dunia, tentu khususnya bagi Amerika. Negara adikuasa yang selama ini menjadi polisi dunia seenaknya sendiri dalam mengatur dunia, termasuk dalam mengatur perekonomian dunia. Mereka merusak tatanan ekonomi negara berkembang lewat tangan-tangan mereka, baik di Bank Dunia maupun di Dana Moneter Internasional (IMF).

Amerika merupakan embahnya yang menurut istilah John Perkin - adalah para bandit ekonomi (economic hitman). Mereka memorakporandakan ekonomi negara berkembang dengan memberikan pinjaman agar negara tersebut memiliki ketergantungan terhadap lembaga internasional yang sudah dikuasai Amerika. Nantinya Amerika yang akan menuntut berbagai perlakuan khusus sebagai bayaran atas pinjaman tersebut.

Amerika juga yang menjadi pengkhianat Bretton Wood di mana saat itu salah satu kesepakatannya adalah mengaitkan mata uang dolar dengan persediaan emas dengan harga konversi 33 dolar per ons. Jadi jika mereka akan menerbitkan dolar, maka harus tersedia juga emas setara dengan nilai dolar yang diterbitkan. Karena tak mampu menjaga kurs, Presiden Nixon pada 1971 langsung membatalkan kesepakatan Bretton tersebut.

Pencabutan itu kemudian menjadikan Amerika bisa mencetak dolar tanpa batas. Komoditas ekspor terbesar Amerika saat ini adalah kertas yang bernama dolar. Mereka tidak peduli dengan dobel defisit (anggaran belanja dan neraca perdagangan), karena mereka bisa menutup defisit itu dengan mencetak dolar.

Hukum alam berjalan dengan sempurna. Kini Amerika sedang menerima hukuman atas ulahnya sendiri. Inilah krisis terbesar di Amerika setelah Great Depression pada 1929 silam. Bedanya, kali ini krisis ini merembet ke seluruh dunia sehingga ratusan juta orang harus hidup sengsara. Jadi tak salah memang kalau semua telunjuk mengarahkan ke Amerika sebagai biang keterpurukan kolektif seluruh negara di bumi ini.

Dimuat di opini Republika edisi 24 Nopember 2008

Thursday, November 20, 2008

Usut Penghina Nabi

Kembali hinaan terhadap Nabi Muhammad terjadi. Kali ini, bukan di Jerman atau di Denmark sebagaimana yang terjadi beberapa tahun lalu, tapi di negeri kita sendiri. Setidaknya, penghinaan yang berupa gambar kartun tersebut disebarkan lewat internet dengan bahasa Indonesia.

Gambar kartun yang ada di situs blog wordpress.com tersebut bahkan jauh lebih menghina dibanding yang ada di Denmark. Dalam kartun tersebut, bukan saja gambar Nabi Muhammad divisualisasikan secara nyata, tapi juga sangat vulgar karena temanya mengenai perkawinan. Kartun yang sangat menghina, melecehkan, dan merendahkan derajat Rasulullah.

Bukan itu saja. Percakapan di kartun itu juga mengutip berbagai ayat Alquran. Tetapi, pengutipan itu dilakukan semena-mena dengan memenggal-menggal ayat sekenanya, yang pada intinya hanya untuk pembenaran. Penggalan Alquran itu dicomot untuk mendukung bangunan cerita negatif tersebut. Alquran sebagai kitab suci juga telah dilecehkan.

Cerita kartun tersebut sarat dengan kebohongan yang bisa menjerumuskan mereka yang pengetahuan agamanya tipis. Apa yang ada dalam cerita tersebut sangat bertolak belakangan dengan pribadi Nabi Muhammad. Sehingga, terlihat dengan jelas bahwa kartun tersebut memang untuk memancing kemarahan umat Islam.

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat dicintai, bahkan melebihi kecintaannya terhadap diri sendiri. Karena itu, penghinaan dan pelecehan dirasakan lebih menyakitkan dibanding hinaan terhadap umat Islam itu sendiri. Sehingga, bisa dibayangkan bagaimana perasaan umat Islam jika sosok yang begitu dicintai diperlakukan secara menyakitkan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah bereaksi positif dengan mengutuk keras pemuatan kartun tersebut. Bagitu pula NU dan Muhammadiyah telah menyuarakan hal yang sama. Lembaga itu juga sudah meminta aparat kepolisian untuk segera mengusut dan selanjutnya membawa ke meja hijau. Karena, bagaimanapun haram dan dilarang menggambar sosok nabi, apalagi kartun itu penuh dengan penghinaan.

Tidak ada kata lain bahwa mereka yang menyebarkan kartun tersebut harus dicari, diusut, ditangkap, dan dihukum dengan hukuman yang setimpal. Dengan teknologi yang ada sekarang, tidak sulit untuk melacak siapa yang menyebarkan kartun tersebut lewat internet. Apalagi, sampai sekarang, blog itu masih aktif, termasuk menerima respons dari pembaca yang geram atas pemuatan kartun pelecehan itu.

Umat Islam tentu marah, jengkel, tidak terima dengan hinaan kepada junjungan Nabi Muhammad. Tapi, bagaimana pun umat Islam perlu memperlihatkan kedewasaannya dengan tidak melakukan tindakan anarkis. Jika umat Islam terpancing, mereka semakin senang karena tujuan mereka memang untuk memojokkan umat Islam.

Kepolisian sudah langsung bertindak untuk melakukan penyelidikan terhadap pemuatan kartun tersebut. Kita berikan kebebasan kepada aparat untuk mengusut tuntas masalah. Tapi, kita juga wajib menjaga dan mengawasi pengusutan dan penuntutan agar kelak keputusannya bisa adil sesuai dengan kesalahan yang telah dia buat.

Dimuat di tajuk Republika edisi 20 Nopember 2008

Selamatkan Ekonomi

Krisis global yang sedang menerpa seluruh negara di berbagai belahan bumi ini masih akan terus berlangsung. Banyak ekonom yang memperkirakan bahwa dampak krisis ekonomi sekarang ini akan panjang. Bahkan, apa yang terjadi pada 2008 ini hanyalah permulaan. Puncak krisis akan terjadi pada 2009.

Saat ini saja, sudah jutaan karyawan terkena PHK di Amerika Serikat. Begitu pula di kawasan Eropa, sudah ratusan ribu orang dipecat. Negara-negara di Asia tak berbeda meski belum sedahsyat negara Barat. Indonesia sendiri, di industri baja, ribuan orang menanti PHK. Di industri tekstil, hal serupa terjadi. Nantinya, industri lain pun menyusul.

Kita akan menghadapi masa berat dalam bidang ekonomi. Tapi, krisis tak bisa dihindari, melainkan harus dihadapi. Untuk itu, diperlukan kebijakan-kebijakan yang sifatnya bisa ad hoc ataupun jangka menengah dan panjang. Kerja sama antara pemerintah, Bank Indonesia, dan pengusaha harus lebih solid dan visioner.

Pemerintah sebagai pembuat regulasi perlu untuk membuat kebijakan yang mampu menggairahkan perekonomian, terutama yang terkait sektor riil. Bank Indonesia berperan dalam menelurkan kebijakan keuangan dalam penentuan suku bunga. Begitu pula dunia usaha dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif sehingga bisa memanfaatkan peluang.

Jika dunia usaha saat ini sedang merasakan pukulan berat, mau tak mau harus diselamatkan. Amerika Serikat saja menggelontorkan dana 700 miliar dolar, bahkan kemungkinan akan menjadi 1,2 triliun dolar kepada dunia usaha. Sebagian diberikan untuk menyelamatkan institusi keuangan, sebagian untuk sektor riil, termasuk General Motor.

Harus ada keikhlasan bersama jika pemerintah turun tangan membantu dunia usaha. Bahwa, kita pernah punya pengalaman buruk soal penyelamatan, yakni kasus Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), itu betul. Tapi, justru dengan pengalaman itu kita bisa melakukan penyelamatan yang lebih baik, lebih terukur, dan lebih transparan.

Bagaimanapun dunia usaha sangat penting dalam membangun ekonomi sebuah negara. Jika perusahaan maju, akan banyak tenaga kerja yang terserap, akan banyak pajak yang masuk ke kantong pemerintah untuk pembangunan. Sebaliknya, jika dunia usaha ambruk, jutaan pekerja akan kembali menganggur, kemiskinan bertambah, negara pun tekor.

Di sisi lain, jika dunia usaha tidak diselamatkan oleh kita sendiri, yang terjadi adalah akuisisi perusahaan asing terhadap perusahaan Indonesia. Itu yang terjadi pada krisis 1988. Bukan masalah penyelamatannya, tapi lebih pada kenyataan bahwa banyak perusahaan nasional yang berpindah ke asing, termasuk BUMN.

Untuk mengantisipasi krisis yang lebih parah, pemerintah harus memberikan angin yang baik agar sektor riil bisa lebih bergerak lagi. Perlu berunding dengan Bank Indonesia agar suku bunga bisa diturunkan sehingga bank kembali menyalurkan kreditnya kepada sektor riil. Bunga rendah menjadi salah satu prasyarat bergeraknya sektor riil.

Bank sebagai urat nadi perekonomian perlu memiliki keleluasaan dalam memberikan kredit kepada sektor riil. Karena itu, bank harus selalu terjaga likuiditasnya. Likuditas itu sendiri bisa hancur jika muncul isu yang tak bertanggung jawab. Maka dari itu, perlu ditindak tegas mereka yang pada pekan lalu menyebarkan isu ambruknya beberapa bank.

Dalam menghadapi krisis ini, kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Semua pihak yang terlibat harus kompak, tidak saling menyalahkan. Kita juga harus mengatasi sendiri krisis ini, tanpa perlu mengundang IMF misalnya. Kita punya pengalaman buruk dengan lembaga asing itu dan kita tidak perlu mengulanginya.Kita punya kemampuan menghadapi krisis ini jika kita memiliki kesepahaman yang sama bahwa perekonomian nasional harus kita selamatkan bersama.

Dimuat di tajuk Republika edisi 17 Nopember 2008

Monday, November 17, 2008

Selamatkan Ekonomi

Krisis global yang sedang menerpa seluruh negara di berbagai belahan bumi ini masih akan terus berlangsung. Banyak ekonom yang memperkirakan bahwa dampak krisis ekonomi sekarang ini akan panjang. Bahkan, apa yang terjadi pada 2008 ini hanyalah permulaan. Puncak krisis akan terjadi pada 2009.


Saat ini saja, sudah jutaan karyawan terkena PHK di Amerika Serikat. Begitu pula di kawasan Eropa, sudah ratusan ribu orang dipecat. Negara-negara di Asia tak berbeda meski belum sedahsyat negara Barat. Indonesia sendiri, di industri baja, ribuan orang menanti PHK. Di industri tekstil, hal serupa terjadi. Nantinya, industri lain pun menyusul.

Kita akan menghadapi masa berat dalam bidang ekonomi. Tapi, krisis tak bisa dihindari, melainkan harus dihadapi. Untuk itu, diperlukan kebijakan-kebijakan yang sifatnya bisa ad hoc ataupun jangka menengah dan panjang. Kerja sama antara pemerintah, Bank Indonesia, dan pengusaha harus lebih solid dan visioner.

Pemerintah sebagai pembuat regulasi perlu untuk membuat kebijakan yang mampu menggairahkan perekonomian, terutama yang terkait sektor riil. Bank Indonesia berperan dalam menelurkan kebijakan keuangan dalam penentuan suku bunga. Begitu pula dunia usaha dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif sehingga bisa memanfaatkan peluang.

Jika dunia usaha saat ini sedang merasakan pukulan berat, mau tak mau harus diselamatkan. Amerika Serikat saja menggelontorkan dana 700 miliar dolar, bahkan kemungkinan akan menjadi 1,2 triliun dolar kepada dunia usaha. Sebagian diberikan untuk menyelamatkan institusi keuangan, sebagian untuk sektor riil, termasuk General Motor.

Harus ada keikhlasan bersama jika pemerintah turun tangan membantu dunia usaha. Bahwa, kita pernah punya pengalaman buruk soal penyelamatan, yakni kasus Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), itu betul. Tapi, justru dengan pengalaman itu kita bisa melakukan penyelamatan yang lebih baik, lebih terukur, dan lebih transparan.

Bagaimanapun dunia usaha sangat penting dalam membangun ekonomi sebuah negara. Jika perusahaan maju, akan banyak tenaga kerja yang terserap, akan banyak pajak yang masuk ke kantong pemerintah untuk pembangunan. Sebaliknya, jika dunia usaha ambruk, jutaan pekerja akan kembali menganggur, kemiskinan bertambah, negara pun tekor.

Di sisi lain, jika dunia usaha tidak diselamatkan oleh kita sendiri, yang terjadi adalah akuisisi perusahaan asing terhadap perusahaan Indonesia. Itu yang terjadi pada krisis 1988. Bukan masalah penyelamatannya, tapi lebih pada kenyataan bahwa banyak perusahaan nasional yang berpindah ke asing, termasuk BUMN.

Untuk mengantisipasi krisis yang lebih parah, pemerintah harus memberikan angin yang baik agar sektor riil bisa lebih bergerak lagi. Perlu berunding dengan Bank Indonesia agar suku bunga bisa diturunkan sehingga bank kembali menyalurkan kreditnya kepada sektor riil. Bunga rendah menjadi salah satu prasyarat bergeraknya sektor riil.

Bank sebagai urat nadi perekonomian perlu memiliki keleluasaan dalam memberikan kredit kepada sektor riil. Karena itu, bank harus selalu terjaga likuiditasnya. Likuditas itu sendiri bisa hancur jika muncul isu yang tak bertanggung jawab. Maka dari itu, perlu ditindak tegas mereka yang pada pekan lalu menyebarkan isu ambruknya beberapa bank.

Dalam menghadapi krisis ini, kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Semua pihak yang terlibat harus kompak, tidak saling menyalahkan. Kita juga harus mengatasi sendiri krisis ini, tanpa perlu mengundang IMF misalnya. Kita punya pengalaman buruk dengan lembaga asing itu dan kita tidak perlu mengulanginya.

Kita punya kemampuan menghadapi krisis ini jika kita memiliki kesepahaman yang sama bahwa perekonomian nasional harus kita selamatkan bersama.

Dimuat di tajuk Republika edisi 17 Nopember 2008

Pengaturan Devisa

Rupiah, belakangan terus tergerus. Pada perdagangan kemarin posisi mata uang rupiah nyaris menyentuh Rp 12 ribu per dolar AS. Tekanan terhadap rupiah juga masih berlangsung sehingga kurs rupiah masih rawan untuk melemah lagi.Apalagi belakangan ini ada indikasi bahwa para pemain pasar modal mulai mengalihkan spakulasinya ke rupiah. Pasar modal yang saat ini dipandang kurang menarik, bahkan membuat kerugian besar, ditinggalkan. Berbondong-bondongnya dana ke spekulasi rupiah, ini yang menjadikan rupiah terpuruk.


Penurunan rupiah sendiri kemarin agak sedikit ironis, karena sehari sebelumnya Bank Indonesia (BI) sudah mulai memperketat perdagangan devisa. Cara memperketatnya dengan memberikan aturan mengenai jumlah dolar yang ditransaksikan, yakni 100 ribu dolar AS setiap bulan. Ini berlaku bagi transaksi lewat perbankan.Siapa pun yang membeli dolar lebih dari jumlah itu dalam sebulan, dia harus menunjukkan dokumen yang menunjukkan adanya transaksi untuk kebutuhan nyata atau underlying transaction. Selain itu juga harus menunjukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Bagi pembelian di bawah batas tersebut masih bebas dari aturan. Apakah untuk pendidikan, untuk perdagangan, membayar utang asing, atau untuk investasi, bahkan mungkin untuk spekulasi, tidak dipermasalahkan. Begitu kebutuhan menyentuh batas, harus melaporkan kegunaannya.Apa sanksi bagi bank yang melakukan pelanggaran? BI belum merumuskan sanksi. Tapi, yang jelas bank akan kena denda. Berapa besarnya, itu yang masih dikaji. Hanya saja agar aturan efektif dan mampu membuat jera, hukuman denda harus diberikan sebesar-besarnya bagi para pelanggar.

Aturan baru BI ini memang untuk menyeimbangkan antara kebutuhan dan pasokan dolar AS. Jika kebutuhan tinggi sementara pasokan tipis, otomatis harga akan naik. Itulah yang terjadi belakangan ini, di mana kebutuhan dolar AS meningkat, tetapi pasokan di pasar tipis. Intervensi BI pun tidak mampu menguatkan rupiah.Dari sisi pengontrolan devisa, kebijakan ini tidak lari dari prinsip devisa bebas. Karena pada prinsipnya tidak ada kontrol atas lalu lintas modal yang melintas negara. Lalu lintas modal tetap bisa keluar masuk kapan pun. Dengan begitu prinsip devisa bebas sebagaimana UU No 4/1999 tentang Lalu lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, tidak dilanggar.

Selama ini yang jadi problem di Indonesia adalah penerapan devisa bebas yang terlalu bebas. Tidak ada aturan, tidak ada pembatasan. Sangat bebas, sangat liberal. Singapura saja memiliki aturan yang membatasi transaksi valuta asing. Bahkan, Malaysia melakukan pengontrolan terhadap arus keluar masuk devisa.Dengan tanpa adanya pengaturan itu, rupiah menjadi semakin mudah untuk dispekulasikan. Jika sudah masuk ke dalam ruang spekulasi, maka rupiah menjadi komoditas yang mudah dipermainkan dan terkadang tanpa melihat faktor fundamental ekonomi.

Bagaimanapun rupiah harus diselamatkan. Karena, jika pelemahan tidak terbendung, ekonomi nasional akan berantakan. Inflasi akan naik, daya beli akan turun, konsumen menjerit, produsen pun kerepotan karena omzet merosot, sehingga PHK mungkin saja makin banyak terjadi.Keselamatan perekonomian haruslah menjadi prioritas bagi pemerintah. Salah satu cara penyelematan adalah dengan mengatur lalu lintas devisa agar rupiah tidak terlalu dispekulasikan. Jika aturan baru BI itu masih tetap belum bisa meredam spekulasi, maka perlu aturan yang lebih keras demi menyelamatkan perekonomian nasional.

Dimuat di tajuk Republika edisi 14 Nopember 2008

Thursday, November 13, 2008

Ketika Harga BBM Turun

Kabar baik bertiup dari Istana Negara. Pemerintah mengumumkan bahwa harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya premium, turun dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500 per liter. Harga baru berlaku per 1 Desember 2008.


Dalam satu-dua bulan terakhir ini memang muncul desakan dari berbagai kalangan masyarakat agar harga BBM diturunkan. Alasannya, tentu saja karena harga minyak dunia turun drastis. Ketika premium dinaikkan pada Mei silam dari Rp 4.500 ke Rp 6.000, harga minyak dunia sekitar 130 dolar AS per barel. Kini harga 65-70 dolar. Jadi, sudah sepantasnya harga diturunkan.

Desakan yang kuat itulah yang melenturkan niat pemerintah untuk mengulur penurunan harga. Karena, seperti pernah diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu sebelumnya, kemungkinan harga BBM baru akan diturunkan pada tahun depan mengingat harga minyak mentah dunia masih terus berfluktuasi. Apalagi dana subsidi sebesar Rp 128 triliun pada 2008 ini sudah habis.

Tentu pengumuman ini merupakan kabar gembira. Baru kali ini ada pengumuman BBM turun. Tapi, penting dicatat bahwa penurunan ini bukan karena kebaikan hati pemerintah, melainkan karena kondisi global memungkinkan hal itu. Malaysia, misalnya, sudah menurunkan harga BBM secara gradual sejak dua bulan silam.

Penurunan harga BBM ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat, memangkas biaya transportasi, mengurangi biaya produksi bagi usaha kecil yang menggunakan premium. Bahkan, juga meringankan beban usaha-usaha pinggiran seperti tukang ojek atau sopir bajaj yang banyak membutuhkan premium dalam menjalankan usahanya.

Sayangnya, penurunan hanya terjadi pada premium. Semestinya BBM lain yang banyak digunakan masyarakat seperti solar dan minyak tanah juga diturunkan. Barangkali, kalau minyak tanah harganya memang sudah sangat rendah, tetapi solar masih bisa diturunkan. Apalagi banyak kendaraan umum dan nelayan banyak memakai solar sebagai bahan bakar.

Dari sisi politis, penurunan harga BBM ini tentu saja akan menaikkan citra pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di tengah persaingan memperebutkan simpati masyarakat menjelang pemilu tahun depan, penurunan ini menjadi bekal yang baik bagi SBY untuk kembali bertarung. Apalagi, sebelumnya, citra SBY sudah terkerek ketika besannya, Aulia Pohan, dijadikan tersangka.

Tapi, penurunan ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Karena, secara logika, dengan penurunan harga premium maka masyarakat cenderung boros menggunakan bahan bakar. Jika itu terjadi, maka predikat sebagai negara pengimpor minyak akan terus kita sandang. Itu berarti devisa yang terbang untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan BBM akan makin tinggi.

Oleh sebab itu, bersamaan dengan penurunan harga premium ini perlu dipikirkan pula bagaimana mengurangi pemakaian bahan bakar. Program biofuel yang pernah dicanangkan pemerintah semestinya digairahkan lagi. Kemudian, jumlah kendaraan harus mulai dibatasi dengan konsekuensi menyediakan angkutan umum massal yang memadai.

Penurunan harga premium ini patut kita syukuri karena akan mengurangi beban kehidupan, terutama masyarakat kecil. Tapi, tetap juga harus dipikirkan bagaimana caranya agar tingkat pemakaian BBM tidak melaju dengan cepat. Karena, jika itu terjadi, negara ini juga yang akan menanggung kerugian.

Dimuat di tajuk Republika edisi 7 Nopember 2008

Tuesday, November 4, 2008

Jangan Panik

Krisis ekonomi global terus berimbas ke perekonomian kita. Dalam beberapa pekan terakhir ini, indeks saham terus berguguran, meskipun pada penutupan kemarin sempat terbangun sedikit. Dan, yang mengkhawatirkan adalah terjerembabnya rupiah ke posisi yang tak terbayangkan, sempat menyentuh Rp 12 ribu per dolar AS.

Krisis saat ini memang berbeda dengan krisis 1998 silam. Krisis kali ini ibarat kita berada di buntutnya sehingga tetap saja terkena, tapi tidak separah sebelumnya. Dekade silam, kita berada pada pusaran krisis regional bersama negara-negara di Asia Tenggara dan Korea. Lagi pula, saat itu, bukan hanya krisis ekonomi, tapi juga sosial dan politik.

Sebaliknya, kalau dalam krisis lalu ada bantuan dari luar, kali ini tidak. Mengapa? Karena, negara-negara yang selama ini jadi kasir justru berada pada pusaran krisis. Amerika dan negara-negara Eropa yang biasanya menjadi penyelamat--sekaligus juga pengisap--kini juga sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Kemandirian kita sebagai negara berdaulat diuji dalam krisis global saat ini. Apalagi, kita juga sudah trauma dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang telah memberikan resep salah sehingga krisis 1998 menjadi berkepanjangan. Kita harus mampu menyelesaikan krisis ini tanpa bantuan dari negara lain.

Sejauh ini, dalam batas tertentu, kita sudah bisa menghadapi krisis global dengan relatif baik. Meskipun tetap saja tidak bisa menghindari seratus persen, terbukti beberapa perusahaan sudah melakukan pemutusan hubungan kerja karena order ekspor perusahaannya terpangkas lantaran pemesanan dari Amerika distop.

Begitu pula di pasar keuangan. Bursa, meskipun anjlok lebih dari separuh, hanya beberapa korporasi yang terkena dampak serius. Masyarakat umum tak terpengaruh. Tapi, yang merepotkan adalah rupiah. Kejatuhan itu telihat sepekan terakhir ketika rupiah mulai menembus Rp 10 ribu per dolar, kemudian Rp 11 ribu, bahkan nyaris menyentuh Rp 12 ribu.

Merosotnya rupiah terjadi karena institusi keuangan di Amerika dan Eropa ramai-ramai menjual portofolio. Mereka menarik semua dana jangka pendek (hot money) yang ditanam di saham dan surat utang negara untuk menyelamatkan perusahaan mereka yang mengalami kerugian besar.

Sebelum krisis, ada 4,5 miliar dolar AS dibelanjakan di pasar saham dan 9,1 miliar dolar AS di surat utang negara. Begitu portofolio dilepas dan uang rupiahnya itu dibelikan ke dolar, terjadilah kelangkaan dolar sehingga dolar menguat. Itu juga terjadi di banyak negara, seperti Jepang, Singapura, Malaysia, bahkan won Korea terdepresiasi 32 persen.

Berikutnya, ketika harga dolar naik, masyarakat panik. Mereka yang membutuhkan dolar untuk impor langsung membeli dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya, khawatir nanti dolar akan makin tinggi. Masyarakat awam juga ikut memborong dolar. Dalam situasi seperti ini, para spekulan juga leluasa memainkan rupiah untuk mengambil untung.

Jika kepanikan terus dipelihara, rupiah akan makin terpuruk. Dan, jika itu terjadi, kita benar-benar akan menghadapi krisis yang luar biasa berat. Karena itulah, kami perlu mengimbau masyarakat agar tidak panik. Jika membutuhkan dolar, belilah secukupnya. Jika tidak butuh, simpan saja di rupiah.

Krisis kali ini adalah kiriman dari luar. Janganlah kita memperparah krisis ini dengan kesalahan sendiri. Pemerintah perlu terus membuat kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang potensial terjadi. Masyarakat juga perlu menjaga diri untuk tidak memperkeruh situasi ini dengan kepanikan dan spekulasi.

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Oktober 2008