Monday, December 29, 2008

Umumkan Wakil Rakyat Pembolos

Sudah bukan rahasia lagi jika kursi-kursi kosong terlihat di beberapa sidang di DPR. Tak sedikit sidang yang kemudian ditunda-tunda. Banyak hal penting yang mandek di tengah jalan ketika harus memperoleh persetujuan DPR. Kenapa? Karena banyak anggota DPR yang tidak pernah hadir dalam rapat-rapat penting, termasuk rapat paripurna untuk pengesahan rancangan undang-undang.

Kita menyesalkan perilaku anggota DPR yang suka membolos tersebut. Mereka dipilih oleh rakyat untuk menjadi wakil di parlemen. Mereka dipilih untuk bekerja sebagai legislator. Mereka dipilih untuk turut membangun bangsa ini lewat pembuatan undang-undang dan juga sebagai kontrol terhadap pemerintah sebagai eksekutif.

Kenyataannya, banyak di antara wakil rakyat tersebut yang tidak bekerja dengan sungguh-sungguh. Mereka sering kali tidak hadir dalam berbagai sidang penting. Bahkan, kehadiran mereka di gedung DPR pun barangkali dalam satu tahun bisa dihitung dengan jari. Bukti betapa tipisnya perhatian wakil rakyat terhadap rakyat yang diwakilinya.

Untuk itu, sangatlah bijak jika para pembolos di DPR tersebut diumumkan secara terbuka. Saat ini sudah ada wacana agar wakil rakyat yang tidak pernah hadir tersebut diumumkan pada akhir 2008 ini. Dengan begitu, rakyat tahu bagaimana kepedulian mereka yang selama ini mewakili suara dan keinginan mereka.

Berbagai partai yang ada di DPR setuju dengan pengumuman tersebut seperti PKB, PAN, PKS, dan Golkar. Tapi, ada juga partai yang keberatan, dan yang paling mencolok adalah PDIP, alasannya anggota DPR bukan pegawai DPR, sehingga tidak memiliki kewajiban untuk terus datang secara rutin ke kantornya di Senayan.

Selama ini imbauan dan kritikan terhadap anggota DPR yang suka membolos tidak berpengaruh. Sesekali memang ada yang kesentil terus mereka aktif lagi ke gedung DPR. Tapi, itu pun hanya beberapa kali, sekarang sudah kembali ke kebiasaan lama: membolos. Jadi, imbauan secara persuasif tidak lagi mempan diberlakukan, mereka sudah imun.

Itulah yang kemudian mendasari agar nama mereka diumumkan. Ini lebih adil. Mereka yang rajin boleh sedikit berbangga pada keaktifannya mewakili suara rakyat. Sebaliknya, bagi yang sering membolos akan terkena sanksi moral dari masyarakat, sehingga mereka dituntut untuk introspeksi.

Secara timing, pengumuman tersebut juga penting karena kalau tidak diingatkan menjelang Pemilu 2009, mereka akan makin rajin membolos karena lebih menyukai pergi ke daerah untuk berkampanye. Jika itu terjadi secara serentak, maka sidang-sidang DPR dipastikan akan kosong. Padahal, masih banyak tugas yang harus diselesaikan.

Di sisi lain, rakyat bisa melihat bagaimana kinerja wakil rakyat yang telah dia pilih. Tentu sebagian besar masyarakat akan kecewa terhadap para wakilnya yang tidak menjalankan amanahnya. Dari situ nanti akan ada konsekuensinya, yakni ketika pemilihan umum anggota DPR digelar. Masyarakat akan lebih hati-hati memilih wakilnya.

Para anggota DPR pembolos tersebut selama ini sudah digaji besar oleh negara dari uang rakyat. Sudah semestinya mereka bekerja keras untuk rakyat. Bukan malah menikmati uang rakyat untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Maka, tidak ada kata lain yang bisa disampaikan bahwa segera umumkan anggota DPR yang suka membolos. Dan jangan pilih wakil rakyat yang hanya makan gaji buta.

Dimuat di tajuk Republika edisi 26 Desember 2008

Wednesday, December 24, 2008

Kaya - Miskin dalam Sekejap

Bisakah Anda bayangkan, seseroang yang memiliki kekayaan Rp 54 triliun dalam satu tahun kemudian anjlok menjadi Rp 8,5 triliun? Berarti kekayaan orang tersebut tergerus lebih dari 80 persen, sekali lagi, hanya dalam rentang waktu 364 hari alias menyusut Rp 125 miliar per hari.

Begitulah kisah Aburizal Bakrie, sosok pengusaha yang kini menjadi anggota kabinet. Menurut Forbes, majalah yang kerap mengulas tentang kekayaan manusia di bumi ini, kekayaan yang dimiliki Bakrie seolah menguap begitu saja. Uang triliunan rupiah itu tiba-tiba hilang tanpa jejak. Siapa yang diuntungkan dengan kerugian besar itu, juga tidak ada. Hukum alam sementara tidak berlaku disini.

Bakrie tidak sendirian. Menurut daftar kekayaan orang-orang Indonesia yang dirilis Forbes edisi akhir tahun ini, aset 40 orang terkaya Indonesia turun dari total 40 miliar dolar pada 2007 menjadi 21 miliar dolar pada 2008 ini. Jadi, semua kekayaan orang-orang terkaya itu turun. Bakrie yang mengalami kemerosotan terbesar, sehingga posisinya pun terlempar dari nomor satu ke nomor sembilan.

Pada 2006 silam, posisi orang terkaya Indonesia diduduki oleh Sukanto Tanoto, dan Bakrie berada di posisi keenam. Urutan 10 besar orang terkaya (agar mudah mengkalkulasinya, tiap satu dolar dipatok Rp 10.000) adalah Sukanto (Rp 28 triliun), Putera Sampoerna (21 triliun), Eks Tjipta, (Rp 20 triliun), Rahman Halim (18 triliun), Budi Hartono (Rp 14 triliun), dan Bakrie (Rp 12 triliun), Eddy Katuari (10 triliun), Trihatma Haliman (9 triliun), Arifin Panigoro (Rp 8,2 triliun), Liem Sioe Liong (Rp 8 triliun).

Setahun berikutnya, pada 2007, Bakrie tiba-tiba mencuat menjadi urutan teratas. Dia pantas menduduki posisi tertinggi tersebut karena kekayaannya mencapai Rp 54 triliun. Sukanto takluk dan menduduki posisi kedua dengan Rp 47 triliun. Berikutnya Budi Hartono (Rp 31 triliun), Michael Hartono (Rp 30 triliun), Eka Tjipta (Rp 28 trilin), dan Putera Sampurna (Rp 22 triliun), Martua Sitorus (Rp 21 triliun), Rachman Halim (Rp 16 triliun), Peter Sondakh (Rp 14,5 triliun), dan Eddy Katuari (Rp 13,9 triliun).

Hampir semua konglomerat itu kekayaannya melonjak. Bakrie memang paling fenomenal kenaikannya, hampir lima kali lipat! Sukanto melejit hampir dua kali lipat, Budi Hartono lebih dari dua kali lipat, Eka Tjipta hampir satu setengah kali lipat, hanya Putera Sampoerna yang naiknya tipis. Martua Sitorus dan Peter Sondahk mulai masuk di 10 besar orang terkaya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kenaikan drastis tersebut karena tertiup oleh melonjaknya pasar modal. Pada 2007 silam, indeks bursa melonjak 52 persen persen. Kenaikan tersebut merupakan kelanjutan dari kenaikan indeks pada 2006 yang mencapai 55 persen, sehingga Bursa Efek Indonesia (BEI) dinobatkan menjadi bursa berkineja terbaik no 3 di antara seluruh bursa dunia.

Pantas kalau para konglomerat tersebut kenaikannya juga naik berkali-kali lipat pada 2007 silam. Hampir semua orang kaya tersebut memiliki saham yang diperdagangkan di bursa efek, dan itu memang yang memudahkan lembaga semacam Forbes membuat daftar orang terkaya. Dengan begitu, jika bursa melejit, mereka akan bergelimang dengan uang. Istilah kata, kekayaan meningkat dalam sekejap.

Sebaliknya, jika bursa anjlok maka yang terjadi adalah terpangkasnya kekayaan mereka. Mereka bisa menjadi kaya raya dalam sekejap, tetapi juga bisa menjadi 'miskin' dalam sekejap. Itulah yang terjadi pada orang-orang kaya itu pada 2008 ini. Kita tahu bahwa sampai pertengahan Desember ini, indeks bursa sudah terpangkas 54 persen, sehingga mau tak mau kekayaan mereka juga rata-rata terpangkas sebesar penurunan itu pula.

Dengan ambrolnya bursa, maka konfigurasi urutan kekayaan pada 2008 juga menjadi berubah. Urutan pertama kembali digenggam oleh Sukanto Tanoto (Rp 20 triliun), Budi Hartono (Rp 17,2 triliun), Michael Hartono (Rp 16,8 triliun), Putera Sampoerna (Rp 15 triliun), Martua Sitorus (Rp 13 triliun), Peter Sondahk (Rp 10,5 triliun), Eka Tjipta (Rp 9,5 triliun), Bakrie (Rp 8,5 triliun), dan Murdaya Poo (Rp 8,25 triliun).

Kemerosotan kekayaan orang super kaya tersebut nyata-nyata terjadi seiring dengan anjloknya bursa. . Secara rata-rata dari 10 besar orang terkaya, kekayaan mereka pada 2007 dibanding 2008 terpangkas sekitar 30-60 persen. Sukanto misalnya turun 57 persen, Peter Sondahk turun 30 persen, atau Putera Sampoerna yang merosot 32 persen. Sedangkan Eka Tjipta anjlok cukup besar dengan penurunan kekayaan sebesar 66 persen.

Tentu yang fenomenal adalah Bakrie. Penuruan kekayaan Bakrie pada 2008 ini jauh melebihi melonjaknya kekayaan dia pada 2007 silam. Seperti terlihat dari data di atas, pada 2006 kekayaan Bakrie berada di posisi Rp 12 triliun, setahun kemudian, pada 2007 kekayaannya meroket menjadi Rp 54 triliun, dan antiklimaksnya, pada 2008 ini kekayaan Bakrie terjerembab di posisi Rp 8,5 triliun.

Menggelembungnya kekayaan Bakrie pada 2007 silam tak lepas dari canggihnya rekayasa keuangan (financial engineering) yang bisa menyulap Bumi Modern --perusahaan perhotelan dengan satu aset utamanya hotel Bumi Tashkent di Uzbekistan-- menjadi perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia. Bumi Modern itu beralih nama menjadi Bumi Resource setelah melewati aksi korporasi dan rekayasa keuangan yang canggih dan rumit.

Bumi Resource ini kini memiliki PT Arutmin yang memiliki konsesi batubara di Kalimantan Selatan dan PT Kaltim Prima Coal. Lewat dua perusahaan pertambangan raksasa tersebut, Bumi Resource mampu mengeksploitasi 62 juta metrik ton batubara per tahun. Tahun lalu pendapatan perusahaan raksasa tersebut sudah mencapai 2,2 miliar dolar.

Tak pelak, harga saham Bumi terus melejit, bahkan pada Juni lalu mencapai Rp 8.850 per lembar. Itulah yang menjadikan Bakrie sebagai orang terkaya di Republik ini tahun silam, karena kepemilikan saham yang besar di Bumi Resource. Bahkan majalah Globes pada Mei silam memperkirakan kekayaan Bakrie mecapai Rp 92 triliun. Tentu masih ada saham di perusahaan Bakrie yang lain, tapi sumbangan dari Bumi Resource ini yang terbesar.

Begitu krisis, hal sebaliknya yang terjadi. Saham Bumi terpangkas hampir 90 persen, karena sempat anjlok pada posisi Rp 800-an per lembar. Begitu saham bumi terjun, saham Bakrie lainnya ikut meluncur, baik yang bergerak di properti, perkebunan, maupun telekomunikasi. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan pada tahun ini, kekayaan Bakrie terpangkas 80 persen, sehingga terlempar dari posisi sebagai orang terkaya di Indonesia.

Eka Tjipta dalam skala yang lebih kecil juga jatuh bangun seperti itu. Saham-saham yang dimiliki di perusahaan terbuka seperti Indah Kiat Pulp and Paper, Tjiwi Kimia, dan beberapa perusahaan lagi. Ketika harga melambung seperti tahun 2007, otomatis kekayaannya juga melambung. Sebaliknya ketika harga sahamnya mengempis, kekayaannya juga secara otomatis ikut tergembosi.

Hal yang sama juga pada Sukanto Tanoto. Konglomerat yang sedang terlibat masalah pajak dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu terkena dampak krisis global, permintaan pasar menyurut, pendapatan perusahaan turun, harga saham menjadi terpangkas. Apalagi persentase terpangkasnya harga saham acap kali jauh melebihi persentase penurunan pendapatan atau laba yang sebenarnya. Terlalu banyak ruang psikologis yang bermain dalam menentukan harga saham di bursa.

Naik turunnya kekayaan para orang-orang superkaya tersebut sangat wajar dan akan terus terjadi. Para konglomerat itu bisa menjadi sangat superkaya hanya dalam waktu yang singkat, tetapi juga bisa mendadak 'miskin' dalam waktu yang tidak kalah singkatnya.

Maka, ketika sedang berada di puncak, semestinya mereka bisa lebih peka terhadap masalah sosial. Bakrie misalnya, ketika sedang kaya-kayanya, seharusnya segera menyelesaikan masalah Lapindo. Seandainya dulu kewajiban ke masyarakat terselesaikan, ketika sedang 'miskin' seperti sekarang ini, masalah itu tak lagi membebani. Bahkan mungkin bisa melewati masa sulit ini dengan lebih baik. Kata orang, doa orang teraniaya itu mustajab. Bisa membuat orang menjadi kaya atau miskin dalam sekejab.


Menyikapi RUU BHP

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mendapat reaksi beragam. Mahasiswa menolak keras pengesahan tersebut. Beberapa praktisi dan pengamat pendidikan menyatakan keberatan. Sebagian lainnya mengkritisi dengan jeli.

Pada dasarnya, baik reaksi keras mahasiswa, keberatan dari berbagai kalangan, maupun kritik-kritik yang masuk pada ujung-ujungnya adalah apakah perguruan tinggi bisa menampung orang miskin untuk kuliah. Selama ini, ada kecenderungan kuliah menjadi sangat mahal, termasuk di perguruan tinggi negeri, sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan anak orang miskin, meski pandai, tidak bisa kuliah.

Kalau kita coba cermati, RUU BHP ini memberikan peluang lebih besar kepada perguruan tinggi untuk berkembang, tetapi juga tidak terlalu mengeksploitasi mahasiswa lewat berbagai pungutan. Sebuah hal yang dalam beberapa tahun terakhir ini justru banyak diterapkan perguruan tinggi negeri sehingga memberatkan mahasiswa.

Secara substansial, ada beberapa hal positif dari RUU ini. Misalnya, untuk perguruan tinggi negeri, biaya investasi, uang pangkal, uang gedung, dan uang bangku masuk kuliah dihapuskan. Yang terjadi selama ini, beberapa perguruan tinggi menerapkan uang masuk yang bisa mencapai puluhan juta, bahkan ada yang lebih dari seratus juta rupiah untuk fakultas tertentu.

Kemudian, jalur khusus masuk perguruan tinggi juga dihapuskan. Selama ini, hampir seluruh perguruan tinggi negeri menerapkan jalur khusus untuk memompa pendapatan mereka. Adanya jalur khusus ini berarti mendegradasi kualitas dari mahasiswa itu sendiri. Karena, mereka yang sebetulnya tidak masuk kualifikasi bisa diterima lantaran lewat jalur khusus dengan uang muka sangat besar.

Terkait dengan orang miskin, setiap perguruan tinggi wajib mencari dan menjaring 20 persen mahasiswa dari orang miskin. Pemerintah dan BHP juga berkewajiban menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Jadi, kelak anak kuli, anak tukang becak, anak pedagang asongan, dan lain-lain tetap berpeluang untuk bisa kuliah. Suatu hal yang dalam satu dekade terakhir ini cukup langka terjadi.

Selain itu, dalam pembayaran uang kuliah, negara hanya mewajibkan mahasiswa menanggung sepertiga dari seluruh biaya operasional. Biaya operasional itu meliputi listrik, air, alat tulis, alat kantor, dan kebutuhan lain yang tidak begitu besar biayanya. Sedangkan, biaya yang besar, seperti pembangunan gedung dan gaji dosen, ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.

Semangat yang terkandung dalam isi setiap pasal ini sebetulnya cukup melegakan. Bahwa, ada kritikan dan kekhawatiran itu muncul karena pengalaman selama ini, entah itu undang-undang atau berbagai bentuk peraturan lain. Isinya bagus, tapi lemah diimplementasi. Kekhawatiran itu kemudian menjadi kecurigaan, jangan-jangan justru dunia pendidikan ini mau lebih dikomersialkan.

Apa yang harus kita lakukan dengan disahkannya RUU tersebut adalah mengawal agar jika sudah diundang-undangkan, apa yang terkandung dalam setiap pasal itu bukan hanya sebagai angin surga. Harus kita kawal agar semuanya bisa terlaksana dengan baik di lapangan. Jangan sampai undang-undang itu dipermainkan sehingga yang rugi adalah mahasiswa dan rakyat.

Kita kawal agar anak miskin yang cerdas tetap bisa kuliah, agar mahasiswa yang pas-pasan bisa memperoleh kredit mahasiswa, agar perguruan tinggi asing tidak menguasai pasar lokal, agar perguruan tinggi tidak semena-mena menetapkan uang kuliah, agar tidak ada lagi uang gedung ataupun uang pangkal. Jika dalam pelaksanaan banyak penyimpangan, sanksi tegas harus diterapkan.
Dimuat di tajuk Republika edisi 19 Desember 2008

Wednesday, December 10, 2008

Bunga Acuan Turun

Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya Bank Indonesia (BI) menurunkan bunga acuan, BI Rate, dari 9,5 persen menjadi 9,25 persen. Meskipun penurunannya sangat tipis, tetap memberikan angin segar buat perbankan dan dunia usaha.

Di antara sekian banyak negara yang terkena krisis, BI barangkali yang paling terakhir merespons dengan penurunan bunga. Amerika Serikat, misalnya, yang menjadi biang dari krisis global sudah menurunkan bunga sejak awal, hingga kini terus mendekati satu persen. Begitu juga negara-negara Eropa yang terus berlomba menurunkan bunga.

Memang, tidak mudah untuk menurunkan suku bunga bagi BI. Setidaknya, ada dua alasan. Pertama, laju inflasi yang masih relatif tinggi. Kedua, rupiah yang cenderung terus merosot dari sebelumnya, Rp 9.400 per dolar kini berada di sekitar Rp 12 ribu per dolar.

Tapi, kini kondisinya sudah mendukung BI agar melakukan penurunan bunga. Inflasi, misalnya, pada November silam hanya 0,12 persen sehingga inflasi tahunan 11,68 persen. Angka itu masih dalam koridor yang aman. Biasanya, pada Desember, inflasi naik. Tetapi, tahun ini tampaknya tidak begitu tinggi karena masyarakat sudah mulai berhemat, terutama untuk barang nonprimer.

Lain lagi kasus rupiah. Meskipun saat ini posisinya masih lemah, tampaknya bunga tinggi yang ditetapkan BI tak mampu mendorong penguatan. Masalahnya, pelemahan rupiah saat ini bukan karena perpindahan dana ke negara lain yang lebih menguntungkan, melainkan karena penarikan dolar oleh perusahaan di Amerika untuk menyelamatkan perusahaan induknya.

Harapannya, penurunan ini menjadi stimulus bagi pelaku usaha untuk menjalankan usahanya tahun depan. Apalagi, diperkirakan puncak krisis ini akan terjadi justru pada semester pertama 2009 nanti. Dengan begitu, perlu sebuah langkah untuk mengantisipasi agar pada saat puncak krisis nanti tidak terlampau membahayakan perekonomian nasional.

Mengapa menjadi stimulus? Karena, dengan penurunan BI Rate ini, perbankan juga akan menurunkan suku bunganya. Kita tahu dalam beberapa bulan terakhir ini kondisi keuangan sangat ketat sehingga perbankan saling berebut dana. Akibatnya, terjadilah perlombaan kenaikan bunga. Jika sudah begitu, ujung-ujungnya yang terkena adalah debitor karena bunga kredit juga melonjak.

Kabar baik lagi, nyaris bersamaan dengan penurunan BI Rate ini, pemerintah menggelontorkan dana anggaran negara sebesar Rp 33 triliun. Otomatis, dana anggaran 2008 ini melonggarkan likuiditas di perbankan. Dengan begitu, perang bunga tak akan ada lagi. Perbankan juga harus memangkas kembali suku bunga kreditnya yang saat ini sudah memberatkan debitor.

Penurunan bunga juga akan mendorong sektor riil untuk menggeliat. Karena, dengan kondisi likuiditas yang kendor, perbankan lebih leluasa dalam penyaluran kreditnya. Pelaku usaha pun bisa sedikit lega karena selama ini mereka terjepit oleh lesunya pasar lantaran krisis global dan suku bunga yang tinggi. Kini, setelah bunga turun, tantangannya tinggal menaklukkan kelesuan global.

Perekonomian nasional memang sedang menghadapi tantangan berat. Saat ini saja, ratusan pekerja sudah harus kena PHK. Tidak ada cara lain untuk bisa tetap bertahan, kecuali memberikan rangsangan pada dunia usaha untuk tetap bertahan. Kalau bisa, juga mengembangkan usahanya. Penurunan BI Rate menjadi salah satu titik rangsangnya.

Dimuat di tajuk Republika edisi 5 Desember 2008

Monday, December 8, 2008

Ketoprak yang Bikin Kecanduan



Bermain ketoprak harus terus ditularkan, agar kesenian daerah ini terus berkembang.
Alkisah pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang raja bernama Sri Jayanegara. Kala itu aroma kudeta sudah tercium di seputaran kerajaan.

Dan, benar, Ra Kuti, seorang panglima perang, bersiap melakukan perebutan tahta. Kenapa? Karena dia merasa bahwa kondisi Majapahit sangat memprihatinkan. Kehidupan rakyat makin sengsara, kejahatan makin merajalela, dan raja sendiri tidak tegas.

Di mata Ra Kuti, Jayanegara sudah tidak layak menjadi raja. Apalagi dalam setiap kebijakannya dibisiki oleh Mahapatih Halayuda yang licik dan rakus. Halayuda ini pula yang menurut Ra Kuti yang biang keladi kerusakan Majapahit.

Singkat cerita Ra Kuti menyerbu Istana. Ra Kuti menang, Halayuda terbunuh. Tapi, di Istana Ra Kuti tidak menemukan Jayanegara. Rupanya Gajahmada yang saat itu masih kepala pasukan kepatihan telah mengungsikan ke desa Bedander. Di desa itu, Gajahmada sempat mendapat wejangan tentang kehidupan dari Ki Buyut, seorang bijaksana.

Ketika keadaan sudah agak tenang, Gajahmada datang ke istana, dan di sana dia bertemu dengan Ra Kuti yang sudah menyiapkan diri menjadi raja. Gajahmada pun langsung berhadapan dengan Ra Kuti, dan seketika itu juga membunuhnya. Akhirnya Raja Jayanegara kembali ke istana dan melanjutkan pemerintahannya.

Itulah sepenggal kisah ketoprak berjudul Satya Dharma Gajahmada yang akan dimainkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (25/5) malam. Barangkali bukan hal yang luar biasa ketoprak dengan lakon itu, yang menjadikan luar biasa adalah pemeran utamanya. Mereka adalah tokoh dari kalangan politik, perbankan, bisnis, birokrat, dan wartawan senior.

Siapa saja mereka? Kita lihat, Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, berperan sebagai sang bijaksana Ki Buyut. Kemudian Raja Jayanegara dimainkan oleh Dirjen Migas, Luluk Sumiarso, Ra Kuti diperankan Dirut RRI, Parni Hadi, Direktur LSP Krisna Wijaya sebagai Mahapatih Halayuda, Dirut Republika, Erick Tohir, sebagai Senopati Jalasmara, serta Indreswari oleh Presdir GE Technology Indonesia, Hermien R Sarengat.

Dari wartawan di antaranya Pemred Media Indonesia, Jajat Sudrajat sebagai Gajahmada, Pemred Kontan, Ardian Gesuri (Ra Panca), Redaktur Eksekutif Tempo, Wahyu Muryadi (Ra Semi), Wapemred Infobank, Eko B Supriyanto (Pawagal), wartawan senior RCTI, Ida Parwati, dan Prasetyo (Bhiksuni dan Ra Pangsa), fotografer Kompas, Arbain (Jaran Legong), dan redaktur senior Republika Anif Punto Utomo (Ra Wedeng).

Ini memang ketoprak yang lain dari yang lain. Dengan label `Ketoprak Guyonan Campur Tokoh', maka pemain utamanya adalah tokoh masyarakat dan eksekutif papan atas. Dalam pementasan sebelumnya yang tampil adalah tokoh dari kalangan perbankan, perminyakan, birokrat, dan lainnya.

''Ketoprak episode Satya Dharma Gajahmada ini merupakan seri ke-9 dari 89 episode yang telah kami siapkan,'' kata Luluk Sumiarso, pemeran Jayanegara. Luluk bukan saja pemain, tetapi dia jugalah pencetus ide sekaligus pelaksana dari 'Ketoprak Guyonan Campur Tokoh' ini lewat lembaganya, Sanggar Puspo Budoyo.

Hampir seluruh tokoh yang manggung ini tidak memiliki pengalaman bermain ketoprak. Tapi, mereka begitu antusias dan serius dalam menyimak adegan demi adegan. Setiap latihan, kertas fotokopi yang berupa skrip naskah terus dipegang, dibaca, dihapalkan.

Sekali-kali kertas itu `dicampakkan', mereka coba mengandalkan improvisasi dan spontanitas, dan kadang justru di situlah adegan demi adegan menjadi lebih hidup. ''Semua boleh improvisasi, kita tidak membatasi,'' kata Aries Mukadi, sang sutradara. Hanya saja pesan Aries, jangan lari dari pakem ketoprakan.

''Saya jadi apa ini? Jadi orang bijaksana ya, wah hebat dong,'' kata Jimly saat disodori peran yang akan dimainkan. Jimly meski latihan cuma datang latihan satu kali, tapi berjanji akan latihan sendiri menghafalkan skrip. ''Ini tantangan baru buat saya.''

Rupanya bermain ketoprak memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Tak heran kalau kemudian beberapa tokoh merasa kecanduan. Mantan Direktur BNI, Remy Syahdeini, misalnya, sudah beberapa kali ikut. ''Saya sebetulnya pengen sekali ikut lagi di episode ini, sayang saya pas umrah,'' katanya.

Begitu pula Parni Hadi. Episode ini adalah kelima kali dia ikut. ''Saya menikmati setiap adegan di ketoprak ini,'' katanya. Karena itu ketika diminta main, dengan senang hati dia bergabung. ''Ketoprak juga budaya kita, lewat bermain seperti ini, kita semakin mencintai budaya sendiri,'' kata mantan pemimpin LKBN Antara ini.

Barangkali kecanduan bermain lagi sebagaimana Remy, Parni, dan lain-lainnya patut ditularkan. Semakin banyak yang kecanduan, ketoprak akan pentas terus. Dengan begitu budaya tradisional ini tidak akan mati.

Dimuat di Republika edisi 24 Mei 2007

Nguri-uri Sekaligus Mengangkat Kelas Ketoprak

Ketoprak. Perjalanan kesenian tradisional ini sangat dinamis. Ketika dunia hiburan belum segempita sekarang, ketoprak menjadi hiburan utama masyarakat. Kini ketoprak telah terpinggirkan. Pernah `berjaya' kembali saat ada Ketoprak Humor, sayang, tiga tahun kemudian redup, tak ada kegiatan.

Kondisi tersebut membuat Luluk Sumiarso, penggiat kesenian tradisional sekaligus pendiri Sanggar Budaya Puspo Budoyo, gundah. ''Kalau dibiarkan begini, ketoprak lama-lama akan mati,'' pikir Luluk yang saat ini menjabat sebagai dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kebetulan, saat itu dua tahun lalu, sutradara Ketoprak Humor, Aries Mukadi, menemuinya. Dia menyampaikan kegelisahan sekitar 100-an seniman ketoprak (pemain, penabuh gamelan, penari, perias, dan lainnya), yang sudah beberapa lama tak pentas. Tidak ada pentas, berarti tidak ada pemasukan. Tidak ada pemasukan berarti dapur tak mengepul.

Seketika itu muncul ide mementaskan ketoprak dalam formasi lain. Luluk kemudian menghubungi teman-teman sekampungnya, Gnaro Ngalam (bahasa prokem Malang yang jika dibalik menjadi orang malang), untuk mementaskan Ketoprak Banyolan. Dan, ternyata sukses.

Dari situ idenya kemudian berkembang, yakni mengundang tokoh untuk main. Maka pada 20 Mei 2004 dilakukanlah kolaborasi ketoprak antara para tokoh dengan pemain asli lewat nama `Ketoprak Guyonan Campur Tokoh'. Tokoh yang ikut di gelaran pertama antara lain Agum Gumelar dan Parni Hadi.

Tak disangka bahwa pertunjukan itu sukses. Penonton penuh sesak. ''Ya kolega-kolega para tokoh itu kan banyak, jadi ketika beliau main, mereka pada nonton,'' kata Luluk. Pada episode berikutnya tampil di antaranya Basofi Sudirman, Marzuki Usman, dan Widigdo Sukarman.

Luluk bersama Aries sudah menyiapkan 89 episode, ceritanya dimulai dari zaman Mataram Kuno sampai Indonesia Merdeka. Kelak, semua itu akan terangkum dalam serangkaian cerita Babad Nusantara.

Ketoprak tokoh ini secara tidak langsung telah mengangkat citra kesenian tradisional ini. Setidaknya penonton ketoprak bukan melulu kalangan bawah, tetapi juga kelas menengah atas. ''Kita di sini nguri-uri (melestarikan) budaya sekaligus mengangkat kelas ketoprak,'' kata Luluk.

Dimuat di Republika edisi 24 Mei 2007

Monday, December 1, 2008

SBI for All

Jantung Sri, sebut saja begitu, makin hari makin keras berdegup manakala hasil seleksi masuk sekolah segera diumumkan. Maklum dia mendaftar sekolah yang diidam-idamkan oleh siswa dan orang tua di kota kecil itu, sebuah sekolah berstandar internasional (SBI).

Sebetulnya bukan hanya Sri yang degup jantungnya makin keras, melainkan juga orangtuanya yang pendapatannya pas-pasan dan kadang tidak menentu. Tentu setiap orangtua ingin anaknya sekolah di sekolah terbaik. Tapi tetap saja ada tapinya, biaya yang dikeluarkan juga mahal. Karena itulah degup jantung orangtua Sri lebih keras, karena bukan saja masalah diterima atau tidak, tapi juga ada uang atau tidak.

SBI di manapun menjadi favorit buat siswa maupun orangtua. Seolah-olah jika sudah masuk di SBI mendapat jaminan masa depan akan gemilang. Mungkin iya, tapi tidak selalu begitu, tidak semudah itu, tetap ada proses panjang yang mengantarkan seseorang menjadi sukses di masa mendatang. Hanya paling tidak kunci pint masuk awal sudah dipegang.

Pada prinsipnya, sekolah yang memiliki sertifikasi SBI adalah sekolah yang telah memenuhi International Standard Organization (ISO) 9001:2000, sebuah standar internasional untuk manajemen kualitas. Di situ berarti pula proses belajar mengajarnya harus aktif, kreatif, menyenangkan, mengembangkan daya kreasi, inovasi, dan memberikan inspirasi pada murid-muridnya.

Dikatakan internasional juga karena lulusan sekolah itu kualitasnya bisa disamakan dengan dunia internasional. Karena itulah lantas SBI menjadi pilihan favorit bagi orangtua dan siswa. Mereka berlomba-lomba agar bisa menjadi murid sekolah bermutu tersebut. Persaingan untuk masuk menjadi tinggi. Dan jika sudah begini, yang rawan adalah masalah sumbangan.

Sekolah internasional tentu membutuhkan biaya tinggi, banyak pelajaran yang membutuhkan alat praktek misalnya untuk memenuhi standar kualitas. Dengan dalih itulah kemudian sekolah meminta ’pengertian’ kepada orangtua siswa agar memberikan sumbangan ke sekolah dengan angka yang cukup besar. Sayangnya tidak semua orangtua memiliki kemampuan dana yang cukup.

Kasus seperti Sri di atas, semestinya tidak perlu terjadi. Deg-degan boleh tapi tidak perlu cemas soal pembayaran sekolah. Sekolah berstandar internasional bukan berarti sekolah elit, hanya untuk orang-orang yang mampu. Apalagi sekolah negeri yang sebagian sudah dibiayai pemerintah. Kalau memang biaya operasional tinggi, harus dilakukan subsidi silang.

Universitas seperti Universitas Indonesia (UI) di Jakarta menerapkan subsidi silang untuk mahasiswanya. Uang pendidikan per semesternya ditetapkan menjadi tiga kategori, yakni dibebaskan dari pembayaran, pembayaran murah, dan bayar penuh. Jadi kisarannya antara tidak membayar sampai sekitar Rp 6 juta per semester. Begitu juga uang pangkal untuk masuk, semua dengan subsidi silang.

Di UGM subsidi silang lebih diterapkan untuk uang pangkal. Bagi mereka yang masuk di jalur khusus, setelah lulus tes dikenai uang masuk antara Rp 10 juta sampai Rp 100 juta, tergantung dari hasil tes dan fakultas yang dipilih. Fakultas kedokteran biasanya paling mahal, bahkan di UI bisa sampai Rp 400 juta.

Tapi pada intinya adalah subsidi silang. Mereka yang memiliki kemampuan lebih diwajibkan untuk membayar mahal, sedangkan yang pas-pasan juga diwajibkan membayar meski murah, sedang yang kalangan bawah, bisa dibebeaskan sama sekali dari kewajiban membayar sekolah.

Begitu juga semestinya dengan sekolah internasional di manapun. Mekanisme subsidi silang perlu diterapkan secara konsisten dan transparan. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki anak pintar tapi juga mampu. Orang-orang seperti ini perlu ditarik uang masuk yang tinggi, beri pengertian pada mereka bahwa selisih uang masuk dengan biaya operasional itu diperuntukkan bagi anak-anak miskin yang cerdas.

Dari berbagai pengalaman, memang tidak mudah memperoleh ISO yang menjadi prasyarat sekolah menjadi SBI. Karena itu sekolah yang sudah berstandar internasional adalah sekolah pilihan, maka murid-muridnya pun adalah para murid pilihan. Tapi pilihan di sini bukan pilihan bagi yang mampu membayar apa tidak, tapi lebih pada pilihan kepintaran dan kecerdasan.
SBI semestinya tidak pandang kaya atau miskin. SBI for all.

Lontar Juli 2008

Kesenjangan Ekonomi, Kesenjangan Pendidikan

Tahukan Anda bahwa di Indonesia ini ada 23 ribu orang yang memiliki kekayaan di atas Rp 10 miliar? Itupun rumah, mobil, perhiasan, tidak dihitung. Seandainya dihitung mungkin lebih dari Rp 20 miliar.

Tahu jugakah Anda ada 400 ribu unit apartemen di Australia adalah milik orang Indonesia? Belum lagi di Singapura yang 100 ribu dan di Malaysia yang tak kurang dari 25 ribu.

Betapa kaya rayanya orang-orang Indonesia. Mereka tentu saja kebanyakan tinggal di Jakarta. Maka tak heran kalau Jakarta pun sekarang menjadi kota termahal ke-2 di ASEAN setelah Singapura. Jakarta sudah mengalahkan Kuala Lumpur dan Bangkok.

Jumlah orang kaya dari tahun ke tahun makin bertambah. Ternyata jumlah orang miskin pun begitu. Pada Maret 2007 jumlah orang miskin sekitar 37,17 juta, pada Juli ini diperkirakan mencapai 40 jutaan gara-gara kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Orang-orang miskin itu, hidup dengan Rp 180 ribu per bulan.

Data lain lagi yang diberikan Food and Agriculture Organization (FAO), saat ini ada sekitar 13 juta anak Indonesia yang menderita kelaparan dan malnutrisi. Secara persentase, jumlah bayi penderita kurang gizi mencapai 28 persen dari seluruh bayi. Jadi jika ada empat bayi, maka salah satunya kekurangan gizi.

***

Di daerah Jabotabek, ada sebuah sekolah yang kondisinya sudah miring, beberapa genteng sudah bolong. Dan benar, ketika anak-anak sedang belajar, tiba-tiba terdengar krakk....bruk.. Untung anak-anak dan guru itu segera keluar, karena beberapa saat kemudian atap bangunan roboh.

Di Jabotabek pula ada sekolah yang bangunannya kokoh dari beton, bertingkat, memakai AC. Buku-buku yang digunakan sebagian diimpor dari Singapura. Dan tentu, jalan di depan sekolah itu macet tiap pagi dan siang, karena ratusan mobil berderet menjemput anak-anak sekolah.

Di sebuah sekolah di Jogjakarta, ketika nilai ujian nasional dikeluarkan, 100 persen muridnya tidak ada yang lulus. Tak jauh dari sekolah itu, ada juga sekolah setingkat yang 100 persen lulus.

Dalam berbagai berita, kita juga sering membaca bahwa prestasi anak-anak Indonesia sangat membanggakan ketika bertarung di berbagai olimpiade kelas dunia. Semua kategori seperti fisika, biologi, matematika, dll, kita selalu menyabet emas. Tak jarang pula kita menjadi juara umum.

Di sisi lain, peringkat pendidikan Indonesia terus melorot, entah karena mutu pendidikan yang turun atau negara lain yang terus meningkat kualitasnya. Tapi yang jelas pada akhir 2007, peringkat Indonesia menurut United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara. Education Development Index Indonesia pada posisi 0,935, Malaysia 0,945 dan Brunei 0,965.

***

Apa yang kita bicarakan di atas tak lain adalah masalah kesenjangan. Dari sisi ekonomi masyarakat, terdapat kesenjangan yang mencolok antara yang kaya dengan yang miskin. Orang kaya jumlahnya makin banyak dan kekayaannya makin banyak pula. Tak mau kalah, jumlah orang miskin pun makin membengkak.

Dari sisi pendidikan pun terdapat kesenjangan, baik antarsekolah, maupun antara prestasi individual dan kondisi pendidikan secara umum. Lihat saja sekolah yang ambruk dengan sekolah yang megah. Tentu di sekolah yang reot itu tidak tersedia perangkat pendidikan yang memadai. Jangankan komputer, buku saja terbatas.

Sebaliknya di sekolah yang megah itu perangkat dan peraga lengkap, semua tersedia. Gurunya pun kemungkinan berkualitas tinggi karena mereka dibayar mahal. Maklum saja, di sekolah megah itu masuknya pun bisa sampai Rp 50 juta, belum bulannya yang satu sampai dua juta.

Kesenjangan pendidikan menjadi makin terlihat manakala kita memelototi hasil ujian nasional (UN). Bagaimana sebuah sekolah di perkotaan, terutama di kota besar yang secara rata-rata jauh lebih baik hasilnya dibanding dengan sekolah di luar jawa, apalagi yang di kota-kota kecil maupun pedalaman.

Dalam kondisi seperti itu, seperti dikatakan pengamamat pendidikan Anita Lie, siswa sepertinya terkotak-kotak sesuai dengan latar belakang sosial-ekonomi, yang dalam hal tertentu juga agama dan etnis. Kondisi ini makin diperparah dengan otonomi daerah yang pada gilirannya memunculkan variasi dan disparitas layanan pendidikan.

Di Temanggung, kesenjangan pendidikan seperti itu mesti juga kita temui, hanya mungkin kadarnya yang lebih rendah. Dan tentu ini akan menjadi pekerjaan rumah buat pemimpin baru di Temanggung, bagaimana agar pendidikan maju tanpa menciptakan kesejangan baru, bahkan sudah seharusnya kesenjangan itu makin dipersempit.

Lontar Agustus 2008

Experiential Learning

Orang bijak berkata: pengalaman adalah guru yang paling yang paling baik. Tampaknya petuah itu tidak bisa dibantah. Manusia yang teruji adalah mereka yang telah mengalami dan melewati beragam pengalaman.

Petuah itu pula yang mengilhami beberapa pakar untuk mengaplikasikan sesuai dengan kompetensinya. Maka di bidang pemasaran muncullah apa yang dinamakan experiential marketing, yaitu suatu konsep pemasaran yang pada intinya memberi pengalaman unik kepada pelanggan agar dia terus meningat terhadap produk yang ditawarkan.

Contoh experiential marketing ini kalau kita ke mal Ambarukmo di Yogyakarta kemudian singgah ke toko roti BreadTalk. Di situ mereka bukan sekedar jualan, tapi juga memperlihatkan bagaimana cara membuatnya. Dapur mereka transparan sehingga setiap orang bisa melihat teknik pembuatannya. Kita sebagai pembeli menjadi seperti diberi pengalaman dalam membuat roti.

Dan rupanya bukan cuma orang-orang pemasaran yang mengambil filosofi pengalaman sebagai guru terbaik, dunia pendidikan pun mulai meliriknya. Dalam dekade belakangan ini mulai muncul istilah yang dinamakan experiential learning (belajar dengan mengalami). Pelatihan-pelatihan juga banyak menggunakan konsep pengalaman ini.

Sebetulnya experiential learning ini sudah dilakukan sejak dulu di sekolah, yakni pelajaran praktek. Dalam setiap perlajaran fisika, kimia, atau biologi misalnya, selalu diberikan pelajaran praktek. Di Fisika diajari membuat radio, di pelajaran kimia dipraktekkan membuat zat-zat kimia, dan di biologi terkadang dengan membelah hewan.

Barangkali kalau dikategorikan, pelajaran praktek ini merupakan experiential learning kategori terbawah. Kalau kategori menengah adalah mengadakan kunjungan langsung ke perusahaan-perusahaan atau sejenisnya. Sedangkan kategori teratas adalah kerja magang yang sekarang mulai banyak dilakukan di berbagai tempat.

Untuk kategori menengah ini sebetulnya sangat diperlukan tapi masih jarang dilakukan. Beberapa sekolah swasta yang cukup baik di Jakarta mulai banyak memberikan experiential learning di kelas ini. Terkadang murid SD diajak ke pemerahan susu, di situ mereka langsung mempraktekkan bagaimana memerah susu langsung dari sapi. Bagaimana mengemas dalam jirigen-jirigen besar, sampai pada mengirim ke konsumen.

Ada juga untuk pelajaran seni dan sastra murid-murid tersebut diajak ke lokasi pembuatan keramik. Dalam kapasitas seadanya, anak-anak itupun diajari cara membuat keramik. Masing-masing membikin keramik dan hasil karya mereka dibawa pulang. Hasil karya itu biasanya disimpan dan menjadi kenang-kenangan entah sampai kapan.

Biasanya experiential learning ini memberikan unsur ’fun’ atau menyenangkan pada anak didik. Karena pada dasarnya belajar itu memang harus menyenangkan, bukan malah membuat seram. Sampai saat ini sebagian besar murid masih merasa bahwa sekolah itu tidak mengenakkan, membuat susah, bahkan itu tadi, menyeramkan.

Ada pengalaman anak SD yang sebelumnya dia sekolah di Inggris (karena ayahnya ditugaskan di sana). Begitu kembali ke Indonesia, dan sekolah di Jakarta, anak itu stres, dia merasa bahwa mata pelajaran yang diberikan sangat susah, terlalu banyak pekerjaan rumah, terlalu banyak mata pelajaran. Semua pelajaran dilakukan di kelas.

Sekolah itu sama sekali tidak menyenangkan bagi dia. Butuh waktu cukup lama bagi anak itu untuk menyesuaikan diri. Sebaliknya ketika dulu pindah dari Indonesia ke Inggris, begitu mudah dia menyesuaikan dengan sekolah di sana. Sebagaimana anak-anak, unsur fun, sangat dibutuhkan dalam belajar, dan itu yang jarang ditemui di sini.

Lewat experiential learing, selain mereka belajar dari pengalaman langsung --dan itu biasanya melekat sampai akhir hayat-- metode belajar seperti ini juga memberikan nuansa lain dalam metode belajar-mengajar, yakni memunculkan kegembiraan sehingga pembalajaran bisa dinamis dan terbuka, sekaligus merangsang untuk selalu berpikir dan kreatif.

Banyak manfaat yang diperoleh dari experiential learning ini, baik bagi pengajar maupun (terutama) bagi anak didik. Maka mulailah mengajar dengan metode ini. Bagi yang sudah memulai, perbanyaklah memberikan experiential learning dalam memberikan pelajaran.

Lontar September 2008

Entrepreneurship di Sekolah

Ada sebuah cerita tentang perbandingan profesi di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, jika bertemu teman lama salah satu pertanyaan yang muncul adalah, ''Kerja dimana?'' Lain dengan di Singapura. Untuk situasi yang sama pertanyaan yang diajukan adalah, "Perusahaannya apa?''

Apa artinya? Di Indonesia, orientasi masyarakat masih pada tataran bekerja pada perusahaan, kalau bisa perusahaan besar. Sementara di Singapura, orientasinya sudah mulai bergeser pada entrepreneursip atau kewirausahaan. Mereka bangga jika sudah memiliki perusahaan, meskipun perusahaan itu dalam skala kecil maupun medium.

Indonesia, sebagai negara besar dengan penduduk 230 juta, sudah saatnya mengubah orientasi tentang pekerjaan. Jika orientasinya hanya mencari pekerjaan jelas lapangan kerja yang tersedia tidaklah cukup. Akhirnya, pengangguran pun tak terelakkan. Jadi, pekerjaan harus diciptakan.

Menjadi tenaga kerja di luar negeri juga bukan penyelesaian yang ideal. Apalagi jika yang dikirim tenaga unskill, sehingga tak jarang terdengar berita mengenai penganiayaan, penghinaan, pemerkosaan, dll. Belum lagi harus berpisah dengan keluarga. TKI ini hanya bagus untuk penyelesaian jangka pendek.

Untuk menciptakan lapangan kerja, inilah yang dibutuhkan: entrepreneurship. Semangat untuk memiliki usaha sendiri harus diciptakan sejak dini. Bahwa tidak semua orang nanti bisa menjadi entrepreneur yang sukses, itu betul. Tapi setidaknya semakin banyak orang menjadi wirausahawan, semakin banyak peluang kerja yang tercipta.

Kewirausahaan menjadi lebih merasuk pada diri seseorang jika sudah tertanam sejak dini. Kalau kita lihat turunan Tionghoa yang sukses, itu karena sejak kecil lingkungannya sudah mengajarkan untuk berdagang, berwirausaha. Meskipun hanya sekadar membantu orangtuanya, tapi atmosfer ke-entrepreneur-an sudah mulai terasakan.

Ciputra misalnya, lahir di keluarga miskin. Orangtuanya membuka toko kelontong kecil. Tapi karena ayahnya kemudian ditangkap Jepang dan kemudian meninggal, ibunya pilih berjualan kue untuk menghidupi keluarganya. Kebiasaan berdagang tersebut merasuk kedalam setiap tindak-tanduk Ciputra, sehingga sekarang menjadi pengusaha sukses.

Lingkungan keluarga memang penting, tapi tidak semua orang keluarga pedagang. Karena itu harus ada pendidikan mengenai kewirasuahaan. Dan sekolah menjadi tempat penting untuk memberikan bekal kewirausahaan pada murid-muridnya. Beri mereka lingkungan berwirausahaan untuk menumbuhkan keberanian berusaha kelak jika sudah besar.

Sebuah sekolah swasta di Jakarta, salah satu mata pelajaran adalah entrepreneurship. Apa yang dilakukan? Teoritis tentu diberikan. Tapi yang tak kalah penting adalah praktek untuk menjadi pengusaha. Mereka diminta untuk memproduksi sesuatu yang bisa dijual pada teman-teman sendiri, atau tidak memproduksi sendiri tapi berdagang.

Ada pula yang lebih serius lagi. Beberapa anak terhimpun dalam sebuah kelompok, kemudian mereka mengajukan proposal ke salah satu orangtua. Proposal tersebut mengenai pengembangan agroindustri dalam skala kecil, yang nanti bisa dipanen enam bulan ke depan. Pinjaman itu mereka kembalikan setelah panen.

Sebetulnya koperasi di sekolah jika dioptimalkan bisa memberikan aura entrepreneurhip kepada murid. Kalau selama ini koperasi sebagian besar hanya dijalankan oleh guru, sudah saatnya melibatkan murid secara lebih mendalam. Koperasi ini bisa menjadi latihan bagi calon-calon wirausahawan. Bisa koperasi di SD, SMP, maupun SMA.

Mengutip pendapat Ciputra, seorang sosiolog David McClelland berpendapat suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2,0 persen dari jumlah penduduk. Singapura aat ini sudah 7,2 persen padahal pada 2001 baru 2,1 persen. Sedangkan Indonesia hanya 0,18 persen dari penduduk atau 400.000-an orang.

Saatnya Indonesia bangkit menjadi negara yang kuat secara ekonomi. Untuk itu dibutuhkan jutaan entrepreneur yang siap menantang jaman. Di sinilah sekolah bisa ikut berperan dengan memberikan lingkungan kewirausahaan di kalangan murid-muridnya. Mulailah menancapkan entrepreneurship sejak dini, sekecil apapun usahanya.

Lontar Nopember 2008

Profesi Pilihan

Marjono, sebut saja begitu. Hari itu, ketika mengambil uang di bank, dia kaget, ada transfer masuk sebesar Rp 5,8 juta. Kaget seneng tentu saja. Di tengah keterkejutannya itu dia bertanya-tanya, uang itu dari mana? Apa dapat hadiah dari menabung di bank tersebut? Atau ada salah transfer dari orang lain?

Rupanya Marjono tidak sendirian. Usut punya usut, ternyata uang itu adalah rapelan dari tunjangan profesi sebagai guru. Marjono merupakan salah satu dari sekian guru yang telah lolos uji profesi sehingga berhak memperoleh tunjangan profesi. Besaran tunjangan profesi adalah sebesar gaji pokok.

Tunjangan profesi diberikan pemerintah untuk lebih menghargai guru, karena selama ini kesejahteraan guru relatif rendah sementara tuntutan dari masyarakat begitu tinggi. Tentu tidak serta merta memperolehnya. Guru tersebut harus lolos sertifikasi yang persyaratan cukup berat, termasuk uji kompetensi.

Dengan adanya tunjuangan profesi, mau tidak mau guru dituntut untuk lebih bekerja keras dan profesional dalam mengajarkan mata pelajaran pada anak. Tidak bisa lagi setengah-setengah. Itu sebuah konsekuensi dari kenaikan pendapatan yahng diperoleh seorang guru.

Apalagi di antara sekian banyak pegawai negeri, guru menjadi prioritas dalam tambahan penghasilan. Gaji seorang guru hampir pasti lebih tinggi disbanding PNS lain yang setara. Jika saja dia punya gaji pokok Rp 1,9 juta misalnya, berarti tiap bulan menerima gaji plus berbagai tunjangan sekitar Rp 4,2 juta. Gaji yang menggiurkan untuk ukuran Temanggung.

Belum lagi kalau pemerintah daerah atau provinsi memberikan tunjangan khusus bagi guru. Seperti di DKI Jakarta misalnya, setiap guru negeri memperoleh tunjangan dari provinsi sebear Rp 2,5 juta per bulan. Jadi seorang guru di Jakarta yang sudah lolos sertifikasi bisa mengantongi Rp 6,7 juta per bulan.

Sebuah ironi terjadi dalam sebuah diskusi antarguru di internet. Di situ ada seorang guru yang mencoba menawar, ‘’bisa nggak dapat tunjangan profesi tapi tidak harus mengajar 24 jam per minggu, bagaimana mengakalinya?’’ Karena seperti kita tahu, mereka yang memperoleh tunjangan profesi harus mengajar minimal 24 jam.

Mengajar 24 jam berat, mungkin betul. Tapi jika ingin memperoleh pendapatan besar, konsekeunsinya harus bekerja keras, bukan malah mengakalinya. Jika itu yang terjadi, cukup memalukan. Orang seperti itu rasanya tidak pantas jadi guru yang semestinya bisa digugu dan ditiru. Guru seperti itu, istilah sekarang ,’’ke laut aja..’’

Kini yang perlu dipikirkan adalah pendapatan guru swasta dan guru tidak tetap. Sampai sekarang di Temanggung, mereka-mereka ini masih ada yang berpendapatan dua ratus atau tiga ratus ribu per bulan.. Ini harus diperjuangkan. Pemda perlu mengalokasikan dana khusus sebelum dari pusat memberikan kesejahteraan standar buat mereka.

Guru negeri sudah punya dunia sendiri dalam karir dan pendapatan. Tinggal masing-masing guru mau maju atau tidak. Kalaupun tersandung-sandung dalam memperoleh sertifikasi, itu bisa saja terjadi. Tapi toh apapun tetap ada harapan untuk bisa memperolehnya, harapan itu pula yang akan memberi semangat.

Dulu perguruan tinggi guru seperti IKIP (sekarang sudah berganti jadi universitas) menjadi perguruan tinggi pilihan terakhir. Apa artinya? Sebagian besar guru yang berasal dari perguruan tinggi tersebut, sebetulnya menjadikan profesi guru sebagai pilihan terakhir.

Tapi kini lain. Paradigma bahwa guru sebagai pilihan terakhir dalam berprofesi akan mulai memudar. Kelak guru akan menjadi profesi yang dicari, sehingga proses seleksi menjadi guru pun akan lebih berat dibanding sebelumnya. Jika guru-guru yang ada sekarang ini tidak meningkatkan kualitasnya, maka dalam satu-dua dekade ke depan, akan terpinggirkan oleh mereka yang mencintai profesi dan progresif.

Kini, bagi guru negeri, bukan saatnya lagi untuk mengeluh. Tapi justru menjadi saat untuk membuktikan diri bahwa dirinya mampu menjadi guru yang baik yang bukan hanya mampu mengajar dengan baik tapi juga menjadi panutan bagi murid-muridnya. Tentu juga menjadi panutan bagi guru-guru swasta dan tidak tetap yang belum beruntung.

Lontar Desember 2008

Atasi Kelangkaan Pupuk

Petani sedang resah. Bukan karena ekonomi dunia sedang gelisah, tetapi lebih karena ketiadaan pupuk bersubsidi di pasar. Bahkan, di Koperasi Unit Desa (KUD) yang selama ini jadi andalan untuk penyaluran pupuk sudah tidak ada stok.

Kelangkaan pupuk yang hampir merata ini sudah dirasakan petani sejak September silam. Bahkan, di beberapa daerah sudah dirasakan mulai Maret. Akibatnya banyak petani yang kelimpungan karena mereka sulit mencari pupuk. Kalaupun ada harganya sangat tinggi. Pupuk Pusri yang semula Rp 65 ribu per sak, misalnya, kini di pasar menjadi Rp 110 ribu.

Karena butuh pupuk, petani pun tetap membeli, hanya jumlahnya terbatas, sehingga akhirnya pemupukan menjadi tidak maksimal. Tanaman tidak memperoleh jatah pupuk sebagaimana mestinya. Konsekuensinya, produktivitas tanaman akan turun. Petani pun memperoleh pendapatan yang sangat minimal.

Harga pupuk untuk petani memang disubsidi pemerintah. Pada 2008 ini alokasi subsidi pupuk dianggarkan Rp 15,18 triliun, tapi sampai November ini baru 75 persen atau sekitar Rp 11,53 triliun yang dicairkan. Dengan posisi tersebut semestinya masih banyak dana yang dialokasikan untuk pupuk bersubsidi.

Masalahnya kenapa pupuk menjadi langka? Padahal, produksi dari pabrik secara hitung-hitungan sudah mencukupi. Pasti ada penyelewengan. Menurut Wakapolri, Makbul Padmanegara, ada tujuh modus penyelewengan yang membuat pupuk langka, yakni penimbunan stok, penggantian kemasan pupuk bersubsidi, penyebaran isu kelangkaan pupuk, perdagangan antarpulau, penyelundupan, pemalsuan kuota, dan pergeseran stok dari daerah yang harganya murah ke daerah yang harganya lebih tinggi.

Penyelewengan seperti itu tentu tidak bisa dibiarkan. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap para penyeleweng, apalagi ini terkait dengan ketahanan pangan. Kita tahu pada 2008 ini produksi beras sekitar 36,75 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional 32,62 juta ton, sehingga ada surplus 4,13 juta ton. Sebuah pencapaian yang layak diapresiasi.

Tapi, jika masalah kelangkaan pupuk ini tidak segera diselesaikan, target pencapaian berikutnya bisa meleset. Sangat disayangkan kalau menurunnya kuantitas hasil pertanian hanya disebabkan oleh ulah sebagian kecil orang-orang rakus yang mempermainkan harga pupuk. Tentu untuk segera menumpas para pemain yang menggunakan tujuh modus tersebut tidak bisa dalam waktu yang singkat. Para pelaku itu pasti memiliki jaringan yang kuat, bahkan mereka juga memiliki backing kuat di aparat. Sehingga, perlu diambli langkah yang cepat untuk segera mengatasi kelangkaan ini.

Salah satu langkah yang harus segara dilakukan adalah melakukan operasi pasar pupuk bersubsidi, terutama di sentra pertanian di Jawa. Operasi pasar ini dilakukan dengan langsung menjual ke petani. Jalur distribusi yang selama ini dituding terlalu rumit, sehingga rawan diselewengkan, dipotong.

Rumitnya masalah distribusi pupuk ini pula yang membuat pemerintah berpikiran untuk mengubah pola subsidi. Jika sekarang ini subsidi diberikan ke pabrik pupuk, maka yang sedang dipertimbangkan adalah memberikan subsidi langsung ke petani sebagaimana bantuan tunai langsung (BLT) ataupun bantuan operasional sekolah (BOS).

Tapi, apa pun metode subsidi yang dipilih, yang penting kelangkaan pupuk bisa diatasi tanpa ada penyelewengan. Apalagi subsidi ini untuk petani dan sampai sekarang pertanian masih menjadi mata pencarian sebagian besar rakyat Indonesia. Petani adalah pahlawan ketahanan pangan. Jangan sampai para pahlawan ini diabaikan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 28 Nopember 2008