Tuesday, January 13, 2009

Optimalkan Stimulus

Situasi ekonomi global yang tidak menentu ini membuat sibuk semua negara. Hampir tak ada satu pun negara yang tak terseret krisis ini. Maka, hampir semua negara pula berlomba-lomba menyelamatkan perekonomian negara masing-masing. Bailout dan stimulus ekonomi menjadi wajib dilakukan.

Indonesia, yang ikut terkena imbas, melakukan langkah serupa. Bailout tidak dilakukan karena, selain tidak ada perusahaan yang benar-benar terpuruk, bailout juga rawan terhadap penyelewengan. Hanya stimulus-lah yang tidak ketinggalan. Data terakhir menunjukkan bahwa pemerintah mengalokasikan Rp 50 triliun untuk stimulus fiskal.

Hampir bersamaan dengan pengumuman itu, Bank Indonesia (BI) juga menurunkan bunga acuan dari 9,25 persen menjadi 8,75 persen. Ini merupakan stimulus moneter yang memang sudah lama ditunggu karena banyak negara sudah menurunkan bunga acuan untuk membangkitkan kembali perekonomian mereka yang terpuruk.

Dikeluarkannya stimulus fiskal dan moneter ini tentu merupakan kabar baik bagi para pebisnis. Selama ini, para pelaku usaha sudah menunggu stimulus apa yang akan diberikan oleh pemerintah dan berapa jumlah yang dialokasikan. Kini, tinggal bagaimana stimulus itu bisa berjalan dengan optimal agar dapat kembali menggairahkan perekonomian nasional.

Stimulus fiskal tersebut semestinya diberikan pada sektor-sektor yang rawan terhadap gejolak ekonomi global. Dalam hal ini, yang mesti diprioritaskan adalah usaha yang berorientasi ekspor yang sekaligus juga mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar. Kita tahu, dengan ambruknya perekonomian Amerika dan Eropa, permintaan akan barang berkurang sehingga ekspor terganggu.

Sektor lain yang perlu mendapat perhatian adalah yang menyerap tenaga kerja besar. Jika berbicara masalah ini, yang paling dekat adalah infrastruktur. Sektor ini, sekali angkat, mampu menampung ribuan tenaga kerja. Begitu juga dengan sektor perekonomian rakyat karena perekonomian rakyat yang identik dengan sektor informal ini justru menampung tenaga kerja dalam jumlah besar.

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah sektor-sektor yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini menjadi penting. Karena, dengan pertumbuhan yang bagus, pengangguran akan terkurangi. Fokusnya adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, yakni pertumbuhan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Bagaimana dengan peran stimulus moneter? Dengan diturunkannya bunga acuan, likuiditas juga akan longgar, perbankan tidak saling berebut dana dengan memberikan bunga tinggi, dan pada gilirannya bunga kredit pun akan turun. Saat ini, bunga kredit sudah teramat tinggi sehingga memberatkan peminjam. Bank pun menjadi terlampau hati-hati untuk menyalurkan dana, khawatir dana tak kembali.

Pemerintah perlu duduk bersama dengan pelaku usaha, membahas sektor apa yang menjadi prioritas untuk stimulus tersebut. Tetapi, sebelumnya, pemerintah harus memiliki garis yang tegas mengenai sektor yang perlu diberi stimulus. Dalam pembicaraan itu, hanya dibahas isu-isu strategis, bagaimana stimulus tersebut diberikan.

Kita ingin keterpurukan ekonomi global ini segera berlalu, setidaknya di negeri ini. Karena itu, stimulus ini harus segera dilaksanakan. Dan, yang penting, stimulasi yang memakan dana besar ini harus tepat sasaran sehingga tujuan untuk menggerakkan perekonomian demi mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan bisa tercapai.

Dimuat di tajuk Republika edisi 9 Januari 2009

Thursday, January 8, 2009

Tahun Penuh Tantangan

Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Kita menutup 2008 dengan kondisi yang cukup berat, terutama terkait dengan masalah ekonomi yang sedang dilanda kelesuan yang berakibat merosotnya kesejahteraan masyarakat.


Kini, kita sudah menapak ke tahun 2009, tahun yang berat dan penuh tantangan. Tahun yang menjadi pertaruhan bagi bangsa kita, apakah kita bisa melewati dengan baik atau tidak. Apakah kita bisa menjadi bangsa yang dewasa atau tidak. Apakah kita berbakat menjadi bangsa besar atau tidak.


Tantangan berat pertama adalah ekonomi. Kita tahu pada triwulan terakhir tahun lalu ekonomi Amerika limbung. Karena Amerika merupakan pusat pusaran ekonomi dunia, maka ketika negara besar tersebut roboh, keruntuhannya menyeret hampir seluruh negara di dunia. Sebagai negara yang merupakan bagian dari globalisasi ekonomi, ekonomi Indonesia ikut terhuyung.


Sampai saat ini sudah puluhan ribu tenaga kerja harus terkena pemutusan hubungan. Industri terutama yang berbasis ekspor seperti sepatu dan tekstil harus menelan kerugian. Perbankan menaikkan suku bunga sehingga memberatkan debitor. Permintaan akan barang menciut. Perusahaan-perusahaan menunda ekspansi. Bursa pun ikut-ikutan jatuh.


Banyak yang memperkirakan bahwa krisis global yang berimbas ke Indonesia ini akan memasuki puncaknya pada triwulan pertama tahun ini. Karena itulah, ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mengatasi masalah tersebut agar krisis ini bisa dilokalisasi dan diperkecil dampaknya. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.


Pemerintah sendiri akan kesulitan dalam mengatur keuangan. Ketika ekonomi terpangkas, otomatis kegiatan bisnis juga menyurut, konsekuensinya penerimaan pajak akan merosot. Diperkirakan penerimaan pajak tahun ini bisa terpangkas sampai Rp 70 triliun. Ini tentu memberatkan anggaran, sehingga terpaksa lagi utang luar negeri ditambah. Saat ini saja pembayaran utang luar negeri dalam rupiah menjadi besar karena rupiah yang melemah 25 persen terhadap dolar AS.


Tantangan kedua adalah di bidang politik. Tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum untuk legislatif dan beberapa bulan kemudian pemilihan presiden dan wakil presiden. Ukuran kesuksesan dari terselenggaranya pemilu adalah jika pemilu berjalan dengan aman, jujur, adil, dan besarnya partisipasi masyarakat.


Di tengah muramnya ekonomi, di tengah puluhan ribu orang yang terkena PHK, di tengah kemiskinan yang masih membelit kita, di tengah jutaan pengangguran yang ada, bukan perkara mudah untuk menyelenggarakan pemilu yang aman dan damai. Biasanya dalam kondisi seperti itu, masyarakat begitu gampang untuk disulut dengan kekerasan.


Selain itu, dengan berkaca pada pemilihan kepala daerah di mana partisipasi masyarakat dalam pemilihan terus merosot, bahkan ada yang hampir separuh tidak mencoblos, menjadi tantangan sendiri. Begitu pula tata cara pemilihan yang berubah, harus segera disosialisasikan kepada masyarakat. Kita tahu bahwa sebagian masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan, mereka butuh sosialisasi intensif.


Tapi betapapun sulitnya, tantangan itu harus kita hadapi sekaligus kita atasi dengan sebaik-baiknya. Bangsa ini berbakat menjadi bangsa besar. Maka, kita harus membangun kesadaran kolektif berupa kesamaan semangat untuk membangun negeri ini. Saling memahami posisi masing-masing dan bersama bergerak tanpa saling menyalahkan.


Dimuat di tajuk Republika edisi 2 Januari 2009

Tahun Penuh Tantangan

Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Kita menutup 2008 dengan kondisi yang cukup berat, terutama terkait dengan masalah ekonomi yang sedang dilanda kelesuan yang berakibat merosotnya kesejahteraan masyarakat.

Kini, kita sudah menapak ke tahun 2009, tahun yang berat dan penuh tantangan. Tahun yang menjadi pertaruhan bagi bangsa kita, apakah kita bisa melewati dengan baik atau tidak. Apakah kita bisa menjadi bangsa yang dewasa atau tidak. Apakah kita berbakat menjadi bangsa besar atau tidak.

Tantangan berat pertama adalah ekonomi. Kita tahu pada triwulan terakhir tahun lalu ekonomi Amerika limbung. Karena Amerika merupakan pusat pusaran ekonomi dunia, maka ketika negara besar tersebut roboh, keruntuhannya menyeret hampir seluruh negara di dunia. Sebagai negara yang merupakan bagian dari globalisasi ekonomi, ekonomi Indonesia ikut terhuyung.

Sampai saat ini sudah puluhan ribu tenaga kerja harus terkena pemutusan hubungan. Industri terutama yang berbasis ekspor seperti sepatu dan tekstil harus menelan kerugian. Perbankan menaikkan suku bunga sehingga memberatkan debitor. Permintaan akan barang menciut. Perusahaan-perusahaan menunda ekspansi. Bursa pun ikut-ikutan jatuh.

Banyak yang memperkirakan bahwa krisis global yang berimbas ke Indonesia ini akan memasuki puncaknya pada triwulan pertama tahun ini. Karena itulah, ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mengatasi masalah tersebut agar krisis ini bisa dilokalisasi dan diperkecil dampaknya. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.

Pemerintah sendiri akan kesulitan dalam mengatur keuangan. Ketika ekonomi terpangkas, otomatis kegiatan bisnis juga menyurut, konsekuensinya penerimaan pajak akan merosot. Diperkirakan penerimaan pajak tahun ini bisa terpangkas sampai Rp 70 triliun. Ini tentu memberatkan anggaran, sehingga terpaksa lagi utang luar negeri ditambah. Saat ini saja pembayaran utang luar negeri dalam rupiah menjadi besar karena rupiah yang melemah 25 persen terhadap dolar AS.

Tantangan kedua adalah di bidang politik. Tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum untuk legislatif dan beberapa bulan kemudian pemilihan presiden dan wakil presiden. Ukuran kesuksesan dari terselenggaranya pemilu adalah jika pemilu berjalan dengan aman, jujur, adil, dan besarnya partisipasi masyarakat.

Di tengah muramnya ekonomi, di tengah puluhan ribu orang yang terkena PHK, di tengah kemiskinan yang masih membelit kita, di tengah jutaan pengangguran yang ada, bukan perkara mudah untuk menyelenggarakan pemilu yang aman dan damai. Biasanya dalam kondisi seperti itu, masyarakat begitu gampang untuk disulut dengan kekerasan.

Selain itu, dengan berkaca pada pemilihan kepala daerah di mana partisipasi masyarakat dalam pemilihan terus merosot, bahkan ada yang hampir separuh tidak mencoblos, menjadi tantangan sendiri. Begitu pula tata cara pemilihan yang berubah, harus segera disosialisasikan kepada masyarakat. Kita tahu bahwa sebagian masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan, mereka butuh sosialisasi intensif.

Tapi betapapun sulitnya, tantangan itu harus kita hadapi sekaligus kita atasi dengan sebaik-baiknya. Bangsa ini berbakat menjadi bangsa besar. Maka, kita harus membangun kesadaran kolektif berupa kesamaan semangat untuk membangun negeri ini. Saling memahami posisi masing-masing dan bersama bergerak tanpa saling menyalahkan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 2 Januari 2009

Monday, January 5, 2009

Profesionalisme Penegak Hukum

Selama 2008, sebanyak 161 polisi dipecat dengan tidak hormat. Sementara ada 37 polisi lainnya yang melanggar etika diganjari dengan pemberhentian dengan hormat, dimutasi, dibina ulang, disuruh minta maaf, dan lain-lain. Ribuan polisi juga diberi sanksi karena melanggar disiplin.

Laporan akhir tahun Polri tersebut sedikti memberikan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia. Meskipun sebenarnya masih lebih banyak lagi aparat yang melakukan pelanggaran dan layak pecat, tapi setidaknya langkah itu menyiratkan pembenahan internal aparat kepolisian.

Jika kita bicara soal penegakan hukum, maka tegak tidaknya hukum tergantung dari bagaimana kualitas penegak hukumnya sendiri. Ada tiga pilar hukum yang menjadi tonggak tegaknya hukum yakni kepolisian, kejaksanaan, dan kehakiman. Pada merekalah hukum ini bersandar.

Bagaimana kualitas atau profesinalisme ketiga penegak hukum tersebut? Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita semua. Bukan rahasia lagi bahwa dalam perjalanan bangsa ini, profesionalisme para penagak hukum dipertanyakan. Mereka yang semestinya menjadi penegak hukum justru membengkokkan hukum itu sendiri.

Aparat kepolisian misalnya, berapa banyak mereka yang melakukan pelanggaran. Tak sedikit aparat polisi yang hidupnya berlimpah dengan harta, bahkan untuk mereka yang pangkatnya rendah sekalipun. Mereka melakukan korupsi, melakukan pemerasan, melakukan beking-bekingan, dll.

Berapa banyak jaksa yang bermain mata dengan orang-orang jahat. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan membuktikan bahwa begitu banyak jaksa yang selama ini bukan menegakkan keadilan tetapi justru mempermainkan keadilan. Banyak kita jumpai jaksa di daerah yang hidupnya pun bergelimang dengan uang.

Tak beda pula dengan hakim. Sogok menyogok, suap menyuap merupakan menu sehari-hari sebagian besar hakim. Hakim menjadi pusat dari mafia peradilan yang mencoreng bangsa ini. Siapa yang mampu membayar tinggi, vonis pun akan dibuat ringan, bahkan kalau perlu bisa dibikin bebas.

Memang sejak dua-tiga tahun terakhir ini, berbagai permainan para penegak hukum ini dibongkar. Apalagi setelah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga baru ini mendobrak kebuntuan hukum yang selama ini terjadi. KPK ini pula yang kemudian menginspirasi tiga pilar hukum yang sebelumnya tak mampu berperan.

Kepolisian mencoba untuk terus berbenah. Selain melakukan pemecatan dan pemberian sanksi kepada oknum polisi, mereka juga mulai membabat habis aksi preman. Mereka juga membongkar jaringan narkoba dan perjudian yang sebelumnya justru dibekengi oleh orang-orang kepolisian.

Kejaksaan juga sudah mulai membersihkan diri. Beberapa jaksa yang bermasalah dipecat. Terakhir yang fenomenal adalah dipecatnya hakim Urip karena terbukti menerima suap. Sayangnya beberapa koleganya yang terkait masalah ini seperti Kemas Yahya Rahman dan M Salim hanya dihukum ringan berupa teguran tertulis.

Hakim yang selama ini menjadi pusat mafia peradilan tak bisa lagi untuk tidak melakukan reformasi. Apalagi setelah ada Komisi Yudisial yang memiliki peran besar untuk menilai kinerja seorang hakim. Beberapa hakim sudh dipecat karena mereka melakukan pemerasan dan menerima suap.

Kita berharap angin segar reformasi tiga pilar penegak hukum ini tidak terhenti. Profesionalisme penegak hukum harus terus ditingkatkan, termasuk dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada mereka yang melanggar hukum.

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Desember 2008