Friday, February 27, 2009

Kendalikan Pertumbuhan Penduduk

Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia. Tidak mudah mengelola negara dengan penduduk besar, apalagi ketika kemiskinan dan pengangguran masih terus menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan.

Problem tersebut menjadi kian berat manakala jumlah penduduk tumbuh tidak terkendali. Dan naga-naganya, ini yang bakal terjadi. Pada 2008 silam, jumlah penduduk Indonesia 227 juta jiwa, sementara pada 2000 baru sekitar 205 juta jiwa. Berarti, dalam jangka waktu delapan tahun terjadi pertambahan penduduk 22 juta, atau 10,7 persen.

Jika saja pertumbuhan penduduk seperti itu tetap dibiarkan, menurut perkiraan pemerintah pada 10-15 tahun mendatang akan terjadi ledakan penduduk yang luar biasa. Pada 2015 akan melonjak menjadi 255 juta, dan pada 2020 akan mencapai 270 juta jiwa. Sebuah angka yang sangat besar yang kelak akan menjadi beban berat bagi pemerintah.

Kondisi itu perlu diantisipasi. Pemerintah harus segera bertindak melakukan aksi nyata untuk mengendalikan jumlah penduduk.

Sejak reformasi, program pengendalian penduduk yang bernama Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan jaman Orde Baru terbengkelai. Sepertinya karena itu program Orde Baru, maka dianggap buruk dan dijauhi, tidak prorakyat. Semestinya bisa dipiliah, mana program yang baik, mana tidak. Program KB merupakan program baik yang harus dilanjutkan.

Pemerintah harus lebih intensif untuk menggulirkan kembali program KB. Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang bertanggung jawab terhadap program ini tampaknya sudah mencoba mengevaluasi diri, karena itu mereka melakukan rebranding agar persepsi masyarakat berubah. Mereka perlu dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat yang peduli.

Betul bahwa nantinya, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menjadi bumerang bagi kita. Ketika kemiskinan masih membelit kita, maka pertambahan penduduk yang berlebihan akan makin menambah jumlah masyarakat miskin. Apalagi sebagian besar keluarga yang memiliki anak banyak adalah kelompok bawah.

Ledakan penduduk juga terkait penyediaan pangan. Bayangkan jika setiap tahun penduduk tambah 2,6 juta jiwa, berarti dibutuhkan tambahan beras 361 ribu ton kg per tahun (asumsi 139 kg beras per kapita per tahun). Saat ini kebutuhan beras 32 juta ton per tahun, ketika nanti 2020 jumlah penduduk 270 juta, maka dibutuhkan beras 37,5 juta ton. Perlu usaha luar biasa untuk memenuhinya, apalagi lahan pertanian makin terbatas. Swasembada beras pun terancam.
Belum lagi masalah penyediaan perumahan. Dengan jutaan pendudukan yang lahir maka kelak diperlukan juga jutaan rumah yang harus tersedia. Ketika ada rumah, maka harus ada listrik, maka kebutuhan energi pun menjadi besar. Kebutuhan transportasi tak terkecuali akan membangkak. Jika segala kebutuhan itu tak terpenuhi, akan makin banyak orang miskin, akan makin banyak pengangguran, dan akhirnya akan makin banyak pula kriminalitas.

Untuk itu, jumlah penduduk harus dikendalikan. Kita memang tidak perlu sekeras Cina yang mencanangkan satu keluarga satu anak, tapi cukup dibatasi sebagaimana kesuksesan program KB yang dulu, satu keluarga dua anak. Perlu segera kembali digalakkan kampanye keluarga kecil berkualitas.

Salah satu kampanye yang terbaik adalah memberi contoh. Maka dari itu semestinya para tokoh di negeri ini atau paling tidak calon-calon tokoh di negeri ini perlu memberi contoh. Pemerintah perlu melakukan pendekatan persuasif terhadap sebagian kalangan yang notabene menjadi tokoh di negeri ini yang justru menginginkan banyak anak.

Dalam masalah kependudukan ini yang harus kita kejar adalah kualitas, bukan kuantitas.

Dimuat di tajuk Republika edisi 14 Februari 2009

Friday, February 20, 2009

Saling Klaim, Saling Menjatuhkan

Situasi politik terus memanas menjelang pemilihan umum April nanti. Masing-masing partai melakukan berbagai aksi untuk menarik hati rakyat. Mereka berpikir keras bagaimana bisa merebut hati masyarakat. Jika partai itu sudah memiliki kandidat presiden, maka kandidat itu pun ikut dijual, dinaikkan citranya lewat berbagi strategi kampanyenya.

Dalam iklim demokrasi dimana satu orang dihitung satu suara, maka merebut simpati masyarakat menjadi kunci penting memenangkan pemilu. Segala cara dilakukan untuk merayu masyarakat agar kelak partainya dipilih rakyat. Dan saat ini, isu seksi yang banyak dipakai adalah masalah ekonomi dan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, pemerataan, dan ekonomi rakyat.

Beriklan di media massa menjadi strategi utama untuk berkampanye. Maka kita saksikan beragam iklan pencitraan yang dilakukan oleh partai berikut capres yang diusung. Iklan Partai Amanat Nasional (PAN) lewat tagline 'Hidup Adalah Perbuatan' yang menampilkan Sutrisno Bachir (SB) misalnya, sempat menyedot perhatian masyarakat karena iklan yang begitu gencar.

Lebih dari seratus miliar rupiah dibelanjakan untuk pembentukan citra ketua umum PAN itu. Setiap hari dari pagi sampai malam, iklan itu muncul di hampir semua televisi. Saking seringnya masyarakat sampai merasa jenuh. Tapi kini iklan itu tidak muncul lagi bersamaan dengan menguapnya triliunan rupiah kekayaan SB karena rugi besar di bursa saham.

Lain lagi dengan iklan Partai Gerindra yang mengajukan Prabowo Subianto menjadi capres. Iklan Prabowo yang secara tegas mengajak masyarakat untuk bergabung di partainya itu dikatakan cukup membumi. Isu ekonomi rakyat yang memberdayakan petani dan pedagang pasar menjadi tema sentral. Prabowo mengoptimalkan posisinya sebagai ketua umum organisasi pasar tradisional dan himpunan petani.

Tentu bukan tanpa perencanaan sewaktu Prabowo maju menjadi ketua umum di organisai tersebut. Kejelian membidik organisasi yang merakyat itu telah dirancang sejak awal. Tak peduli Prabowo petani atau bukan, pedagang pasar atau bukan. Apakah Prabowo yang sejak kecil hidup di kalangan atas itu mampu berempati pada perekonomian rakyat, itu juga soal lain.

Berbeda dengan Sutrino Bachir, iklan Prabowo sampai saat ini masih rutin menyapa pemirsa, bahkan makin variatif. Uang Prabowo masih tidak berseri, karena selama ini perusahaannya bermain di sektor riil seperti perkebunan dan pabrik kimia, sehingga krisis global ini tidak terlampau memukul bisnisnya.

Jika dilihat dari sisi persaingan, iklan SB dan Prabowo tidak menarik, tak ada konflik yang tercipta. Mereka hanya berkompetisi, tanpa melibatkan emosi rakyat. Mereka hanya saling menonjolkan diri untuk kepentingan masing-masing.

Persaingan yang menarik justru dari kalangan partai penyokong pemerintah, yakni Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar. Mereka aktif beriklan di televisi dan media cetak dengan menonjolkan peran masing-masing dan saling klaim keberhasilan pemerintah.

Kita lihat iklan PD. Tema yang diusung dalam iklannya adalah keberhasilan pemerintah yang direpresentasikan sebagai keberhasilan Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY). SBY yang merupakan pendiri Partai Demokrat itu dicitrakan sebagai presiden yang pro-rakyat yang mampu menaikkan pendapatan perkapita, menurunkan kemiskinan, menurunkan pengangguran, dll.

Golkar yang sebetulnya ikut bagian dalam 'keberhasilan' kecolongan. Karena itu mereka kemudian menyodok dengan iklan perdamaian dengan merujuk kasus di Ambon, Poso, dan Aceh. Jusuf Kalla (JK), ketua umum partai itu memang berperan besar dalam upaya perdamaian di wilayah itu. Lewat peran itu pula JK memperoleh gelar honoris causa dari Universitas Soka, Jepang.

Tak lama berselang, ketika pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), PD kembali meluncurkan iklan yang mengabarkan bahwa hanya SBY-lah satu-satunya presiden dalam sejarah bangsa Indonesia yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) tiga kali berturut-turut. Bahwa penurunan tersdebut sebuah keniscayaan lantaran harga minyak dunia turun tajam, itu tidak perlu diungkap. Bahwa di Malaysia penurunan BBM sampai enam kali, rakyat juga tak perlu tahu.

Iklan tersebut muncul beberapa hari setelah dengan 'jantan'-nya SBY mengumumkan bahwa pemerintah kembali menurunkan harga BBM. Pertanyaannya, kenapa ketika pemerintah harus menaikkan harga BBM, SBY mendelegasikan ke menteri untuk mengumumkan? Sebuah tricky politic yang jitu.

Klaim PD itu membuat Golkar kembali gerah. Mereka kecolongan lagi. Maka segeralah partai ini membuat iklan baru berupa keberhasilan pemerintah dalam swasembada beras. Jadi sebelum diklaim oleh PD, Golkar buru-buru mengklaim duluan.

Rebutan klaim antara PD dan Golkar ini menjadi kian menarik karena dalam pemerintahan ini, para menteri yang sebagian dari partai ini juga ikut kerja keras. Dalam soal swasembada beras misalnya, tentu tak lepas dari peran menteri pertanian yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera. 'Klaim keberhasilan itu hak presiden dan wakil presiden' begitu barangkali hukum tak tertulisnya.

Tetapi yang lebih provokatif adalah iklan saling jegal. Ini yang terjadi antara PD dan PDI-P. Maklum, sementara ini hanya ada dua kandidat kuat presiden, yakni SBY dari PD dan Megawati dari PDI-P. Dengan begitu persaingan dua partai ini sekaligus juga mencerminkan persaingan dua kandidat kuat presiden RI. Tak heran kalau kedua partai tersebut saling jegal dan saling menjatuhkan dalam iklan.

Ketika PD meluncurkan iklan keberhasilan pertumbuhan ekonomi dan lain-lain, PDI-P mencounter dengan iklan bahwa harga semako mahal. Iklan di televisi menayangkan beberapa lapisan masyarakat yang tidak mampu membeli sembako karena uangnya tidak cukup. Dulu cukup, kok sekarang tidak cukup. Ditayangkan juga wajah pengangguran yang tidak juga memperoleh pekerjaan.

Ketika PD menampilkan iklan bahwa masyarakat miskin telah berkurang dan pengangguran menyusut, PDI-P mengatakan bahwa penurunan itu jauh dari angka yang dijanjikan SBY-JK saatkampanye. Ketika PD memproklamirkan penurunan harga BBM, PDI-P dengan sinis dalam iklannya mengatakan bahwa penurunan harga itu tidak sebanding dengan anjloknya harga minyak internasional.

Saling menjatuhkan antara PD dan PDIP itu bukan hanya ditataran iklan, tetapi juga dalam dialog yang tayang di televisi. Setiap ada dialog yang melibatkan mereka, selalu terjadi debat kusir dan cenderung saling melecehkan, saling berebut bicara tak ada yang mau mengalah, dan saling mencari-cari kelemahan. Merasa benar sendiri. Tak ada kedewasaan di sana, apalagi intelektualitas.

Bahkan ditataran terataspun, yakni Megawati dan SBY, tak ketinggalan untuk saling menjatuhkan. Suatu ketika Megawati mengatakan bahwa pemerintah sekarang ini mempermainkan rakyat sebagaimana anak-anak main yoyo. Menyambut sindiran itu, SBY menjawab lewat pantun: ''Mencari-cari kesalahan bukanlah sifat yang bijak. Tiada yang sempurna dalam kehidupan ini.''

Kita saksikan para pemimpin politik yang narsis itu saling menjatuhkan, saling menelikung. Mereka berusaha merebut simpati masyarakat tanpa mengindahkan batasan etika. Sebuah tontotan yang tidak mendidik masyarakat. Ketika sebagian masyarakat kita masih berkutat dalam kepahitan hidup, para pemimpin justru bertengkar. Celakanya lagi segala tingkah laku mereka mengatasnamakan rakyat.

Dalam situasi dimana kita baru saja bangun dari keterpurukan akibat krisis satu dekade silam, dibutuhkan pemimpin yang mencari simpati tidak dengan menghujat orang lain. Tapi mereka yang punya visi jauh ke depan yang mampu membawa bangsa ini seperti yang dicita-citakan para pendiri negara, yakni negeri yang adil dan makmur.

Negeri ini akan kokoh jika dibangun dengan pondasi kepercayaan dan kebersamaan. Karena itu, di saat kampanye lakukanlah kampanye yang elegan, disaat sudah terpilih terimalah hasilnya dengan sikap dewasa. Tak perlu saling mengklaim, saling menghujat, tidak pula saling menjatuhkan.@

Dimuat di Opini Republika edisi 4 Februari 2009

Wednesday, February 18, 2009

Stimulus Miskin Fulus

Apa yang dilakukan pemerintahan seluruh negara di berbagai belahan dunia dalam menghadapi krisis global ini? Serempak mereka mengatakan: Stimulus.

Beberapa negara, selain memberikan stimulus juga sekaligus melakukan bail-out (menyuntik modal perusahaan yang sekarat). Amerika dan hampir seluruh negara di Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris, Irlandia, Belanda. Begitu pula negara kuat seperti Rusia. Tak ketinggalan tiga kekuatan ekonomi Asia, Jepang, Korea, dan Cina, harus merogoh kocek untuk melakukan bailout.

Indonesia, sebagai salah satu negara emerging market, terimbas pula oleh krisis global. 'Untung'-nya karena kontribusi ekspor dalam perekonomian belum mendominasi, maka krisis yang mengimbas tersebut tidak terlampau parah. Pertumbuhan ekonomi meski turun tapi masih berkisar empat-lima persen. Karena itu pula Indonesia tidak melakukan bailout, hanya perlu stimulus.

Berapa alokasi stimulus? Ini yang menjadi banyak pertanyaan, bahkan memunculkan kecurigaan. Bagaimana tidak menjadi pertanyaan kalau Pemerintah tidak konsisten dengan besaran dana stimulus yang akan diberikan. Dalam beberapa kali kesempatan, Pemerintah mengeluarkan angka kemudian pada hari lain, ada angka lagi yang berbeda. Bahkan Presiden dan Menteri Keuangan saling merevisi.

Pada pertengahan Desember tahun lalu misalnya, Menkeu Sri Mulyani memberikan angka stimulus Rp 22,5 triliun. Pada akhir bulan yang sama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merevisinya menjadi Rp 32,5 triliun. Beberapa hari kemudian, awal Januari Menkeu memberikan angka baru, yakni Rp 50,5 triliun. Pernah juga diturunkan lagi oleh Menkeu menjadi Rp 27 triliun. Dan angka terakhir yang dipublikasikan akhir Januari ini adalah Rp 71,3 triliun.

Perubahan jumlah stimulus itu yang berulang kali itu membuktikan bahwa pemerintah kurang memiliki perencanaan yang matang dalam mengelola krisis global ini. Terjadi kegagapan kebijakan, sehingga sepertinya pemerintah tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Anehnya, perubahan dalam jangka waktu sangat pendek itu nilainya cenderung, tak heran kalau ada anggota DPR yang mencurigai ini sebagai langkah politik populis. Maklum, pemilu makin dekat.

Lepas dari kecurigaan tersebut, stimulus sangat dibutuhkan untuk menggerakan perekonomian nasioanal. Stimulus yang dialokasikan sebesar Rp 71,3 triliun ini relatif besar karena sekitar 1,4 persen dibanding produk domestik bruto (PDB). Jepang mengalokasikan 1,0 persen, Singapura 1,1 persen, Korea 0,9 persen, Malaysia yang menyodok dengan persentase tinggi, yakni 4,4 persen.

Tapi yang jadi persoalan adalah dalam bentuk apa stimulus diberikan. Kalau kita simak datanya, maka lebih dari 85 persen berupa insentif fiskal dan subsidi. Alokasinya, penghematan pembayaran pajak Rp 43 triliun, subsidi pajak kepada dunia usaha Rp 13,3 triliun, subsidi solar dan diskon beban puncak listrik industri Rp 4,2 triliun. Sementara yang diberikan secara langsung adalah Rp 10,2 triliun untuk infrastuktur dan Rp 0,6 triliun untuk perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM).

Memang, di setiap negara, pemberian stimulus diberikan secara simultan dalam bentuk pemotongan pajak (tax cut) dan kenaikan pengeluaran (increase spending). Sayang, stimulus di negeri ini yang sifatnya langsung ini hanya terbatas. Padahal dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, peran negara sangat diperlukan untuk menggairahkan ekonomi. Dan salah satu caranya adalah dengan memainkan dana anggaran belanja untuk dibelanjakan secara langsung ke publik, dengan begitu perekonomian nasional akan lebih bergerak. Stimulus yang diajukan terakhir ini pun masih miskin fulus alias miskin dana tunai, tapi lebih banyak berupa insentif.

Dengan begitu, sebagian besar paket stimulus tersebut adalah berupa pengurangan pendapatan pemerintah. Jadi misalnya perusahaan memperoleh laba Rp 10 miliar, mestinya membayar pajak Rp 3 miliar, tapi karena ada insentif, maka pajak yang dibayarkan hanya Rp 2,5 miliar. Pendapatan pemerintah berkurang Rp 500 juta, dan pengurangan itulah yang dinamakan stimulus.

Tentu tidak salah memberikan potongan pajak atau istilahnya penghematan pembayan pajak. Apalagi pemotongan itu salah satunya dikaitkan dengan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan beberapa perusahaan, yakni jika tidak ada PHK, pajak akan didiskon. Jadi pemerintah mencoba berkorban menurunkan pendapatan agar PHK bisa diminimalisir.

Sebetulnya yang banyak diharapkan dari stimulus ini adalah stimulus yang diberikan langsung (direct spending). Stimulus yang dominan pada insentif fiskal dan subsidi kurang memiliki daya dorong yang kuat untuk segera menggairahkan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Semestinya belanja langsung seperti infrastuktur dalam alokasi stimulus layak ditingkatkan.

Sektor infrastuktur dalam situasi seperti sekarang ini bisa menjadi salah satu katup penyelamat bagi perekonomian nasinal. Proyek-proyek infrastruktur mampu memberikan multiflier effect yang besar, karena selain membuka lapangan kerja bagi ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang, juga untuk mendorong pergerakan perekonomian, baik pada saat ini maupun masa datang.

Arah pemberian stimulus ini sendiri adalah meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing dan daya tahan dunia usaha, dan meningkatkan belanja infrastruktur padat karya untuk menyerap tenaga kerja. Pertanyaannya adalah apakah keempat tujuan pemberian stimulus tersebut bisa dicapai? Ini pekerjaan besar yang memerlukan skenario jitu untuk menjalankan stimulus.

Dari sisi meningkatkan daya beli masyarakat, stimulus yang diberikan sekarang ini sepertinya tidak terlampau signifikan. Pemberian potongan pajak ataupun subsidi solar misalnya, lebih pada penyelamatan perusahaan dan tentu saja karyawannya.

Perlu skenario agar pemberian insentif itu diikuti penurunan harga produk. Dengan begitu secara relatif daya beli masyarakat naik, karena yang semula tidak mampu membeli barang tertentu, dengan diturunkan harganya, barang itu menjadi terbeli. Kalaupun ada subsidi minyak goreng dan obat generik misalnya, itu harus dilakukan secara langsung lewat operasi pasar secara menyeluruh.

Dalam hal meningkatkan daya saing dan daya tahan usaha barangkali bisa cukup optimal. Berkurangnya pajak dan juga bea masuk untuk bahan baku dan barang modal menjadikan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan menjadi berkurang. Harapannya, ketika biaya berkurang, maka perusahaan akan tetap survive.

Masalahnya yang terkena imbas paling besar adalah perusahaan yang berorientasi ekspor. Jika internal mereka diberi insentif tetapi permintaan pasar luar negeri rendah, masih cukup sulit untuk tetap bertahan. Untuk itu pemerintah harus menskenariokan pemberian insentif untuk lebih menggarap pasar lokal. Kalaupun tetap ekspor, perlu diversifikasi tujuan ekspor yang selama ini tujuan ekspor didominasi ke Amerika, Eropa, dan Jepang.

Bagaimana dengan penyerapan tenaga kerja? Jika proyek infrastruktur berjalan sesuai rencana, cukup banyak tenaga kerja yang terserap. Ada yang menghitung sampai ratusan ribu tenaga kerja, ada pula yang memperkirakan sampai satu juta. Diperlukan skenario lanjutan agar proyek infrastuktur ini terus diperbesar pada tahun berikutnya agar tenaga kerja yang terserap tidak lantas kembali jadi penganggur.

Sejauh ini proyek infrastuktur yang direncanakan adalah proyek langsung dan tidak langsung. Proyek langsung maksudnya langsung ditangani pemerintah seperti pembangunan jalur kereta api, jalan, irigasi, penanggulangan banjir, air minum, perumahan, dan listrik yang dialokasikan Rp 6 triliun. Kemudian infrastruktur tak langsung seperti irigasi tersesier, jalan desa, dan tambak pertanian dianggarkan Rp 4,2 triliun diberikan ke daerah, bahkan pedesaan, dan mereka yang kerjakan.

Bukan pekerjaan mudah untuk menjaga agar stimulus ini berjalan dengan baik. Terbuka kemungkinan untuk melakukan kongkalikong antara pengusaha dan pejabat ketika berembug tentang keringanan pajak. Karena itu pemerintah harus mampu menutup semua pintu yang memungkinkan terjadinya kemungkinan buruk itu dengan melakukan pengawasan berjenjang yang intensif.

Di sisi lain, karena situasi ekonomi dunia sudah begitu memburuk, maka stimulus ini harus segera dilaksanakan, terutama untuk proyek-proyek infrastuktur. Jangan sampai proyek itu baru bisa jalan di akhir tahun sebagaimana yang sering terjadi selama ini. Sekarang ini, ada jutaan rakyat yang sangat membutuhkan pekerjaan agar mereka bisa tetap bertahan hidup.

Umur pemerintahan sekarang ini tinggal beberapa bulan lagi, untuk itu Pemerintah harus membangun kesepahaman bersama yang bersifat permanen agar siapapun nanti presidennya, skenario stimulus itu tetap berjalan mulus. tentu, jika masih memungkinkan paket stimulus ini perlu disuntik lagi dengan stimulus yang sifatnya langsung, sehingga bisa lebih menggairahkan perekonomian nasional.@

Stimulus di berbagai Negara (dalam dolar AS)
1. Cina ...... 2.046 miliar
2. Amerika Serikat... 860 miliar
3. Jepang.... 484 miliar
4. Uni Eropa... 256 miliar
5. Singapura.. 13,5 miliar
6. Korea Selatan.. 10,1 miliar
7. India.. 10 miliar
8.Thailand.. 8,6 miliar
9.Indonesia.... 6,2 miliar
Sumber : Reuter




Tabel: Stimulus Fiskal
1. Penghematan Pembayaran Pajak
- Tarif PPh Badan+Orang Pribadi+PTK... Rp 43 trilyun (0,8% PDB)
2. Subsidi Pajak-BM/DTP Kepada dunia usaha/RTS
- PPN eksplorasi migas, minyak goreng.. Rp 3,5 triliun (0,07%PDB)
- Bea masuk bhn baku dan brng modal.... Rp 2,5 triliun (0,05%PDB)
- PPh karyawan...........................................Rp 6,5 triliun (0,12%PDB)
- PPh panas bumi ......................................Rp 0,8 triliun (0,02%PDB)
3. Subsidi+Belanja Negara Kepada Dunia Usaha/Lapangan Kerja
- Penurunan harga solar .............................Rp 2,8 triliun (0,05%PDB)
- Diskon beban puncak listrik industri .......Rp 1,4 triliun (0,03%PDB)
- Tambahan belanja infrastruktur................Rp10,2 triliun (0,2%PDB)
- Perluasan PNPM.....................................Rp 0,6 triliun (0,01%PDB)
Total............................................................ Rp71,3 triliun (1,4%PDB)
Sumber Depkeu

Dimuat di Republika edisi 10 Februari 2009

Tuesday, February 17, 2009

Gonta Ganti Dirut Pertamina

Kembali direktur utama Pertamina mengalami pergantian. Setelah dua bulan terakhir disodok kiri-kanan, akhirnya Ari H. Sumarno harus terpental dari kursi empuk tersebut. Penggantinya orang dalam Pertamina, sekalipun baru bergabung selama tiga tahun, Karen Agustiawan.

Pergantian dirut Pertamina selalu menyedot perhatian. Maklum Pertamina ini merupakan badan usaha milik pemerintah yang strategis, bukan saja karena aset dan profitnya yang terbesar di antara badan usaha lain, tetapi juga komoditi yang dimainkan, minyak dan gas. Komoditas yang sangat seksi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan siapapun.

Tak pelak, kursi dirut di Pertamina pun menjadi kursi panas. Sejak reformasi bergulir, seseorang menjabat dirut hanya dua sampai tiga tahun, bahkan ada yang tak sampai dua tahun. Lazimnya, posisi seperti direksi dijabat selama lima tahun.

Kita coba simak siapa saja dan berapa lama seorang dirut Pertamina bertahan sejak reformasi. Pertama Martiono Harianto (1998-200), disusul Baihaki Hakim (2000-2003), Ariffi Nawawi (2003-2004), Widya Purnama (2004-2006), Ari H Sumarno (2006-2009), dan terakhir Karen Agustiswan mulai 2009 sampai entah kapan.

Pada jaman Orde Baru, Pertamina memang menjadi cash cow (sapi perah) para penguasa dan kroni-kroninya. Hampir tidak ada petinggi negara yang steril dari ceceran likuditas Pertamina. Kekayaan Pertamina benar-benar dieklsploitasi untuk kepentingan kroni, dan dalam kondisi seperti itu orang dalam Pertamina pun tak ketinggalan untuk ikut menjarahnya.

Ketika masuk jaman reformasi, pemerahan terhadap Pertamina , sudah berkurangapi bukan berarti berhenti. Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang telah berjalan secara sistemik tidak bisa dihilangkan dalam sekejap. Bukan saja oleh internal Pertamina tetapi juga para penguasa yang juga sudah terbiasa melakukan itu.

Tak heran kalau kemudian posisi dirut menjadi kursi panas yang silih berganti. Setiap pergantian kekuasaan, maka saat itu juga dirut Pertamina diganti. Jika dirasa masih kurang menguntungkan, dalam satu periode kekuasaan pun terkadang juga perlu untuk segera diganti. Terbukti, dari empat Presiden yang berkuasa sejak reformasi, sudah enam kali dirut Pertamina diganti.

Apakah pergantian dirut Pertamina sarat dengan kepentingan politis? Dulu mungkin ya, tapi sekarang sulit untuk menjawabnya. Mungkin kepentingan politik praktis tidak, tapi kepentingan politis secara tidak langsung bisa jadi benar.

Kasus Ari Sumarno misalnya. Salah satu alasan kuat kenapa diganti adalah kegagalannya dalam mengatasi masalah distribusi BBM dan gas. Kegagalan ini menjadi catatan buruk bagi para penguasa, karena pemerintah yang kemudian dituduh tidak mampu menangani masalah distribusi. Ini tentu membuat citra buruk bagi pemerintah, yang sebentar lagi akan bertarung dalam pemilihan umum.

Kita semua ingin agar Pertamina menjadi world class company, perusahaan level dunia sebagaimana Exxon, BP atau bahkan Petronas. Dibutuhkan visi yang kuat untuk mewujudkan dan strategi jangka panjang yang tepat disiapkan untuk mencapainya. Ketika visi sudah ditetapkan pemerintah sebagai pemegang saham, maka dirut-lah yang merancang strategi untuk mencapai visi tersebut.

Persoalannya, ganti dirut umumnya ganti strategi. Maka dengan frekuensi pergantian dirut yang tinggi, otomatis strategi pun akan berubah-ubah sesuai dengan 'selera' pejabat baru. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan visi jika strategi terus berubah. Baru tercapai sepertiga, dirut sudah diganti, mulai lagi dari nol. Baru separo, diganti lagi, mulai lagi dari awal.

Kita berharap dirut Pertamina yang baru ini tidak membuat kesalahan yang berarti. Kita berharap tidak ada kekuatan politik yang menanamkan dirut baru ini, sehingga nanti akan menagih janji. Kita berharap tak ada intervensi politik dalam menilai kinerja. Dengan begitu, dirut baru ini tidak terjegal di tengah jalan, sehingga bisa menjalan strategi jangka panjang yang disusun secara optimal.

Dimuat di tajuk Republika edisi 7 Februari 2009

Friday, February 6, 2009

Perkeras Hukuman Koruptor

Jika jiwanya sudah dikotori dengan kerakusan, maka seseorang akan gelap mata.Itulah yang terjadi dua hari silam di sebuah hotel di Jakarta. Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, seorang pejabat Departemen Tenaga Kerja dan Trnasmigrasi (Depnakertrans) ditangkap menerima uang suap.

Pejabat berinisial L itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KP), dan diduga dia telah menerima suap. Dalam tas koper yang dibawanya, ada 17 amplop berisi uang, dengan total Rp 100 juta. Di masing-masing amplop, tertera nama pemberi dan dari mana wilayahnya. Saat itu memang sedang ada rapat koordinasi laporan pejabat daerah tentang penggunaan dana dekonsentrasi 2008. Ada 12 pejabat pusat dan daerah yang kemudian juga ditangkap.

Kaget sekaligus prihatin mendengar berita tersebut. Entah mengapa mereka-mereka ini masih punya nyali besar untuk melakukan korupsi. Meski sudah begitu banyak koruptor yang tertangkap dan dibu, tetap tidak menggetarkan mereka untuk menilep uang rakyat. Apalagi sehari sebelumnya mantan anggota DPR-RI Sarjan Taher, divonis penjara 4,5 tahun. Pada hari yang sama dengan penangkapan, Bulyan Royan, juga sedang disidang karena kasus korupsi kapal patroli Departemen Perhubungan.

Korupsi sepertinya begitu sulit diberantas di negeri ini. Bahwa jumlahnya sudah berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya, mungkin benar. Tetapi benih-benih korupsi masih tetap terpelihara, sehingga ketika ada sedikit kesempatan, tak disia-siakan. Atau mungkin karena memang sudah menjadi habbit, menjadi kebiasaan, jadi yang menurut kaedah umum itu korupsi, bagi mereka itu hal yang lazim.

Bukti bahwa korupsi masih terus terjadi bisa dilihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) yang dirilis Transparansi Internasional Indonesia beberapa waktu lalu. Dari penelitan yang mereka lakukan September-Desember 2008, Kepolisian menempati indeks tertinggi dengan 48 persen. Menyusul bea cukai (41 persen), imigrasi (34 persen), DLLAJR (33 persen) dan pemda (33 persen) .

Selain instansi, survei mereka juga dilakukan di pemerintahan daerah. Dari 50 kota yang disurvei Yogyakarta mendapatkan skor tertinggi yaitu 6,43. Artinya, bahwa pelaku bisnis di Yogyakarta menilai pemerintah daerah cukup bersih, dan cukup serius dalam usahanya memberantas korupsi. Di bawahnya adalah Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), dan Mataram (5,41). Kota dengan persepsi terkorup adalah Kupang (2,97), Tegal (3,32), dan Manokwari (3,39).

Hasil survei lembaga tersebut mempertegas bahwa korupsi tak lekang di negeri ini. Bahwa skala korupsi tidak lagi masif, itu betul. Tapi sesedikit apapun korupsi, tetap harus diberantas. Masalahnya, hukuman hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor kurang keras. Hukuman yang ringan tidak membuat koruptor jera, karena mereka cukup bertapa sebentar di penjara, keluar, nanti bisa kembali hidup enak.

Apalagi sanksi sosial dari masyarakat masih tipis. Masyarakat kita masih permisif terhadap para koruptor. Tak jarang setelah koruptor tersebut keluar dari penjara, beberapa waktu kemudian kembali bekerja di instansi yang sama. Ada pula koruptor yang begitu keluar kemudian direkrut menjadi pimpinan sebuah media massa.

Karena itu, koruptor harus diberi hukuman yang seberat-beratnya, sehingga membikin jeri pada mereka yang tergoda untuk melakukan korupsi. Masyarakat juga perlu disadarkan agar tidak menokohkan para koruptor yang telah menyedot duit rakyat itu. Beri hukuman yang tinggi dan beri sanksi sosial yang berat, baru korupsi akan berkurang dengan drastis.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Januari 2009

Menghidupkan BPPN

Krisis ekonomi selalu datang tanpa permisi. Dadakan. Jika tidak diantisipasi, maka dampak dari krisis akan makin meluas, mengancam seluruh aspek dalam perekonomian nasional. Kondisi itu yang kita alami ketika krisis menerjang pada 1997-1998 silam.

Apakah krisis besar semacam itu bisa terulang? Mungkin saja. Karena krisis tidak selalu datang dari kesalahan kita, melainkan rembetan dari krisis yang terjadi di luar. Jika perekonomian kita tak tertata dengan baik, ketika krisis dari luar menerjang, maka perekonomian kita pun menjadi goyah. Saat ini pun kita sedang terseret krisis ekonomi global, hanya memang derajatnya tidak sedahsyat dulu.

Biasanya, ketika krisis menerjang, salah satu sektor yang sangat rentan adalah perbankan. Perbankan adalah urat nadi dari perekonomian, sehingga ketika perekonomian gonjang-ganjing, perbankan ikut goncang. Semakin tinggi tingkat krisis semakin rentan kondisi perbankan.

Berdasarkan asumsi itulah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), pemerintah mempertimbangkan perlunya membuka opsi pembentukan badan khusus yang menangani perbankan bermasalah. Lembaga ini akan seperti Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) saat krisis menerpa satu dasawarsa silam.

Dasar hukum pembentukan BPPN saat itu adalah Keputusan Presiden No 27/1998. Dalam pelaksanaannya, pembentukan badan penyelamat perbankan yang berdasarkan Keppres dinilai kurang kuat, dengan begitu perlu aturan yang lebih tinggi, yakni Undang-undang. Untuk itulah pemerintah mengusulkan opsi baru dalam RUU yang sedang dibahas.

Kita memangharus hati-hati dalam pembentukan badan semacam BPPN ini. Berdasarkan pengalaman, dari total aset yang ditangani sebesar Rp 668 triliun, hanya sekitar 30 persen atau Rp 189 triliun yang bisa dikembalikan. Boleh jadi tingkat pengembalian tersebut sedikit lebih baik dibanding negara lain, tetapi proses pelaksanaannya sangat tidak transparan. Ada triliunan rupiah yang tak jelas juntrungnya.

Selain itu, BPPN juga syarat dengan kepentingan politik. Karena mengelola aset dalam jumlah besar, maka BPPN ini dijadikan sapi perah bagi elit-elit politik dan pemerintahan. BPPN dimanfaatkan untuk mencari dana sebesar-besarnya. Dalam kondisi seperti itu menjadi maklum jika saat itu pergantian Kepala BPPN sering terjadi. Pergantian tidak berdasarkan kecakapan tetapi lebih kepada kepentingan.

Saat ini sebetulnya kita sudah memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga ini akan terjun jika ada bank mengalami kesulitan. Ini dilakukan ketika Bank Century mengalami kesulitan, LPS langsung mengambil alih. Pengambilalihan itu dilakukan untuk mengamankan dana nasabah dan menjaga kontinuitas pelayanan kepada nasabah.

Jika bank yang kolaps masih dalam jumlah yang terbatas dan ukuran bank masih kecil, tidak begitu masalah. Akan timbul masalah jika hal yang tidak diharapkan seperti dekade silam dimana ada belasan bank kolaps, termasuk bank-bank besar, maka LPS tidak memiliki cukup dana untuk mengatasinya. Di sinilah pemerintah mempertimbangkan memasukkan opsi BPPN tersebut.

Tidak begitu masalah, apakah perlu dibentuk lembaga baru atau memperbesar kapasitas dan modal LPS untuk mengantisipasi krisis. Tetapi yang jelas jangan sampai pengelolaan BPPN yang tidak transparan seperti masa lalu itu tak terjadi lagi. Ketidaktransparan itu pula dimanfaatkan oleh mereka yang punya relasi kuat dengan kekuasaan untuk mengeruk aset BPPN.

Dalam pembentukan lembaga atau pun penguatan LPS nanti, yang paling penting adalah pertanggungjawaban yang jelas dari pengelola. Pengelolaan harus memenuhi standar tinggi dalam transparansi dan akuntabilitas. Para pemegang kekuasaan dan elit politik juga dijaga agar tidak memanfaatkan keberadaan lembaga tersebut untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 24 Januari 2009