Tuesday, April 14, 2009

Siap Menang Siap Kalah

Hasil resmi pemilihan legislatif baru akan keluar satu bulan lagi. Tetapi dari hasil quick count (perhitungan cepat) sudah bisa ditebak siapa partai pemenang dan siapa partai yang memperoleh nol koma persen. Sudah pula ketahuan mana yang akan lolos treshold dan tidak.

Memang quick count sendiri masih menuai kontroversi. Bagi partai yang meraih menang dan apalagi yang perolehan suaranya naik, akan menerima hasil perhitungan cepat tersebut. Sedangkan yang perolehannya rendah tidak bisa menerimanya. Tapi yang jelas pada pengalaman Pemilu sebelumnya, hasil perhitungan cepat ini relatif akurat dan mendekati perhitungan sebenarnya.

Berdasarkan hasil quick count itu pula Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mengucapkan selamat kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SUsilo Bambang Yudhoyono. Dari hasil perhitungan cepat dari berbagai lembaga survai, Partai Demokrat memperoleh sekitar 20,8 persen dan Golkar berada di kisaran 14,5 persen.

Dalam setiap pemilihan umum akan selalu ada meraih suara banyak dan ada yang kecil. Bahkan yang semula diramalkan akan menang, bisa jadi kalah. Rakyat lah yang menentukan partai siapa yang menang dan siapa yang kalah. Apakah berarti partai pemenang adalah partai yang terbaik belum tentu, begitu pula sebaliknya.

Sayang memang pemilu yang berjalan relatif damai ini harus tercoreng karena daftar pemilih yang kacau. Banyak masyarakat yang tidak memperoleh undangan, sehingga mereka tidak bisa menggunakan haknya sebagai warga negara untuk memilih wakil rakyatnya. Ini menjadi catatan tersendiri sehingga beberapa kalangan menilai kualitas pemilu ini lebih buruk dibanding sebelumnya.

Tentu ada partai yang tidak puas dengan hasil tersebut. Bahwa kacaunya daftar pemilih tersebut berakibat buruk pada semua partai mungkin saja, tapi biasanya partai yang kalah yang akan ribut duluan. Kekacauan daftar pemilih ini akan dijadikan peluru untuk menembak pemerintah yang menurut mereka tidak jujur dan adil dalam penyelenggaraan pemilu.

Bagi pemerintah sendiri rasanya kecil kemungkinan melakukan kecurangan. Kalaupun ada sedikit kecurangan, itu bukan merupakan grand strategy dari pemerintah yang berkuasa, tapi lebih pada orang-orang bodoh yang mencari muka terhadap pemerintahan. Terlalu besar resikonya jika pemerintah dengan sengaja melakukan kecurangan, karena akan mencoreng muka sendiri.

Bagaimanapun Pemilu legislatif ini sudah selesai, hanya di beberapa tempat ada pemilihan susulan karena masalah distribusi suara dan lain-lain. Semua pihak, semua partai, perlu berbesar hati menerima apapun hasil pemilu ini. Hak rakyat untuk menentukan siapa pemenangnya, hak rakyat pula untuk menuntut agar partai politik yang kalah tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Pemilu tak ubahnya perlombaan, selalu ada yang menang dan kalah. Mudah bagi pemenang untuk menerima hasil pemilu, sebaliknya tidak mudah bagi yang kalah untuk menerima kekalahan. Bagi yang merasa tidak puas, janganlah mengekpresikan kekecewaan dengan anarkis, tempuhlah jalur hukum.

Semua partai bukan saja selalu siap menang, tetapi juga harus siap kalah. Kalau perlu saling memberikan selamat, agar rakyat bsia menilai bahwa para pemimpin adalah pemimpin yang berjiwa negarawan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 11 April 2009

Bunga Kredit harus Turun

Untuk kesekian kalinya Bank Indonesia (BI) menurunkan bunga acuan, BI Rate, dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen. Penurunan ini secara resmi diumumkan Gubernur BI setelah sebelumnya dilakukan rapat marathon dengan seluruh anggota Dewan Gubernur BI.

Penurunan BI Rate merupakan respon dari rendahnya inflasi yang dalam perhitungan year on year (YoY) sebesar 7,92 persen. Sementara inflasi tahun kalender sampai Maret silam 0,36 persen. Selain itu juga karena menguatnya rupiah di kisaran Rp 11.500 per dolar, dari bulan sebelumnya yang menembus Rp 12.000 per dolar. Tak terkecuali pula sentimen positif dari pertemuan G-20.

Ini merupakan penurunan yang keempat kali dalam 2009. Pada Januari lalu, BI menurunkan bunga acuan dari 9,25 persen menjadi 8,75 persen. Bulan berikutnya, Februari, bunga diturunkan lagi menjadi 8,25 persen. Maret, kembali bunga acuan turun menjadi 7,75 persen. Total penurunan BI Rate pada empat bulan terakhir 1,75 persen.

Penurunan bunga acuan ini memberikan aura positif terhadap perekonomian nasional. Ketika perekonomian sedang memasuki masa buram karena terimbas krisis global, suku bunga harus diturunkan untuk menggerakkan perekonomian sekaligus mencegah terjadinya kredit macet.

Dengan bunga yang rendah, maka beban dunia usaha akan lebih ringan, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan usahanya. Pengembalian yang lebih lancar juga akan membuat bank bisa makin agresif menyalurkan kreditnya. Perekonomian diharapkan menjadi lebih hidup, sehingga krisis bisa diminimalisir.

Tapi justru di sini persoalannya. Penurunan bunga acuan yang telah dilakukan BI ini tidak serta merta diikuti oleh perbankan. Bank masih mengenakan bunga kredit yang tinggi, begitu pula bunga simpanan. Masih terjadi perebutan dana simpanan, sehingga bank masih berlomba menarik dana tersebut dengan iming-iming bunga tinggi.

Ketika bunga simpanan tetap tinggi, otomatis bunga kredit juga tinggi. Bahkan sekalipun bunga simpanan turun, bunga kredit kadang enggan cepat-cepat turun. Pengalaman selama ini, penurunan bunga acuan baru diikuti penurunan bunga kredit paling cepat tiga-empat bulan ke depan. Memang, dalam perdebatan stimulus, selalu terungkap bahwa stimulus moneter responnya lebih lambat dibanding stumulus fiskal.

Pengusaha tentu saja meradang dengan kondisi ini. Kenapa bank tidak segera menurunkan bunga? Apalagi selama ini spread (selisih) antara bunga simpanan dan kredit relatif besar, bisa enam sampai delapan persen. Bahkan untuk kredit usaha kecil, bisa lebih dari 10 persen. Pantas jika keuntungan perbankan menjadi tinggi.

Pemerintah memang tidak seperti masa lalu yang bisa menetapkan pagu bunga pinjaman. Sekarang pasar bebas yang berlaku, pemerintah tak punya gigi lagi untuk menentukan atau mengintruksikan kepada perbankan agar bunga segera diturunkan. Paling banter yang bisa dilakukan hanya mengimbau.

Tapi sebetulnya pemerintah punya alat, punya instrumen, yakni bank milik negara. Dengan kepemilikan mayoritas di Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, dan Bank BTN, pemerintah bisa menguntruksikan bank tersebut agar segera menurunkan bunga. Karena bank tersebut merupakan bank-bank besar, otomatis bank lain akan mengikutinya.

Intruksi tersebut sudah pernah digaungkan, tetapi kenyataannya sampai saat ini belum terjadi penurunan bunga yang berarti. Perlu ketegasan yang lebih dari pemerintah agar bank milik negara tersebut segera menjadi pioner dalam penurunan bunga perbankan nasional.

Penurunan BI Rate harus segera diikuti bunga kredit. Jika tidak, hampir tidak ada artinya penurunan bunga acuan tersebut. Karena itu perlu pengertian mendalam dari kalangan perbankan bahwa bunga kredit pun juga harus segera turun.

Dimuat di tajuk Republika edisi 4 April 2009

Thursday, April 2, 2009

Cadangan Devisa Lampu Kuning

Cadangan devisa Indonesia berada di zona lampu kuning. Benarkan begitu? Boleh jadi seperti itulah kenyataannya.

Saat ini cadangan devisa kita sekitar 53,9 miliar dolar, memang cukup aman karena setara dengan empat bulan impor. Tapi problemnya adalah pada tahun ini utang swasta yang jatuh tempo mencapai 22,6 miliar dolar, atau nyaris separuh dari total cadangan devisa.

Sebagian dari utang swasta tersebut memang utang kepada perusahaan induk dan afiliasinya, sehingga jika perusahaan induk masih memiliki dana untuk meminjamkan lagi, selesai persoalan. Tapi masalahnya, perusahaan induk pun sedang mengalami krisis, sehingga kemungkinan bagi mereka untuk tidak memberikan lagi pinjaman sangat besar,

Apa yang terjadi jika kemudian swasta berbondong-bondong memborong dolar dan kemudian 'mengekspor' dolar itu untuk membayar utang, sudah pasti cadangan devisa akan terkuras. Cadangan devisa yang susah payah diperoleh itu akan lari begitu saja ketika swasta membutuhkan dana.

Dan bukan itu saja. Pemerintah juga memiliki utang luar negeri yang juga jatuh tempo pada tahun ini Rp 73,18 triliun atau sekitar 6,1 miliar dolar. Sehinga total utang luar negeri (swasta dan pemerintah) yang harus dibayar tahun ini mencapai 28,7 miliar dolar, lebih dari separoh cadangan devisa kita.

Parahnya lagi, ketika ekonomi dunia suram seperti sekarang ini, ekspor Indonesia keluar negeri anjlok. Pada Januari, nilai ekspor kita turun 17,7 persen atau setara 1,54 miliar dolar. Bahkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memperkirakan nilai ekspor pada 2009 ini akan turun 40 persen dibanding sebelumnya.

Memang, dalam neraca perdagangan kita tahun ini masih bisa surplus karena selain ekspor turun, nilai impor juga merosot. Tapi surplus akan menurun tajam. Pada 2008 saja, surplus perdagangan merosot jauh dibandingkan pada 2007. Jika surplus turun, maka cadangan devisa yang masuk ke kantong Bank Indonesia juga menurun.

Dalam tiga-empat bulan terakhir ini, cadangan devisa mengalami penurunan yang signifikan. Posisi cadangan devisa tertinggi sekitar 56 miliar dolar. Tapi jumlah tersebut terus menyusut karena sebagian dipakai BI untuk intervensi ke pasar akibat melemahnya rupiah.

Posisi cadangan devisa kemudian menyentuh di posisi 51,6 miliar dolar. Kemudian posisi tersebut kembali naik. Sayangnya kenaikan itu semu, karena naiknya cadangan devisa ke posisi 54-an miliar dolar itu lantaran Pemerintah baru saja mengeluarkan Global Bond (obligasi global). Begitu obligasi laku, dolar mengalir ke Indonesia, cadangan devisa pun terdongkrak.

Bahwa melalui mekanisme Forum ASEAN+3 itu Indonesia memiliki dana siap pakai sejumlah 13,68 miliar dolar itu betul. Tapi dana itu sendiri baru bisa cair jika cadangan devisa Indonesia turun sampai 10 miliar dolar. Dalam kondisi penurunan drastis seperti itu, tentu akan menggoncang nilai tukar rupiah.

Tingginya jumlah jatuh tempo utang asing yang harus dibayar memang bukan saja menguras cadangan devisa, tetapi juga akan berpengaruh terhadap kurs rupiah. Logikanya ketika mereka memborong dolar, maka harga dolar akan naik, sehingga otomatis rupiah turun. Saat ini saja, depresiasi rupiah sudah sekitar 25 persen, bagaimana nanti jika perminataan dolar melonjak.

Lampu kuning cadangan devisa ini harus diwaspadai. BI harus terus memantau kebutuhan dolar agar tidak terjadi kepanikan di pasar uang. Jika mungkin usahakan agar perusahaan induk yang memberi utang itu bisa memperpanjang masa pinajman. Tapi yang jelas, ke depan jangan sampai kondisi seperti ini terulang. Kalau perlu batasi utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 20 Maret 2009

Wednesday, April 1, 2009

ADB dan Utang Kita

Hukum yang berlaku dalam perbankan adalah bahwa setiap saat bank harus siap menambah modal agar bisa ekspansi. Ini terjadi karena ada batasan rasio antara modal dengan aset. Dengan begitu jika asetnya ingin dimekarkan, maka modal harus ditambah. Kondisi ini pula yang terjadi di Bank Pembangunan Asia (ADB).

ADB merencanakan akan menambah modal sampai 200 persen. Implikasinya, Indonesia yang memiliki sekitar lima persen saham, harus ikut menambah modal yang kalau dirupiahkan sekitar Rp 2 triliun. Penambahan tersebut dilakukan bertahap selama lima tahun. Sehingga pemerintah harus merogoh kocek Rp 400 miliar per tahun, mulai 2010 nanti.

Apa keuntungan Indonesia? Menurut Anggito Abimanyu, dengan penambahan modal tersebut, maka Pemerintah memiliki pinjaman siaga dari ADB senilai 1 miliar dolar atau sekitar Rp 12 triliun. Pinjaman itu pun tanpa syarat, dan sangat berarti jika suatu saat anggaran negara bobol.

Indonesia, meskipun masuk dalam kategori negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, tetapi merupakan pemegang saham nomor enam di ADB. Dan selama ini ADB merupakan salah satu sumber dana pinjaman untuk menambal anggaran yang selalu defisit. Beberapa proyek besar seperti bendungan dibiayai ADB.

Seberapa perlu sebetulnya kita menambah modal? Tergantung kepada seberapa besar ketergantungan kita terhadap pinjaman ADB. Selama ini porsi pinjaman terhadap ADB sudah berkurang, artinya ketergantungan terhadap ADB juga berkurang. Pembiayaan defisit sudah mulai dilakukan denghan menerbitkan obligasi dan sukuk.

Apalagi menurut beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) beberapa proyek yang dibiayai bukan malah mensejahterakan rakyat sebagaimana visi ADB, tetapi justru menjadi bencana. Salah satunya pembangunan irigasi yang justru merusak tatanan tradisional pengairan sistim subak di Bali.

Tapi lepas dari itu, beban utang yang harus ditanggung pemerintah, termasuk yang dari ADB ini sangat besar. Utang luar negeri kita sekarang ini mencapai 65,45 miliar dolar atau Rp 785 triliun. Jadi setiap orang di negeri ini, saat ini terbebani utang Rp 3,3 juta. Jumlah tersebut akan membengkak manakala yen Jepang menguat terhadap dolar, karena utang dalam denominasi yen cukup besar.

Belum lagi bunga dari utang tersebut yang terus bunga-berbunga. Apalagi belakangan ini, pemerintah mengeluarkan obligasi, baik lokal maupun global, yang berbunga tinggi dan berjangka relatif pendek. Akibatnya alokasi dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembayaran utang akan terus menempati ranking atas dalam alokasi anggaran.

Selama ini Indonesia menjadi negara yang dipuji sebagai good boy, karena selalu tepat waktu dalam membayar hutang. Tapi predikat tersebut harus mengorbankan jutaan orang yang masih hidup miskin. Kita telah terperangkap kepada utang. Keinginan yang pernah ditarget pemerintah bahwa kita akan mengurangi ketergantungan utang luar negeri, justru malah menambah.

Jadi yang penting sekarang ini adalah bukan menambah modal di ADB sehingga nantinya kita memiliki peluang untuk memperoleh pinjaman besar. Jika itu yang terselip dalam niat menambah modal, berarti kita hanya berpikir akan menambah utang yang kelak akan terus menjadi beban.

Kini yang lebih krusial adalah bagaimana kita bisa mengurangi ketergantungan kepada utang. Jika utang bisa dikurangi, maka anggaran untuk membayar utang itu bisa lebih dimanfaatkan untuk mensejahterakan puluhan juta masyarakat yang masih hidup dikubangan kemiskinan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 14 Maret 2009