Wednesday, June 17, 2009

Minyak vs Harga Diri

Ambalat kembali memanas. Kapal perang Malaysia belasan kali melakukan provokasi dengan masuk wilayah Indonesia di perairan Ambalat. Radio kemunikasi mereka matikan, sehingga tentara kita terpaksa mengusir secara fisik, dengan kapal.

Ini bukan pertama Malaysia melakukan intimidasi terhadap Indonesia dalam kasus Ambalat. Sekitar empat tahun silam, Malaysia juga melakukan hal serupa. Masuk perairan Indonesia, dan keluar setelah diusir.

Permasalahannya adalah Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim wilayah Ambalat. Indonesia merasa berhak atas Ambalat karena berdasarkan konsep Wawasan Nusantara yang sudah disahkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), blok Ambalat masuk wilayah Indonesia.

Konsep tersebut masuk dalam satu bab tersendiri dalam UNCLOS (UN Convention on the Law of The Sea) pada 1982. Dengan begitu kekuatan hukum atas batas tersebut sudah tak terbantahkan lantaran sudah diakui badan dunia.

Bagaimana Malaysia? Mereka membuat batas sendiri yang memasukkan sebagian wilayah Ambalat menjadi wilayah Malaysia. Memang, pengajuan itu dilakukan pada 1979, tiga tahun sebelum Wawasan Nusantara disahkan, tapi begitu disahkan PBB, logikanya tak ada lagi perdebatan.

Malaysia makin percaya diri dengan batas itu ketika berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan kita 17 Desember 2002. Kedua pulau legendaris itu menjadi modal untuk memporakporandakan batas yang telah diklaim Indonesia. Karena dengan kemenangan itu seolah batas wilayah yang dibikin sendiri Malaysia itu menjadi sah.

Perundingan antara Indonesia-Malaysia sudah 23 kali dilakukan, tidak juga membuahkan hasil. Indonesia tetap pada klaim yang sudah disahkan PBB, sementara Malaysia tetap bersikukuh bahwa batas yang mereka bikin sendiri tanpa pengesahan dari badan internasional, itu adalah yang benar.

Kenapa Malaysia ngotot memasukkan Ambalat ke wilayahnya? Minyak!

Sejarah menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi ini disebabkan karena perebutan minyak. Konflik di Timur Tengah menjadi contoh klasik bagaimana minyak menjadi 'tokoh sentral' yang melibatkan negara lain, terutama Amerika. Penyerangan Amerika ke Irak baik saat Perang Teluk 1991 maupun 2005 kemarin adalah demi minyak.

Jadi karena minyak yang diperkirakan berlimpah itulah yang membikin Malaysia tergiur untuk menguasai Ambalat. Kalau cuma lautan, mereka tidak perlu mengklaim wilayah itu sebagai miliknya. Emas hitam itu telah menggoda Malaysia untuk mengeruk kekayaan di Ambalat.

Ambalat secara teritori dibagi menjadi dua blok yaitu Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Dikedua blok itu tersimpan potensi gas dan minyak yang sangat besar. Menurut pakar geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) Andang Bachtiar, satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. "Itu baru satu titik, padahal ada sembilan titik yang ada di Ambalat," ujarnya.

Sejauh ini oleh pemerintah Indonesia, pengelolaan blok tersebut diberikan kepada kontraktor asing. Blok Ambalat dikelola oleh Eni Ambalat Ltd., kontraktor dari Italia mulai 1999. Sedangkan, Blok East Ambalat dikelola Unocal yang penandatangan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dilakukan 12 Desember 2004, dengan komitmen eksplorasi 1,5 juta dolar dan bonus penandatanganan sebesar 100 ribu dolar.

Pada Agustus 2005, Unocal diakuisisi oleh Chevron dengan nilai 67 miliar dolar. Sejak itu pemegang konsesi Ambalat Timur adalah Chevron.

Meskipun blok tersebut sudah dikapling kontraktor yang telah teken kontrak dengan pemerintah Indonesia, Malaysia tak peduli. Mereka juga memberikan konsesi kepada Shell dan Petronas Carigali untuk menyedot minyak dari Ambalat.

Shell sebetulnya pernah sebelumnya pernah mengoperasikan Ambalat lewat konsesi yang diberikan pemerintah Indonesia. Tapi lapangan itu terus dikembalikan karena gagal, setelah melakukan pengeboran sumur Bouganville-1. Kini mereka datang lagi untuk blok yang sama (overlap), bedanya sekarang Shell 'mewakili' Malaysia.

Malaysia menamakan blok ambalat itu dengan ND6 dan ND7. Blok ND6 tumpang tindih dengan Blok East Ambalat, sedangkan ND7 tumpang tindih dengan Blok Ambalat. Shell ditunjuk mengelola ladang minyak di ND6 dan Petronas Carigali untuk Blok ND7. Kapan? 16 Februari 2005.

Sejak Malaysia memberikan konsesi kepada Shell dan Petronas itulah kemudian Ambalat memanas. Karena beberapa pekan setelah itu, awal Maret 2005 Malaysia mulai melakukan provokasi. Kapal perang mereka mondar-mandir diperairan Ambalat, bahkan kadang masuk ke wilayah Indonesia. Begitu pula pesawat angkatan udara mereka.

Kini, empat tahun setelah itu, Malaysia kembali melakukan pola yang sama, memprovokasi. Barangkali mereka hanya ingin menaikkan posisi tawar. Provokasi mereka itu tak lain untuk mengusik warga dunia dengan memberi pesan bahwa masih ada persoalan perbatasan di Ambalat.

Target Malaysia yang paling terlihat adalah menikmati gurihnya minyak di Ambalat, sehingga kalaupun hasil akhirnya adalah pengelolaan bersama itu sudah keuntungan yang luar biasa. Dari tidak memiliki apa-apa menjadi memperoleh sesuatu. Hanya saja Malaysia untung, kita yang buntung.

Maka benar kata Menteri ESDM Purnomo ''tidak ada pengelolaan bersama, Ambalat milik kita.'' Saatnya untuk tegas kepada negeri jiran yang sering membuat kita gerah itu. Bagi Indonesia, soal Ambalat bukan saja masalah minyak, tetapi lebih pada harga diri sebuah bangsa.

Dimuat di rubrik Pareto di Republika edisi 17 Juni 2009

Emas Hitam di Ujung Timur Laut Kalimantan

Lihatlah peta Kalimantan Timur. Tengok ujung utara-timur yang berbatasan dengan Malaysia. Di situ ada ada pulau dengan kota yang bernama Tarakan. Di seputaran Tarakan itu tersimpan miliaran barel minyak dan gas di perut buminya.

Kapan minyak mulai ditemukan di daerah itu? Menurut beberapa sumber, pada 1896 perusahaan minyak milik kolonial Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan potensi sumber minyak di Pulau Tarakan. Tak lama kemudian, pada 1922, perusahaan yang sama menemukan lapangan terbesar pertama bernama Bunyu.

Di cekungan Tarakan saja sudah ditemukan sejumlah minyak dan gas yang setara dengan satu miliar barel minyak. Tak pelak, banyak perusahaan minyak baik lokal maupun asing yang berlomba-lomba mengeksplorasi wilayah yang kaya dengan emas hitam ini.

Di Blok Bunyu misalnya, saat itu sekitar 1967, Indonesia memberikan kontrak kerja ke Total Indonesie. Setelah itu dilakukan kotrak lagi dengan British Petroleum (BP untuk wilayah Blok North East Kalimantan Offshore pada 1970. Disusul Hudson Bunyu yang juga memperoleh lapangan minyak di Blok Bunyu pada 1985.

Eksplorasi minyak dan gas pada tahap selanjutnya bukan hanya di cekungan Tarakan saja tetapi sudah mulai menjorok ke laut yang lebih dalam (deep water area). Di situ ditemukan minyak di wilayah Bukat dan Ambalat (blok wilayah Indonesia yang sedang diincar Malaysia).

Eni Ltd misalnya sudah mengoperasikan lapangan di Blok Bukat sejak 1988. Di blok ini ENI sudah menemukan minyak di lapangan Aster dan lapangan Tulip. Jumlah total minyak dan gas yang sudah diketemukan di dua lapangan itu diatas 250 MMBOE ( milion barrel oil equivalen) atau setara dengan 250 juta barel minyak.

Eni Ltd juga memegang Blok Bulungan. Mereka sudah mulai melakukan akuisisi seismic di tersebut pada Juli 2008. Akuisisi seismic dilakukan untuk mendapatkan gambaran bawah permukaan bumi, sekaligus untuk mengetahui apakah ada kandungan minyak dan gas atau tidak di bawah laut.

Sementara untuk Bengara II saat ini sedang dilakukan pemetaan seismik. Continental Geopetro Bengara II sudah siap melakukan kerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mengekplorasi minyak dan gas yang kandungannya cukup besar di blok ini.

Di kawasan ini ada 14 blok migas. Entah berapa persisnya cadangan minyak dan gas di kawasan itu. Tapi yang jelas ada miliaran barel minyak dan belasan atau mungkin triliunan kaki kubik gas yang ada di perut buminya. Wilayah Ambalat yang sedang coba direbut Malaysia sebetulnya hanya sebagian dari kekayaan minyak kita yang itupun hanya di ujung Timur Laut Kalimantan.

Dimuat di rubrik Pareto di Republika edisi 17 Juni 2009

Jangan ada Siti-Siti Lagi

Berita memilukan itu datang lagi dari Malaysia. Seorang pembantu rumah tangga (PRT) dari Indonesia, Siti Hajar, dihajar dan disiksa selama tiga tahun. Bukan hanya itu, gaji selama menjadi pembantu itu juga tidak diberikan. Selama itu pula dia hanya makan nasi tanpa lauk.

Itulah derita Siti, tenaga kerja indonesia (TKI) asal Garut yang mencoba mencari nafkah di negeri orang. Selama tiga tahun dijalaninya, bukannya kesejahteraan yang diperoleh, tetapi justru penyiksaan yang diperoleh, penyiksaan yang sudah diluar batas kemanusiaan.

Kasus Siti ini mungkin yang ke sekian ribu dari daftar penyiksaan pembantu rumah tangga di Malaysia. Tidak menutup kemungkinan sekarang ini, ketika sebagian orang bersiap pesta demokrasi, ada warga kita yang masih disiksa, dan disekap di negeri jiran itu.

Tipikal perlakuan PRT di Malaysia ada tiga macam, yakni penyiksaan, tidak dibayar gajinya, dan yang paling parah diperkosa. Penyiksaan dan tidak dibayar gaji merupakan kasus yang sering terjadi. Ini juga kadang terjadi di Singapura dan cukup banyak terjadi di kawasan Arab.

Perlakuan berbeda di Hongkong dan Taiwan. Di kedua negara itu hampir tidak pernah terdengar berita PRT tak dibayar, disiksa, apalagi diperkosa. Justru masyarakat di kedua negara itu sangat menghargai keberadaan PRT, selain gaji yang tinggi mereka pun diberi hak hari libur, tiap hari Ahad.

Dihargainya PRT di Hongkong tidak lepas dari ketegasan Pemerintah mereka yang memperlakukan PRT sebagaimana pekerja lainnya. Pemerintah merekapun sangat tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan majikan, tidak pandang bulu. Itu yang membuat masyarakat mereka tidak berani macam-macam.

Semestinya negara-negara di kawasan Arab, dan terutama Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga bisa melakukan hal serupa. Pemerintah mereka harus peduli dengan nasib manusia, entah dia bekerja sebagai PRT atau yang lain. Sejauh ini belum terlihat kesungguhan dari mereka dalam memanusiakan PRT ini.

Di sisi lain, Pemerintah perlu lebih serius mengatasi masalah seperti ini. Langkah yang dilakukan dalam mengatasi kasus Siti sekarang ini sudah cukup baik dibanding sebelumnya. Tapi harapannya ini bukan langkah politis menjelang pilpres, karena Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono pun menyempatkan diri menelpon Siti.

Sistem pengawasan atau monitoring tentang para PRT juga perlu dibangun secara lebih efektif dan menyeluruh, agar jika terjadi penyiksaan seperti Siti, tidak harus menunggu tiga tahun untuk bisa ketahuan. Perlindungan terhadap WNI di luar negeri harus lebih ditegakkan, siapapun mereka, apapun profesinya.

Selain itu perlu dipikirkan penyetopan pengiriman PRT untuk Malaysia atau negara-negara dimana PRT kita sering mendapat perlakuan tidak manusiawi dari majikan mereka. Kalau pun mengirim, pilih negara-negara yang memiliki catatan baik dalam memperlakukan para pembantu.

Kita tidak ingin lagi terjadi penyiksaan dan pelecehan WNI kita yang bekerja di luar negeri. Kita tidak ingin ada Siti-siti yang lain yang menderita di negeri asing demi menghidupi keluarganya di tanah air.

Dimuat di tajuk Republika edisi 13 Juni 2009

Negara Palestina

Tekanan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama terhadap Israel agar mengakui adanya negara Palestina sedikit membuahkan hasil. Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu secara mengejutkan menyampaikan bahwa dia menyetujui pendirian negera Palestina dengan syarat Palestina tidak memiliki angkatan bersenjata.

Angin apa yang membawa Netanyahu mengatakan hal itu, apalagi Netanyahu berasal dari Partai Likud, partai garis keras di Israel yang sangat menentang Palestina. Itu yang terus menjadikan pertanyaan. Barangkali Netanyahu hanya ingin agar Amerika Serikat tetap menjadi sekutu utama sebagaimana yang telah berjalan puluhan tahun.

Israel tanpa Amerika memang menjadi tidak ada apa-apanya. Dalam kancah politik global di Timur Tengah. Amerika lah yang selama ini melindungi Israel misalnya selalu memveto di saat pengambilan keputusan di PBB yang memojokkan Israel. Puluah veto sudah dikeluarkan Amerika untuk melindungi Israel. Amerika juga menjadi tameng bagi Israel jika diserang lewat pernyataan keras dari berbagai negara. Intinya, Amerika selalu menjadi dewa pelindung bagi Israel.

Dalam pidatonya di Kairo, Mesir pada 4 Juni silam, Obama memang menyatakan ingin memperbaiki hubungan AS dengan dunia muslim. Untuk itu terkait dengan Israel Obama minta agar pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dihentikan segara dihentikan. Dia juga menegaskan komitmen penyelesaian dua negara, yakni Palestina dan Israel.

Tapi Israel tetap Israel. Yahudi tetap Yahudi. Dunia Islam harus waspada terhadap pernyataan Netanyahu tersebut. Apalagi dalam kenyataan, pada berbagai kesempatan, Israel selalu mengingkari janjinya. Janji tidak melakukan penembakan, mereka justru melakukan tembakan bertubi-tubi. Janji gencatan senjata, pesawat tempurnya justru mengebom di berbagai wilayah Palestina.

Persyaratan Netanyahu bahwa Palestina tidak boleh memiliki angkatan bersenjata, juga tidak masuk akal, bagaimana mungkin sebuah negara tidak memiliki angkatan bersenjata, diserang sedikit saja, hancur negara itu. Lagi pula ketika Netanyahu tetap bersikukuh bahwa Jerusalem, kota suci itu, masuk dalam wilayah Israel, itu berarti mempersempit peluang negosiasi, karena permintaan itu sangat sulit untuk diterima bagi orang Palestina dan Islam.

Sudah puluhan tahun konflik dan perang antara Palestina dan Israel terjadi. Perang itu sendiri merupakan perang yang penuh ketidakadilan, karena Israel dipasok senjata canggih dari Amerika sementara Palestina harus berjibaku untuk mendapatkan senjata walaupun hanya senapan dan roket. Konflik tersebut telah mengakibatkan puluhan juta orang Palestina menderita di pengungsian di berbagai negara dan ribuan pejuang Palestina tewas.

Kita ingin rakyat Palestina hidup aman, dan bebas dari penderitaan. Dari kacamata berpikir positif, keinginan Obama dan pernyataan Netanyahu bisa menjadi pintu masuk untuk perundingan berdirinya negara Palestina. Hanya saja tetap harus tegas bahwa negara Palestina yang kelak berdiri harus benar-benar merdeka dan berdaulat, bebas dari intervensi negara manapun dalam menentukan nasibnya sendiri.

Dimuat di tajuk Republika edisi 16 Juni 2009