Monday, April 2, 2012

The Rise of State Capitalism

Tahun 2008 adalah tahun kelam bagi Amerika Serikat. Krisis ekonomi yang dimulai dari gagalnya pembayaran suprime mortagage itu berujung pada bangkrutnya perusahaan raksasa di Amerika. Pemerintah terpaksa mengucurkan dana miliaran dolar untuk menyelamatkan perusahaan tersebut. Bagi sebagian orang, inilah akhir dari kapitalisme.

Apakah kapitalisme benar berakhir? Editor senior The Times London yang juga rajin menulis di majalah The Economist, Anatole Kaletsky, lebih suka mengatakan bahwa kapitalisme tidak berakhir, tapi menemukan bentuk baru. Krisis tersebut menjadi koreksi bagi perkembangan kapitalisme. Hasil dari koreksi itu yang kemudian dia sebut dengan Kapitalisme 4.0.

Pasar, menurut Kaletsky begitu komplek sehingga tidak bisa diselesaikan sendiri oleh swasta, pemerintah harus ikut berperan di situ. Jadi Kapitalisme 4.0 adalah titik tengah antara liberalisasi pasar yang berlebihan dan regulasi yang ketat dari pemerintah. Sifat kapilatalisme versi baru ini lebih pragmatis, tidak bertumpu pada salah satu bandul.

Tapi perkembangan yang menarik justru ada kecenderungan ‘pemain’ kapitalisme yang berubah. Jika semula kapitalisme versi Adam Smith adalah mencerminkan keperkasaan perusahaan swasta, kini ada pergeseran yang cukup signifikan bahwa perusahaan milik negara yang punya peran lebih dalam perkembangan kapitalisme yang kemudian disebut state capitalism (kapitalisme negara).

State capitalism menjadi debat yang serius dalam setahun terakhir ini. Majalah bergengsi dunia, seperti Time, Newsweek, dan Business Week banyak mengulas tentang pergeseran kapitalisme ini dari berbagai sudut pandang. Bahasan terkini soal kapitalisme negara ini ada di The Economist, edisi 21 Januari 2012. Bahkan cover edisi ini adalah Lenin sedang memegang cerutu terbungkus dolar.

Seperti apa wajah state capitalism ini? Tak lebih adalah dunia kapitalis tetapi yang pegang peranan adalah perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh negara (state own company) atau badan usaha milik negara (BUMN). Sebetulnya memang bukan hal baru kalau negara memiliki badan uasha, tapi karena skalanya kini membesar, itu yang kemudian dikatakan dengan ‘rise’ atau mekarnya kapitalisme negara ini.

Pada 1980-1990 perusahaan milik negara sempat tidak mendapat tempat. Pada periode itu memang sedang gencar-gencarnya dilakukan privatisasi yang dimulai oleh Margaret Thatcher, perdana menteri Inggris. Saat itu, perusahaan penerbangan British Airways berubah menjadi perusahaan yang menguntungkan setelah diprivatisasi. Begitu juga British Steel, yang mampu disulap menjadi perusahaan baja terbesar di Eropa setelah dikelola swasta.

Kesuksesan Inggris menginspirasi negara lain. Tak kurang dari 50 negara mengikuti jejak Thatcher dalam melakukan privatisasi perusahan-perusahaan milik negara yang nyaris bangkrut. Indonesia tak terkecuali ikut demam privatisasi. Salah satu privatisasi yang layak disesalkan adalah lepasnya Indosat, sebuah perusahaan telekomunikasi yang sangat strategis itu dilepas dengan harga murah oleh rezim Megawati kepada Temasek, Singapura.

Jaman telah berubah. Kini justru perusahaan negara menunjukkan taringnya. Bukan di negara maju (barat) memang, tapi di negara-negara emerging market yang tersebar di berbagai belahan dunia. Sebut saja Cina, Rusia, Brazil, Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapura, Iran, dan barangkali dalam skala lebih kecil Malaysia dan Indonesia. Di negara-negara ini, perusahaan negara punya peran signifikan, bahkan sebagian sudah mendunia.

Eksistensi state capitalism ditunjukkan dengan cukup banyaknya peruahaan yang powerful di dunia. Di bidang minyak dan gas saja, ada 13 perusahaan besar yang dikuasai oleh negara. Perusahaan gas alam Gazprom, Rusia, merupakan perusahaan gas terbesar dunia. Sinopec Grup dan PetroChina juga menjadi perusahaan raksasa minyak nomor tiga dan empat dunia setelah Shell, Exxon Mobile, dan BP. Malaysia punya Petronas, Meksiko ada Pemex, Arab Saudi punya Aramco, Venezuela memiliki Petroleos.

Untuk perusahaan non-migas, Arab Saudi memiliki Saudi Basic Industries Corporation, perusahaan kimia yang paling menguntungkan di dunia. Rusia memiliki Sberbank, bank dengan kapitalisasi terbesar ketiga di Eropa. Industri komunikasi Cina, China Mobile, memiliki pelanggan sebanyak 600 juta. Kemudian Brazil, di perminyakan mereka memiiki Petrobras, sedangkan di pertambangan pemerintah Brazil memback-up Vale yang menjadi perusahaan tambang terbesar di negara bola itu.

State capitalism ini sedikit banyak juga dicirikan dengan proporsi perusahaan negara dalam kapitalisasi pasar di pasar modal di negara masing-masing. Cina misalnya, perusahaan negara di sana menguasai kapitalisasi pasar sebesar 80 persen, kemudian Rusia 62 persen, sedangkan Brazil 38 persen. Di Indonesia sendiri kapitalisasi BUMN sekitar seperempat sampai sepertiga total kapitalisasi bursa saham.

Kapitalisme negara sebetulnya bukan barang baru. Ketika suatu negara hancur, karena peperangan misalnya, mereka membangkitkan diri lewat pengembangan bisnis yang dilakukan perusahaan negara. Jadi negara membuat berbagai perusahaan untuk segera merevitalisasi aset yang ada sehingga bisa berkembang. Ketika usaha berkembang, maka perekonomian akan bergerak. Perusahan negara itulah yang menjadi tulang punggung lajunya perekonomian. Itu yang terjadi di Eropa setelah Perang Dunia II.

Sampai sekarang masih ada sedikit sisa-sisa state capitalism masa lalu di beberapa negara maju. Perancis misalnya masih menguasai 85 persen saham Électricité de France (EDF). Pemerintah Jepang memiliki 50 persen saham Japan Tobaco. Jerman masih menyimpan 32 persen saham telekomunikasi Deutsche Telekom. Secara keseluruhan, negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki perusahaan dengan total nilai dua triliun dolar dan enam juta karyawan.

Dalam prakteknya, kapitalisme negara ini memiliki varian yang berbeda di tiap negara. Di Cina pengaruh partai sangat kuat. Partai Komunis sebagai partai yang berkuasa sangat menentukan siapa yang akan memimpin perusahaan negara, meskipun sebagaian juga dipilih dari orang-orang profesional. Pengontrol semua perusahaan negara ada pada State Owned Asset Supervision ana Administration Comission (SASAC). Inilah lembaga yang pengontrol perusahaan terbesar di dunia.

Di Rusia, pemerintah membeli perusahaan besar yang sebelumnya dimiliki oleh swasta. Kepemilikan swasta itu sendiri sebelumnya diperoleh dari program privatisasi yang dijalankan oleh Boris Yeltsin, istilahnya renasionalisasi. Rosneft, perusahaan minyak pemerintah, mengakusisi perusahaam minyak raksasa Yukos. Begitu pula Gazprom yang dibeli oleh Sibneft dari Roman Abramovich.

Di kawasan Timur Tengah lain lagi. Di situ keluarga kerajaan atau keluarga penguasa ikut mengontrol sekaligus menggerogoti perusahaan negara seperti di Mesir (sebelum Arab Spring) misalnya. Di negeri piramida itu manajemen perusahaan dikendalikan oleh orang-orang tidak profisonal karena cenderung para kroni yang dipilih.

Dari kawasan itu yang relative profesional adalah perusahaan negara di Emirat Arab. Perusahaan yang banyak dipuji adalah al-Maktoums yang salah satunya menciptakan Dubai World.

Sementara di Brazil, privatisasi dilakukan pada 1990an adalah untuk menyelamatkan inflasi dan anggaran belanja yang defisit. Kini setelah Pemerintah memiliki dana, mereka membeli perusahaan swasta yang besar, terutama perusahaan yang bergerak di sumber dalam dan telekomunikasi. Mereka juga menjalankan strategi baru pemilikan dari pemilikan langsung menjadi tidak langsung.

Tapi berbagai variasi dalam state capitalism tersebut, tetap ada kesamaan yakni politisi lebih berkuasa dalam dibanding dengan kapitalisme liberal. Di negara yang otoriter seperti Cina, itu pasti terjadi. Tak terkecuali di Brazil yang demokratis pun ikut campur politisi masih jamak terjadi. Barangkali itu pula yang terjadi di Indonesia, di sebuah negara yang demokratis, tapi para politisinya bak preman yang memeras uang perusahaan negara.

State capitalism ini disinggung secara tidak langsung dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss Januari silam. Pertemuan yang dihadiri 40 kepala negara dan 1500 pengusaha dari berbagai bidang usaha itu nyaris kompak mengecam kapitalisme liberal. Mereka menyebut kapitalisme liberal itu telah membuat krisis global.

Di sisi lain, mereka sepakat bahwa Cina dengan state capitalism telah berhasil membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Keberhasilan Cina itu akan makin mengispirasi negara lain untuk menengok kapitalisme negara. Benar kata Anatole Kaletsky, kapitalisme tak akan mati, dia hanya bermetamorfose, dan kini bermetamorfose menjadi kapitalisme negara.@ Anif Punto Utomo
Dimuat di rubrik Teraju Republika 13 Februari 2012