Jika berbicara tentang bisnis minyak, kita sering membandingkan
antara Petronas dengan Pertamina. Petronas, perusahaan milik negara Malaysia
itu kini berkibar menjadi perusahaan minyak kelas dunia, sedangkan Pertamina
yang dulunya adalah guru dari Petronas, masih harus berjuang. Ironisnya
perjuangan bukan melawan perusahaan minyak asing tetapi melawan Pemerintah kita
sendiri.
Pada 2006 silam, energi kita tersita memperdebatkan tentang
siapa yang berhak mengelola Blok Cepu, apakah Pertamina ataukah Exxon, perusahaan minyak asal Amerika. Boleh dikata
sebagian besar dari rakyat menginginkan blok tersebut dikelola Pertamina. Tapi
tekanan dari Amerika Serikat membuat pemerintah keder, akhirnya para negosiator
kita yang tak lebih merupakan komprador asing, melepaskan pengelolaan Blok Cepu
ke Exxon.
Kini enam tahun kemudian, energi yang sama mulai kita belanjakan
untuk memperdebatkan perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Pro-kontra mewarnai
tarik menarik opini mengenai siapa pengelola blok tersebut setelah masa Kontrak
Kerja Sama (KKS) dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation
(Jepang) berakhir pada Maret 2017 nanti.
Mereka yang kritis terhadap masalah energi
nasional seperti Marwan Batubara, Sri Edy Swasono, Kwik Kian Gie, Kurtubi,
Mochtar Pabottingi, Hendri Saparini, Pri Agung Rakhmanto, Revrisond Bazwir,
Iman Sugema, Teguh Juwarno, dan ratusan lainnya membikin petisi penolakan.
Intinya pemerintah harus memutus kontrak Blok Mahakam melalui penerbitan
Peraturan Pemerintah selambatnya akhir tahun ini.
Jika kontrak itu diputus, maka pengelolaan
lapangan tersebut diberikan kepada Pertamina. Tidak ada alasan untuk tidak
diberikan kepada Pertamina. Dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia,
Pertamina sudah memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Begitu juga dari sisi
pendanaan, tidak begitu masalah, karena tidak perlu lagi mengeluarkan dana
besar untuk mengelolanya.
Kenapa penting dikelola sendiri? Dari sisi produksi menurut Indonesian Resources Studies, cadangan
blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sudah
sekitar 50 persen (13,5 tcf) dieksploitasi, dengan pendapatan kotor 100 miliar
dolar AS. Dengan harga gas yang terus naik , sisa cadangan yang saat ini 13,5
tcf, berpotensi meraih pendapatan 187 miliar dolar atau Rp 1.700 triliun.
Blok Mahakam awalnya ditandatangani antara Pemerintah dengan Total
E&P Indonesie dan Inpex Corporation pada 31 Maret 1967, tak lama setelah
Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Sebelum kontrak selesai per 31
Maret 1997, Pemerintah memperpanjang kontrak selama 20 tahun sehingga masa kontrak
baru akan berakhir pada 31 Maret 2017.
Menasionalisasi blok yang sudah habis masa kontraknya bukan
hanya masalah nilai ekonomis yang besar, tetapi juga menyangkut masalah
ketahanan energi. Bagaimanapun jika operator dilakukan oleh Pertamina,
Pemerintah akan lebih mudah menjaga security
of supply migas nasional.
Menurut data yang disajikan oleh Dirjen Migas Kementerian
ESDM Evita Legowo, saat ini 74 persen kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas
dikuasai perusahaan asing. Pengalaman selama ini, sebagian besar
produk minyak dari perusahaan asing itu dijual ke pasar internasional.
Indonesia sebagai pemilik sumber daya alamnya, tidak memiliki kedaulatan
mengatur penjualan, meski untuk kebutuhan nasional.
Pertamina sejak 2008 sudah menyatakan diri sanggup untuk
mengelola Blok Mahakam. Tapi entah kenapa otoritas migas tidak segera merespon
permintaan tersebut. Tampaknya otoritas migas itu harus selalu digedor untuk
mengingatkan bahwa potensi energi yang kita miliki harus dikelola oleh kita
sendiri. Kalaupun Pertamina belum mampu misalnya, harus didorong agar mampu
mengelolanya.
Sebetulnya disini memang bukan masalah kemampuan, melainkan
masalah keberpihakan. Pemerintah mau berpihak kepada siapa, apakah kepada asing
atau kepada negara, kepada rakyat. Apakah Pemerintah --seperti yang sering
terjadi selama ini-- selalu menjadi komprador asing, atau akan hijrah menjadi
Pemerintah yang berpihak kepada keIndonesiaan.
Tekanan dari asing selalu ada. Sebagaimana ketika pemerintah
melakukan perjanjian blok Cepu beberapa waktu lalu, Menlu Amerika Serikat,
Condoleezza Rice, menyempatkan ke Indonesia untuk menemui Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Tak sampai 24 jam sejak kedatangan Rice, ExxonMobil
diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu, menyingkirkan Pertamina.
Begitu pula yang terjadi pada Blok Mahakam. Pertengahan
tahun lalu PM Prancis Francois Fillon berkunjung ke
Indonesia, salah satu misinya adalah meminta perpanjangan kontrak Mahakam.
Akhir Juli silam, ketika Menteri ESDM Jero Wacik ke Paris, Menteri Perdagangan
Luar Negeri Prancis Nicole Bricq mengingatkan kembali perpanjangan kontrak.
Permintaan serupa disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu
Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012.
Bagaimana sikap pemerintah, ini yang
menjadi pertanyaan kita semua. Suka tidak suka, kita mesti belajar dari
Malaysia. Di negara otoriter itu, semua KKS yang habis masa kontraknya diberikan
ke Petronas. Dan Petronas pun berkembang cepat mengungguli Pertamina setelah
pemerintahnya menasionalisasi blok-blok yang sebelumnya dioperasikan
Shell (di Sabah dan Sarawak) dan Exxon (di Malay Peninsula).
Apakah langkah itu kemudian membuat
surut perusahaan minyak internasional masuk ke Malaysia? Tidak. Sebagaimana
ditulis Majalah IAGI, jika dulu
Malaysia hanya didominasi oleh Shell dan Esso, sekarang lebih dari 20
perusahaan minyak beroperasi. Malaysia menggunakan momentum pengembalian
blok-blok kontrak-karya sebagai titik awal dari kebangkitan industri minyak
mereka.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak ada salahnya kita meniru
Malaysia jika itu baik untuk rakyat. Tinggal kemauan pemerintah. Bahwa ada
orang-orang di otoritas migas yang ditengarai menjadi komprador boleh saja.
Tapi kuncinya tetap di Presiden. Jika presiden mengintruksikan tidak ada
perpanjangan kontrak bagi seluruh KKS, semua beres.
Memutuskan apakah kontarak Blok Mahakam diperpanjang atau
diberikan kepada Pertamina itu terkait dengan nasionalisme yang ada dalam diri
kita masing-masing. Mari kita menguji nasionalisme SBY.
Dimuat di Opini Republika 18 Oktober 2012