Thursday, February 7, 2013

Berlari di Atas Titian Rapuh




Pemerintah sukses mengalokasikan dana untuk orang miskin, tapi gagal dalam pelaksanaan pengentasan.

Anif Punto Utomo

Sesekali datanglah ke sebuah hotel mewah di kawasan Senayan yang membuka pameran apartemen di SIngapura. Maka Anda akan terkaget-kaget ketika meihat banyaknya pengunjung pameran properti di negeri tempat koruptor bersembunyi itu. Mereka yang datang ke situ bukan tipe orang yang hanya sight seeing, tapi pembeli beneran.

Menurut data yang dilansir Real Estate Information System of Singapore, sampai 2011, nilai Investasi pembelian properti oleh orang Indonesia di Singapora, mencapai Rp 35 triliun. Diperkirakan pada 2012 silam angka tersebut naik 10 persen, sehingga mencapai Rp 38,5 triliun. Bagi sebagian orang, angka itu tidak mengejutkan, yang mengejutkan adalah jumlah pemiliknya yang tidak sampai 2.000 orang.

Data tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia terus tumbuh sehingga para pemilik modal begitu menikmati pertumbuhan itu. Tak heran jika kemudian terdapat 40 orang terkaya Indonesia yang memiliki kekeyaan 10 persen dari produk domestic bruto (PDB). Merekapun membelanjakan uang ke negeri lain. Ada yang untuk investasi, ada yang untuk mengamankan hartanya, dll.

Memang ditengah menyurutnya perekonomian dunia akibat krisis Amerika pada 2008 yang kemudian disusul krisis Eropa pada 2010, perekonomian Indonesia terus cemerlang. Semula pertumbuhan ekonomi kita di bawah Cina dan India, belakangan karena pertumbuhan Cina dan India merosot, Indonesia melewati India. Pada 2012, pertumbuhan Cina 7,8, sedangkan Indonesia 6,3 persen.

Begitu berprestasinya perekonomian Indonesia, pada September lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberi penghargaan “Pencapaian Ekonomi Abad 21” (21st Century Economic Achievement Award) dari US ASEAN Business Council (USABC) atas prestasinya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan iklim investasi yang kondusif di Indonesia. 

Senyum SBY makin lebar tatkala pujian terhadap perekonomian datang bertubi-tubi. Country Director World Bank di Indonesia, Stefan Koeberle, misalnya memuji Pemerintah yang mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di atas enam persen di tengah krisis yang melanda Eropa. Pujian juga datang dari laporan Mckinsey Global Institute (MGI) bertajuk The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential. Bahkan diramalkan 2030 nanti, Indonesia akan menjadi tujuh besar perekonomian dunia.

Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi itu tidak bisa disangkal. Pertumbuhan itu didorong membanjirnya investasi beberapa tahun belakangan. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi pada 2012 diperkirakan menembus Rp 300 triliun. Lebih dari separuh disumbang oleh penanaman modal asing (PMA). Pada 2013 ini, BKPM optimis investasi akan mencapai Rp 390 triliun.

Sayang, investasi yang masuk sangat minim yang masuk sektor riil. Karena itu, besarnya investasi yang ditanamkan tidak bisa menyerap tenaga kerja yang signifikan. Data per Agustus 2012 menunjukkan bahwa dari 118 juta tenaga kerja, 44,2 juta (39,86 persen) bekerja di sektor formal dan 60,14 persen informal. Itu artinya sebagian besar pekerja tidak mendapatkan jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dll.

Kondisi tersebut juga terlihat pada jumlah tenaga kerja yang terserap pada setiap pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menargetkan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan menyerap 450 ribu tenaga kerja. Kenyataannya setiap satu persen pertumbuhan hanya terserap 180 ribu tenaga kerja. Padahal setiap tahun ada 2,5 juta yang masuk pasaran kerja. Pengangguran akan makin besar.

Kenapa bisa begitu? Karena sektor yang tumbuh tinggi dengan rata-rata 10,29 persen adalah sektor nontradable good seperti komunikasi, listrik, kontruksi, jasa keuangan, realestate, hotel, restoran. Sedangkan sektor padat karya (tradable good) seperti pertanian, perternakan, perikanan, dan industri pengolahan sangat rendah, rata-rata dibawah 4-5 persen, bahkan ada satu kuartal yang pernah minus. 

Tidak berkualitasnye pertumbuhan ekonomi juga tercemin dari penurunan jumlah orang miskin yang sangat lambat. Data terakhir, Maret-September 2012, persentase penurunan penduduk miskin hanya 0,3 persen. Dengan begitu jumlah penduduk miskin yang harus hidup dengan Rp 8.500 per hari sekitar 11,66 persen atau 28,85 juta. Sementara target pemerintah, persentase masyarakat miskin pada 2012 ini adalah 10,55 persen.

Apakah dana untuk pemberantasan kemiskinan terlalu kecil? Tidak. Pada 2012, dana yang dianggarkan untuk pemberantasan kemiskinan lewat berbagai departemen mencapai Rp 99,2 triiun! Lantas kemana saja dana sebesar itu, apakah lari ke kantong-kantong orang yang tidak bertanggungjawab? Itulah persoalannya. Pola penganggaran yang tidak tepat, kontrol lapangan yang lemah, pelaksanaan yang tidak tepat sasaran, menjadi problem klasik. 

Pemerintah sukses mengalokasikan dana untuk orang miskin, tapi gagal dalam pelaksanaan pengentasan.
Ketidakmampuan pemerintah memberikan pemerataan dalam pertumbuhan ekonomi menyebabkan kesenjangan kesejahteraan makin tinggi. Kesenjangan biasanya dihitung dalam indeks yang dinamakan indeks Gini, semakin besar angkanya maka kesenjangan semakin tinggi. Pada 2004 ketika SBY menjadi presiden, indeks Gini berada di 0,34, sekarang, ketika SBY banyak menerima pujian, indeks Gini 0,41.

Indeks Gini makin parah ketika kita bicara kepemilikan lahan, yakni sekitar 0,55. Bisa jadi itu betul. Coba kita lihat kepemilikan tanah petani, mereka rata-rata 0,25 hektar. Sementara para konglomerat yang mendapat dorongan penuh dari pemerintah bisa menguasaui jutaan hektar. Tercatat 0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 aset produktif dan 87 persen dalam bentuk tanah. 

M Sirait menulis, di kehutanan, terdapat 531 izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Luasnya 35,8 juta hektar, hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing. Sementara ada 57 izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas rata-rata cuma 0,25 juta hektar. Di perkebunan, dari 11,5 juta hektar luas lahan sawit, 52 persen milik swasta yang juga hanya puluhan, 11,69 persen milik perusahaan negara. Perkebunan rakyat 35,56 persen diiliki jutaan orang. 

Repotnya lagi, subsidi yang mestinya diberikan kepada rakyat bawah justru diberikan kepada kelangan menengah atas. Ini jelas terlihat pada subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak. Pada 2012, subsidi untuk BBM mencapai Rp 211,9 triliun, jauh melebihi pagu anggaran APBN-P yang Rp 137 triliun. Rakyat bawah dikorbankan untuk sebuah citra pemerintah yang seolah-olah populis.

Data dari Susenas menunjukkan rata-rata kelas menengah memakai 50 liter per bulan untuk mobil dan kelas bawah yang memakai motor membutuhkan lima liter. Jadi subsidi yang diberikan untuk kelas menengah sekitar Rp 1,115 juta, sedangkan subsidi untuk kelas bawah hanya Rp 111.000. Penduduk termiskin paling parah, mereka hanya menikmati subsidi satu persen.

Secara umum, ekonom Thee Kian Wie mengatakan bahwa kesenjangan yang semakin nyata tersebut mengindikasikan adanya konsentrasi aset fisik dan nofisik oleh kalangan menengah ke atas. Aset fisik bisa terlihat dari kepemilikan tanah, dana, bangunan, dan saham. 

Sedangkan aset nonfisik adalah pendidikan dan kesehatan di mana kalangan menengah dan atas dapat memberikan pendidikan dan kesehatan yang baik bagi anaknya. Anak-anak mereka itu, berkat kesehatan yang baik dan pendidikan yang baik, kelak akan dengan mudah mengakses pusat ekonomi, sehingga mereka pun akan mendapat penghasilan tinggi.

Legitimasi pemerintah saat ini adalah pada tataran ekonomi sosial. Jika masalah ketidakmerataan ekonomi tidak terselesaikan dengan baik, masalah sosial sudah menghadang di depan., sekarang pun sudah mulai terasa ketidak berdayaan rakyat dalam menhadapi kehidupan yang semakin hari semakin menyusahkan mereka.

Perekonomian kita bisa diibaratkan berlari pada titian yang rapuh. Pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi pijakan sosial dibawahnya rapuh. Jika pemerintah terus berlari semata mengejar pertumbuhan, problem sosial akan tersulut, rakyat akan berontak. Semoga radar SBY menangkap keresahan rakyat yang dipimpinnya.@