Wednesday, May 21, 2014

Makna 10 Besar Ekonomi Dunia

Oleh Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

‘’Alhamdulillah ekonomi Indonesia, oleh World Bank, ditetapkan sebagai ekonomi nomor 10 di dunia.’’ Begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensyukuri pencapaian ekonomi Indonesia di menjelang akhir masa jabatannya.

Betul. Menurut hasil riset yang dipublikasikan International Comparation Program (ICP), berdasarkan purching power parity (PPP), ekonomi Indonesia masuk dalam urutan 10 besar ekonomi dunia. Urutan pertama diduduki Amerika, disusul Cina, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brazil, Perancis, dan Inggris, dan kemudian Indonesia

ICP merupakan lembaga yang didirikan bersama antara Divisi Statistik PBB dan International Comparison Unit di Universitas Pensylvania pada 1968. ICP sudah beberapa kali membuat peringkat ekonomi negara berdasarkan PPP yakni pada 1970 (di 10 negara), 1973 (16), 1975 (34), 1980 (60), 1985 (64), 1993 (117), 2005 (146), dan 2011 (199).

Banyak yang menganggap pengukuran kekuatan ekonomi dengan PPP lebih mewakili karena melihat kondisi riil di berbagai negara dengan membandingkan harga. Misalnya di Indonesia harga satu kaleng Cocacola 330 ml Rp 6.800 (0.6 dolar AS), barang yang sama di Amerika 1.15 dolar AS (Rp 13.250). Jadi, orang Indonesia yang memiliki uang  0.6 dolar, sama kayanya dengan orang Amerika yang memiliki 1.15 dolar.

Dengan pengukuran berdasar PPP maka negara-negara yang tergolong sebagai negara dengan middle income seperti Cina. India, dan Indonesia, akan menempati ranking yang tinggi dibanding jika pengukuran lewat konversi.  Ranking menjadi tinggi karena harga barang di negara pendapatan menengah relatif lebih rendah dibanding negara maju.

Selama ini yang lebih sering dipublikasikan adalah peringkat  kekuatan ekonomi (produk domestik bruto-PDB) dengan konversi ke dolar AS. Jadi seluruh output dihitung dalam rupiah kemudian langsung dikonversi ke dolar. Jika diukur dengan konversi kurs, peringkat Indonesia ada di urutan 16, enam negara lain yang berada di atasnya adalah Meksiko, Kanada, Korea Selatan, Itali, Spanyol, dan Australia.

Tingginya peringkat Indonesia tak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang berkisar 4.5-6,5 persen pada satu dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut tidak lepas pula dari kestabilan politik. Meskipun kesakralan demokrasi dirusak dengan money politic pada setiap Pilkada dan Pemilu, serta gelombang kekecewaan terhadap pemerintah yang makin masif, tetapi relatif tidak menimbulkan gejolak besar.

Apa makna dari melejitnya peringkat skala ekonmi Indonesia tersebut? Di satu sisi Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia. Masuknya Indonesia sebagai negara anggota G-20 merupakan pengakuan dunia bahwa ekonomi kita tidak lagi bisa dipandang remeh. Skala ekonomi Indonesia sudah mengalahkan Belanda, negara yang 350 tahun menjajah kita.

Kemudian, sebagai negara emering country, Indonesia menjadi magnet bagi investor asing. Bagaimana tidak, di perbankan misalnya, net interest margin (NIM) di Indonesia pada 2013 lalu 4,89 persen, salah satu yang tertinggi di dunia. Di sektor komunikasi, imbal hasil bisa 20 persen. Di pasar modal, pernah ada yang menghitung, jika berinvestasi sejak 2003, sampai 2013 sudah naik sembilan  kali lipat.  Itulah kenapa Indonesia tetap menjadi tujuan investasi, baik direct maupun portfolio.

Makna lain yang tidak kalah penting adalah menjadikan pencapaian sebagai pengingat. Pengingat bahwa pencapaian didukung oleh struktur ekonomi produksi melainkan konsumsi sehingga rapuh.  Pengingat bahwa kekayaan nasional kita diperas oleh asing. Pengingat bahwa pencapaian itu hanya dinikmati menengah-atas. Pengingat bahwa sumber daya alam kita nyaris habis tidak bersisa.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena pemerintah hanya berorientasi kepada pertumbuhan. Pertumbuhan itupun jika kita melihat ke lapangan, bukan dominan karena kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, melainkan lebih pada pertumbuhan secara alamiah. Ibaratnya pemerintah tidur saja, ekonomi kita tetap tumbuh seperti yang terjadi selama ini.

Karena pertumbuhan secara alami, maka yang terjadi adalah jika ada kesempatan lakukan eksploitasi habis-habisan. Itu yang terjadi pada pengelolaan sumber daya alam. Kita sadar bahwa pertumbuhan yang mengantarkan Indonesia masuk dalam radar ekonomi dunia itu harus mengorbankan terkurasnya kekayaan SDA seperti pertambangan, hutan, perkebunan, dll.

Pertumbuhan tersebut juga mengorbankan martabat dan kedaulatan bangsa yang  jatuh pada titik nadir karena kakuatan ekonomi yang berada di genggaman asing. Dengan penguasaan asing yang begitu dominan maka rakyat Indonesia hanya menjadi kuli di negeri sendiri. Kekayaan dihisap oleh asing sementara rakyat Indonesia hanya menerima sepahnya.

Korban lain adalah petani. Pemerintah dengan mudah mengambil keputusan impor setiap kali ada kelangkaan bahan pangan. Pemerintah tidak memikirkan bagaimana membina dan memberdayakan petani dan sektor pertanian agar petani makamur dan tidak tergantung kepada asing. Kita harusnya malu, Indonesia dengan wilayah luas dan tanah yang subur, tidak mampu mandiri di bidang pangan.

Indonesia harus memiliki arah yang jelas dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini nihil semangat nasionalisme harus dikoreksi. Kita tidak bisa hidup terus menerus dengan pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan rakyat. Ekonomi neoliberal yang mengagungkan pasar bebas dan padat modal harus direvolusi menjadi ekonomi yang mandiri, berdaulat, dan prorakyat.

Perekonomian yang mandiri adalah ketika kita tidak menggantungkan hidup kita dari negara lain. Selama ini perekonomian kita nyaris disangga oleh impor. Bahkan dua hal strategis yakni pangan dan energi kita masih tergantung pada asing. Pangan seperti beras, jagung, kedelai, sampai garam, kita impor. Begitu juga energi, kita impor minyak 500-600 barel per hari, sementara batubara yang bisa menjadi sumber energi pengganti justru diekspor.


Kedaulatan ekonomi kita pantas juga untuk dipertanyakan. Lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF, serta lembaga swasta asing terlalu kuat peranannya daam menentukan arah perekonmoian kita. Kepentngan asing dinomorsatukan, merea dibantu para pemburu rente yang lebih mementinkan diri sendiri dibanding negara.

Ekonomi rakyat juga tidak diperhatikan. Jutaan usaha kecil dibiarkan bersaing dengan usaha besar. Bahwa pemerintah sudah memberikan program pemberdadyaan seperti PNPM betul tapi pelaksanaannya tidak terarah, sehingga sebagian besar tidak sampai kepada yang berhak. Tidak ada keseriusan untuk mengangkat ekonomi rakyat, padahal merekalah penyelamat pengangguran.

Pemerintah selalu mengatakan bahwa perekonomian kita on the track alias berada di jalur yang benar. Tak bukah jika kita berada pada jalur yang benar, mungkinkah masuk 10 besar ekonomi dunia tetapi indeks pembangunan manusia berada di urutan 121 dari 186 negara? Mungkinkah masih ada 28,5 juta (BPS per September 2013) rakyat yang hidup miskin. Mungkinkah pula menjadi salah satu negara dengan kesenjangan tertinggi di dunia dengan indeks gini 0,413.

Begitulah kondisi ekonomi Indonesia. Dari luar tampak luar biasa, sedangkan dari dalam masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Maka masuknya Indonesia di 10 besar perekonomian dunia bisa dimaknai ganda yakni membanggakan dan memprihatinkan.@


Wednesday, May 14, 2014

Paket Ekonomi Tumpul

Oleh Anif Punto Utomo

Gejolak rupiah dan gonjang-ganjing pasar modal memaksa pemerintah berpikir keras untuk mengatasinya.  Ketika dolar sudah menembus angka psikologis Rp 10.000, menteri keuangan masih tenang-tenang saja menanggapinya. Baru ketika sudah menyentuh posisi Rp 11.000 per dolar, dan para pelaku ekonomi berteriak, pemerintah bereaksi.

Akhirnya terbitlah paket kebijakan ekonomi yang terdiri atas empat hal pokok yakni memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas harga dan inflasi, dan mempercepat investasi.

Apakah paket ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menahan depresiasi rupiah? Yang jelas pemerintah harus all out karena dalam APBNP 2013, rupiah dipatok Rp 9.600 per dolar AS, sementara belakangan ini berkisar antara Rp 10.500 sampai Rp 10.800 per dolar. Pada RAPBN 2014, dipatok Rp 9.750 per dolar.  Tahun ini jelas tidak akan tercapai, boleh jadi tahun depan juga sulit.

Rupiah memang sedang diuji. Wakil Presiden Budiono tidak terima kalau dikatakan bahwa rupiah melemah, dia merasa lebih nyaman jika dikatakan dolar menguat. Alasannya, kurs dolar menguat hampir terhadap seluruh mata uang. Masalahnya ketika negara tetangga depresiasinya dibawah lima persen, Indonesia sudah 10 persen, jadi bukan saja dolar, tapi rupiah memang juga melemah.  

Jika melihat gejalanya ada tiga hal yang menjadikan rupiah melemah. Pertama karena sentimen pasar, kedua situasi gobal, dan ketiga fundamental ekonomi dalam negeri kita. Ketiga faktor tersebut menyatu sehingga depresiasi rupiah jauh melebihi negara lain, kecuali India yang pelemahannya sampai di atas 20 persen.
Pertama faktor sentimen ini sangat subyektif, karena sangat terkait dengan situasi psikologis pasar. Ada pernyataan dari tokoh keuangan, bisa menggoncang pasar. Persepsi menjadi nabinya sentimen pasar.

Kedua faktor global, ini sangat terkait dengan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Tadinya The Fed merangsang ekonomi dengan melakukan kebijakan quantitatve easing yakni memborong obligasi pemerintah sebanyak 85 miliar per dolar per bulan. Stimulus ekonomi berupa pelonggaran likuditas  tersebut memberi gairah kepada ekonomi Amerika, pengangguran yang selama ini jadi momok Presiden Obama pun mulai berkurang.

Kini setelah stimulus dirasa cukup, Amerika akan melakukan tapering, yakni mengurangi pembelian obligasi pemerintah dari 85 miliar dolar menjadi 60-65 miliar dolar per bulan.  Rencana pengetatan ini membuat para investor global menarik investasi portofolionya di negara emerging market seperti Indonesia, India, Cina, Turki, Brazil, dll. Penarikan mendorong pelemahan mata uang masing-masing negara.

Ketiga adalah faktor fundamental ekonomi. Kita lihat inflasi, efek dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan ketidakmampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan, inflasi year on year (yoy) Juli 2012-Juli 2013 mencapai 8,3 persen. inflasi itu didorong oleh sektor pangan (volatile foods) dan barang yang diatur pemerintah (administrated goods). Inflasi yang melejit di atas inflasi di Amerika akan mendepresiasi rupiah.

Berikutnya neraca pembayara dan transaksi berjalan.  Sejak memasuki triwulan III tahun 2011, keduanya sudah menunjukkan trend memburuk, bahkan transaksi berjalan sudah mulai negatif. Kondisi terus memburuk sampai triwulan  II tahun 2013, neraca pembayaran mengalami defisit 9,848 miliar dolar dan transaksi berjalan defisit 2,477 miliar dolar.

Celakanya, meskipun defisit itu sudah berlangsung satu setengah tahun pemerintah nyaris tidak berbuat apa-apa, menanggapi itu sebagai hal biasa. Padahal dari situasi itu permintaan dolar menguat yang mengakibatkan rupiah melemah.  Turunnya rupiah mulai terlihat pada awal tahun ini, selama itu pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan untuk menahan laju depresiasi.

Konsekuensinya, karena tak ingin rupiah terus terpuruk, Bank Indonesia (BI) kemudian melakukan intervensi yang ujung-ujungnya menguras cadangan devisa. Pada Maret 2013, cadangan devisa masih 105,1 miliar dolar, empat bulan kemudian, pada Juli sudah tergerus menjadi 92,7 miliar dolar. Meskipun pemerintah masih bicara aman, tapi pasar sudah bereaksi negatif terhadap data itu.

Pertanyaanya, apakah pelemahan rupiah itu bisa diatasi dengan beleid kebijakan yang banyak dianggap miskin terobosan itu? Dari sisi materi ada yang perlu diapresiasi, tapi hasilnya sangat tergantung dari pemerintah menjaga konsistensi pelaksanaan kebijakan tersebut. Pengalaman selama ini, pemerintah hanya pandai membuat rencana dan berwacana.

Konversi BBM ke gas misalnya, sudah diwacanakan sejak tiga tahun lalu, tapi sampai sekarang tidak ada langkah konkretnya. Baik Presiden, Menko Ekonomi, menteri ESDM, semua hanya berwacana, tidak ada eksekutor yang berani bertanggungjawab untuk pelaksanaan itu.

Ini yang kita khawatirkan. Misalnya dalam paket kebijakan itu ada kenaikan penggunaan biodisel dari lima persen menjadi 20 persen, mestinya tidak hanya jadi wacana , tapi harusnya ada seorang martir  yang menjalankannya.  

Begitu juga dalam hal percepatan investasi yang langkah-langkahnya berupa penyederhanaan perijinan dan pelayanan satu atap, mempercepat peraturan daftar negetif investasi (DNI) yang lebih ramah pada investor, dan mempercepat program investasi berbasis agro dan tambang dengan memberikan insentif  berupa tax holiday dan tax allowance.

Bukankah langkah semacam itu sudah sering diwacanakan. Apalagi untuk penyederhanaan perijinan dan pelayanan satu atap, itu sudah menjadi proram prioritas sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden periode pertama sembilan tahun lalu, tapi tetap jalan ditempat.

Pemerintahan sekarang ini banyak diduduki oleh orang-orang yang pintar. Sayang mereka tipe safety player (mencari aman), padahal untuk membenahi negara ini kita butuh seorang risk taker. Berani mengambil risiko, berani membuat kebijakan nonpopulis  dan berani memutuskan.  Jika para pemimpin tidak berubah menjadi risk taker, paket kebijakan itu akan tumpul dan jalan di tempat.@
Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence


Thursday, May 8, 2014

Platform Ekonomi Syariah Capres

Oleh Anif Punto Utomo

Sampai detik terakhir artikel ini ditulis, nama calon presiden (ca pres) masih bertengger pada tiga nama, yakni Aburizal Bakrie, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto. Partai Demokrat yang sedang mengutak-utik kemungkinan membuat poros baru, belum menentukan siapa capres yang akan diusungnya.

Masing-masing capres sudah siap dengan platform ekonomi untuk membangun bangsa. Platform tersebut bisa di lihat dari platform partai yang menjadi pengusung pencapresan mereka. Semua bertujuan sama, untuk membangun kemakmuran bangsa secara adil, hanya saja detil program bervariasi sesuai dengan ideologi dan garis partai.

Aburizal yang diusung Partai Golkar me netapkan apa yang mereka namakan Visi Indonesia 2045: Negara Kesejah teraan. Kemudian Joko Widodo berpegang pada platform PDIP yang bertolak dari ajaran Trisakti dari Bung Karno yakni berdaulat secara politik, berdikari se cara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sedang Prabowo terlihat di platform Partai Gerindra dengan program “6 Program Aksi Transformasi Bangsa”.

Dari program ekonomi yang ditawarkan oleh para capres itu, nyaris semuanya mengerucut pada kemandirian ekonomi dan ekonomi rakyat. Kemandirian memang menjadi isu penting manakala hampir seluruh perekonomian kita saat ini dikuasai asing. Mulai dari perbankan, pertambangan dan migas, pasar ritel, barang konsumsi, bahkan komoditas pangan pun dikuasai asing. Pereko nomian kita telah terjebak pada paham neolib.

Ekonomi rakyat juga isu yang tak kalah penting manakala pertumbuhan yang diagung-agungkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak dinikmati rakyat, bahkan membuat kesenjangan akut. Dengan indeks gi ni yang 0,413 maka rezim SBY telah menciptakan kesenjangan terparah sepanjang republik ini berdiri. Persentase orang miskin yang 11,37 persen juga masih lebih tinggi dibanding masa ke jayaan Orde Baru yang pada Maret 1996 sudah 11,30 persen.

Dari platform yang disampaikan, ketiga capres menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai tidak berpihak kepada rakyat kecil. Mereka ingin mengoreksi kebijakan-kebijakan yang selama ini justru menjauhkan rakyat dari kesejahteraan, kebijakan yang tidak prorakyat. Mereka ingin mengedepankan keadilan dalam pertumbuhan.

Kemakmuran yang dinikmati bersama. Apakah platform itu sudah memadai? Dalam konteks membangun negara secara umum, platform ketiganya sudah mencukupi. Tetapi, sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, rasanya ada yang kurang. Kenapa tidak ada yang membawa platform ekonomi syariah?

Di dalam hukum Islam, semua boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Sementara di ekonomi Islam ada tujuh hal yang tidak dibolehkan yang biasa dising kat MAGHRIB, yakni maisir (spekulasi), aniaya (zalim), ghahar (tidak jelas underlying), haram, riba, iktinaz (penimbunan uang) dan bathil (tidak memenuhi rukun dan syarat).

Porak porandanya perekonomian dunia pada 2008 yang dimulai dari runtuhnya ekonomi Amerika tidak lain ka rena mempraktikkan apa yang dilarang dalam ekonomi Islam tersebut. Mereka melakukan transaksi spekulasi, melaku kan bisnis tanpa underlying, memprak tik kan per bankan riba, melakukan bis nis yang ha ram, dan sebagainya. Krisis ekonomi di Indonesia pada 1998 sebagi an juga karena melanggar tujuh larang an tersebut.

Pada dasarnya, ekonomi Islam dibangun berdasarkan landasan moral dan etika. Dari situ kemudian terbangun pilar-pilar ekonomi berupa keadilan, keseimbangan (riil dan moneter) dan trans paransi. Di situlah kekuatan ekonomi Islam yang jika direnungkan sebetulnya konsep ekonomi Islam ini universal, bisa diterapkan di manapun dan oleh siapa pun.

Itu terbukti dengan fenomena naiknya ghirah ekonomi Islam di dunia dalam dua dekade bekalangan ini. Kini negara-negara Barat yang notabene non- Muslim sedang berlomba-lomba menjadi pusat keuangan syariah seperti London, Luksemburg, dan Australia. Mereka secara perlahan mulai menerapkan ekonomi syariah dalam berbisnis.

Melihat fenomena ekonomi syariah yang luar biasa tersebut, mengapa tidak ada satu pun capres yang berani membuat platform ekonomi syariah? Padahal, ekonomi syariah jauh lebih sempurna, karena bukan hanya memandirikan eko nomi dan menyejahterakan rakyat, te tapi juga membuat kehidupan aman dan nyaman.

Haruskan partai Islam bersatu mengusung capres untuk membawa platform ekonomi syariah? Dengan jumlah suara gabungan 32 persen memungkinkan untuk maju. Tetapi tak mudah, selain karena tidak memiliki figur kuat, pengalaman selama ini justru masing-masing partai Islam lebih nyaman bergabung dengan partai nasionalis.

Poros Indonesia Raya yang digagas Amien Rais yang mengoalisikan partai Islam dan nasionalis sebetulnya memberi peluang partai Islam lebih berperan sehingga bisa mengusung platform ekonomi Islam. Tapi, gagasan itu menguap di tengah jalan. Ekonomi syariah secara teoritis akan membawa bangsa ini menuju negara yang adil, makmur, dan kesejahteraan yang merata. Sayang, tak ada capres yang meliriknya. ¦

Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika esisi 3 Mei 2014

Tahun Kelabu Ekonomi

Oleh : Anif Punto Utomo  

Tahun 2013 sebentar lagi usai. Masyarakat akan menyambut pergantian tahun dengan kegembiraan. Bagi yang banyak uang, mereka akan berpesta di hotel-hotel berbintang menonton penyanyi atau grup musik kelas dunia. Untuk masyarakat yang ekonominya pas-pasan, cukup menggembirakan diri di panggung rakyat yang digelar pemerintah daerah.

Bagi yang ingin membahagiakan hati bisa hadir di Zikir Akhir Tahun yang secara rutin ditradisikan Republika. Dengan zikir kita diajak untuk bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan kepada kita. Pada hakikatnya orang yang mampu terus bersyukur, dia bukan hanya memperoleh kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan sejati.

Rakyat memang perlu gembira, meski sesaat. Setidaknya itu untuk menutupi kekecewaan terhadap kinerja ekonomi pemerintah yang buruk tahun ini. Berbagai indikator ekonomi yang tidak menggembirakan itu pada ujungnya membuat kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia bertambah sengsara. Kehidupan semakin sulit karena harga-harga kian tak terjangkau.

Ketika berbicara tentang kehidupan yang semakin sengsara, berarti  kita tidak membicarakan kelas menengah yang jumlahnya 130 juta. Kita juga tidak membicarakan konglomerat yang beberapa di antaranya sudah masuk peringkat orang terkaya dunia. Apalagi membicarakan koruptor yang mencuri uang rakyat sampai ratusan miliar rupiah. Tapi, yang kita bicarakan adalah rakyat miskin yang berdasarkan data BPS berjumlah 28,07 juta, dan juga 70-an juta rakyat hampir miskin.

Indikator buruk yang paling nyata adalah naiknya harga bahan pokok makanan. Kenaikan ini tecermin dari tingginya angka inflasi di mana sampai November sudah mencapai 7,79 persen. Desember ini berbarengan dengan adanya Natal dan Tahun Baru, biasanya inflasi relatif tinggi sehingga sudah pasti inflasi tembus delapan persen.

Indikator lain adalah defisit perdagangan di mana sampai Oktober silam mencapai 6,36 miliar dolar AS. Defisit terjadi karena ekspor melambat, sementara impor naik secara konsisten. Naiknya jumlah kelas menengah ternyata ikut mendorong kenaikan impor, karena sebagian kebutuhan mereka harus produk asing. Di sisi lain ekspor kita mengandalkan bahan mentah seperti CPO, batu bara, an kakao yang rentan terhadap fluktuasi harga.

Defisit perdagangan tersebut mendorong terjadinya defisit transaksi berjalan. Setelah beberapa tahun nyaris tidak pernah ada persoalan transaksi berjalan, sejak 27 bulan terakhir, defisit transaksi berjalan menjadi momok perekonomian Indonesia.

Defisit transaksi berjalan terjadi karena neraca perdagangan defisit plus repatriasi laba perusahaan asing, pembayaran utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, yang belasan miliar dolar. Sampai Oktober silam, posisi defisit transaksi berjalan 8,449 miliar dolar AS atau 3,78 persen PDB (produk domestik bruto) di mana idealnya di bawah tiga persen PDB.

Defisit transaksi berjalan yang berlangsung terus-menerus menyebabkan permintaan terhadap dolar naik. Ketika permintaan terhadap dolar naik, kurs dolar terkerek. Itulah yang kemudian menjadikan rupiah merosot sehingga pada pekan ketiga Desember ini posisinya Rp 12.245 per dolar AS, posisi terburuk sejak 28 November 2008 yang berada di Rp 12.650 per dolar AS. Dengan posisi sekarang berarti dalam satu tahun, per awal Januari 2013,rupiah terdepresiasi 20 persen.

Pada posisi itu pun sebetulnya tidak diperoleh dengan gratis, karena Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi. Dari mana BI mendapatkan uang untuk intenvensi, tidak lain dari cadangan devisa, karena itulah cadangan devisa terus tergerus. November lalu posisi cadangan devisa 99,96 miliar dolar AS, jauh lebih rendah dibanding Desember 2012 yang 112,78 miliar dolar AS. Bandingkan dengan Cina yang tahun ini 3,32 triliun dolar AS.

Selain melakukan intervensi, BI juga menaikkan BI Rate dari 7,0 persen menjadi 7,25 persen pada Oktober 2013. Tapi, rupanya kombinasi intervensi dan kenaikan BI Rate tidak memiliki pengaruh kuat sehingga rupiah tetap terpuruk. Celakanya, meskipun rupiah terdepresiasi, ekspor tidak bisa naik tajam, sehingga defisit transaksi berjalan masih tetap menghantui.

Mengurangi defisit transaksi berjalan lewat peningkatan perdagangan tidak bisa cepat, untuk itu BI mengambil langkah praktis yakni menaikkan BI Rate menjadi 7,50 persen. Konsekunesinya, bunga simpanan akan naik, yang kemudian disusul bunga pinjaman. Pengusaha kelabakan karena terbebani kenaikan upah minimum dan kenaikan bunga kredit. Mereka  akan meresponsnya dengan menaikkan harga, dan ujung-ujungnya rakyat yang harus menanggungnya.

Kenaikan harga barang akan mendorong inflasi. Ketika inflasi terus tinggi, maka mereka yang berpenghasilan tetap dan berpenghasilan pas-pasan akan semakin sulit. Akibatnya, kesenjangan akan semakin tinggi. Tahun ini indeks Gini yang merepresentasikan kesenjangan mencapai 0,42, itu merupakan indeks terburuk sepanjang sejarah republik ini berdiri.

Melihat indikator-indikator di atas bisa dikatakan bahwa tahun 2013 ini menjadi tahun kelabu ekonomi bagi pemerintahan SBY-Budiono. Bahwa pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih bisa 5,7 persen (tertinggi di dunia setelah Cina), tapi pencapaian itu di bawah pertumbuhan 2012 yang 6,2 persen, dan juga di bawah prediksi semula yang 6,3 persen.

Pelajaran penting dari kelabunya perekonomian 2013 ini adalah pemerintah tidak konsisten dalam kebijakan dan tidak berani mengeksekusi kebijakan yang tidak populis. Pemerintah lebih suka bermain di sektor fiskal dan moneter dibanding sektor riil yang berisiko terhadap pencitraannya. Jika berani melakukan terobosan mengurangi konsumsi migas, misalnya, separuh dari persoalan defisit perdagangan selesai, mengingat impor migas sampai Oktober rata-rata 3,71 miliar dolar AS per bulan.

Tahun depan situasi ekonomi dihadapkan pada pengurangan stimulus moneter Amerika Serikat sehingga akan mengancam penarikan dana global. Dari dalam negeri, penyelenggaraan pemilu membuat makin banyak uang yang beredar di masyarakat termasuk dari money politics, sehingga berpotensi inflasi. Dan yang jelas konsentrasi kabinet terkuras untuk pemilu, persoalan ekonomi akan terlupakan.@


Dimuat di Opini Republika, 24 Desember 2013