Oleh Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic
Intelligence
‘’Alhamdulillah
ekonomi Indonesia, oleh World Bank, ditetapkan sebagai ekonomi nomor 10 di
dunia.’’ Begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensyukuri pencapaian ekonomi
Indonesia di menjelang akhir masa jabatannya.
Betul.
Menurut hasil riset yang dipublikasikan International Comparation Program
(ICP), berdasarkan purching power parity
(PPP), ekonomi Indonesia masuk dalam urutan 10 besar ekonomi dunia. Urutan pertama
diduduki Amerika, disusul Cina, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brazil, Perancis,
dan Inggris, dan kemudian Indonesia
ICP
merupakan lembaga yang didirikan bersama antara Divisi Statistik PBB dan International
Comparison Unit di Universitas Pensylvania pada 1968. ICP sudah beberapa kali membuat
peringkat ekonomi negara berdasarkan PPP yakni pada 1970 (di 10 negara), 1973 (16), 1975 (34),
1980 (60), 1985 (64), 1993 (117), 2005 (146), dan 2011 (199).
Banyak
yang menganggap pengukuran kekuatan ekonomi dengan PPP lebih mewakili karena melihat
kondisi riil di berbagai negara dengan membandingkan harga. Misalnya di
Indonesia harga satu kaleng Cocacola 330 ml Rp 6.800 (0.6 dolar AS), barang
yang sama di Amerika 1.15 dolar AS (Rp 13.250). Jadi, orang Indonesia yang
memiliki uang 0.6 dolar, sama kayanya
dengan orang Amerika yang memiliki 1.15 dolar.
Dengan
pengukuran berdasar PPP maka negara-negara yang tergolong sebagai negara dengan
middle income seperti Cina. India,
dan Indonesia, akan menempati ranking yang tinggi dibanding jika pengukuran
lewat konversi. Ranking menjadi tinggi
karena harga barang di negara pendapatan menengah relatif lebih rendah
dibanding negara maju.
Selama
ini yang lebih sering dipublikasikan adalah peringkat kekuatan ekonomi (produk domestik bruto-PDB) dengan
konversi ke dolar AS. Jadi seluruh output dihitung dalam rupiah kemudian
langsung dikonversi ke dolar. Jika diukur dengan konversi kurs, peringkat
Indonesia ada di urutan 16, enam negara lain yang berada di atasnya adalah Meksiko,
Kanada, Korea Selatan, Itali, Spanyol, dan Australia.
Tingginya
peringkat Indonesia tak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang berkisar 4.5-6,5
persen pada satu dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut
tidak lepas pula dari kestabilan politik. Meskipun kesakralan demokrasi dirusak
dengan money politic pada setiap
Pilkada dan Pemilu, serta gelombang kekecewaan terhadap pemerintah yang makin
masif, tetapi relatif tidak menimbulkan gejolak besar.
Apa
makna dari melejitnya peringkat skala ekonmi Indonesia tersebut? Di satu sisi
Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia. Masuknya
Indonesia sebagai negara anggota G-20 merupakan pengakuan dunia bahwa ekonomi kita
tidak lagi bisa dipandang remeh. Skala ekonomi Indonesia sudah mengalahkan
Belanda, negara yang 350 tahun menjajah kita.
Kemudian,
sebagai negara emering country,
Indonesia menjadi magnet bagi investor asing. Bagaimana tidak, di perbankan
misalnya, net interest margin (NIM)
di Indonesia pada 2013 lalu 4,89 persen, salah satu yang tertinggi di dunia. Di
sektor komunikasi, imbal hasil bisa 20 persen. Di pasar modal, pernah ada yang
menghitung, jika berinvestasi sejak 2003, sampai 2013 sudah naik sembilan kali lipat. Itulah kenapa Indonesia tetap menjadi tujuan
investasi, baik direct maupun portfolio.
Makna
lain yang tidak kalah penting adalah menjadikan pencapaian sebagai pengingat.
Pengingat bahwa pencapaian didukung oleh struktur ekonomi produksi melainkan
konsumsi sehingga rapuh. Pengingat bahwa
kekayaan nasional kita diperas oleh asing. Pengingat bahwa pencapaian itu hanya
dinikmati menengah-atas. Pengingat bahwa sumber daya alam kita nyaris habis
tidak bersisa.
Mengapa
itu bisa terjadi? Karena pemerintah hanya berorientasi kepada pertumbuhan. Pertumbuhan
itupun jika kita melihat ke lapangan, bukan dominan karena kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah, melainkan lebih pada pertumbuhan secara alamiah. Ibaratnya
pemerintah tidur saja, ekonomi kita tetap tumbuh seperti yang terjadi selama
ini.
Karena
pertumbuhan secara alami, maka yang terjadi adalah jika ada kesempatan lakukan
eksploitasi habis-habisan. Itu yang terjadi pada pengelolaan sumber daya alam.
Kita sadar bahwa pertumbuhan yang mengantarkan Indonesia masuk dalam radar
ekonomi dunia itu harus mengorbankan terkurasnya kekayaan SDA seperti pertambangan,
hutan, perkebunan, dll.
Pertumbuhan
tersebut juga mengorbankan martabat dan kedaulatan bangsa yang jatuh pada titik nadir karena kakuatan ekonomi
yang berada di genggaman asing. Dengan penguasaan asing yang begitu dominan
maka rakyat Indonesia hanya menjadi kuli di negeri sendiri. Kekayaan dihisap
oleh asing sementara rakyat Indonesia hanya menerima sepahnya.
Korban
lain adalah petani. Pemerintah dengan mudah mengambil keputusan impor setiap
kali ada kelangkaan bahan pangan. Pemerintah tidak memikirkan bagaimana membina
dan memberdayakan petani dan sektor pertanian agar petani makamur dan tidak tergantung
kepada asing. Kita harusnya malu, Indonesia dengan wilayah luas dan tanah yang
subur, tidak mampu mandiri di bidang pangan.
Indonesia
harus memiliki arah yang jelas dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama
ini nihil semangat nasionalisme harus dikoreksi. Kita tidak bisa hidup terus
menerus dengan pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan rakyat. Ekonomi neoliberal
yang mengagungkan pasar bebas dan padat modal harus direvolusi menjadi ekonomi yang
mandiri, berdaulat, dan prorakyat.
Perekonomian
yang mandiri adalah ketika kita tidak menggantungkan hidup kita dari negara
lain. Selama ini perekonomian kita nyaris disangga oleh impor. Bahkan dua hal
strategis yakni pangan dan energi kita masih tergantung pada asing. Pangan
seperti beras, jagung, kedelai, sampai garam, kita impor. Begitu juga energi, kita
impor minyak 500-600 barel per hari, sementara batubara yang bisa menjadi
sumber energi pengganti justru diekspor.
Kedaulatan ekonomi kita pantas juga untuk dipertanyakan. Lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF, serta lembaga swasta asing terlalu kuat peranannya daam menentukan arah perekonmoian kita. Kepentngan asing dinomorsatukan, merea dibantu para pemburu rente yang lebih mementinkan diri sendiri dibanding negara.
Ekonomi
rakyat juga tidak diperhatikan. Jutaan usaha kecil dibiarkan bersaing dengan
usaha besar. Bahwa pemerintah sudah memberikan program pemberdadyaan seperti
PNPM betul tapi pelaksanaannya tidak terarah, sehingga sebagian besar tidak
sampai kepada yang berhak. Tidak ada keseriusan untuk mengangkat ekonomi
rakyat, padahal merekalah penyelamat pengangguran.
Pemerintah
selalu mengatakan bahwa perekonomian kita on
the track alias berada di jalur yang benar. Tak bukah jika kita berada pada
jalur yang benar, mungkinkah masuk 10 besar ekonomi dunia tetapi indeks
pembangunan manusia berada di urutan 121 dari 186 negara? Mungkinkah masih ada 28,5
juta (BPS per September 2013) rakyat yang hidup miskin. Mungkinkah pula menjadi
salah satu negara dengan kesenjangan tertinggi di dunia dengan indeks gini
0,413.
Begitulah
kondisi ekonomi Indonesia. Dari luar tampak luar biasa, sedangkan dari dalam
masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Maka masuknya Indonesia di
10 besar perekonomian dunia bisa dimaknai ganda yakni membanggakan dan
memprihatinkan.@