Friday, August 29, 2014

Shale Gas, Revolusi Non-konvensional


Pertengahan tahun lalu, Pangeran Alwaleed bin Talal, salah satu pangeran Arab Saudi yang menjadi pebinsis kelas dunia mengungkapkan kerisauannya terhadap negara di mana dia lahir. Dia mengingatkan agar Arab Saudi mengurangi ketergantungannya terhadap menjualan minyak, dan mencoba melakukan diversifikasi pendapatan negara.

Apa yang membuatnya risau? Shale gas (gas serpih). Eksploitasi shale gas di Amerika dan Kanada akan menekan permintaan minyak dunia. Arab Saudi yang saat ini 92 persen pendapatannya menggantungkan pada minyak dengan mengekspor 12,5 juta barel per hari, sudah saatnya mewaspadai. Logikanya, dengan semakin banyaknya shale gas yang disedot, harga minyak akan terancam turun.

Shale gas kini memang menjadi primadona baru di bidang energi. Seperti didefinisikan www.geology.com, shale gas adalah gas alam yang terdapat di dalam batuan shale, yaitu sejenis batu lunak (serpih) yang kaya akan minyak ataupun gas. Para ahli memasukkan shale gas ini sebagai unconvensional gas, karena berada pada batuan serpih yang berbeda dan jauh lebih dalam dibanding dengan gas biasa, serta memiliki permeabilitas yang sangat kecil.

Shale gas sebetulnya bukan hal baru. Pada 1821, Amerika sudah melakukan ekstraksi di wilayah Fredonia, New York.  Tetapi karena mengambil gasnya tidak semudah gas konvensional, dan lagi pula harga energi masih relatif murah, perkembangan ekstraksi ini lambat. Baru satu setengah abad kemudian dikembangkan manakala Amerika mengalami penurunan cadangan gas pada 1970an.

Teknologi pengambilan gas ini memang rumit. Pertama dari sisi kedalaman, jika gas biasa berada pada kedalaman sekitar 600-800 meter, maka shale gas ini kedalamannya mencapai 1.500-2.000 meter. Kemudian dari sisi batuannya, gas ini berada pada batuan serpihan dimana untuk mengambil gasnya, batuan itu haus dihancurkan dahulu, baru kemudian gas diambil.

Riset dan pengembangan terus dilakukan. Sampai pada awal 1980an belum ditemukan teknologi yang ekonomis yang mampu menyedot gas tersebut sampai ke permukaan bumi. Pada 1988 Mitchell Energy menemukan teknologi kombinasi teknologi horizontal drilling dan  hydraulic fracturing untuk mengambil shale gas. Teknologi tersebut terus mengalami penyempurnaan sampai produksi komersial pada 2000an.

Sejak itu, Amerika terus melakukan pengeboran dan memproduksi shale gas. Di lapangan Newark East, North-Central Texas misalnya hingga saat ini telah dibor  tak kurang dari 2.340 sumur dengan rata-rata kedalaman 2.000 meter. Semakin canggihnya teknologi, biaya untuk menghasilkan shale gas di Amerika juga turun dari 5 dolar per mbtu menjadi sekitar 3 dolar AS per mbtu. Amerika yang tadinya impor LNG, sejak mengebor shale gas ini tidak lagi impor, bahkan menjadi pengekspor gas.

Negeri koboi itu menjadi salah satu negara yang memiliki cadangan shale gas terbesar di dunia, dengan  1.100 triliun kaki kubik (trillion cubic feet-TCF). Bahkan menurut The Potential Gas Committe, negara adidaya itu memiliki cadangan 1.836 TCF atau setera dengan dua kali potensi minyak bumi di Arab Saudi. Cadangan itu tidak akan habis sampai 70 tahun mendatang.

Penemuan shale gas yang oleh Daniel Yergin, seorang penulis masalah politik dan energi yang pernah memperoleh Pulitzer Prize, dikatakan sebagai revolusi unkonvensional itu telah mengubah peta geopolitik dunia. Amerika yang tadinya sangat tergantung pada impor gas dari Timur Tengah, kini sudah mulai lepas dari ketergantungan tersebut.

Yergin memberikan contoh bagaimana Iran yang kini lebih melunak dalam perundingan mengenai nuklir. Karena rupanya penurunan produksi minyak dunia (khususnya Iran) akibat sanksi yang dijatuhkan tidak berdampak pada harga minyak. Itu artinya shale gas ini sedikit banyak sudah mempengaruhi peta minyak dan energi global yang biasanya berimbas pada kestabilan Timur Tengah.

Revolusi gas itu telah menjadikan Amerika sebagai produsen gas terbesar di dunia mengalahkan Rusia. Tapi yang lebih penting bagi mereka adalah bahwa Amerika bisa memperoleh energi murah, sehingga daya saingnya meningkat. Ini penting ketika Cina terus menggerogoti kekuatan Amerika. Eropa pun mulai gelisah dengan kebangkitan industri Amerika yang didorong oleh harga energi yang rendah.  

Pasokan gas yang melimpah tersebut secara tidak langsung juga membuat harga gas di pasar internasional menjadi lebih murah. Pada periode 2006-2010 harga gas berkisar 49 persen dari harga minyak. Belakangan harga gas hanya sekitar 28 persen dari harga minyak. Bahkan ada kecenderungan harga gas tidak lagi mengikuti harga minyak, dia akan memiliki cara sendiri untuk menentukan harga.

Sudah pula diduga bahwa shale gas ini telah memicu penurunan harga sumber energi lain. Batubara misalnya, harga Juni 2008 mencapai 192 dolar per metrik ton, pada akhir 2012 menjadi 96 dolar per metrik ton. Harga minyak, meskipun belum begitu terlihat tetapi menurut Laporan OPEC, pada 2014 terjadi penurunan permintaan sebesar 250 ribu dolar per hari dibanding 2013. 

Kesuksesan Amerika menginspirasi negara yang di dalam buminya tersimpan shale gas untuk berlomba menyedot nya. Kanada sudah melakukan. Cina yang memiliki cadangan tak kurang dari 1.400 tcf sedang berkonsentrasi penuh untuk mengambil shale gas. Begitu juga India yan memiliki cadangan besar. Eropa yang selama ini bergantung pada pasokan gas Rusia, tentu akan berusaha melepas ketergantungan itu dengan mengeksplor cadangannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Di dalam peta cadangan shale gas dunia, Indonesia tidak ditampakkan memiliki cadangan shale gas. Tetapi menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan shale gas Indonesia diperkirakan sebesar 574 TCF yang tersebar di pulau Sumatera (233 TCF), Jawa (48 TCF), Kalimantan (194 TCF) dan Papua (90 TCF).


Menurut Direktur Pusat Kerjasama Minyak dan Gas Bumi Universitas Trisakti Agus Guntoro, potensi shale gas Indonesia jauh lebih besar dari yang diperkirakan ESDM. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Indonesia memiliki potensi shale gas hingga 2.000 TCF, potensi itu mengalahkan Cina dan Amerika.


Terinspirasi oleh kesuksesan Amerika, Pemerintah mulai bergerak. Belakangan Pemerintah telah menerima pengajuan perminataan joint study shale gas dari 10 investor. Mereka akan bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi yang telah ditunjuk pemerintah yaitu ITB, UGM, UPN, Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran.

Menurut hasil identifikasi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 7 cekungan yang mengandung shale gas dan 1 berada di Indonesia Timur pada Formasi Klasafet. Cekungan terbanyak berada di Sumatera dengan 3 cekungan,yakni  Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, pada Formasi Klasafet.

Widjajono Partowidagdo (alm) ketika menjadi wakil menteri ESDM pernah berpesan bahwa shale gas merupakan gas masa depan sehingga harus dikembangkan oleh Indonesia. Banyak tantangan akan dihadapi salah satunya biaya per sumur yang memakan dana 8 juta dolar (di Amerika 3 juta dolar) karena kondisi lapangan yang complicated. Tetapi hitung-hitungan akhir menetapkan bahwa dalam jangka panjang shale gas akan menuntungkan Indonesia.@

Oleh Anif Punto Utomo
Pemimpin Redaksi 'Majalah IAGI'/Anggota IAGI

Dimuat di Majalah IAGI Edisi Juli 2014

Thursday, August 28, 2014

Krisis BBM di Masa Kritis

Kini, antrean untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai merata di seluruh provinsi. Barangkali hanya provinsi DKI Jakarta saja yang masih disuplai maksimum. Maklum sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah wajah Indonesia. Pemerintah tak mau tercoreng mukanya jika terjadi antrean panjang yang memalukan karena BBM. Apalagi antrean bisa menambah kemacetan yang sudah begitu parah.

Antre BBM merupakan konsekuensi dari nyaris jebolnya kuota BBM bersubsidi. Seperti tercantum dalam APBN-P, kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter, lebih rendah dari yang ditetapkan sebelumnya 48 juta kiloliter. Sejak awal mestinya pemerintah paham bahwa kuota tersebut pasti jebol jika tidak ada kebijakan radikal. Bayangkan sampai Juli silam saja mobil yang terjual sudah 733.736 dan sepeda motor 4,62 juta, berapa ribu kiloliter tambahan BBM yang dibutuhkan? 

Beberapa kebijakan sudah dilakukan pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Pertama, mewajibkan mobil dinas pemerintah dan BUMN mengunakan BBM nonsubsidi. Kebijakan ini pernah jalan tetapi tak efektif dan berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Kedua, pemasangan radio frequency identification (RFID), rencananya dipasang di 100 juta kendaraan dan selesai pertengahan 2014, langkah ini kandas. Ketiga, melarang penjualan di akhir pekan, tapi tidak terealisasi.

Di tengah ketidakmampuan pemerintah melakukan pembatasan, Pertamina tampil memimpin. Awalnya sebagaimana disosialisasikan di berbagai media beberapa SPBU di Jakarta Pusat dan di jalan tol, tidak dipasok BBM bersubsidi. Tak lama kemudian diam-diam, tanpa sosialisasi yang memadai, perusahaan yang masuk dalam Fortune 500 ini langsung mengurangi pasokan BBM subsidi ke SPBU di daerah. Akibatnya, seperti terlihat sekarang, antrean kendaraan terjadi di seluruh Indonesia.

Bagi Pertamina memang tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Karena jika kuota jebol, maka Pertamina ikut menanggung  risiko subsidi. Sekarang saja Pertamina sudah gerah dengan beban potensi subsidi untuk LPG sebesar Rp 6 triliun karena tidak boleh menaikkan harga  LPG ukuran 12 kg yang diperuntukkan bagi golongan menengah atas.

Tapi, rupanya efek dari pembatasan BBM bersubsidi ini tidak sederhana, mengingat BBM tidak semata untuk transportasi mobil dan motor. Di beberapa tempat, masyarakat menengah bawah di pedesaan banyak menggantungkan hidup dari BBM. Ketika mereka harus mengantre dan terkadang tidak memperoleh jatah, maka sebagian ladang kehidupan mereka terampas. 

Efek dari ketergantungan masyarakat terhadap BBM itu, di antaranya, petani di Indramayu dan Cirebon tidak mampu mengairi sawahnya karena pompa air tidak bisa beroperasi. Mesin penggilingan padi harus beristirahat. Jasa penggergajian berhenti. Ratusan kapal nelayan tidak beroperasi sehingga ribuan nelayan menganggur. Angkutan kota hanya beroperasi sebagian sehingga anak-anak terpaksa membolos karena tidak mendapatkan angkot. (Republlika 26/8/14). Kunci dari penyelesaian ini sebetulnya ada pada pemimpin.  Mengatasi problem BBM perlu langkah radikal dan langkah radikal itu tidak lain adalah menaikkan harga BBM. Untuk menaikkan harga BBM inilah diperlukan nyali pemimpin yang kuat. Maklum, akan banyak kritikan dan hujatan  dari partai 'oposisi' dan protes dari masyarakat, termasuk demo yang terkadang masif. Diperlukan mental baja untuk menghadapi tantangan seperti itu.

Menaikkan harga BBM memang keputusan sulit mengingat spiralling effect yang ditimbulkan besar.  Intinya akan terjadi kenaikan harga secara menyeluruh. Inflasi menjadi tinggi. Kesejahteraan masyarakat menurun. Jumlah orang miskin yang 28,4 juta akan menggelembung. Bunga bank akan tetap tinggi, bahkan mungkin bisa naik untuk mengimbangi inflasi. Tetapi, jika tidak dinaikkan, situasinya akan tambah parah.

Saat ini adalah masa kritis di mana merupakan masa transisi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke presiden terpilih Jokowi. Pelantikan presiden baru akan dilakukan 20 Oktober nanti atau tinggal sekitar 50 hari lagi. Siapakah yang akan mengambil risiko untuk menaikkan harga BBM, apakah SBY atau Jokowi.

Apakah SBY mau mengambil risiko? SBY bukan tipe risk taker yang siap menghadapi hujatan dan cercaan karena menaikkan harga BBM, meskipun dia berpengalaman tiga kali menaikkan harga BBM. Apalagi periode pemerintahannya hampir usai, dia tidak mau dikenang sebagai presiden yang 'menyengsarakan' rakyat di akhir jabatannya. SBY akan cari aman.

Tetapi, jika tidak segera dinaikkan, situasinya akan makin mengkhawatirkan. Antrean makin panjang  sehingga memaksa sebagian orang menginap di SPBU, situasi ini akan menjadikan masyarakat frustrasi. Kita ngeri membayangkan masyarakat yang marah secara kolektif karena sudah antre panjang BBM tapi tidak memperoleh jatah. Mobil Pertamina berisi BBM pun sudah diincar untuk dibajak. Di sinilah sensitivitas SBY diuji.

Jika SBY tetap teguh tidak menaikkan harga BBM, berati begitu Jokowi-JK dilantik harus bersiap mengambil risiko itu. Tidak ada jalan lain. Apalagi menaikkan BBM merupakan langkah yang rasional pada saat situasi keuangan negara masih membutuhkan alokasi untuk infrastuktur, kesehatan, dan pendidikan. Subsidi BBM sudah di luar batas nalar, menyedot seperenam dari APBN yang sudah tembus Rp 2.000 triliun.

Yakinlah bahwa resistensi masyarakat terhadap kenaikan BBM tidak sekeras masa lalu. Apalagi melihat situasi sekarang yang begitu sulitnya memperoleh BBM. Bagi masyarakat lebih baik BBM naik sedikit tapi mudah diperoleh, daripada BBM murah tetapi sulit mendapatkannya. Masyarakat juga sudah mulai tersadarkan bahwa subsidi BBM ratusan triliun banyak dinikmati kelas menengah atas. Secara politis memang menjadi dilema bagi pendukung Jokowi.  Pada saat SBY menaikkan harga BBM Juni tahun lalu, PDIP bilang: pemerintah tidak prorakyat. Kini ketika terjadi krisis BBM dan pemerintah yang notabene masih dipegang SBY belum menaikkan harga BBM, PDIP bilang: pemerintah meninggalkan bom waktu.

Namun, melihat kepanikan masyarakat yang semakin tinggi, tampaknya tidak ada jalan lain, BBM harus segera dinaikkan. Nanti, SBY dan Jokowi bersama-sama mengumumkan kenaikan harga BBM. Kalau perlu biar terlihat adil, diumumkan bahwa BBM akan dinaikkan dua kali, pertama pada masa pemerintahan SBY dan berikutnya menyusul pada pemerintahan Jokowi.

Tampilnya kedua pemimpin secara bersama akan memberi makna bahwa persoalan BBM merupakan tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan nasib bangsa.@

Anif Punto Utomo,Direktur Indostrategic Economic Intelligence.

Dimuat di opini Republika edisi 28 Agustus 2014

Wednesday, August 27, 2014

Belajar dari Kemacetan Mudik

Mudik lebaran 2014 relatif sudah berakhir dengan puncak arus balik Sabtu-Ahad pekan lalu. Jutaan warga Jakarta, Depok, Bogor, Tengerang, Bekasi (Jadebotabek) telah kembali ke rumah masing-masing, bersiap menyambut rutinitas.

Mudik memang ada kenikmatan tersendiri. Bagi mereka yang tidak berasal dari kampung dan tidak merasakan nikmanya mudik, selalu berpikir mengapa orang-orang itu mau berhari-hari dijalan hanya untuk pulang kampung. Tak peduli mereka naik mobil atau motor, semua terkena kemacetan sampai belasan kilometer.

Kemacetan saat mudik sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Dan semakin lama kemacetan semakin parah karena jumlah pemudik bertambah luar biasa. Tahun ini sekitar 1,4 juta mobil dan hampir dua juta motor memenuhi jalur mudik. Fenomena mudik bermotor sendiri muncul sepuluh tahun terakhir ini, dan seketika menjadi moda transportasi favorit pemudik.

Pemerintah tampaknya tidak berbuat banyak dalam mengantisipasi pemudik. Akibatnya kemacetan semakin tidak terkendali. Logis saja, jumah kendaraan pemudik semakin banyak sementara jalan yang tersedia tidak banyak bertambah, itu pun masih banyak yang rusak. Tampak bahwa pemerintah abai terhadap pembangunan infrastuktur jalan.

Menghapus kemacetan di musim lebaran memang tidak mungkin, tetapi mengurangi kemacetan bukan hal yang mustahil dan memang harus dilakukan. Apalagi kemacetan sekarang bukan hanya di jalur mudik klasik dari Jakarta menuju Jawa Tengah, tetapi juga ada lintasan di Jawa Timur. Menurunkan kemacetan juga penting karena secara tidak langsung akan mengurangi kecelakaan.

Beberapa hal yang bsia dilakukan untuk mengurangi kemacetan adalah, Pertama membangun jembatan layang pada persimpangan jalan, persimpangan dengan rel kereta api, atau jalan yang melintas pasar.
Tak sedikit kemacetan yang disebabkan persimpangan jalan, contoh paling klasik adalah Simpang Jomin di Cikampek. Setiap tahun persimpangan ini selalu menjadi momok kemacetan, karena arus dari Pamanukan ke Cikampk bertemu dengan kendaraan dari tol menuju Pamanukan. Harusnya dibuat jalang layang dari arah tol dari arah tol menuju ke Pamanukan agar tidak terjadi cross.

Jalan layang menyeberang rel kereta juga perlu di Pejagan karena kendaraan yang keluar tol Pejagan mengarah ke Brebes terhambat di lintasan kereta. Jalan layang lintas rel juga perlu dibangun di wilayah Jawa Timur, khususnya jalur Caruban-Nganjuk. Jarak dua kota yang hanya 29 km itu bisa tersendat tiga sampai empat jam karena terlalu banyak lintasan kereta. Begitu pula jalan layang yang melintas pasar sebagaimana yang sudah ada di Pamanukan.

Kedua, pembangunan dua lajur untuk jalur utama. Salah satu penyebab kemacetan adalah jalan yang hanya satu lajur padahal daerah itu menjadi jalur utama. Jalan Pantura sudah dua jalur, tetapi di selatan belum, seharusnya dari Bandung sampai Yogyakarta sudah dua lajur, bahkan terus sampai Jombang. Sejauh ini baru Jogja-Solo yang sudah dua jalur.

Jika perlu, seluruh jalan yang menjadi lintasan pemudik dibuat dua lajur, termasuk jalur alternatif utama, karena jika seluruh jaringan jalan utama macet, jalan alternatif menjadi tumpuan. Ketika kondisi jalan tidak memadai, kemacetan menghadang. Bahkan sering kali jalan alternatif utama seperti di Prupuk dan Bumiayu kemacetannya lebih parah dibanding jalur utama. Begitu pula jalur Sadang-Subang-Cikamurang yang tidak mampu menahan limpahan kendaraan.

Ketiga, jalan lingkar luar. Titik-titik kemacetan sering terjadi ketika masuk kota, seperti masuk Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang. Sudah seharusnya jalur utama tidak masuk melewati kota tetapi dibuatkan jalur lingkar luar agar kemacetan bisa terurai dalam kota bisa terurai. Jalur lingkar luar ini terbukti efektif mengatasi kemacetan di Pemalang dan Weleri.

Keempat, perbaikan yang sempurna pada jalur alternatif, termasuk jalur alternatif yang bukan alternatif utama. Misalnya jalan dari Temanggung-Weleri yang menjadi jalan pintas dari Pekalongan ke Yogyakarta. Tak sedikit jalur alternatif yang kondisi jalan tidak nyaman, kalaupun ada perbaikan hanya tambal sulam yang jika kena hujan sedikit saja sudah kembali rusak.

Kelima, penyelesaian jalan tol. Jika saja jalan tol dari Cikapmek-Palimanan yang terbenkelai sejak sewindu silam itu sudah selesai, niscaya kemacetan di Pantura maupun jalur tengah bisa berkurang drastis. Bersyukur ketika Menko Ekonomi Chairul Tanjung memantau kemacetan dari helokopter langsung memerintahkan agar jalan tol itu harus sudah digunakan lebaran tahun depan.

Tol yang juga mendesak adalah Pejagan-Pemalang, karena selama ini tol Pejagan ini menjadi salah satu titik kemacetan terparah, karena pintu keluarnya yang kecil dan langsung dihadang dengan lintasan kereta. Di Jawa Timur, tol Surabaya-Mojokerto-Jombang juga perlu segera direalisasi, karena di situ juga menjadi titik kemacetan, begitu juga Surabaya-Malang.

Pembangunan jalan layang bisa dilakukan dalam tahun ini karena tidak banyak lahan yang harus dibebaskan. Begitu juga perbaikan sempurna jalur alternatif. Untuk pembuatan dua jalur, jalur lingkar, dan tol, meskipun harus membebaskan tanah, harusnya juga dipercepat, karena ini untuk kepentingan umum.

Lantas dari mana dananya? Diluar jalan tol, semuanya dibiayai APBN. Ini tidak sulit, tinggal bagaimana mengalokasikan anggaran secara tepat. Misalnya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinaikkan Rp 1.000 saja per liter maka, akan ada penghematan Rp 46 triliun (asumsi kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter). Jumlah yang sanat cukup untuk membangun infrastuktur jalan.

Jika kemacetan bisa ditekan, angka kecelakaan pun bisa turun. Dalam arus mudik 2014, dari H-7 sampai H+3 tercatat 3.815 kendaraan terlibat kecelakaan meliputi 2.743 sepeda motor, 435 mobil pribadi, 300 bus, dan 337 angkutan barang. Korban meninggal sebanyak 515 jiwa. Salah satu penyebab kecelakaan adalah karena capek dan mengantuk yang diakibatkan oleh kemacetan yang melelahkan.

Penyelesaian kemacetan dengan mengatasi transportasi darat tentau saja tidak cukup. Yang masih terbuka untuk dioptimalkan adalah transportasi laut. Setidaknya bisa diawali dengan angkutan gratis untuk sepeda motor dan penumpangnya dengan titik drop di Cirebon, Tegal, Pekalongan dan Semarang. Ini akan mengurangi jumlah pemudik motor. Sosialisasi sejak dini perlu dilakukan agar masyarakat berpartisipasi.

Kita berharap pemerintah lebih serius menangani arus mudik. Korban jiwa ratusan orang yang selalu terjadi dalam arus mudik, hendaknya menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar lebih serius menata infrastruktur jalan secara lebih memadai. Semoga tahun depan tidak ada lagi korban kecelakaan karena pengendara kelelahan terjebak kemacetan yang panjang. @


Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence