Pertengahan tahun lalu, Pangeran Alwaleed bin Talal, salah satu pangeran Arab Saudi yang menjadi pebinsis kelas dunia mengungkapkan kerisauannya terhadap negara di mana dia lahir. Dia mengingatkan agar Arab Saudi mengurangi ketergantungannya terhadap menjualan minyak, dan mencoba melakukan diversifikasi pendapatan negara.
Apa yang membuatnya risau? Shale
gas (gas serpih). Eksploitasi shale gas di Amerika dan Kanada akan menekan permintaan minyak
dunia. Arab Saudi yang saat ini 92 persen pendapatannya menggantungkan pada
minyak dengan mengekspor
12,5 juta barel per hari, sudah saatnya mewaspadai. Logikanya, dengan semakin
banyaknya shale gas yang disedot, harga
minyak akan terancam turun.
Shale gas
kini memang menjadi primadona baru di bidang energi. Seperti didefinisikan www.geology.com,
shale gas adalah gas alam yang
terdapat di dalam batuan shale, yaitu sejenis batu lunak (serpih) yang kaya
akan minyak ataupun gas. Para ahli memasukkan shale gas ini sebagai unconvensional
gas, karena berada pada batuan serpih yang berbeda dan jauh lebih dalam dibanding dengan gas biasa, serta memiliki permeabilitas
yang sangat kecil.
Shale gas sebetulnya bukan hal baru. Pada 1821,
Amerika sudah melakukan ekstraksi di wilayah Fredonia, New York. Tetapi karena mengambil gasnya tidak semudah
gas konvensional, dan lagi pula harga energi masih relatif murah, perkembangan
ekstraksi ini lambat. Baru satu setengah abad kemudian dikembangkan manakala
Amerika mengalami penurunan cadangan gas pada 1970an.
Teknologi pengambilan gas ini memang
rumit. Pertama dari sisi kedalaman, jika gas biasa berada pada kedalaman
sekitar 600-800 meter, maka shale gas
ini kedalamannya mencapai 1.500-2.000 meter. Kemudian dari sisi batuannya, gas
ini berada pada batuan serpihan dimana untuk mengambil gasnya, batuan itu haus
dihancurkan dahulu, baru kemudian gas diambil.
Riset dan pengembangan terus dilakukan.
Sampai pada awal 1980an belum ditemukan teknologi yang ekonomis yang mampu
menyedot gas tersebut sampai ke permukaan bumi. Pada 1988 Mitchell Energy
menemukan teknologi kombinasi teknologi horizontal
drilling dan hydraulic fracturing
untuk mengambil shale gas. Teknologi
tersebut terus mengalami penyempurnaan sampai produksi komersial pada 2000an.
Sejak itu, Amerika
terus melakukan pengeboran dan memproduksi shale
gas. Di lapangan Newark East, North-Central Texas
misalnya hingga saat ini telah dibor tak
kurang dari 2.340 sumur dengan rata-rata kedalaman 2.000 meter. Semakin
canggihnya teknologi, biaya untuk menghasilkan shale gas di Amerika juga turun dari 5 dolar per mbtu menjadi sekitar
3 dolar AS per mbtu. Amerika yang tadinya impor LNG, sejak mengebor shale gas
ini tidak lagi impor, bahkan menjadi pengekspor gas.
Negeri koboi itu menjadi salah satu negara
yang memiliki cadangan shale gas terbesar di dunia, dengan 1.100 triliun kaki kubik (trillion cubic
feet-TCF). Bahkan menurut The Potential Gas Committe, negara adidaya itu
memiliki cadangan 1.836 TCF atau setera dengan dua kali potensi minyak bumi di
Arab Saudi. Cadangan itu tidak akan habis sampai 70 tahun mendatang.
Penemuan shale gas yang oleh Daniel Yergin, seorang penulis masalah politik
dan energi yang pernah memperoleh Pulitzer Prize, dikatakan sebagai revolusi
unkonvensional itu telah mengubah peta geopolitik dunia. Amerika yang tadinya
sangat tergantung pada impor gas dari Timur Tengah, kini sudah mulai lepas dari
ketergantungan tersebut.
Yergin memberikan contoh bagaimana Iran
yang kini lebih melunak dalam perundingan mengenai nuklir. Karena rupanya
penurunan produksi minyak dunia (khususnya Iran) akibat sanksi yang dijatuhkan
tidak berdampak pada harga minyak. Itu artinya shale gas ini sedikit banyak sudah mempengaruhi peta minyak dan energi global yang biasanya berimbas pada kestabilan Timur Tengah.
Revolusi gas itu telah menjadikan Amerika
sebagai produsen gas terbesar di dunia mengalahkan Rusia. Tapi yang lebih
penting bagi mereka adalah bahwa Amerika bisa memperoleh energi murah, sehingga
daya saingnya meningkat. Ini penting ketika Cina terus menggerogoti kekuatan
Amerika. Eropa pun mulai gelisah dengan kebangkitan industri Amerika yang
didorong oleh harga energi yang rendah.
Pasokan gas yang melimpah tersebut secara
tidak langsung juga membuat harga gas di pasar internasional menjadi lebih
murah. Pada periode 2006-2010 harga gas berkisar 49 persen dari harga minyak.
Belakangan harga gas hanya sekitar 28 persen dari harga minyak. Bahkan ada
kecenderungan harga gas tidak lagi mengikuti harga minyak, dia akan memiliki
cara sendiri untuk menentukan harga.
Sudah pula diduga bahwa shale gas ini telah memicu penurunan
harga sumber energi lain. Batubara misalnya, harga Juni 2008 mencapai 192 dolar
per metrik ton, pada akhir 2012 menjadi 96 dolar per metrik ton. Harga minyak,
meskipun belum begitu terlihat tetapi menurut Laporan OPEC, pada 2014 terjadi
penurunan permintaan sebesar 250 ribu dolar per hari dibanding 2013.
Kesuksesan Amerika menginspirasi negara
yang di dalam buminya tersimpan shale gas
untuk berlomba menyedot nya. Kanada sudah melakukan. Cina yang memiliki
cadangan tak kurang dari 1.400 tcf sedang berkonsentrasi penuh untuk mengambil
shale gas. Begitu juga India yan memiliki cadangan besar. Eropa yang selama ini
bergantung pada pasokan gas Rusia, tentu akan berusaha melepas ketergantungan
itu dengan mengeksplor cadangannya.
Bagaimana dengan Indonesia? Di dalam peta
cadangan shale gas dunia, Indonesia
tidak ditampakkan memiliki cadangan shale
gas. Tetapi menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral, cadangan shale gas Indonesia
diperkirakan sebesar 574 TCF yang tersebar di pulau Sumatera (233 TCF), Jawa
(48 TCF), Kalimantan (194 TCF) dan Papua (90 TCF).
Menurut Direktur Pusat Kerjasama Minyak dan Gas Bumi Universitas Trisakti Agus Guntoro, potensi shale gas Indonesia jauh lebih besar dari yang diperkirakan ESDM. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Indonesia memiliki potensi shale gas hingga 2.000 TCF, potensi itu mengalahkan Cina dan Amerika.
Terinspirasi oleh kesuksesan Amerika, Pemerintah mulai bergerak. Belakangan Pemerintah telah menerima pengajuan perminataan joint study shale gas dari 10 investor. Mereka akan bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi yang telah ditunjuk pemerintah yaitu ITB, UGM, UPN, Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran.
Menurut hasil identifikasi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 7 cekungan yang mengandung shale gas dan 1 berada di Indonesia Timur pada Formasi Klasafet. Cekungan terbanyak berada di Sumatera dengan 3 cekungan,yakni Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, pada Formasi Klasafet.
Oleh Anif Punto Utomo
Pemimpin Redaksi 'Majalah IAGI'/Anggota IAGI
Dimuat di Majalah IAGI Edisi Juli 2014
Dimuat di Majalah IAGI Edisi Juli 2014