Wednesday, September 24, 2014

Pertumbuhan tanpa Pemerataan

Oleh Anif Punto Utomo

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan bangga mengatakan bahwa Indonesia saat ini menempati urutun 15 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Tak lama lagi, dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten pada kisaran 5,5-6,5 persen, Indonesia akan masuk dalam jajaran 10 besar dunia.

Seiring dengan membesarnya PDB, saat ini PDB per kapita sudah mencapai 5.120 dolar per tahun. Praktis dalam waktu 15 tahun, terhitung sejak krisis regional yang menyapu Indonesia pada 1997-1998, PDB per kapita tumbuh 10 kali lipat. Saat itu, krisis keuangan dan ekonomi tersebut merontokkan PDB per kapita dari sekitar 1.100 dolar AS menjadi 500-600 dolar AS per tahun.

Indonesia boleh berbangga dengan pencapaian itu. Tapi tampaknya kebanggaan itu hanyalah kebanggaan semu. Realitas menunjukkan pertumbuhan yang tinggi tidak dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Hanya golongan menengah atas yang menikmati kue pertumbuhan, sementara masyarakat miskin masih terus berjuang untuk sekadar hidup.

Data terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat. Pada Maret 2013 penduduk miskin mencapai 28,07 juta (11,27 persen), sementara September 2013 menjadi 28,55 juta (11,47 persen), terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin sejumlah 480.000.

Memprihatinkan. Rupanya jumlah masyarakat yang masuk kategori hampir miskin sama besarnya dengan rakyat miskin. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga makanan, derajat mereka yang tadinya hampir miskin melorot menjadi miskin. Ukuran kemiskinan adalah pemenuhan kalori, yang berarti terkait dengan makanan. Jika terjadi gejolak harga makanan, maka kemampuan mereka mengasup makanan berkalori standar makin kecil, sehingga rakyat miskin akan bertambah.

Apakah pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk mengentaskan orang miskin? Justru disinilah permasalahannya. Berdasarkan alokasi dana APBN 2013, ada tujuh anggaran untuk rakyat miskin (Kompas 31/12/2013), yakni Bantuan Operasional Sekolah-BOS senilai Rp 16,86 triliun, Raskin (Rp 11,54 triliun), Jamkesmas/Jampersal (Rp 4,92 triliun), Bantuan Siswa Miskin (Rp 3 triliun), dan Program Keluarga Harapan/Subsidi Langsung Tunai/ Bantuan Langsung Tunai (Rp 1,43 triliun).

Total anggaran untuk rakyat miskin berarti Rp 37,74 triliun. Jumlah yang cukup besar. Tapi mengapa gagal, berarti terjadi kesalahan dalam pengelolaan dana. Kemungkinannya bisa karena digerogoti di tengah jalan oleh para koruptor sehingga dana yang sampai ke rakyat minim, atau bisa juga karena salah sasaran. Intinya pemerintah tidak sungguh-sungguh, hanya asal mengalokasikan.

Ironis, di tengah gemerlapnya kehidupan kelas menengah sehingga penjualan mobil mencapai 1,2 juta unit dan 15.000 unit apartemen, serta ditengah pemberitaan tentang orang kaya Indonesia yang masuk dalam daftar orang terkaya dunia, rakyat miskin tetap miskin. Pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada 2013 sama sekali tidak dinikmati oleh masyarakat miskin, yang terjadi pertumbuhan justru menciptakan kesenjangan.

Kesenjangan antara kaya dan miskin sangat kentara. Di lapangan, misalnya rumah kumuh bersanding dengan gedung mewah. Kondisi lapangan diperkuat dengan data Indeks Gini. Indeks Gini adalah indeks yang mengukur  tingkat kesenjangan dengan skala 0-1, semakin ke arah angka 1 semakin tinggi tingkat kesenjangan. Indeks Gini di Indonesia dalam 10 tahun terakhir konsisten naik, dari 0,33 pada 2003, menjadi 0,35 (2008) dan terus naik menjadi 0,413 pada 2013.

Indeks Gini yang diukir oleh Pemerintahan SBY ini merupakan indeks tertinggi sepanjang sejarah republik ini berdiri, yang berarti pula menjadi kesenjangan terparah sejak Soekarno memekikkan kemerdekaan pada 1945. Kondisi ini sekaligus mengkonfirmasi kebenaran lagu Rhoma Irama yang diciptakan 1976 berjudul ‘Indonesia’ yang di dalamnya terselip lirik ‘yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin’.

Pada pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Trilogi Pembangunan yang meliputi Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan. Ketika Pemerintah sedang berbenah membangun ekonomi, stabilitas ditempakan diawal. Kemudian saat politik sudah stabil, giliran pertumbuhan dikedepankan. Berikutnya setelah stabilitas dan pertumbuhan tercapai, pemerataan menjadi prioritas. Saat itu juga dikenal trickle down effect (menetes kebawah), teori yang dipakai untuk pengentasan kemiskinan.

Pemerintahan SBY memiliki jargon pro growth, pro poor, dan pro job. Growth (pertumbuhan) sudah tercapai , tetapi dalam pengurangan angka kemiskinan (pro poor) dan pengangguran (pro job) masih jauh dari harapan. Pertumbuhan yang dibanggakan itu terbukti tidak berkualitas karena tidak mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara signifikan.

Frances Stewart dan Paul Streeten (Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, 1983), menulis bahwa penghapusan kemiskinan dapat diserahkan kepada pemerintah melalui redistribusi dari hasil pertumbuhan. Namun penghapusan kemiskinan gagal karena distribusi tidak dilakukan lantaran pemerintah percaya bahwa ketika terjadi pertumbuhan otomatis  akan terjadi penetesan ke bawah.

Tampaknya itu pula yang dipraktekkan Pemerintahan SBY sehingga gagal menciptakan pemerataan.

*Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Monday, September 22, 2014

Apa Hebatnya Indonesia Motor Show?

Ribuan orang berduyun-duyun menyaksikan Indonesia Internasional Motor Show (IIMS). Apa hebatnya pameran itu? Tidak ada. Karena kita hanya menyaksikan mobil-mobil bermerek asing. Pameran itu hanya menjadi ajang dagang bagi mereka.

Indonesia saat ini merupakan salah satu pasar mobil terbesar di dunia. Jumlah penjualan tahun 2013 lalu menembus 1,2 juta unit. Tahun ini diperkirakan tembus 1,3 juta unit. Di kawasan Asean, Indonesia menjadi pasar mobil nomor satu.

Sayangnya, pasar besar tersebut hanya dinikmati oleh mobil Jepang, Amerika, Eropa Korea, sedikit Malaysia. Mana produk Indonesia? Apakah kita tidak mampu membuat mobil sebagaimana negara-neara tersebut? Kita bisa. Indonesia mampu membuat pesawat yang memiliki kerumitan dan kecanggihan teknooi lebih tinggi dari mobil.

Selama ini kita hanya ditakut-takuti oleh principal mobil, bahwa untuk membuat industri mobil dibutuhkan biaya yang sangat besar, sampai belasan triliun. Tingkat pengembalian investasi rendah. Pasar sudah jenuh dan sulit untuk melakukan terobosan.

Mereka juga sering menyebut Malaysia yang boleh dikata gagal dalam membuat mobil nasional bermerek Proton. Meskipun Proton bisa kita saksikan di Indonesia, pasarnya sangat sempit. Bahkan di negerinya sendiri sekarnag sudah mulai tergerus oleh mobil asing yang sudah bermerek global.

Kalau Malaysia gagal, belajar dari kegagalan mereka. Dan yang jelas, Korea telah membuktikan sebagai negara yang sukses dalam membuat industri otomotif. Pasar mobil Korea sudah mulai mengusik mobil Jepang yang saat ini telah merajai dunia. Kita belajar dari kesuksesan Korea.

Korea bisa, kenapa kita tidak bisa. Kita punya pasar yang besar. Tinggal kemauan dan keberanian pemerintah untuk memberikan political will terhadap munculnya mobil nasional. Masyarakat Indonesia sangat merindukan lahirnya mobil nasional yang kelak akan memberikan kebanggaan bagi rakyat.

Presiden-wapres terpilih Jokowi-JK, merupakan orang bertipe risk taker (berani mengambil risiko) yang jauh berbeda dengan SBY-Budiono yang cenderung cari aman (safety player). Tipe risk taker akan diuji dengan berani tidaknya Jokowi-JK untuk melawan kekuatan industri mobil global.

Program mobil murah yang dikeluarkan oleh pemerintahan SBY tahun lalu terbukti hanya memperluas pasar bagi merek-merek global. Harusnya mobil murah dikembangkan oleh produsen nasional dengan merek nasional. Beri kemudahan untuk itu.

Kita berharap tahun depan di IIMS sudah ada mobil yang dipamerkan dengan merek nasional. Beberapa tahun kemudian, ajang pameran itu sudah memamerkan mobil nasional yang canggih dan sudah mampu menembus pasar global, sebagaimana yang dilakukan Korea.@

Thursday, September 11, 2014

Pemborosan Rezim SBY

Kita memiliki APBD yang besar, tetapi kenapa Pemeirntah selalu kesulitan untuk mengalokasikan anggaran buat infrastuktur. Padahal dilihat dari indeks infrastuktur, Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Dan kenyataannya memang kita dapati ada ribuan kilometer jalan yang rusak, bahkan rusak parah.

Pada APBN 2015 nanti, nilai anggaran sudah tembus dua ribu triliun, tepatnya Rp 2.091 triliun! Jumlah yang sangat besar seharusnya. Jika dikelola dengan baik, anggaran sebesar itu akan memberi manfaat besar buat masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah yang selama ini selalu tergusur dan hanya diperhatikan ketika menjelang pemilu.

Permasalahannya, APBN kita selama ini terjebak dalam alokasi untuk subsidi BBM dan listrik. Hampir seperenam anggaran kita habis untuk memberikan subsidi yang notabene banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas. Kebijakan subsidi energi ini merupakan warisan Orde Baru yang terus dilanggengkan. Bedanya jaman Orde Baru kita surplus minyak,sekarang kita harus impor.

Tetapi yang tidak kalah pentingnya dalam anggaran tersebut adalah pemborosan anggaran. Tak sedikit anggaran negara yang merupakan uang rakyat itu dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tidak produktif. Seandainya anggaran bisa tepat sasaran untuk sektor-sektor yang bisa membuat produktivitas rakyat naik, kesejahteraan masyarakat akan terangkat.

Kita lihat saja anggaran untuk anggota DPR misalnya. Dalam APBN anggaran untuk wakil rakyat yang jumlahnya hanya 560 itu selama 2009-2014 mencapai Rp 11,8 triliun. Padahal jika dilihat dari output anggota DPR sangatlah mempirhatinkan. Target legislasi tidak pernah tercapai setengahnya. Mereka hanya sibuk berpolitik sembari bepergian dinas ke luar negeri mengahabiskan uang rakyat.

Di eksekutif ternyata tidak berbeda jauh. Mereka juga berlomba menghabiskan uang rakyat untuk sesuatu yang tidak berguna, meskipun berdalih untuk rakyat. Kita lihat saja anggaran rapat kementerian dan lembaga mengahbiskan dana Rp 18,1 triliun. Ditambah anggaran perjalanan dinas mencapai Rp 15,5 triliun. Sehingga total Rp 33,6 triliun hanya untuk rapat dan perjalanan dinas!

Belum lagi pengadaan mobil buat menteri dan pejabat negara. Rezim SBY karena ‘kebaikannya’ membelikan para pejabat tersebut mobil mewah Mercy. Tidak jelas berapa harga satuannya, yang pasti Mercy memenangkan tender senilai Rp 91,94 miliar. Usut punya usut, ternyata beberpa mobil dialokasikan untuk mantan presiden dan wakil presien. Jadi SBY akan dapat jatah satu mobil Mercy. Meskipun akhirnya karena tekanan publik, fasilitas ini dibatalkan.

Beberapa item pemborosan itu yang tampak kasat mata. Jika ditelisik lebih dalam, anggaran pada kementerian hampir pasti terjadi pemborosan, misalnya pembelian alat kantor yang sebetulnya tidak perlu, atau pembangunan gedung pemerintah yang baru. Belum lagi pagu anggaran tiap proyek yang biasanya selalu jauh di atas harga riil di lapangan.

Pemborosan lain adalah adanya 16 staf khusus Presiden SBY. Menurut penelisikan Filtra (forum independen untuk transparansi anggaran) pada 2012 saja, anggaran untuk staf khusus mencapai Rp 33,1 miliar. Bisa diasumsikan pada 2014 sekitar Rp 50 miliar untuk kepentingan staf khusus yang outputnya tidak begitu jelas.

Sorotan soal pemborosan juga dialamatkan terhadap keberadaan wakil menteri. Pada masa pemerintahan SBY, karena para menteri tidak kompeten, maka diangkatlah wakil menteri. Tidak jelas berapa miliar yang dianggarkan untuk wakil menteri ini. Tap minimal dua kali dari alokasi anggaran untk staf khusus.

Kondisi ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi-JK. Hilangkan pemborosan yang terjadi di APBN. Konsentrasikan APBN untuk kepentingan rakyat.@

Tuesday, September 9, 2014

Disparitas = Penyelundupan

Harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi memiliki selisih harga yang tinggi terhadap harga internasional. Tak sedikit orang yang tergiur memanfaatkan disparitas harga itu. Maka jamaklah terjadi penyelelundupan BBM.

Terakhir yang diungkap oleh Bareskrim Polri adalah transaksi jual beli BBM secara ilegal yang dilakukan oleh oknum Pertamina, PNS Batam, dan pemilik kapal. Transaksi BBM dilakukan di tengah laut, sedangkan transaksi dana dilakukan di Singapura. Terjadi traksaksi keuangan yang mencurigakan senilai Rp 1,3 triliun yang dilakukan sejak 2008-2013.

Kasus ini merupakan puncak dari gunung es mafia perminyakan. Penyelundupan semacam ini dan penjualan BBM kepada industri, merupakan bagian tak terpisahkan dari tingginya disparitas harga. BBM yang seharusnya untuk rakyat itu ditrasaksikan secara ilegal untuk perusahaan dalam negeri maupun luar negeri.

Semakin tinggi perbedaan harga antara BBM bersubsidi dengan harga keekonomian, akan semakin kencang terjadinya penyelundupan. Saat ini disparitas hampir separuhnya. Dengan harga BBM sebesar Rp 6.500 per liter untuk premium dan Rp 5.500 per liter untuk solar, berarti secara rata-rata sudah separuhnya karena harga internasional sekitar Rp 11.000 sampai Rp 12.000 per liter.

Terbukti pada kasus di atas, perampokan minyak yang dilakukan selama lima tahun menghasilkan uang Rp 1,3 triliun. Berarti jika di rata-rata dalam satu tahun, mereka bisa mengumpulkan Rp 260 miliar. Itu baru dilakukan oleh satu sindikat. Banyak yang menduga bahwa sindikat semacam itu jumlahnya bisa belasan dengan volume penggelapan yang bervariasi.

Pemerintah memang lemah dalam pengawasan penyelundupan. Meskipun harus pula diakui bahwa dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, yang terdiri dari banyak pulau, dan sebagian besar wilayah adalah lautan, sangat sulit untuk mengontrol penyelundupan. Makanya kalau ada yang membandingkan Brunei yang nyaris tidak ada penyelundupan BBM, rasanya tetap tidak adil.

Cara untuk mengatasi penyelundupan seperti ini adalah pertama memberikan hukuman yang berat kepada semua yang terlibat dalam mafia ini. Mereka bukan hanya penyelundup, tetapi sudah merugikan negara dan rakyat berkali-kali lipat karena yang ditransaksikan adalah komoditas strategis, dimana sekali waktu rakyat harus antre berjam-jam untuk mendapatkannya.

Kedua pengawasan yang ketat di Pertamina. Kasus yang kita bahas ini melibatkan empat karyawan internal Pertamina, dengan begitu perlu dilakukan sidak secara rutin di Pertamina. Jika ada indikasi negatif sedikit saja di perusahaan yang telah masuk dalam fortune 500 dan terbesar di Indonesia itu, harus segera dilakukan pemeriksaan agar tidak dipermalukan oleh karyawannya sendiri.

Ketiga yang tak kalah pentingnya tetapi juga sealigus merupakan pilihan sulit adalah menekan disparitas harga. Caranya, naikkan harga BBM bersubsidi. Logikanya, dengan selisih harga yang tipis, para penyelundup akan berpikir sekian kali lipat. Ibaratnya risiko dengan pendapatannya tidak seimbang. Ini pil pahit, tetapi perlu untuk dieksekusi.


Pada intinya adalah disparitas harga mendorong orang untuk berniat jahat melakukan penyelundupan. Risiko apapun akan mereka tempuh karena risiko itu berbanding lurus dengan uang yang akan mereka peroleh. Tapi dengan disparitas kecil, mereka tidak berani berspekulasi dengan nasib.@

Monday, September 1, 2014

7 Alasan Mengapa BBM Harus Naik?

  1. Subsidi untuk BBM sudah terlalu besar sekitar Rp 350 triliun
  2. Mereka yang menikmati subsidi BBM 80 persen kelas menengah atas
  3. Energi alternatif yang dapat diperbarui tidak berkembang jika harga BBM murah
  4. Indonesia defisit BBM, lifting 820 ribu barel, pemakaian 1,6 juta barel
  5. Impor BBM penyebab defisit transaksi berjalan
  6. Salah satu cara mengurangi jumlah kendaraan (selain pajak, parkir mahal, dan asuransi)
  7. Masyarakat boros dalam pemakaian BBM