Tuesday, October 7, 2014

Rupiah di Tubir Jurang

Satu dekade lalu, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden RI, kurs rupiah menguat pada posisi Rp 9.000 per dolar AS. Ada semacam euforia atas kemenangan SBY yang saat itu mengalahkan incumbent Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebuah awal yang gemilang. Kini, di pengujung pemerintahannya, rupiah terseok di posisi Rp 12 ribu per dolar AS.

Terdepresiasinya rupiah disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Keduanya saling memengaruhi dan saling menguatkan sehingga kurs rupah sulit untuk bertahan dan terpaksa harus merosot secara konsisten. Memamg, kelunglaian rupiah tidaklah sendiri. Mata uang kuat seperti euro, misalnya, turun 1,1 persen, begitu pula yen yang terdepresiasi 1,5 persen.

Faktor eksternal yang menjadi penyebab adalah kebijakan pemotongan stimulus moneter (tapering off) oleh the Fed, bank sentralnya Amerika Serikat. Semula, the Fed mengeluarkan kebijakan quantitative easing dengan memborong obligasi pemerintah 85 miliar dolar AS per bulan. Setelah dirasa cukup, stimulus dipangkas menjadi 60 miliar dolar, terus berkurang sampai menjadi 15 miliar dolar per bulan.

Bersamaan dengan itu, indikator ekonomi Amerika menunjukkan arah positif. Inflasi bisa dijinakkan pada kisaran 1,9 persen, ekonomi tumbuh 2,5 persen pada triwulan II 2014, lapangan kerja yang terserap pun meningkat sehingga pengangguran yag tadinya 10 persen kini menjadi 6 persen. Itulah mengapa dolar AS kemudian menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia.

Di sisi lain, situasi domestik yang menjadi faktor internal memiliki peran yang tak kalah besarnya dalam melemahnya kurs rupiah karena di sini terkait dengan terjadinya defisit transaksi berjalan dan membengkaknya utang luar negeri. Defisit transaksi berjalan terus berlangsung, sementara utang luar negeri terutama swasta semakin tidak terkontrol.

Sampai kuartal II 2014 defisit transaksi berjalan mencapai 9,1 miliar dolar AS atau 4,27 persen produk domestik bruto (PDB). Melemahnya harga komoditas primer yang menjadi unggulan ekspor Indonesia, seperti batu bara, CPO, dan produk perkebunan lain, menjadikan neraca perdagangan defisit yang ujung-ujungnya menyumbang terciptanya defisit transaksi berjalan.

Tekanan terhadap defisit transksi berjalan juga akan terus terjadi manakala harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tetap dipertahankan. Saat ini saja setiap hari kita mengimpor BBM sebanyak 850 ribu barel sehingga harus membeli dolar sebanyak 120 juta. Kenaikan harga BBM diyakini akan mengurangi pemakaian BBM sehingga nilai impornya pun berkurang.

Persoalannya, pemerintahan yang sekarang tidak berani menaikkan BBM sehingga harus bersabar menunggu pemerintahan Jokowi-JK. Kenaikan BBM bersubsidi kemungkinan akan dilakukan November dengan besaran sekitar Rp 3.000 per liter. Kenaikan harus segera dilakukan, jika tidak, pada November itu pula kuota 46 juta liter akan habis.

Kenaikan tersebut diyakini akan memberikan kepercayaan kepada investor bahwa pemerintah berani untuk tidak populer demi terbangunnya ekonomi nasional yang kuat. Besarnya subsidi BBM menunjukkan bahwa sebetulnya ekonomi kita rapuh sehingga dari situlah yang menjadi pemantik tergerusnya rupiah. Kepercayaan investor berarti akan menarik dana asing masuk.

Faktor internal kedua yang mengancam rupiah adalah besarnya utang luar negeri (ULN) dari pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan terutama swasta yang celakanya utang jangka pendek cukup signifikan. Untuk swasta dorong peningkatan investasi asing, dan mereka mengambil dana dari negaranya masing-masing. Pengusaha lokal juga banyak menarik pinjaman asing karena lebih murah.

Menurut data Bank Indonesia, sampai Juli 2014 total utang luar negeri mencapai 290,566 miliar dolar AS yang terdiri atas 134,156 miliar dolar (pemerintah dan BI) dan selebihnya 156,410 miliar dolar AS swasta atau sekitar 53,8 persen.

Dari posisi tersebut yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa utang jangka pendek --di bawah waktu satu tahun-- yang sebesar 49,7 miliar dolar AS. Dengan posisi cadangan devisa 110,5 miliar dolar, berarti rasio utang luar negeri jangka pendek adalah 45 persen. Rasio itu mendekati titik kritis, yakni 50 persen yang menunjukkan kemampuan negara membayar utang jangka pendek lemah.

Setiap bulan selalu ada masa jatuh tempo bagi pembayaran utang pokok maupun bunga. Tetapi, biasanya pembayaran dalam jumlah relatif besar terjadi setiap triwulan. Dengan begitu pada September ini menjadi waktu yang rawan bagi posisi rupiah karena dengan banyaknya pembelian dolar, otomatis rupiah akan makin terdepresiasi.

Menjaga kurs rupiah ini sangat penting untuk kestabilan ekonomi nasional. Karena, menurut perhitungan menteri keuangan, setiap rupiah terdepresiasi Rp 100, maka defisi APBN akan membengkak Rp 2,6 triliun. Kalangan dunia usaha juga akan terbebani jika rupiah terus terdepresiasi.

Pertengahan September lalu, pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan BI menyepakati membuat pedoman transaksi lindung nilai (hedging) untuk kementerian dan BUMN. Pedoman itu perlu segera direalisasikan karena lindung nilai ini akan mengurangi pembelian rupiah di pasar spot sehingga rupiah tidak terlalu mudah goyang dan tekanan terhadap BI berkurang.

Rupiah harus diselamatkan. Faktor eksternal sebagai salah satu penyebab merosotnya rupiah tidak bisa kita kendalikan, apalagi tahun depan the Fed berencana menaikkan bunga dari 1,25 persen menjadi 1,375 persen. Untuk mengantisipasinya, perlu dilakukan pembenahan iklim investasi, baik investasi langsung maupun portofolio agar dana asing yang di domestik tidak lari.

Pada faktor internal, langkah paling krusial adalah mengerem impor BBM yang sangat menyita devisa. Untuk itu tak ada jalan lain kecuali menaikkan harga BBM bersubsidi. Kemudian, untuk yang terkait dengan utang luar negeri, semua peminjam baik pemerintah, BI, maupun swasta diwajibkan untuk melakukan lindung nilai. Saat ini 67 persen utang asing tanpa lindung nilai.

Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan agar rupiah yang saat ini sudah berada pada tubir jurang tidak makin tergelincir.@

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika edisi 2 Oktober 2014