Thursday, November 20, 2014

Kenaikan BBM dan Kemiskinan

Tidak lama lagi, hampir bisa dipastikan pasangan presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla akan mengambil kebijakan yang tidak populis, yakni menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan keniscayaan, sehingga tidak bisa lagi dihindari.   

Berbeda dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang keduanya bertipe safety player (pemain aman), duet Jokowi-JK yang kebetulan sama-sama berlatar belakang pengusaha memiliki karakter risk taker (pengambil risiko). Karakter itulah yang menjadikan kenaikan BBM saat ini tak hanya menjadi wacana.   

Melihat realitas problema ekonomi dan energi nasional, saat ini tidak ada pilihan lain yang rasional kecuali menaikkan harga BBM. Tercatat setidaknya ada  sembilan alasan kenapa harga BBM bersubsidi harus naik.   

Pertama, harga BBM bersubsidi sudah terlalu murah, yakni solar Rp 5.500 per liter dan premium Rp 6.500 per liter. Negara di kawasan ASEAN yang lebih miskin dari kita, harga BBM sudah jauh diatas. Vietnam dan Kamboja misalnya untuk kualitas yang sama harga per liternya sekitar Rp 10.000-Rp 11.000.   

Kedua, Indonesia sudah menjadi negara nett importir. Produksi nasional (lifting) terus menurun dimana saat ini sekitar 820 ribu barel per hari, sementara kebutuhan mencapai 1,5 juta barel per hari, sehingga harus mengimpor 700 ribu barel per hari. Jumlah impor itu melebihi  kebutuhan minyak Vietnam dan Kamboja yang harga BBMnya di atas kita.   

Ketiga, sesuai dengan UU No 30 Tahun 2007 Tentang Energi Pasal 7 Ayat 2 bahwa subsidi diberikan untuk masyarakat tidak mampu. Kenyataannya sekarang hampir  70 persen subsidi BBM dinikmati kalangan menengah atas, terbukti yang banyak menguras persediaan bensin di SPBU adalah mobil milik kalangan berada.   

Keempat, menyandera Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besarnya alokasi subsidi energi yang mencapai Rp 400 triliun membuat ruang gerak APBN sangat terbatas. Ruang fiskal sangat terbatas, sehingga tidak optimal dalam mengalokasikan dana untuk program prorakyat dan program yang mengakselerasi pertumbuhan.   

Kelima, menghambat pengembangan energi alternatif. Dengan murahnya harga BBM, maka kreativitas dan inovasi pengembangkan energi alternatif, khususnya yang renewable (dapat diperbarui), mandeg. Brasil, negara yang sukses mengembangkan biofuel dilatarbelakangi oleh kebutuhan mereka yang makin meningkat.

Keenam, ancaman terhadap neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Sudah tiga tahun terakhir ini kita mengalami dobel defisit yakni defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Penyebab utamanya adalah impor minyak yang menguras devisa 120-150 juta dolar AS per hari. Rupiah pun mengalami tekanan sehingga terus terdepresiasi.

Ketujuh, kuota BBM yang ditetapkan dalam APBN 2014 sebesar 46 juta barel sudah makin tipis. Jika jebol, maka untuk menambah kuota harus mengubah UU APBN yang akan memakan waktu. Menaikkan harga otomatis akan mengerem permintaan BBM, sehingga pelampauan kuota bisa dihindari.   

Kedelapan, disparitas harga antara BBM bersubsidi dan harga di pasar sangat tinggi. Akibatnya penyelundupan dan pencurian minyak tumbuh subur. Tertangkapnya kapal tanker curian yang membawa minyak Pertamina beberapa waktu lalu di kawasan Batam yang melibatkan aparat membuktikan kecurigaan ini.  

Kesembilan, Indonesia termasuk negara yang boros energi. Ini terlihat dari indeks elastisitas energi yang pada 2012 di posisi 1,63, sementara Thailand dan Singapura hanya 1,4 dan 1,1. Indeks elastisitas adalah perbandingan laju pertumbuhan konsumsi energi dibanding pertumbuhan ekonomi. Semakin besar, pemakaian energi makin tidak efisien alias boros.  Penggunaan BBM secara tidak produktif memperbesar indeks.   

Dengan  sembilan alasan tersebut, rasanya tak ada alasan lagi untuk menunda kenaikan harga BBM.  Sudah terlalu banyak dana yang dibakar dijalan, yang menurut Presiden Jokowi selama lima tahun terakhir ini mencapai Rp 714,5 triliun. semestinya, dana sebesar itu jika dikelola dengan benar bisa untuk membangun ribuan kilometer jalan raya.   

Memang, belakangan muncul gugatan dari kelompok kritis yakni: harga minyak dunia anjok sampai lebih dari 20 persen, apakah BBM masih perlu naik?   

Betul. Dalam lima bulan terakhir, harga minyak brent merosot dari 105 dolar menjadi 83 dolar per barel. Penurunan dipengaruhi realisai ekonomi global yang lebih rendah dari proyeksi, sehingga menurut prediksi International Energy Agency permintaan minyak pada 2014 hanya tumbuh 1,5 persen. Sebaliknya, dari sisi suplai terjadi peningkatan produksi di Libya, Irak, Arab Saudi, Brasil,  dan Amerika Serikat.   

Tetapi harusnya turunnya harga minyak tetap tidak menjadi alasan. Dari  sembilan alasan di atas, penurunan harga minyak hanya menjawab dua alasan, masih tersisa  tujuh alasan. Lagi pula harga minyak cenderung fluktuatif, meski tahun depan diproyeksi masih sekitar 80-an dolar per barel, tapi jika situasi global tak menentu, bisa melejit kembali ke 100 dolar.   

Hanya saja yang perlu dipertimbangkan secara matang adalah berapa kenaikan  yang masih bisa ditoleransi masyarakat. Karena bagaimana pun, kenaikan BBM  menciptakan spiralling effect yang akan mengerek inflasi yang pada gilirannya menggerus daya beli masyarakat. Perumpamaannya, masyarakat yang tadinya bisa membeli beras 20 kg, karena terjadi inflasi, mereka hanya mampu membeli 16 kg.

Bank Indonesia (BI) kali ini memprediksi, setiap kenaikan Rp 1.000 per liter akan menyebabkan inflasi 1,2 persen, maka jika harga BBM dinaikkan Rp 3.000, berarti secara teoritis akan terjadi inflasi 3,6 persen. Sementara laju inflasi dari Januari-Oktober tahun ini tercatat 4,19 persen. Dengan begitu sampai akhir tahun diperkirakan inflasi sekitar delapan persen.   

Semakin tinggi inflasi, daya gerusnya semakin mematikan, sehingga bisa membuat  masyarakat hampir miskin menjadi miskin. Itu artinya, jika tidak hati-hati, kenaikan BBM akan menaikkan jumlah orang miskin. Pengalaman tahun lalu, ketika BBM dinaikkan 22 Juni 2013,  jumlah orang miskin ikut naik dari 28,06 juta pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta pada September 2013.   

Situasi serupa terjadi pada 2005-2006. Pada 2005, pemerintah menaikkan harga BBM dua kali, 1 Maret dan 1 Oktober, total kenaikan premium misalnya dari Rp 1.810 menjadi Rp 4.500 per liter. Akibatnya jumlah orang miskin naik 4,2 juta dari 35,1 juta (Februari 2005) menjadi 39,3 juta (Maret 2006). Saat itu inflasi mencapai 17,95 persen.   

Kenaikan BBM  yang rencananya November ini harus diantisipasi  agar tidak menambah jumlah orang miskin. Pengendalian inflasi menjadi kunci utama. Distribusi  harus lancar agar tidak terjadi kelangkaan barang yang biasanya lantas dijadikan ajang spekulasi. Lakukan operasi  pasar di banyak tempat sepekan sekali. Keberhasilan mengendalikan inflasi pada lebaran Juli silam perlu dipelajari dan ditiru.   

Pemberian semacam bantuan langsung tunai sebesar Rp 200 ribu per keluarga kepada 15,5 juta keluarga akan sedikit membantu masyarakat untuk mempertahankan daya beli. Hanya saja perlu diperhatikan beberapa kritik mengenai dana tunai di antaranya tidak mendidik untuk produktif, membuat malas dan ketergantungan, tidak tepat sasaran, dan menimbulkan kerawanan masyarakat.   

Kenaikan harga BBM diperlukan untuk menyehatkan perekonomian nasional yang ujung-ujungnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.  Karena itu jangan sampai kenaikan  justru menambah jumlah orang miskin. Jika ini yang terjadi, bukan saja kepercayaan rakyat akan runtuh, tetapi juga membuktikan sinyalemen bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi bukan untuk rakyat tetapi demi menyenangkan pelaku ekonomi liberal.@

Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Monday, November 10, 2014

Momentum Ekonomi Syariah

Kabinet yang oleh Presiden Joko Widodo diberi nama Kabinet Kerja sudah dilantik. Tak lama setelah dilantik, kabinet yang berjumlah 34 menteri itu sudah langsung bekerja, rapat kabinet pertama dengan Presiden dan Wakil Presiden.

Beragam penilaian pa da susunan kabinet. Ada yang pesimistis, optimistis, ada yang wait and see, melihat perkembangan 100 hari pertama. Yang menggelitik adalah istilah pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, “Baik, tapi tidak menimbulkan wow effeck” alias tidak membuat orang berdecak kagum.

Pasar tampak tidak bergairah menyambut kabinet baru. Pada hari saat pe lantikan, Senin (27/10), kurs rupiah hanya menguat 0,28 persen terhadap dolar AS menjadi Rp 12.035 per dolar. Sebaliknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi representasi respons pasar di lantai bursa terjungkal 0,96 persen ke posisi 5.024.

Dari perspektif ekonomi syariah, ada satu sosok yang menarik, yakni terpilihnya Bambang Brodjonegoro menjadi men teri keuangan. Bambang menyisihkan kandidat kuat lain, salah satunya seniornya, Sri Mulyani.

Bambang Brodjonegoro adalah ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Jika hanya melihat Bambang sebagai menteri keuangan sekaligus ketua umum IAEI, mungkin biasa saja. Namun, saat dikaitkan dengan kolega dia yang sama-sama menjadi komandan dalam otoritas keuangan sekaligus ketua organisasi eko nomi syariah, di situ daya tariknya.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menjadi ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Halim Alamsyah, selain deputi gubernur BI, dia juga ketua umum Pusat Komunika si Eko nomi Syariah (PKES).

Integritas Bambang, Mulia man, dan Halim tentunya tidak diragukan terhadap perkembangan ekonomi syariah. Tinggal menyinergikan keotoritasan trio tersebut mendukung perkembangan ekonomi syariah agar Indonesia men jadi salah satu pusat ekonomi syariah global.

Menengok ke belakang, tonggak sejarah ekonomi syariah dimulai dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 November 1991. Ini merupakah inisiatif masyarakat Islam di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi syariah. Sejak itu industri keuangan dan bisnis syariah berkembang fantastis.

Dalam lima tahun terakhir bank syariah tumbuh 35-40 persen, tetapi jika dilihat dari pangsa pasar masih sangat rendah, posisinya 4,6 persen. Begitu pula industri keuangan lain, seperti asuransi, pembiayaan, ju ga transaksi di bursa saham masih be lum tembus lima persen.

Pencapaian pangsa pasar itu jauh di bawah perbankan syariah di Malaysia yang 23 persen. Betul Malaysia sudah mengembangkan bank sya riah satu dekade sebelum kita. Namun, mereka tidak perlu 20 tahun mencapai pangsa pasar itu, sementara Indonesia hampir seperempat abad masih di bawah lima persen.

Untuk mencapai pangsa pasar itu, Malaysia tidak hanya mengandalkan pertumbuhan organik. Pemerintah sangat concern perkembangan bank syariah sehingga banyak kebijakan keuangan yang menguntungkan sekaligus mendorong bank syariah.

Perlu langkah radikal mengem bangkan ekonomi syariah yang idealnya dimulai dari perbankan. Jika bank syariah tumbuh pesat, industri keuangan lain akan mengikuti, berikutnya gerbong sektor riil syariah juga akan terangkut.

Masalahnya, dari mana memulainya? Berdirinya BMI merupakan langkah revolusioner yang diinisiatori oleh masyarakat atau istilahnya society driven. Kini untuk menjadikan perbankan syariah pangsa pasar 20 persen, dibutuhkan lang kah revolusioner kedua. Dan, revolusi babak ke dua harus dilakukan pemerintah (government driven).

Dua strategi pendekatan pe ngembangan anorganik yang perlu di lakukan pemerintah. Pertama, memiliki bank negara beraset sampai ratusan triliun rupiah. Bank ini akan jadi simbol ekonomi syariah di Indonesia. Negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini mestinya punya bank syariah raksasa.

Alternatifnya adalah memergerkan bank syariah yang dimiliki bank negara, yakni Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, dan BTN Syariah. Jika keempat bank itu dimergerkan, akan memiliki aset sekitar Rp 115 triliun. Tidak cukup besar untuk menjadi bank syariah yang besar. Cara ini juga tidak akan meningkatkan pang sa pasar.

Alternatif lain mendirikan bank syariah baru yang harus ber modal besar, minimal Rp 20 triliun sehingga beraset di atas Rp 200 tri liun. Langkah ini tidak seribet memerger kan bank, tetapi butuh dana tunai dari pemerintah. Jika dilakukan, pangsa pasar bank syariah naik.

Alternatif ekstrem adalah mengonversi bank BUMN menjadi bank syariah. Sebelumnya sempat ada wacana Bank BTN mau di konversi, tetapi urung dilaksanakan. Wacana itu perlu dibangkitkan lagi. Bahkan bukan BTN yang dikonversi, melainkan BRI yang asetnya per September 2014 mencapai Rp 486 triliun.

Menurut kajian Anna Marina dkk (2013), ada kesamaan BRI dan bank syariah, misalnya, customer base yang mirip, yaitu ritel, UKM, pertanian, dan perekonomian rural. BRI juga menggarap pasar bidang infrastruktur, produksi, dan perdagangan produk halal, seperti makanan, minuman, dan obat-obatan.

Jika BRI dikonversi, apalagi dilanjutkan mengakuisi bank syariah yang dimiliki bank BUMN, dengan perhitungan neraca Juni, aset bank syariah itu Rp 591 triliun. Pangsa pa sar pun masih sekitar 13 persen. Namun, setidaknya sudah me nga lahkan aset Bank Islam Malaysia yang Rp 195 triliun dan menjadi salah satu bank syariah terbesar dunia.

Langkah kedua untuk mengembangkan bank syariah sekaligus menunjukkan komitmen, pemerintah membuat kebijakan menempatkan sebagian dana APBN atau dana yang berhubungan dengan pemerintah dan BUMN di bank syariah. Langkah ini yang dilakukan Malaysia sehingga pangsa pasar bank syariah signifikan.

Ketika Anggito Abimanyu menjadi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dia mewajibkan setoran dana dari calon haji lewat bank syariah. Dari sini perbankan syariah memperoleh tambahan dana Rp 16 triliun. Terobosan ini seharusnya menginspirasi otoritas keuangan untuk lebih berperan.

Barangkali kelak tidak akan terulang lagi tiga tokoh ketua umum organisasi ekonomi syariah sekaligus menduduki posisi di puncak otoritas moneter berbeda. Karena itu, sekaranglah saat nya posisi mereka dioptimalkan untuk kebaikan umat. Jadikan kesempatan ini menjadi momentum kebangkitan kedua ekonomi syariah.

Selama ini society driven sudah melakukan langkah revolusioner. Kini, giliran pemerintah dengan government driven melakukan langkah revolusioner untuk menggenjot pangsa pasar bank syariah sebesar negara jiran. Kita tunggu kiprah ketiga tokoh itu untuk menyinergikan kekuatan masyarakat dan pemerintah agar Indonesia menjadi syariah dunia. @
Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika edisi 31 Oktober 214