Wednesday, July 1, 2015

Ketika Habibie, Ketika Jokowi

Hari ini, 17 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur, bersamaan dengan itu pula BJ Habibie langsung dilantik menjadi presiden ke-3 Republik Indonesia. Upacara pelantikan dilakukan secara sederhana dan singkat di Istana Negara.

Jutaan rakyat menyambut gembira. Ribuan mahasiswa yang sudah berhari-hari menduduki Gedung DPR-MPR meluapkan kegembiraannya dengan berbagai ekspresi. Apakah reaksi kegempitaan itu mensyukuri Habibie menjadi presiden? Bukan. Mereka bersorak karena Soeharto turun. Tidak ada yang bersorak untuk Habibie, bahkan dia di-bully karena dianggap sebagai penerus Soeharto. Apalagi, Habibie pernah mengakui Soeharto sebagai guru politiknya.

"Saya dijadikan manusia yang tidak memiliki kredibilitas karena berbagai pernyataan yang bernada menghina dan mengolok, menyinggung perasaan siapa saja yang mengenal dan berkawan dengan saya," tulis Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan. Jadi, ketika dilantik, Habibie bukannya disambut dengan lagu kemenangan, tetapi justru hinaan dan olokan.

Begitu menjadi presiden, Habibie dihadapkan pada kompleksitas masalah yang pelik dan multidimensi. Termasuk salah satunya, masalah ekonomi karena terjadi hiperinflasi, pertumbuhan ekonomi negatif, suku bunga sangat tinggi, kurs rupiah jeblok, rush dana di perbankan karena belasan bank ditutup, ribuan perusahaan bangkrut, angka kemiskinan dan pengangguran melonjak, serta kepercayaan masyarakat yang runtuh.

Saat itu, suasana dipenuhi prasangka buruk dan keraguan. Banyak intelektual kehilangan intelektualitasnya, persis seperti ketika masa kampanye Pilpres 2014 antara Prabowo dan Jokowi. Para intelektual itu meyakini bahwa Habibie tidak mampu menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan. Bahkan, PM Singapura Lee Kuan Yew pun menyepelekan dengan mengatakan, Habibie tidak mampu membenahi ekonomi dan dolar AS tembus Rp 20 ribu.

Habibie tidak mau berpolemik, dia hanya ingin membuktikan bahwa mereka keliru. Kemudian gerak cepat dilakukan. Diawali dengan pembentukan Kabinet Reformasi yang hanya 24 jam setelah Habibie dilantik, posisi Gubernur Bank Indonesia independen, mata uang rupiah tetap bebas bergerak sesuai pasar, melepaskan semua tahanan politik, memberikan kebebasan pers, dan bersama pimpinan DPR/MPR membahas percepatan pemilu.

Di tengah keinginan menjatuhkan Habibie yang semakin masif, Habibie terus melakukan langkah taktis dan strategis. Di perbankan, pembenahan dilakukan dengan penyelamatan, penutupan, dan merger. Merger empat bank pemerintah: Bank Bumidaya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bapindo menjadi Bank Mandiri merupakan kerja besar yang menuntut nyali besar pula.

Pembenahan juga dilakukan dalam bidang politik. Karena, bagaimanapun permasalahan ekonomi tidak bisa lepas dari dinamika politik. Salah satu poin penting adalah mempercepat pemilu. Itu berarti Habibie mengamputasi periode kepemimpinannya menjadi hanya 18 bulan (bukan lima tahun) sesuai dengan jadwal pemilu yang dipercepat tersebut. Habibie juga mempercepat produk hukum sehingga sampai 1,3 UU setiap hari untuk menunjang reformasi.

Kerja keras menunjukkan hasil. Rupiah terhindar dari free fall, bahkan menguat tajam dari Rp 16 ribu per dolar AS menjadi Rp 9.200 per dolar pada akhir 1998. Pada periode yang sama, inflasi turun, pertumbuhan ekonomi masih negatif, tetapi mulai bekurang; indeks bursa naik; suku bunga SBI turun. Penguatan yang signifikan baru terlihat pada akhir 1999 ketika inflasi sudah terkendali, pertumbuhan ekonomi mulai terlihat.

Nah, sekarang kita coba lihat Jokowi. Ketika dilantik menjadi presiden, dia dielu-elukan oleh jutaan orang, bahkan disambut dengan arak-arakan khusus dari gedung DPR sampai Istana Negara. Malam harinya masih dibuatkan pesta di Monas semalam suntuk.

Lantas dalam pembentukan kabinet, Jokowi butuh waktu 7x24 jam, itu pun personelnya banyak yang mengecewakan karena sebagain besar orang parpol. Kondisi itu memperlihatkan bahwa Jokowi tidak punya kuasa penuh dalam membentuk kabinet. Intervensi partai pendukung amat kental. Intervensi juga terlihat saat pemilihan kapolri sehingga secara tidak langsung Jokowi memberi angin untuk melakukan kriminalisasi terhadap personel KPK dan penggiat antikorupsi.

Pada bulan-bulan awal pemerintahan, Jokowi mendapat gangguan dari partai yang berseberangan. Suasana politik sempat gaduh, tapi jauh lebih senyap dibanding ketika Habibie menjadi presiden. Saat ini muncul beberapa keinginan untuk menghentikan Jokowi sebagai presiden, tapi itu baru wacana segelintir orang. Pada masa Habibie, upaya menurunkan bukan hanya wacana, melainkan sudah merupakan gerakan.

Perbedaan juga dalam hal ekonomi. Habibie mewarisi resesi ekonomi yang sangat akut dengan fondasi ekonomi yang sudah ambruk. Sedangkan, Jokowi mewarisi ekonomi yang jauh lebih baik. Inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kurs dolar stabil, cadangan devisa kuat, dan lainnya.

Memang ada persoalan subsidi BBM yang terlalu besar, kesenjangan yang kian melebar, infrastuktur yang terbengkalai, dan persoalan perizinan yang masih bertele-tele, tapi tetap tidak mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat secara langsung.

Logikanya, dengan kepercayaan masyarakat yang besar serta kondisi politik dan ekonomi yang stabil, Jokowi bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Kenyataannya justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi turun dari 5,02 pada kuartal IV 2014 menjadi 4,71 persen, rupiah anjlok dari Rp 12.020 menjadi Rp 13.100 per dolar AS, ekspor menurun, indeks saham rontok, harga beras naik, pertumbuhan kredit menyusut, penyerapan anggaran sangat kecil, dunia usaha kesulitan, dan pengangguran meningkat. Wajar jika tingkat kepuasan publik merosot drastis.

Situasi dan kondisi yang dihadapi masing-masing presiden tentu saja berbeda. Namun, dari paparan di atas, setidaknya Jokowi bisa belajar dari Habibie tentang bagaimana membangkitkan perekonomian. Kuncinya adalah setia pada visi (dalam hal ini adalah Nawa Cita), independen dalam membuat kebijakan, konsisten dengan apa yang diucapkan dan dijanjikan, manajemen kesekretariatan negara yang baik, serta menjadikan kritik—bahkan hinaan dan cacian—sebagai energi positif untuk berbuat yang lebih baik.

 Oleh Anif Punto Utomo/Direktur Indostrategic Economic Intelligence

*Artikel ini dimuat di Harian Republika, 21 Mei 2015