Monday, February 22, 2016

Pemburu Rente, Predator Negara

Pada awal 1950-an muncul keinginan pemerintah untuk membesarkan pengusaha pribumi. Maka, lahirlah Program Benteng yang diinisiasi Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu menjabat sebagai menteri perdagangan dan perindustrian. Selain diberi proteksi, pengusaha pribumi juga diberi lisensi untuk impor. Harapannya, program ini melahirkan pengusaha pribumi yang tangguh dan sukses.

Apa yang kemudian terjadi di lapangan, jauh dari harapan karena pada akhirnya lisensi itu disewakan kepada pengusaha Tionghoa. Pengusaha pribumi yang diberi lisensi hanya ongkang-ongkang kaki, sementara yang menjalankan impor adalah pengusaha Tionghoa yang memang sudah punya pengalaman. Keuntungan dibagi dua.

Saat itu, istilah Ali-Baba menjadi sangat populer. Ali mewakili pribumi dan Baba mewakili Tionghoa. Inilah kisah pemburu rente pertama sejak Indonesia merdeka yang melegenda sampai sekarang.

Sejak itu, sejarah perburuan rente menjadi tak terpisahkan dengan perkembangan perekonomian di Indonesia. Tampilnya Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto semakin menyuburkan persekongkolan tersebut. Pemburu rente semakin mekar dan berada di berbagai level. Ketika anak-anak Soeharto terjun ke dunia bisnis, perburuan rente semakin tak terkendali karena hampir semua bisnis yang digelutinya hasil dari perburuan rente.

Memasuki Orde Reformasi, perilaku tersebut tidak berubah. Korupsi masih merajalela, begitu pula dengan perburuan rente. Keduanya seolah sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan. Revolusi mental barangkali bisa memberantas virus itu, tapi membutuhkan komitmen yang sangat kuat dan dilaksanakan secara konsisten dengan penuh kesabaran karena akan memakan waktu lama.

Sang pemburu rente ini bisa pejabat langsung yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kebijakan atau bisa juga pengusaha yang memiliki koneksi politik ke penguasa. Mereka memiliki pengaruh besar dan juga dana besar sehingga sulit digoyahkan. Jika ada yang mencoba menyerang, mereka akan menyerang balik dengan serangan yang lebih mematikan.

Persoalan perburuan rente ini sudah menjadi kajian serius sejak 1967 oleh Gordon Tullock. Lewat publikasinya berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft, dia menulis tentang hubungan pemberian hak monopoli kepada pengusaha oleh penguasa. Kemudian, berkembang dengan penjelasan bahwa pemburu rente adalah pengusaha yang mendapatkan lisensi khusus, monopoli, dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat pelaku lain masuk pasar. Dari situ kemudian lahir teori perburuan rente (theory of economic rent-seeking).

Kata rente di sini tidak sama dengan pengertian rente yang dijelaskan Adam Smith. Rente dalam pengertian Adam Smith adalah sewa yang berarti memperoleh keuntungan dari jasa sewa-menyewa. Sementara, pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan untuk mendapatkan fasilitas lisensi, monopoli, ataupun cara-cara memperdagangkan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan bisnis. Mereka mencari keuntungan bukan melalui persaingan yang sehat.

Yoshihara Kunio, dalam buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara, mengulas secara khusus masalah perburuan rente. Di dalam buku itu, Kunio menulis bagaimana sepak terjang pemburu rente dalam berkongkalikong dengan penguasa di wilayah Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Menurut dia, praktik kapitalisme di negara-negara tersebut telah melahirkan para pemburu rente sehingga dia menyebut kapitalisme yang berkembang adalah kapitalisme semu.

Pemburu rente ini mengeruk keuntungan dari peraturan atau kebijakan yang dibuat oleh regulator. Semakin tinggi jam terbang pemburu rente, semakin tinggi pula sasarannya. Mencatut nama, bahkan nama pemimpin tertinggi negeri, sudah menjadi hal yang biasa. Bagi mereka yang penting gol tercapai. Inilah yang dilakukan Setya Novanto, ketua DPR, yang diduga berburu rente dalam kasus perpanjangan kontrak karya Freeport Indonesia.

Novanto yang sebelumnya lolos dari berbagai kasus hukum, kembali terantuk batu. Perburuan rente yang dia rancang dengan koleganya terbuka ke publik setelah rekaman pembicaraan dengan seorang pengusaha dan petinggi Freeport Indonesia. Rekaman itu bocor ke masyarakat setelah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan wakil rakyat itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Inti rekaman itu, Novanto memintakan saham Freeport Indonesia sebesar 11 persen untuk Presiden dan sembilan persen untuk Wakil Presiden. Dianya sendiri bersama pengusaha yang menemaninya minta saham pembangkit listrik yang nantinya dibangun sepenuhnya oleh dana Freeport. Di perusahaan itu, Freeport akan memegang 51 persen, sisanya yang 49 persen untuk mereka, gratis!

Begitulah pemburu rente bekerja. Dengan koneksi yang dimiliki, dia bisa menggertak, mengancam, tetapi juga bisa merayu dengan menjual nama petinggi demi mendapatkan jatah. Kekuasaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan dibungkus seolah-olah untuk kepentingan negara. Berkorban untuk negara hanya sebagai slogan, tetapi yang dilakukan justru mengorbankan negara.

Pengusaha pemburu rente memperoleh keuntungan besar (Yi Min Lin dalam buku Rent Seeking in China mengistilahkan dengan supernormal gains). Karena mereka bekerja tak ubahnya sebagai makelar, pemburu rente sama sekali tidak memberi kontribusi pada peningkatan produktivitas ekonomi negara. Sebaliknya, yang terjadi kerugian bagi masyarakat karena harus menanggung harga yang tidak kompetitif.

Terjadinya ekonomi berbiaya tinggi yang menjadi salah satu penghambat kemajuan ekonomi Indonesia salah satunya disebabkan kiprah para pemburu rente. Situasi bisnis dibiarkan tanpa kompetisi yang sehat yang akhirnya melahirkan pengusaha yang hanya bisa mengambil keuntungan jika dekat dengan kekuasaan. Pemburu rente ini secara tidak langsung telah memasung jiwa entrepreneur.

Negara dirugikan oleh para pelaku pemburu rente. Karena, pada dasarnya mereka adalah memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki atau dimiliki kroninya untuk mengakumulasi kapital demi kemakmuran diri dan kelompoknya. Mereka selalu berbicara demi rakyat, tetapi sebetulnya justru menyengsarakan rakyat. Mereka berbicara demi negara, tetapi sebetulnya predator negara.

Anif Punto Utomo

Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika, 26 Nopember 2015

Friday, October 23, 2015

Tahun Pertama Miskin Prestasi

Pelantikan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 sudah berjalan satu tahun. Banyak harapan yang dipanggulkan kepada keduanya.

Hasil survei Indobarometer pada pekan ketiga September lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi rontok 11,5 persen dibanding enam bulan sebelumnya, dari 57,5 persen menjadi 46 persen. Yang tidak puas naik menjadi 51,1 persen. Itu artinya lebih dari separuh masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja presiden.

Jika kita melihat kinerja pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi, persepsi masyarakat itu wajar. Data mengenai pertumbuhan ekonomi yang menurun, bertambahnya jumlah penduduk miskin, naiknya harga bahan pangan, semakin naiknya pengangguran, muramnya komoditas ekspor, seolah-olah mengonfirmasi hasil ketidakpuasan itu.

Jokowi dilantik pada saat ekonomi global sedang krisis. Begitu pegang tampuk kekuasaan, duet Jokowi-JK dihadapkan pada masalah ekonomi cukup pelik. Dengan pengalaman yang masih minim, ditambah soliditas dan kualitas kabinet yang sebagian tidak mumpuni, gerak ekonomi menjadi lamban, jauh dari yang ditargetkan. Belum lagi masalah politik dan hukum yang menggerogoti saat awal kekuasaan.

Berbeda dengan krisis ekonomi 1998. Saat itu, krisis yang terjadi adalah krisis Asia Tenggara (plus Korea). Karena krisis regional, di belahan dunia lain yang menjadi sasaran utama ekspor Indonesia, seperti Amerika, Jepang, Eropa, dan Cina masih tetap jaya. Saat itu, ada beberapa sektor, termasuk tambang dan perkebunan yang justru berpesta karena ekspornya tetap bagus.

Sementara, krisis kali ini adalah krisis global. Hampir seluruh negara ekonominya merosot, terutama Cina dan Eropa, sehingga terjadi penurunan permintaan. Sektor komoditas primer terpukul paling keras, padahal selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia pun terpukul. Ditambah lagi sangat lambatnya pencairan dana APBN, lengkaplah prasyarat terjadinya perlambatan ekonomi.

Maka, pertumbuhan ekonomi terus turun sejak Jokowi menjadi presiden hingga pertengahan tahun ini. Pada kuartal terakhir 2014, ekonomi tumbuh 5,02 persen, pada kuartal I 2015 turun menjadi 4,72 persen, kuartal II kembali turun menjadi 4,67 persen.

Akibat penurunan pertumbuhan ekonomi itu, terjadilah PHK. Menteri Tenaga Kerja memperkirakan ada 60 ribu orang terkena PHK, versi organisasi buruh sekitar 100 ribu orang. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun sampai membentuk desk khusus investasi tekstil dan sepatu untuk mencegah PHK.

Begitu ada PHK, pengangguran pun semakin meningkat karena angkatan kerja baru tidak tertampung. Menurut data Indef, angka pengangguran terbuka naik dari 7,1 persen pada semester I 2014 menjadi 7,5 persen pada semester I 2015.

Kenaikan angka pengangguran secara tidak langsung berimplikasi pada jumlah orang miskin. Pada masa pemerintahan Jokowi, jumlah orang miskin naik dari 10,96 persen pada September 2014 menjadi 11,5 persen pada Maret 2015. Jadi, naik dari 27,72 juta menjadi 28,59 juta. Semakin bertambahnya orang miskin ini menunjukkan pertumbuhan tidak dinikmati merata sehingga kesenjangan bisa kian meningkat.

Kenyataan lain adalah naiknya pinjaman luar negeri oleh pemerintah maupun (terutama) swasta. Pada Oktober 2014, posisi utang luar negeri 295,9 miliar dolar AS (pemerintah 133,1 miliar dolar dan swasta 162,8 miliar dolar). Pada Juni 2015 sudah 304,3 miliar dolar (pemerintah 134,6 miliar dolar dan swasta 169,7 miliar dolar). Kita ingat yang membuat krisis 1998 makin parah adalah membubungnya utang luar negeri swasta.

Kurs rupiah juga menjadi pusat kekhawatiran karena sejak Jokowi dilantik, rupiah cenderung melemah dan menciptakan rekor terburuk sejak krisis 1998. Bahkan, pada akhir September 2015 berada pada Rp 14.811 per dolar.

Beruntung the Fed memberikan kepastian tidak akan menaikkan bunga dalam waktu dekat. Kepastian itu menjadi pemicu menguatnya mata uang global terhadap dolar, termasuk rupiah. Ditambah empat paket ekonomi pemerintah plus intervensi miliaran dolar dari Bank Indonesia, rupiah pun melejit. Pada pekan pertama Oktober, rupiah sudah di posisi Rp 13.400 per dolar.

Dalam bidang pertanian juga begitu. Swasembada beras, jagung, dan kedelai yang ditargetkan tercapai pada tiga tahun pemerintahan Jokowi belum menampakkan kecenderungan menggembirakan. Swasembada daging juga masih menjadi angan-angan, bahkan pemerintah sempat dipermainkan mafia daging. Harga daging pun melejit memberatkan masyarakat.

Layak diapresiasi
Meski begitu bukan berarti tak ada hal yang bisa dicatat dari kinerja pemerintahan. Aksi jibaku Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam kengototannya menenggelamkan kapal asing pencuri ikan layak diapresiasi. Hanya saja, dampak ekonomi gebrakan itu belum begitu terasa karena baru mengamankan potensi kerugian, sementara penerimaan dari sektor ini jauh dari yang ditargetkan.

Kinerja Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono juga pantas diapresiasi. Beberapa proyek infrastruktur yang selama ini mangkrak dihidupkan lagi, seperti Waduk Jatigede, juga beberapa ruas jalan tol yang mandek, seperti di Jawa Tengah dan Jabotabek. Tol Sumatra sudah mulai dibangun, jalan di wilayah perbatasan juga, lumpur Lapindo relatif selesai, belasan bendungan di berbagai pulau sudah 75 persen selesai, belum lagi pembangunan 512 ribu rumah bagi rakyat.

Kinerja Susi maupun Basuki, dan juga beberapa menteri lain, seperti Menteri ESDM yang memberikan kepastian berusaha, Menko Perekonomian dengan paket ekonominya, dan sebagainya. Semua itu baru memberikan fondasi, belum mendampakkan hasil konkret yang bisa langsung dirasakan masyarakat. Jika pemerintah konsisten, fondasi ini akan mampu melejitkan ekonomi mendatang.

Secara keseluruhan, belum terlihat prestasi menonjol dari pemerintahan Jokowi-JK setahun ini sehingga boleh dibilang masih miskin prestasi. Ada beberapa indikator perbaikan, seperti defisit transaksi berjalan membaik, inflasi cenderung rendah, kurs rupiah dan indeks saham menguat, tapi itu belum cukup dicatat sebagai prestasi monumental.

Meski begitu, setidaknya fondasi kekuatan ekonomi sudah mulai dibangun. Ibaratnya, beberapa program dan kebijakan saat ini masih dalam tahap investasi, belum menghasilkan. Jika fondasi dan investasi itu dilanjutkan dengan trek yang benar, pada tahun kedua nanti bukan lagi tahun yang miskin prestasi, melainkan sarat prestasi. 

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence


Dimuat di Republika Selasa, 20 Oktober 2015,


Tuesday, September 29, 2015

Lampu Kuning Kemiskinan

Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata bukan saja angka nominal yang naik, tetapi juga persentase. Pada Maret 2015 tercatat jumlah penduduk miskin 28,95 juta (11,22 persen), naik 860 ribu jiwa dari 27,73 juta (10,96 persen) pada September 2014. Garis batas kemiskinan rata-rata adalah Rp 330.776. Artinya masyarakat miskin di Indonesia adalah yang pengeluaran tiap bulan lebih rendah dari nilai tersebut.

Kondisi memprihatinkan itu terasa makin lengkap karena indeks kedalaman (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga semakin memburuk. Tercatat Indeks Kedalaman Kemiskinan pada September 2014 adalah 1,75, naik menjadi 1,97 pada Maret 2015. Pada periode yang sama, Indeks Keparahan Kemiskinan meningkat dari 0,44 menjadi 0,54.

Indeks kedalaman adalah perbedaan antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan. Semakin tinggi indeks berarti pengeluaran masyarakat miskin semakin menjauh dari garis kemiskinan, misalnya, dari Rp 330 ribu menjadi Rp 300 ribu. Sedangkan, indeks keparahan adalah penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin--semakin tinggi indeks, semakin parah kesenjangan antarorang miskin.

Mengapa jumlah masyarakat miskin bertambah? Karena daya beli merosot, pendapatan rakyat tetap, ada yang cenderung turun, bahkan ada yang hilang. Sementara, kebutuhan bahan pokok naik relatif tinggi.

Di perdesaan, misalnya, upah petani merosot, padahal sebagian besar orang desa adalah buruh tani. Di perkotaan, mencari uang makin sulit, bahkan sebagian justru kehilangan pekerjaan karena PHK.

Menurut BPS, dalam beberapa bulan terakhir terjadi kenaikan harga cukup tinggi pada beras, cabai rawit, dan gula pasir. Pengalaman selama ini jika ada gejolak harga bahan pokok, maka akan berpengaruh lang sung terhadap jumlah orang miskin. Masalah pokoknya karena ada pululah juta orang masuk kategori hampir miskin sehingga sedikit saja terjadi lonjakan harga, sebagian dari mereka turun kasta menjadi miskin.

Jika kita coba menengok ke belakang, naiknya jumlah orang miskin merupakan perulangan dari kasus sebelumnya, yakni terkait kenaikan harga BBM. Pengalaman menunjukkan, setiap kenaikan harga BBM akan diikuti meningkatnya jumlah orang miskin. Logikanya, harga BBM naik membuat harga kebutuhan pokok naik sehingga nilai garis kemiskinan juga naik. Karena garisnya naik, maka masyarakat yang hidup di bawah garis tersebut makin banyak.

Kita lihat pada 2005 ketika harga BBM (Premium) dinaikkan dua kali dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter pada Maret, dan naik lagi menjadi Rp 4.500 pada Oktober, jumlah orang miskin bertambah dari 35,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 39,3 juta pada 2006.

Begitu juga ketika 22 Juni 2013, pemerintah menaikkan harga BBM dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, jumlah orang miskin naik dari 28,17 juta menjadi 28,6 juta. Naiknya jumlah orang miskin per Maret 2015 pun tak lepas dari kenaikan BBM pada 18 November 2014 dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500.
Jika setiap terjadi gejolak harga, terutama setelah kenaikan BBM, selalu berimplikasi pada kenaikan jumlah penduduk miskin, mengapa tidak diantisipasi dengan pembagian raskin yang diperbanyak, misalnya. Bahkan, seperti pengakuan Menko Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah sudah memprediksi kenaikan jumlah orang miskin (Republika, 17/09/15). Jika sudah tahu akan naik, mengapa tidak dilakukan langkah strategis pencegahan?
Kenaikan harga kebutuhan pokok memang tak semata diakibatkan BBM, ada masalah distribusi, ada pula masalah permainan.

Memperingati satu tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, naiknya jumlah orang miskin tentu bukan kabar baik. Di tengah sorotan tajam tentang kinerja yang tak memuaskan, masyarakat pun mulai terkena sindrom "good old days" atau mengenang masa lalu yang sebetulnya tidak semua bagus.

Good old days ini akan memuncak manakala pemerintah lambat meng atasi gejolak ekonomi. Pertumbuhan ekono mi yang turun dibanding tahun sebelumnya, harga pangan yang naik tak terkendali, kurs dolar AS yang terus memecahkan rekor tetinggi, pengangguran yang meningkat, PHK di mana-mana, adalah problem di depan mata.

Harapan rakyat rupanya terlalu besar pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam satu tahun pemerintahan ini kinerjanya mengecewakan. Betul ada faktor eksternal, tetapi kita tidak bisa terus menyalahkan eksternal, faktor internal harus diperkuat. Perlu kabinet yang mumpuni dan kompak.

Nawacita yang menjadi pegangan mewujudkan cita-cita bangsa masih terkerdilkan. Semangat membangun dari pinggiran dengan memperkuat pembangunan desa, misalnya, masih terseok-seok karena ketidaksiapan daerah mengeksekusi dana desa yang ratusan juta rupiah per desa.

BPS kini sedang menyurvei lagi angka kemiskinan. Besar kemungkinan per September ini jumlah orang miskin akan bertambah mengingat nasib petani di desa belum berubah dengan upah rendahnya, sementara di perkotaan gelombang PHK terus terjadi. Permasalahan kemiskinan sudah lampu kuning. Jika tidak diselesaikan dengan baik, lampu merah akan menyala, saat seperti itu revolusi sosial pun gampang disulut.

Pemerintah harus bekerja keras menggenjot pertumbuhan. Karena dengan pertumbuhan itulah pendapatan rakyat bisa meningkat sehingga kemiskinan bisa berkurang. Tentu pertumbuhan harus disertai pemerataan.

ANIF PUNTO UTOMO
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di opini Republika, Sabtu, 26 September 2015