Wednesday, December 26, 2007

Berkorban untuk Rakyat

Idul Adha atau Hari Raya Kurban baru saja kita lalui. Ribuan sapi dan jutaan kambing disembelih sebagai bentuk pengorbanan harta orang kaya yang kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin.

Boleh dibilang, Hari Raya Kurban ini merupakan pemerataan ad hoc, pemerataan makanan yang ada dalam satu-dua hari. Orang miskin yang hampir tidak pernah makan daging, bisa makin daging sebagaimana orang kaya. Meskipun masih ada jutaan rakyat lain yang tetap belum mendapat bagian.

Apakah berhenti sampai di situ arti pengorbanan? Apakah kita yang mampu ini cukup membeli sapi atau kambing kemudian disediakan untuk kurban dan kemudian selesai? Tentu saja itu sudah baik, bahkan sangat baik karena sesuai dengan perintah agama, tetapi belum cukup.

Dalam keadaan negara yang masih bangun dari keterpurukan ini, ketika orang-orang di sekitar kita masih hidup melarat, saat puluhan juta rakyat masih hidup miskin, melakukan kurban hanya pada saat Hari Raya Kurban jauh dari mencukupi. Kita perlu ''berkurban'' lebih besar.

Sebagai orang yang mampu, baik secara finansial maupun mampu intelektual, siapapun harus selalu berkorban untuk kepentingan rakyat. Kerahkan segala daya yang kita miliki sesuai dengan profesi yang kita jalani untuk mengangkat derajat kehidupan bangsa dan masyarakat.

Kita prihatin, dalam lingkungan gaya hidup hedonisme atau mengejar kesenangan seperti sekarang ini, kecenderungan untuk berkorban makin menipis. Bahkan tak jarang orang yang mampu bukannya berkorban untuk rakyat banyak melainkan justru mengorbankan rakyat.

Bisa diambil contoh renovasi rumah anggota DPR. Rumah itu akan direnovasi dengan biaya ratusan juta rupiah per rumah. Dan, selama rumah itu direnovasi, setiap anggota memperoleh biaya pengganti kontrak rumah Rp 13 juta per bulan atau Rp 146 juta per tahun.

Ironisnya, banyak anggota DPR yang sudah punya rumah sendiri sehingga rumah dinas itu selama ini hanya dihuni oleh keluarga atau kadernya. Kalau mereka selama ini tinggal di rumah sendiri dan kemudian memperoleh pengganti sewa Rp 146 juta, mereka bukan berkorban, tetapi mengorbankan rakyat, karena uang itu uang rakyat.

Banyak lagi contoh bagaimana para eksekutif menguras uang rakyat lewat berbagai trik korupsi. Ada yang sudah ketahuan dan disidang, ada yang masih mampu menyembunyikan dengan rapi. Mereka mengorbankan rakyat untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Selama ini rakyat sudah banyak berkorban untuk para penyelenggara negara. Kesenjangan yang makin menganga antara orang kaya dan orang miskin, itu adalah bagian dari pengorbanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang kurang memberikan keadilan bagi rakyat.

Hari Idul Adha ini semestinya mengingatkan kita tentang seberapa besar pengorbanan yang telah kita berikan kepada rakyat dan negara. Seberapa besar yang telah kita terima dibanding dengan yang telah kita berikan. Seberapa besar kita telah telah mengorbankan rakyat untuk mencapai kedudukan saat ini.

Membangun bangsa ini membutuhkan pengorbanan. Mari, Hari Idul Adha ini kita jadikan momen pengingat agar terus ikhlas berkorban untuk bangsa ini agar menjadi bangsa yang membanggakan.

Dimuat sebagai Tajuk di Republika edisi 21 Desember 2007

Tuesday, December 11, 2007

Mengejar Pertumbuhan Berkualitas

Ketika kita bicara pertumbuhan ekonomi maka yang selalu mengikutinya adalah berapa pengangguran yang ada saat ini. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi sangat erat kaitannya dengan pengangguran. Karena setiap persen pertumbuhan ekonomi akan terkait dengan berapa daya serap tenaga kerjanya.

Sejak krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi kita memang belum menggembirakan, tidak pernah di atas 6,0 persen. Padahal kita membutuhkan pertumbuhan yang tinggi agar daya serap terhadap tenaga kerja juga tinggi, sehingga pengangguran pun secara gradual akan terkurangi.
Pada 2006 silam sebetulnya sudah dipatok bahwa pertumbuhan ekonomi di atas enam persen.

Tapi tampaknya kondisi riil dunia sedang tidak bersahabat. Harga minyak yang semula di bawah 40 dolar AS per barel, tiba-tiba meroket menjadi 60 dolar AS bahkan 70 dolar AS per barel. Alhasil pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan subsidi.

Rupanya pemerintah terlalu bersemangat dan sedikit panik dalam menekan subsidi. Ini terlihat dengan dinaikkannya harga BBM dua kali lipat pada Oktober 2005. Efek dari kenaikan tersebut terbawa sampai pada 2006, sehingga pertumbuhan ekonomi 2006 yang ditargetkan di atas enam persen, hanya tercapai 5,5 pesen.

Kenaikan 5,5 persen jelas tidak cukup untuk membendung kenaikan pengangguran. Apalagi sektor yang mengalami pertumbuhan adalah sektor yang tidak banyak menyerap tenaga kerja. Dari perhitungan kasar, setiap pertumbuhan satu persen, hanya membuka lapangan kerja 200 ribu orang.

Dengan pertumbuhan sebesar itu maka dibanding dengan angkatan kerja yang baru masuk saja masih kurang. Saat ini, setiap angkatan kerja baru setiap tahun mencapai 1,7 juta, sementara dengan pengalaman 2006 lalu, tenaga kerja yang terserap dari pertumbuhan ekonomi 5,5 persen itu tak lebih dari 1,1 juta orang.

Berbicara mengenai pengangguran berarti juga berbicara mengenai kemiskinan. Artinya ketika tingkat pengangguran masih tinggi maka kemiskinan pun akan senada. Terbukti, sampai saat ini jumlah orang miskin di negeri kita masih 40 juta. Itupun dengan batas miskin menggunakan plafon 1 dolar AS per hari, kalau 2 dolar, bisa lebih dari 100 juta.

Pertumbuhan ekonomi ada, tapi kemiskinan juga membengkak, apa artinya? Melihat kondisi tersebut berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh rakyat. Pertumbuhan ekonomi selama ini hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang sudah tinggi pendapatannya.

Selain itu, dengan melihat bahwa pertumbuhan ekonomi banyak dibangun oleh sektor konsumsi dan padat modal, berarti mereka yang menikmati kebanyakan adalah orang-orang yang tinggal di perkotaan. Sementara mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari pusat-pusat bisnis, apalagi di pedesaan akan makin tak kebagian.

Dengan begitu bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ini tidak disertai dengan pemerataan, baik pemerataan antara kelas mengah atas dengan kelas bawah, ataupun kesenjangan antardaerah. Tidak terjadinya pemerataan tersebut, membuat kesenjangan makin tinggi.

Dari tabel yang saya paparkan terlihat bahwa Gini Ratio yakni ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan pendapatan penduduk di suatu negara, semakin tahun semakin tinggi angkanya. Secara lebih jelas bisa dilihat dari persentase penguasaan ekonomi oleh penduduk miskin, sedang, dan kaya di mana orang kaya menguasai lebih banyak, padahal secara jumlah orangnya lebih sedikit.

Di sisi lain, pertumbuhan juga tidak berbasiskan investasi. Terlihat pada 2006 misalnya, pangsa investasi dibanding total PDB hanya 21,9 persen. Pada tahun itu pula konsumsi swasta yang menyokong pertumbuhan paling tinggi, yakni dengan pangsa mencapai 58,3 persen.

Kualitas rendahDari sisi rendahnya penyerapan tenaga kerja, kesenjangan yang makin melebar, dan sektor penyokong pertumbuhan, maka bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terbangun akhir-akhir ini berkualitas rendah. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menggerakkan ekonomi yang berbasis massal.

Sebetulnya apa yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia 2004 silam merupakan janji menuju pertumbuhan yang baik. Saat itu dikatakan bahwa pertumbuhan harus didukung investasi dan ekspor, pemberdayaan sektor riil, dan revitalisasi sektor pertanian.

Tapi ketika berbicara kenyataan, apa yang dijanjikan tersebut bicara lain. Ekspor bolehlah dipamerkan karena memang memmiliki kinerja baik, meskipun sebagian didorong oleh naiknya komoditas ekspor dari sumber daya alam, seperti batubara, begitu pula CPO dan karet.

Sementara, dari sisi sektor riil, masih bisa dikatakan jauh dari optimal. Sekarang ini yang sedang naik daun adalah sektor makro, bisa kita lihat inflasi rendah, suku bunga turun, kurs rupiah menguat stabil, begitu pula bursa efek yang terus menerus mencetak rekor. Sayangnya, kondisi bagus tersebut tidak mempu mentriger sektor riil untuk melaju.

Keluarnya UU tentang Penanaman Modal yang diharapkan mampu mengangkat investasi belum terlihat betul pengaruhnya. Tapi itu pun sebetulnya juga tergantung dari ekonomi biaya tinggi yang tidak hilang-hilang sejak dulu sampai sekarang, kepastian hukum yang masih setengah-setengah, dan sebagainya.

Belum lagi masih enggannya bank menyalurkan kreditnya. Mereka masih lebih suka menyimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang aman dan bunganya relatif masih lebih tinggi dibanding bunga simpanan yang mereka berikan kepada nasabah. Belum lagi suku bunga kredit yang masih tinggi.

Dan sampai kini yang masih belum banyak disentuh dari janji SBY adalah revitalisasi pertanian. Sektor ini sejak dulu sampai sekarang tidak pernah tersentuh secara optimal. Padahal di sektor inilah terdapat jutaan orang mengandalkan hidupnya. Pada sektor ini pula semestinya kekuatan pangan dibangun agar tidak sedikit-sedikit impor beras.

Kemiskinan banyak dialami oleh petani. Kenapa? Karena umumnya mereka hanya memiliki tanah tak lebih dari setengah hektare. Dari mana mereka bisa hidup dengan tanah selebar itu, sementara harga pupuk kian melambung. Itupun masih lumayan karena lebih banyak lagi yang hanya menjadi buruh tani.

Memang pada pertumbuhan triwulan I 2007 ini sektor pertanian menunjukkan taringnya. Tapi mesti diingat bahwa pertumbuhan sektor pertanian ini karena memang berbarengan dengan masa panen, sehingga produksinya tinggi. Artinya, di sini konsistensi pertumbuhan dari sektor pertanian masih dipertanyakan.

Akselerasi pertumbuhanUntuk mendongkrak agar 2007 ini pertumbuhan sesuai target yang sudah ditetapkan, yakni 6,3 persen, mau tidak mau usaha harus diperkeras. Karena untuk mencapai target tersebut, dalam sembilan bulan terakhir, pertumbuhan harus berada di sekitar 6,5 persen, untuk mengimbangi pertumbuhan triwulan I yang hanya 5,96 persen.

Di sini perlu akselerasi pertumbuhan. Dengan kondisi makro yang sudah baik, saat ini tinggal menggebrak sektor riil agar segera bangkit, segera melakukan akselerasi. Pintu-pintu yang selama ini terkunci, harus segera dibuka. Pemerintah sendiri perlu mengambil peran sentral di dalamnya.

Dalam penyaluran kredit misalnya, perbankan harus mulai sigap memberikan kredit untuk sektor riil, tidak cuma menyimpan dananya di tempat aman. Harus berani mengambil risiko, tentu dengan perhitungan yang matang. Sektor infrastruktur sudah semestinya makin dilirik, karena selain potensinya besar juga bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Bank juga harus lebih efisien agar spread antara bunga simpanan dan bunga kredit tidak terlalu melebar. Saat ini dengan bunga simpanan rata-rata 6,5-7,5 persen, mereka masih melempar ke kredit sampai 13-15 persen. Di situ terlihat betapa tingginya spread yang diambil bank. Turunnya bunga kredit akan memberi peluang sektor riil untuk bertumbuh.

Selain itu, SBY juga harus membuktikan janjinya bahwa sektor pertanian akan menjadi salah satu pijakan utama dalam pertumbuhan dan pemerataan. Apalagi, tesis doktornya adalah mengenai pertanian, sehingga sudah semestinya apa yang dipikirkan dalam tesis tersebut diaplikasikan di wilayah sebenarnya.

Pertumbuhan memang harus diakselerasi. Tapi akselerasi itu juga tetap harus berada pada kualitas, bukan sekadar pertumbuhan. Dengan pertumbuhan berkualitas maka pada masa datang, pendapatan per kapita kita bisa tinggi, tetapi juga dibarengi dengan pemerataan pendapatan yang baik dan pengangguran yang berkurang drastis.

Artikel ini dimuat di Republika edisi 27 Mei 2007

Friday, December 7, 2007

Sepadankah Gaji Anggota DPRD dan Kinerjanya?

Anif Punto Utomo

Kerja apa yang paling enak di Temanggung? Kalau masalah kerja yang enak, itu relatif. Setiap orang punya minat dan keahlian yang berbeda-beda. Setiap orang juga punya persepsi masing-masing mengenai sebuah pekerjaan.

Pertanyaan yang lebih gampang barangkali adalah: gaji sebagai apa yang paling tinggi di Temanggung? Barangkali lebih riil dan lebih mudah melihatnya.

Sebelum kita bicara Temanggung, kita coba lihat dulu skala nasional, di Jakarta. Di ibukota ini, gaji tertinggi adalah direktur perusahaan. Gaji seorang Dirut Pertamina misalnya mencapai Rp 150 juta per bulan. Gaji BUMN lain seperti Telkom, Bank Mandiri, Bank BRI, dll sekitar Rp 110 juta per bulan. Bonus tahunan bisa sampai Rp 2 miliar, tergantung keuntungan.

Belum lagi gaji direktur di perusahaan swasta yang besar. Di perusahaan semacam Astra misalnya, kabarnya mencapai Rp 200 juta per bulan. Kemudian diperusahaan minyak Medco juga tidak jauh dari angka tersebut. Lagi-lagi angka tersebut belum sama bonus, yang bisa miliaran rupiah juga per tahun.

Gaji para direktur itu memang jauh lebih tinggi daripada gaji pejabat. Gaji seorang Presiden pun ‘hanya’ sekitar Rp 65 juta, wakil presiden Rp 45 juta, dan menteri Rp 20 juta. Gaji presiden itu kalah dengan gaji Ketua DPR yang mencapai Rp 75 juta. Begitu pula gaji wapres kalah dengan gaji wakil ketua DPR.

Kalau gaji kalangan eksekutif di Jakarta lebih tinggi dari pejabat, bagaimana di Temanggung? Tidak ada data pasti. Tapi melihat perusahaan-perusahaan di Temanggung yang skalanya masih kecil (entah kalau ada perusahaan luar yang kemudian berinves di Temanggung seperti perusahaan air minum di Mudal), bisa dikatakan tidak ada yang memberikan gaji besar.

Maka, gaji terbesar di Temanggung boleh dikata adalah gaji pejabat, termasuk gaji kalangan DPRD. Kita lihat, gaji ketua DPRD saat ini adalah Rp 24,25 juta per bulan, kemudian untuk wakil ketua DPRD mencapai Rp 21,3 juta per bulan. Sementara gaji anggota DPR sekitar Rp 13,8 juta per bulan.

Jelas tidak ada yang sanggup menandingi gaji itu di Temanggung, baik pegawai negeri maupun perusahaan swasta. Pegawai negeri yang tertinggi, itu pun kalau ada, misalnya adalah golongan IVe (Rp 1,672 juta) dan Eselon 1A (Rp 5,5 juta) yang jika ditotal gajinya adalah Rp 7,17 juta. Besaran gaji tertinggi di PNS itu hanya separo anggota DPR, tak sampai sepertiga ketua DPR.

Lebih mengenaskan lagi kalau dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR). Pada 2007 ini, UMR di Temanggung Rp 455.000 per bulan. Betapa jauhnya gaji rakyat ini dibandingkan dengan gaji wakilnya di DPRD. Kerja buruh selama dua setengah tahun baru setara dengan gaji wakil rakyat. Bahkan untuk menyetarakan ketuanya buruh harus bekerja empat tahun lebih.

Layakkah gaji DPRD sebesar itu? Layak tidaknya gaji selalu dilihat dari kinerjanya. Perusahaan swasta yang membayar ratusan juta per bulan dan bonus miliaran rupiah itu merasa layak, karena dari tangan mereka keuntungan perusahaan yang diperoleh sangat tinggi, berkali-kali lipat dibandingkan gaji mereka.

Karena itu melihat kelayakan dari gaji anggota DPR adalah bagaimana mereka bisa mewakili rakyatnya dalam menentukan kebijakan pemerintah daerah agar pro-rakyat. Pro rakyat tidak harus kebijakan yang populer, tetapi kebijakan yang tidak populer pun bisa asal ujung-ujungnya untuk kepentingan rakyat.

Di Singapura, sebuah negeri yang sebetulnya tidak demokratis itu, wakil rakyatnya (member of parliament) selalu melakukan pertemuan rutin dengan rakyatnya rutin seminggu sekali. Pertemuan itu mereka sebut dengan istilah Meet the People Session (sesi bertemu dengan rakyat).

Sesi temu masyarakat ini menjadi ajang interaksi wakil rakyat dengan rakyatnya, tak peduli rakyatnya itu simpatisannya atau dari partai lawan. Mereka mendengar secara langsung apa keinginan rakyatnya, apa keluhan masyarakat. Bukan cuma mendengar, tapi juga menyelesaikan masalah. Jadi nantinya akan ada hasil konkret yang dirasakan masyarakat.

Alangkah eloknya kalau anggota DPRD Temanggung bisa melakukan hal seperti itu. Tentu akan banyak permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat, dan tidak sedikit pula yang tidak langsung bisa diselesaikan. Tetapi setidaknya interaksi itu akan mendekatkan rakyat dengan wakilnya yang duduk di parlemen, bukan hanya wakil yang berjarak dan seolah-olah hanya diawang-awang.

Momen pertemuan semacam itu, akan memberikan keyakinan pada rakyat bahwa mereka tidak salah pilih. Dari sisi anggota DPRD, pertyemuan langsung secara rutin seperti itu juga akan mengasah kepekaan terhadap maslah yang dihadapi masyarakat.

Luangkanlah waktu untuk rakyat yang diwakili. Jika rakyat sudah merasa bahwa dirinya benar-benar terwakili, dan sekaligus kehadirannya diparlemen bisa memberi arti bagi masyarakat banyak, akan mudah menjawab pertanyaan sebagaimana judul di atas: Sepadankah gaji DPRD dengan kinerjanya? Maka jawabnya kelak hanya satu kata: Ya.

Wednesday, March 14, 2007

Sistem Syariah untuk Membangun Ekonomi Umat*

Anif Punto Utomo
Redaktur Senior Republika

Pada 2001 silam sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sekitar 14,75 persen. Lantas apa yang dilakukan oleh dunia perbankan konvensional? Tentu saja mereka memilih menyimpan dana di BI ketimbang harus disalurkan ke masyarakat.

Hitung-hitungannya, perbankan menarik dana dari masyarakat dengan bunga rata-rata sekitar 12 persen. Jika dilempar ke masyarakat, maka akan ada risiko kredit macet, lagi pula harus mengurus tetek bengek untuk penyaluran kreditnya.

Dengan menempatkan dana di SBI, maka bank cukup melakukan administrasi transfer. Tidak perlu repot-repot. Dari situ, mereka sudah memperoleh margin 2,75 persen. Bayangkan, nyaris tanpa berbuat apa-apa mereka sudah menangguk untung.

Keuntungan memang menjadi mahzab utama bagi bank konvensional. Apakah dalam pencarian keuntungan tersebut memberikan manfaat pada masyarakat atau tidak, itu nomor dua. Bagi mereka yang penting adalah perusahaan mengeruk laba sebanyak-banyaknya.

Begitulah prinsip kapitalisme yang kini semakin merajalela setelah kalahnya paham komunis dan sosialis. Peradaban dunia kini nyaris dikuasai oleh kaum kapitalis. Di hampir seluruh negara dunia, kapitalisme sudah menjadi rezim yang tak tergoyahkan. Hanya Kuba dan Korea Utara yang mungkin masih steril dari kapitalisme.

Dalam perjalanannya, kapitalis berkembang sedemikian pesat. Mereka tidak cuma bermain di transaksi ekonomi riil, tetapi juga bermain di transaksi-transaksi kertas yang nilainya justru lebih besar dibanding transaksi ekonomi riil. Transaksi mata uang tanpa ada unsur produktif ini justru yang menguasai ekonomi dunia.

Akibatnya, ketimpangan begitu kentara. Jurang antara yang kaya dan miskin bukan menyurut tetapi justru lebih melebar. Apalagi dengan adanya globalisasi, dalam konteks ini, negara kaya semakin kaya dan negara miskin semakin terpuruk. Negara kaya makin berkuasa, negara miskin makin tak berdaya.

Kapitalisme Vs Syariah

Kalau kita kembali ke kasus SBI di atas, di mana bank lebih suka menempatkan dananya di SBI, itu tidak berlaku di bank syariah. Perbankan syariah memang memiliki tempat untuk menampung kelebihan dana di BI dalam bentuk Sertifikat Wardah BI (SWBI), tetapi bagi hasilnya sangat kecil, sehingga jika disimpan di situ akan rugi.

Tetapi bukan itu saja pertimbangannya, dalam prinsip syariah, tidak boleh ada dana yang menganggur. Dengan begitu, maka semestinya tidak boleh ada dana di bank syariah yang ditempatkan di SWBI. Seluruh dana yang terhimpun dari masyarakat harus kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan.

Dana yang ada di bank syariah terus berputar, sehingga posisi bank sebagai intermediasi dana benar-benar dipraktekkan dalam bank syariah. Setiap rupiah dana yang dihimpun akan menjadi pembiayaan untuk kegiatan eknomi riil. Dana tersebut tidak akan dan tidak perlu lagi disimpan di SWBI.

Alhasil, ketika perbankan konvensional memiliki loan to deposit ratio (LDR) atau perbandingan dana pinjaman dibagi dana deposito rata-rata sekitar 60 persen, bank syariah lebih dari 100 persen. Bahkan --LDR dalam bank syariah diganti dengan istilah FDR atau financing to deposit ratio-- melebihi dana yang dihimpun.

Praktek bank syariah seperti itu merupakan bagian dari prinsip ekonomi syariah yang kini sedang berkembang. Di Asia, pelopornya adalah di wilayah Timur Tengah, dengan diawali berdirinya Nasser Social Bank di Kairo Mesir pada 1971. Selanjutnya diikuti pendirian Islamic Development Bank (IDB) dan The Dubai Islamic Bank pada 1975.

Setelah perbankan, kemudian menyusul industri asuransi (takaful) dan pasar modal. Negara yang pertama kali mengintrodusir untuk mengimplementasikan prinsip syariah di pasar modal lewat obligasi syariah adalah Jordan dan Pakistan. Perundangan-undngan di negara tersebut sudah disiapkan, tetapi ternyata pelaksanaannya lambat.

Di Asia Tenggara, sistem syariah didahului masuk lewat Filipina dengan berdirinya Filipina Amanah Bank pada 1971. Setelah itu menyusul Malaysia dengan Bank Islam Malaysia pada 1973, dan baru masuk ke Indonesia pada 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Belakangan Singapura merilis sistem syariah, dan perkembangannya luar biasa, jauh melebihi Indonesia.

Di negara di Eropa, bank sistem syariah ini juga sudah cukup lama diperkenalkan. Di Denmark misalnya, didirikan Islamic Bank International pada 1982. Kemudian di Luxemberg ada Islamic Banking System International Holding. Dan di Swiss ada Dar Al Maal, lembaga keuangan sistem syariah.

Saat ini sistem syariah juga mulai dilirik oleh perusahaan yang selama kapitalis sejati. Citibank, HSBC, atau Standart Chartered misalnya sudah membuka syariah, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Selain mengejar dana Timur Tengah, pertimbangan mereka adalah bahwa sistem syariah sudah mulai disukai kalangan bisnis.

Prinsip keadilan dan kesejahteraan bersama sangat kental ditemukan di dalam ekonomi syariah. Sehingga di dalam ekonomi Islam tidak mungkin akan ditemukan dua orang bertransaksi bisnis, satu memperoleh keuntungan sangat besar, satunya lagi memperoleh keuntungan kecil, bahkan rugi.

Karena basis ekonominya riil, maka dalam ekonomi syariah juga tidak mungkin akan terjadi gejolak mata uang yang notabene dipermainkan oleh segelintir orang-orang tamak. Kurs dipermainkan seenaknya sendiri, kekacauan finansial diciptakan demi sebuah keuntungan. Mereka tidak peduli puluhan jutaan rakyat menderita karena spekulasinya.

Itu yang terjadi pada krisis yang ekonomi Asia di 1997-1998 silam, dimana Indonesia, termasuk yang didera krisis terparah. Puluhan juta orang menderita bertahun-tahun gara-gara George Soros memainkan kurs demi keuntungan semata. Ditambah lagi resep generik Dana Moneter Internasional (IMF) yang tak lebih juga agen kapitalisme global.

Dalam ekonomi syariah, jika mau merujuk ke syariah yang sesungguhnya, mata uang yang dipakai di internasional adalah dinar. Di situ nilai nominal sama dengan nilai intrinsik. Sehingga hampir tidak mungkin nilai mata uang dipermainkan dengan alasan inflasi, suku bunga, dan sebagainya. Keseimbangan dan keadilan akan tercipta di situ.

Sebaliknya, kapitalisme yang merupakan ujud nyata dari materialisme berbicara lain. Sebagaimana diibaratkan oleh Yusuf Qardhawi, kapitalisme adalah sebuah rimba, sehingga mau tak mau hukum rimba pula yang berlaku. Siapa yang kuat akan jadi pemenang, yang kuat memangsa yang lemah, yang kuat menginjak-injak yang lemah.

Dalam kenyataannya, kapitalisme telah membawa dunia ini dalam kondisi ketidakadilan yang absolut. Kapitalisme yang kadangkala berkedok globalisasi telah menciptakan gelombang kemiskinan di berbagai negara yang makin lama makin sulit untuk diberantas. Kapitalisme membuat peradaban dunia menjadi rakus dan tamak.

Bahkan di negara biang kapitalisme, Amerika, jurang kesenjangan miskin dan kaya tidak juga terkikis. Bayangkan, seorang Bill Gates memiliki kekayaan 52 miliar dolar (Rp 475 triliun), sementara jutaan orang masih hidup dengan pendapatan 500 dolar sebulan. Kapitalisme, kalau tidak memakan korban di negara sendiri, maka akan mencari korban di negara lain.


Perkembangan Syariah
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, semua orang tahu. Indonesia sebagai negara kaya tetapi ada lebih dari 40 juta hidup di bawah garis kemiskinan, semua orang sudah tahu. Dan semua juga paham bahwa mayoritas orang miskin itu adalah muslim. Karena itu, umat yang miskin itu harus diberdayakan.

Harapan besar untuk mensejahterakan umat salah satunya diletakkan dipundak ekonomi syariah. Dengan berkembangnya bisnis syariah yang berlandaskan keadilan dan kesejahteraan bersama, dalam perkembangan ke depan, kue ekonomi akan dinikmati pula oleh kalangan bawah.

Berdirinya BMI pada 1991, menjadi landmark bagi berkembangnya ekonomi syariah. Meski pada awalnya perkembangannya tertatih-tatih, karena dihajar sana-sini oleh para pendukung neoliberalisme, tetapi setidaknya sudah menyemangati bahwa sistem syariah sudah masuk ke Indonesia.

Ketika krisis ekonomi 1997-1998 terjadi, BMI mampu lolos dari degradasi dan mampu bertahan untuk tidak menerima rekapitalisasi sebagaimana bank swasta raksasa lainnya. Mereka juga membuktikan bahwa mereka benar-benar bank syariah, yakni ketika bank lain berlomba mengerek bunga ke 70 persen, bank ini bertahan dibagi hasil 10 persen.

Dalam lima tahun belakangan, perkembangan bisnis dan institusi syariah cukup menggembirakan. Jumlah bank umum syariah yang tadinya hanya BMI, kini sudah ada tiga bank, dua lainnya adalah Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Jumlah kantor juga berlipat, begitu juga jumlah BPR Syariah (lihat tabel 1).

Perkembangan Bank Sayriah

Jenis Bank 1992 1999 2002 Juli-2006
Bank Umum Syariah 1 2 2 3
Unit Usaha Syariah - 1 6 19
Jumlah Kantor BUS&UUS 1 40 127 504
BPR Syariah 9 78 84 99
--------------------------------------------------------------------
Sumber: Bank Indonesia

Penambahan jumlah bank syariah dan perluasan cabang, secara simultan juga mengangkat pertumbuhan pangsa pasar bank syariah. Kalau pada 1990-an masih nol koma sekian persen sekarang sudah mencapai 1,26 persen pada 2004 dan naik lagi menjadi 2,54 persen pada Juni 2006 dengan volume usaha Rp 22,86 triliun.

Asuransi syariah dalam lima tahun terakhir ini juga menunjukkan perkembangan menggembirakan. Saat ini tak kurang ada 18 asuransi syariah yang memperebutkan pasar di Indonesia, dan setidaknya tiga perusahaan reasuransi syariah. Pangsa pasar syariah ini masih kecil, 1,5 persen, tapi lima tahun ke depan diprediksikan sudah 10 persen.

Perkembangan syariah juga terdapat di pasar modal dengan dimulai adanya Jakarta Islamic Indeks (JII) mulai 2000. Pada 2005 seiring dengan bullishnya bursa saham, JII pun menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Secara point to point, pada 2004 ke 2005 terjadi peningkatan kapitalisasi dari Rp 263,9 triliun menjadi Rp 397,9 triliun.

Begitu pula pada reksa dana syariah yang diperkenalkan pada 1997. Reksadana yang diterbitkan Danareksa tersebut pada awalnya tidak banyak diminati. Tapi bersamaa dengan booming reksadana pada 2004, reksadana syariah juga berkembang pesat. Saat ini ada 19 reksadana syariah yang bermain di pasar modal.

Saat ini yang sedang dinanti-nantikan pelaku dipasar modal adalah obligasi syariah (sukuk) terutama yang Pemerintah dan BUMN. Pelaksanaan sukuk ini menunggu selesainya RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diperkirakan akan selesai awal 2007 nanti.

Diperkirakan dengan lonajkan harga minyak, saat ini kabarnya berkiliaran 500 miliar dana di Timur Tengah. Mereka umumnya ingin menginvestasikan dana tersebut di dalam sistem syariah. Menurut pakar ekonomi syariah Syakir Sula, setidaknya Indonesia bisa memperoleh Rp 20 triliun dari limpahan dana tersebut.


Ekonomi Syariah dan Umat

Seperti ditulis di atas, dari puluhan juta masyarakat miskin di Indonesia, sebagian besar adalah umat Islam. Selama ini dengan sistem ekonomi yang mengadopsi pada kapitalisme dan konsep neo-liberal, tidak berhasil mengangkat rakyat miskin dari jurang kemiskinan. Bahkan yang terjadi justru sebagian kecil masyarakat Indonesia masuk menjadi jajaran orang terkaya di dunia.

Bagaimana peran ekonomi syariah dalam pengembangan ekonomi umat, barangkali memang harus dimulai dari usaha pembiayaan untuk usaha kecil. Di sini perbankan akan menjadi ujung tombak, terutama bank kelas BPR dan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), karena mereka inilah yang banyak bersentuhan dengan rakyat kecil.

Dengan jumlah BPR yang 99 dan BMT hampir 4.000 buah, titik jangkauannya sudah relatif memadai untuk masuk ke jantung ekonomi masyarakat kecil. Selama ini masyarakat kecil yang terlibat dalam usaha mikro, kesulitan untuk memperoleh modal usaha, karena biasanya terbentur soal jaminan.

Kedekatan BPR dan BMT dengan masyarakat, pada gilirannya akan membuahkan kepercayaan sehingga jika memang mereka tidak memiliki jaminan, pinjaman modal tetap bisa diberikan. Kepercayaan ini juga merupakan falsafah dasar berkembangnya ekonomi syariah.

Dalam hal ini bank syariah yang sudah relatif besar, selain mereka memberikan pembiayaan secara langsung pada usaha kecil menengah (UKM) dan sebagian usaha besar, juga perlu menyalurkan dana ke BPR atau BMT. Nanti dana tersebut digulirkan oleh bank bersangkutan. BMI sudah melakukan langkah chanelling ini lewat BPR.

Dalam kaitan ini, masjid juga perlu diberdayakan secara ekonomi. Karena sejak jaman Rasulullah Saw, masjid selain sebagai tempat beribadah juga tempat berkembangnya kebudayaan dan ekonomi sekaligus pemberdayaan umat. Di masjid-masjid bisa didirikan BMT yang akan menjangkau masyarakat sekitar masjid.

Beberapa masjid memang sudah melakukan langkah seperti itu. Masjid Al-Ihlas di bilangan Pasar Minggu misalnya, selain sebagai tempat ibadah, dan juga tempat pendidikan, mereka juga memiliki BMT yang menghimpun dana dari masyarakat sekitar dan menyalurkan juga ke usaha mikro di sekitar masjid tersebut.

Potensi lain yang bisa mejadi pendorong bagi pemberdayaan umat adalah lewat pengelolaan zakat dan infak. Dalam pelaksanaannya, penyaluran zakat dan infak ini juga bisa diberikan sebagai sebuah dana yang bergulir, jadi tidak selalau diberikan sekali kemudian selesai. Dana tersebut diberikan untuk modal pada usaha mikro dan kecil.

Dompet Dhauafa Republika –yang sekarang sudah sinergi dengan Baznas—sudah sejak lama memberikan dana bergulir dari dana yang dihimpun kepada usaha mikro dengan bantuan Rp 1-Rp 1,5 juta. Ada juga bantuan modal produktif yang nilainya lebih besar. Barangkali sekarang sudah ratusan usaha mikro yang dibiayai oleh mereka dan berhasil.

Potensi dana lain yang layak terus dikembangkan untuk umat adalah wakaf tunai. Kalau selama ini pengertian wakaf hanya pada tanah dan bangunan, belakangan berkembang wacana dan mulai terealisasikan wakaf berupa uang tunai. Dana dari wakaf tunai yang merupakan dana abadi ini digulirkan untuk usaha yang halal.

Islamic Relief, sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai di Inggris, mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling atau hampir Rp 600 miliar. Mereka secara rutin menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar.

Dana yang bisa dihimpun tersebut kemudian disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.

Melihat pengalaman tersebut, sudah saatnya wakaf tunai ini dikembangkan di tanah air. Potensinya sangat besar mengingat jumlah masyarakat muslim yang bdeigu besar. Taruhlah ada 10 juta orang mampu memberikan wakaf tunai Rp 100 ribu per tahun, maka per tahun bisa dihimpun Rp 1 triliun. DD Republika yang memiliki aset Rp 23,5 miliar kini juga sudah menghimpun dana wakaf tunai Rp 638 juta.

Dalam skala makro, prinsip syariah juga bisa digunakan untuk mendorong ekonomi rakyat lewat kebijakan anggaran belanja negara. Kalau selama ini pemerintah lebih suka menarik utang dari asing untuk menutup defisit anggaran belanja, sehingga kemandirian negara kadang harus terinjak-injak, cobalah lirik ke sukuk.

Rencananya memang sukuk akan diterbitkan untuk melengkapi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2007 nanti. Potensi pembeli sukuk sendiri sangat besar, baik dari investor muslim ataupun non-muslim, karena yield yang dijanjikan biasanya relatif menggiurkan.

Sukuk untuk yang komersial juga bisa diterbitkan oleh badan usaha. Selama baru beberapa perusahaan yang mengeluarkan sukuk di antaranya Indosat. Dengan sukuk atau obligasi syariah ini, sudah dipastikan bahwa dana tersebut diinvestasikan ke sektor yang benar-benar produktif, karena itu yang prasyarat utama ekonomi syariah.

Dalam pemberdayaan umat ini, peranan ekonomi syariah bisa berada ditataran praktis yakni ditujukan langsung kepada masyarakat, misalnya lewat pemberian dana bergulir untuk usaha kecil dan mikro, maupun juga untuk pengusaha menangah dan besar. Dananya bisa dari masyarakat lewat perbankan, maupun dari infak maupun wakaf tunai.

Selain itu juga secara tidak langsung lewat instrument penggalangan dana dari pemerintah yakni penerbitan sukuk. Dari penerbitan suku tersebut, dana yang terhimpun bisa dialokasikan untuk kegiatan yang akan membangkitkan kesejahteraan masyarakat secara lebih merata.

Pada intinya, ekonomi syariah merupakan ekonomi yang berbasis pada keadilan dan kesejahteraan. Dengan melakukan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang benar, maka pemerataan pendapatan dan kesempatan akan terwujud. Kesenjangan antara kaya dan miskin bisa dikurangi sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.@

Tulisan ini dimuat di 'Elcendekia' Jurnal Pencerahan dan Pemikiran Umat, Volume 1 No 3 Oktober 2006