Wednesday, June 17, 2009

Minyak vs Harga Diri

Ambalat kembali memanas. Kapal perang Malaysia belasan kali melakukan provokasi dengan masuk wilayah Indonesia di perairan Ambalat. Radio kemunikasi mereka matikan, sehingga tentara kita terpaksa mengusir secara fisik, dengan kapal.

Ini bukan pertama Malaysia melakukan intimidasi terhadap Indonesia dalam kasus Ambalat. Sekitar empat tahun silam, Malaysia juga melakukan hal serupa. Masuk perairan Indonesia, dan keluar setelah diusir.

Permasalahannya adalah Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim wilayah Ambalat. Indonesia merasa berhak atas Ambalat karena berdasarkan konsep Wawasan Nusantara yang sudah disahkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), blok Ambalat masuk wilayah Indonesia.

Konsep tersebut masuk dalam satu bab tersendiri dalam UNCLOS (UN Convention on the Law of The Sea) pada 1982. Dengan begitu kekuatan hukum atas batas tersebut sudah tak terbantahkan lantaran sudah diakui badan dunia.

Bagaimana Malaysia? Mereka membuat batas sendiri yang memasukkan sebagian wilayah Ambalat menjadi wilayah Malaysia. Memang, pengajuan itu dilakukan pada 1979, tiga tahun sebelum Wawasan Nusantara disahkan, tapi begitu disahkan PBB, logikanya tak ada lagi perdebatan.

Malaysia makin percaya diri dengan batas itu ketika berhasil merebut pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan kita 17 Desember 2002. Kedua pulau legendaris itu menjadi modal untuk memporakporandakan batas yang telah diklaim Indonesia. Karena dengan kemenangan itu seolah batas wilayah yang dibikin sendiri Malaysia itu menjadi sah.

Perundingan antara Indonesia-Malaysia sudah 23 kali dilakukan, tidak juga membuahkan hasil. Indonesia tetap pada klaim yang sudah disahkan PBB, sementara Malaysia tetap bersikukuh bahwa batas yang mereka bikin sendiri tanpa pengesahan dari badan internasional, itu adalah yang benar.

Kenapa Malaysia ngotot memasukkan Ambalat ke wilayahnya? Minyak!

Sejarah menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di berbagai belahan bumi ini disebabkan karena perebutan minyak. Konflik di Timur Tengah menjadi contoh klasik bagaimana minyak menjadi 'tokoh sentral' yang melibatkan negara lain, terutama Amerika. Penyerangan Amerika ke Irak baik saat Perang Teluk 1991 maupun 2005 kemarin adalah demi minyak.

Jadi karena minyak yang diperkirakan berlimpah itulah yang membikin Malaysia tergiur untuk menguasai Ambalat. Kalau cuma lautan, mereka tidak perlu mengklaim wilayah itu sebagai miliknya. Emas hitam itu telah menggoda Malaysia untuk mengeruk kekayaan di Ambalat.

Ambalat secara teritori dibagi menjadi dua blok yaitu Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Dikedua blok itu tersimpan potensi gas dan minyak yang sangat besar. Menurut pakar geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) Andang Bachtiar, satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. "Itu baru satu titik, padahal ada sembilan titik yang ada di Ambalat," ujarnya.

Sejauh ini oleh pemerintah Indonesia, pengelolaan blok tersebut diberikan kepada kontraktor asing. Blok Ambalat dikelola oleh Eni Ambalat Ltd., kontraktor dari Italia mulai 1999. Sedangkan, Blok East Ambalat dikelola Unocal yang penandatangan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dilakukan 12 Desember 2004, dengan komitmen eksplorasi 1,5 juta dolar dan bonus penandatanganan sebesar 100 ribu dolar.

Pada Agustus 2005, Unocal diakuisisi oleh Chevron dengan nilai 67 miliar dolar. Sejak itu pemegang konsesi Ambalat Timur adalah Chevron.

Meskipun blok tersebut sudah dikapling kontraktor yang telah teken kontrak dengan pemerintah Indonesia, Malaysia tak peduli. Mereka juga memberikan konsesi kepada Shell dan Petronas Carigali untuk menyedot minyak dari Ambalat.

Shell sebetulnya pernah sebelumnya pernah mengoperasikan Ambalat lewat konsesi yang diberikan pemerintah Indonesia. Tapi lapangan itu terus dikembalikan karena gagal, setelah melakukan pengeboran sumur Bouganville-1. Kini mereka datang lagi untuk blok yang sama (overlap), bedanya sekarang Shell 'mewakili' Malaysia.

Malaysia menamakan blok ambalat itu dengan ND6 dan ND7. Blok ND6 tumpang tindih dengan Blok East Ambalat, sedangkan ND7 tumpang tindih dengan Blok Ambalat. Shell ditunjuk mengelola ladang minyak di ND6 dan Petronas Carigali untuk Blok ND7. Kapan? 16 Februari 2005.

Sejak Malaysia memberikan konsesi kepada Shell dan Petronas itulah kemudian Ambalat memanas. Karena beberapa pekan setelah itu, awal Maret 2005 Malaysia mulai melakukan provokasi. Kapal perang mereka mondar-mandir diperairan Ambalat, bahkan kadang masuk ke wilayah Indonesia. Begitu pula pesawat angkatan udara mereka.

Kini, empat tahun setelah itu, Malaysia kembali melakukan pola yang sama, memprovokasi. Barangkali mereka hanya ingin menaikkan posisi tawar. Provokasi mereka itu tak lain untuk mengusik warga dunia dengan memberi pesan bahwa masih ada persoalan perbatasan di Ambalat.

Target Malaysia yang paling terlihat adalah menikmati gurihnya minyak di Ambalat, sehingga kalaupun hasil akhirnya adalah pengelolaan bersama itu sudah keuntungan yang luar biasa. Dari tidak memiliki apa-apa menjadi memperoleh sesuatu. Hanya saja Malaysia untung, kita yang buntung.

Maka benar kata Menteri ESDM Purnomo ''tidak ada pengelolaan bersama, Ambalat milik kita.'' Saatnya untuk tegas kepada negeri jiran yang sering membuat kita gerah itu. Bagi Indonesia, soal Ambalat bukan saja masalah minyak, tetapi lebih pada harga diri sebuah bangsa.

Dimuat di rubrik Pareto di Republika edisi 17 Juni 2009

Emas Hitam di Ujung Timur Laut Kalimantan

Lihatlah peta Kalimantan Timur. Tengok ujung utara-timur yang berbatasan dengan Malaysia. Di situ ada ada pulau dengan kota yang bernama Tarakan. Di seputaran Tarakan itu tersimpan miliaran barel minyak dan gas di perut buminya.

Kapan minyak mulai ditemukan di daerah itu? Menurut beberapa sumber, pada 1896 perusahaan minyak milik kolonial Belanda, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan potensi sumber minyak di Pulau Tarakan. Tak lama kemudian, pada 1922, perusahaan yang sama menemukan lapangan terbesar pertama bernama Bunyu.

Di cekungan Tarakan saja sudah ditemukan sejumlah minyak dan gas yang setara dengan satu miliar barel minyak. Tak pelak, banyak perusahaan minyak baik lokal maupun asing yang berlomba-lomba mengeksplorasi wilayah yang kaya dengan emas hitam ini.

Di Blok Bunyu misalnya, saat itu sekitar 1967, Indonesia memberikan kontrak kerja ke Total Indonesie. Setelah itu dilakukan kotrak lagi dengan British Petroleum (BP untuk wilayah Blok North East Kalimantan Offshore pada 1970. Disusul Hudson Bunyu yang juga memperoleh lapangan minyak di Blok Bunyu pada 1985.

Eksplorasi minyak dan gas pada tahap selanjutnya bukan hanya di cekungan Tarakan saja tetapi sudah mulai menjorok ke laut yang lebih dalam (deep water area). Di situ ditemukan minyak di wilayah Bukat dan Ambalat (blok wilayah Indonesia yang sedang diincar Malaysia).

Eni Ltd misalnya sudah mengoperasikan lapangan di Blok Bukat sejak 1988. Di blok ini ENI sudah menemukan minyak di lapangan Aster dan lapangan Tulip. Jumlah total minyak dan gas yang sudah diketemukan di dua lapangan itu diatas 250 MMBOE ( milion barrel oil equivalen) atau setara dengan 250 juta barel minyak.

Eni Ltd juga memegang Blok Bulungan. Mereka sudah mulai melakukan akuisisi seismic di tersebut pada Juli 2008. Akuisisi seismic dilakukan untuk mendapatkan gambaran bawah permukaan bumi, sekaligus untuk mengetahui apakah ada kandungan minyak dan gas atau tidak di bawah laut.

Sementara untuk Bengara II saat ini sedang dilakukan pemetaan seismik. Continental Geopetro Bengara II sudah siap melakukan kerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mengekplorasi minyak dan gas yang kandungannya cukup besar di blok ini.

Di kawasan ini ada 14 blok migas. Entah berapa persisnya cadangan minyak dan gas di kawasan itu. Tapi yang jelas ada miliaran barel minyak dan belasan atau mungkin triliunan kaki kubik gas yang ada di perut buminya. Wilayah Ambalat yang sedang coba direbut Malaysia sebetulnya hanya sebagian dari kekayaan minyak kita yang itupun hanya di ujung Timur Laut Kalimantan.

Dimuat di rubrik Pareto di Republika edisi 17 Juni 2009

Jangan ada Siti-Siti Lagi

Berita memilukan itu datang lagi dari Malaysia. Seorang pembantu rumah tangga (PRT) dari Indonesia, Siti Hajar, dihajar dan disiksa selama tiga tahun. Bukan hanya itu, gaji selama menjadi pembantu itu juga tidak diberikan. Selama itu pula dia hanya makan nasi tanpa lauk.

Itulah derita Siti, tenaga kerja indonesia (TKI) asal Garut yang mencoba mencari nafkah di negeri orang. Selama tiga tahun dijalaninya, bukannya kesejahteraan yang diperoleh, tetapi justru penyiksaan yang diperoleh, penyiksaan yang sudah diluar batas kemanusiaan.

Kasus Siti ini mungkin yang ke sekian ribu dari daftar penyiksaan pembantu rumah tangga di Malaysia. Tidak menutup kemungkinan sekarang ini, ketika sebagian orang bersiap pesta demokrasi, ada warga kita yang masih disiksa, dan disekap di negeri jiran itu.

Tipikal perlakuan PRT di Malaysia ada tiga macam, yakni penyiksaan, tidak dibayar gajinya, dan yang paling parah diperkosa. Penyiksaan dan tidak dibayar gaji merupakan kasus yang sering terjadi. Ini juga kadang terjadi di Singapura dan cukup banyak terjadi di kawasan Arab.

Perlakuan berbeda di Hongkong dan Taiwan. Di kedua negara itu hampir tidak pernah terdengar berita PRT tak dibayar, disiksa, apalagi diperkosa. Justru masyarakat di kedua negara itu sangat menghargai keberadaan PRT, selain gaji yang tinggi mereka pun diberi hak hari libur, tiap hari Ahad.

Dihargainya PRT di Hongkong tidak lepas dari ketegasan Pemerintah mereka yang memperlakukan PRT sebagaimana pekerja lainnya. Pemerintah merekapun sangat tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan majikan, tidak pandang bulu. Itu yang membuat masyarakat mereka tidak berani macam-macam.

Semestinya negara-negara di kawasan Arab, dan terutama Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga bisa melakukan hal serupa. Pemerintah mereka harus peduli dengan nasib manusia, entah dia bekerja sebagai PRT atau yang lain. Sejauh ini belum terlihat kesungguhan dari mereka dalam memanusiakan PRT ini.

Di sisi lain, Pemerintah perlu lebih serius mengatasi masalah seperti ini. Langkah yang dilakukan dalam mengatasi kasus Siti sekarang ini sudah cukup baik dibanding sebelumnya. Tapi harapannya ini bukan langkah politis menjelang pilpres, karena Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono pun menyempatkan diri menelpon Siti.

Sistem pengawasan atau monitoring tentang para PRT juga perlu dibangun secara lebih efektif dan menyeluruh, agar jika terjadi penyiksaan seperti Siti, tidak harus menunggu tiga tahun untuk bisa ketahuan. Perlindungan terhadap WNI di luar negeri harus lebih ditegakkan, siapapun mereka, apapun profesinya.

Selain itu perlu dipikirkan penyetopan pengiriman PRT untuk Malaysia atau negara-negara dimana PRT kita sering mendapat perlakuan tidak manusiawi dari majikan mereka. Kalau pun mengirim, pilih negara-negara yang memiliki catatan baik dalam memperlakukan para pembantu.

Kita tidak ingin lagi terjadi penyiksaan dan pelecehan WNI kita yang bekerja di luar negeri. Kita tidak ingin ada Siti-siti yang lain yang menderita di negeri asing demi menghidupi keluarganya di tanah air.

Dimuat di tajuk Republika edisi 13 Juni 2009

Negara Palestina

Tekanan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama terhadap Israel agar mengakui adanya negara Palestina sedikit membuahkan hasil. Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu secara mengejutkan menyampaikan bahwa dia menyetujui pendirian negera Palestina dengan syarat Palestina tidak memiliki angkatan bersenjata.

Angin apa yang membawa Netanyahu mengatakan hal itu, apalagi Netanyahu berasal dari Partai Likud, partai garis keras di Israel yang sangat menentang Palestina. Itu yang terus menjadikan pertanyaan. Barangkali Netanyahu hanya ingin agar Amerika Serikat tetap menjadi sekutu utama sebagaimana yang telah berjalan puluhan tahun.

Israel tanpa Amerika memang menjadi tidak ada apa-apanya. Dalam kancah politik global di Timur Tengah. Amerika lah yang selama ini melindungi Israel misalnya selalu memveto di saat pengambilan keputusan di PBB yang memojokkan Israel. Puluah veto sudah dikeluarkan Amerika untuk melindungi Israel. Amerika juga menjadi tameng bagi Israel jika diserang lewat pernyataan keras dari berbagai negara. Intinya, Amerika selalu menjadi dewa pelindung bagi Israel.

Dalam pidatonya di Kairo, Mesir pada 4 Juni silam, Obama memang menyatakan ingin memperbaiki hubungan AS dengan dunia muslim. Untuk itu terkait dengan Israel Obama minta agar pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dihentikan segara dihentikan. Dia juga menegaskan komitmen penyelesaian dua negara, yakni Palestina dan Israel.

Tapi Israel tetap Israel. Yahudi tetap Yahudi. Dunia Islam harus waspada terhadap pernyataan Netanyahu tersebut. Apalagi dalam kenyataan, pada berbagai kesempatan, Israel selalu mengingkari janjinya. Janji tidak melakukan penembakan, mereka justru melakukan tembakan bertubi-tubi. Janji gencatan senjata, pesawat tempurnya justru mengebom di berbagai wilayah Palestina.

Persyaratan Netanyahu bahwa Palestina tidak boleh memiliki angkatan bersenjata, juga tidak masuk akal, bagaimana mungkin sebuah negara tidak memiliki angkatan bersenjata, diserang sedikit saja, hancur negara itu. Lagi pula ketika Netanyahu tetap bersikukuh bahwa Jerusalem, kota suci itu, masuk dalam wilayah Israel, itu berarti mempersempit peluang negosiasi, karena permintaan itu sangat sulit untuk diterima bagi orang Palestina dan Islam.

Sudah puluhan tahun konflik dan perang antara Palestina dan Israel terjadi. Perang itu sendiri merupakan perang yang penuh ketidakadilan, karena Israel dipasok senjata canggih dari Amerika sementara Palestina harus berjibaku untuk mendapatkan senjata walaupun hanya senapan dan roket. Konflik tersebut telah mengakibatkan puluhan juta orang Palestina menderita di pengungsian di berbagai negara dan ribuan pejuang Palestina tewas.

Kita ingin rakyat Palestina hidup aman, dan bebas dari penderitaan. Dari kacamata berpikir positif, keinginan Obama dan pernyataan Netanyahu bisa menjadi pintu masuk untuk perundingan berdirinya negara Palestina. Hanya saja tetap harus tegas bahwa negara Palestina yang kelak berdiri harus benar-benar merdeka dan berdaulat, bebas dari intervensi negara manapun dalam menentukan nasibnya sendiri.

Dimuat di tajuk Republika edisi 16 Juni 2009

Tuesday, April 14, 2009

Siap Menang Siap Kalah

Hasil resmi pemilihan legislatif baru akan keluar satu bulan lagi. Tetapi dari hasil quick count (perhitungan cepat) sudah bisa ditebak siapa partai pemenang dan siapa partai yang memperoleh nol koma persen. Sudah pula ketahuan mana yang akan lolos treshold dan tidak.

Memang quick count sendiri masih menuai kontroversi. Bagi partai yang meraih menang dan apalagi yang perolehan suaranya naik, akan menerima hasil perhitungan cepat tersebut. Sedangkan yang perolehannya rendah tidak bisa menerimanya. Tapi yang jelas pada pengalaman Pemilu sebelumnya, hasil perhitungan cepat ini relatif akurat dan mendekati perhitungan sebenarnya.

Berdasarkan hasil quick count itu pula Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla mengucapkan selamat kepada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat SUsilo Bambang Yudhoyono. Dari hasil perhitungan cepat dari berbagai lembaga survai, Partai Demokrat memperoleh sekitar 20,8 persen dan Golkar berada di kisaran 14,5 persen.

Dalam setiap pemilihan umum akan selalu ada meraih suara banyak dan ada yang kecil. Bahkan yang semula diramalkan akan menang, bisa jadi kalah. Rakyat lah yang menentukan partai siapa yang menang dan siapa yang kalah. Apakah berarti partai pemenang adalah partai yang terbaik belum tentu, begitu pula sebaliknya.

Sayang memang pemilu yang berjalan relatif damai ini harus tercoreng karena daftar pemilih yang kacau. Banyak masyarakat yang tidak memperoleh undangan, sehingga mereka tidak bisa menggunakan haknya sebagai warga negara untuk memilih wakil rakyatnya. Ini menjadi catatan tersendiri sehingga beberapa kalangan menilai kualitas pemilu ini lebih buruk dibanding sebelumnya.

Tentu ada partai yang tidak puas dengan hasil tersebut. Bahwa kacaunya daftar pemilih tersebut berakibat buruk pada semua partai mungkin saja, tapi biasanya partai yang kalah yang akan ribut duluan. Kekacauan daftar pemilih ini akan dijadikan peluru untuk menembak pemerintah yang menurut mereka tidak jujur dan adil dalam penyelenggaraan pemilu.

Bagi pemerintah sendiri rasanya kecil kemungkinan melakukan kecurangan. Kalaupun ada sedikit kecurangan, itu bukan merupakan grand strategy dari pemerintah yang berkuasa, tapi lebih pada orang-orang bodoh yang mencari muka terhadap pemerintahan. Terlalu besar resikonya jika pemerintah dengan sengaja melakukan kecurangan, karena akan mencoreng muka sendiri.

Bagaimanapun Pemilu legislatif ini sudah selesai, hanya di beberapa tempat ada pemilihan susulan karena masalah distribusi suara dan lain-lain. Semua pihak, semua partai, perlu berbesar hati menerima apapun hasil pemilu ini. Hak rakyat untuk menentukan siapa pemenangnya, hak rakyat pula untuk menuntut agar partai politik yang kalah tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Pemilu tak ubahnya perlombaan, selalu ada yang menang dan kalah. Mudah bagi pemenang untuk menerima hasil pemilu, sebaliknya tidak mudah bagi yang kalah untuk menerima kekalahan. Bagi yang merasa tidak puas, janganlah mengekpresikan kekecewaan dengan anarkis, tempuhlah jalur hukum.

Semua partai bukan saja selalu siap menang, tetapi juga harus siap kalah. Kalau perlu saling memberikan selamat, agar rakyat bsia menilai bahwa para pemimpin adalah pemimpin yang berjiwa negarawan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 11 April 2009

Bunga Kredit harus Turun

Untuk kesekian kalinya Bank Indonesia (BI) menurunkan bunga acuan, BI Rate, dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen. Penurunan ini secara resmi diumumkan Gubernur BI setelah sebelumnya dilakukan rapat marathon dengan seluruh anggota Dewan Gubernur BI.

Penurunan BI Rate merupakan respon dari rendahnya inflasi yang dalam perhitungan year on year (YoY) sebesar 7,92 persen. Sementara inflasi tahun kalender sampai Maret silam 0,36 persen. Selain itu juga karena menguatnya rupiah di kisaran Rp 11.500 per dolar, dari bulan sebelumnya yang menembus Rp 12.000 per dolar. Tak terkecuali pula sentimen positif dari pertemuan G-20.

Ini merupakan penurunan yang keempat kali dalam 2009. Pada Januari lalu, BI menurunkan bunga acuan dari 9,25 persen menjadi 8,75 persen. Bulan berikutnya, Februari, bunga diturunkan lagi menjadi 8,25 persen. Maret, kembali bunga acuan turun menjadi 7,75 persen. Total penurunan BI Rate pada empat bulan terakhir 1,75 persen.

Penurunan bunga acuan ini memberikan aura positif terhadap perekonomian nasional. Ketika perekonomian sedang memasuki masa buram karena terimbas krisis global, suku bunga harus diturunkan untuk menggerakkan perekonomian sekaligus mencegah terjadinya kredit macet.

Dengan bunga yang rendah, maka beban dunia usaha akan lebih ringan, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan usahanya. Pengembalian yang lebih lancar juga akan membuat bank bisa makin agresif menyalurkan kreditnya. Perekonomian diharapkan menjadi lebih hidup, sehingga krisis bisa diminimalisir.

Tapi justru di sini persoalannya. Penurunan bunga acuan yang telah dilakukan BI ini tidak serta merta diikuti oleh perbankan. Bank masih mengenakan bunga kredit yang tinggi, begitu pula bunga simpanan. Masih terjadi perebutan dana simpanan, sehingga bank masih berlomba menarik dana tersebut dengan iming-iming bunga tinggi.

Ketika bunga simpanan tetap tinggi, otomatis bunga kredit juga tinggi. Bahkan sekalipun bunga simpanan turun, bunga kredit kadang enggan cepat-cepat turun. Pengalaman selama ini, penurunan bunga acuan baru diikuti penurunan bunga kredit paling cepat tiga-empat bulan ke depan. Memang, dalam perdebatan stimulus, selalu terungkap bahwa stimulus moneter responnya lebih lambat dibanding stumulus fiskal.

Pengusaha tentu saja meradang dengan kondisi ini. Kenapa bank tidak segera menurunkan bunga? Apalagi selama ini spread (selisih) antara bunga simpanan dan kredit relatif besar, bisa enam sampai delapan persen. Bahkan untuk kredit usaha kecil, bisa lebih dari 10 persen. Pantas jika keuntungan perbankan menjadi tinggi.

Pemerintah memang tidak seperti masa lalu yang bisa menetapkan pagu bunga pinjaman. Sekarang pasar bebas yang berlaku, pemerintah tak punya gigi lagi untuk menentukan atau mengintruksikan kepada perbankan agar bunga segera diturunkan. Paling banter yang bisa dilakukan hanya mengimbau.

Tapi sebetulnya pemerintah punya alat, punya instrumen, yakni bank milik negara. Dengan kepemilikan mayoritas di Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, dan Bank BTN, pemerintah bisa menguntruksikan bank tersebut agar segera menurunkan bunga. Karena bank tersebut merupakan bank-bank besar, otomatis bank lain akan mengikutinya.

Intruksi tersebut sudah pernah digaungkan, tetapi kenyataannya sampai saat ini belum terjadi penurunan bunga yang berarti. Perlu ketegasan yang lebih dari pemerintah agar bank milik negara tersebut segera menjadi pioner dalam penurunan bunga perbankan nasional.

Penurunan BI Rate harus segera diikuti bunga kredit. Jika tidak, hampir tidak ada artinya penurunan bunga acuan tersebut. Karena itu perlu pengertian mendalam dari kalangan perbankan bahwa bunga kredit pun juga harus segera turun.

Dimuat di tajuk Republika edisi 4 April 2009

Thursday, April 2, 2009

Cadangan Devisa Lampu Kuning

Cadangan devisa Indonesia berada di zona lampu kuning. Benarkan begitu? Boleh jadi seperti itulah kenyataannya.

Saat ini cadangan devisa kita sekitar 53,9 miliar dolar, memang cukup aman karena setara dengan empat bulan impor. Tapi problemnya adalah pada tahun ini utang swasta yang jatuh tempo mencapai 22,6 miliar dolar, atau nyaris separuh dari total cadangan devisa.

Sebagian dari utang swasta tersebut memang utang kepada perusahaan induk dan afiliasinya, sehingga jika perusahaan induk masih memiliki dana untuk meminjamkan lagi, selesai persoalan. Tapi masalahnya, perusahaan induk pun sedang mengalami krisis, sehingga kemungkinan bagi mereka untuk tidak memberikan lagi pinjaman sangat besar,

Apa yang terjadi jika kemudian swasta berbondong-bondong memborong dolar dan kemudian 'mengekspor' dolar itu untuk membayar utang, sudah pasti cadangan devisa akan terkuras. Cadangan devisa yang susah payah diperoleh itu akan lari begitu saja ketika swasta membutuhkan dana.

Dan bukan itu saja. Pemerintah juga memiliki utang luar negeri yang juga jatuh tempo pada tahun ini Rp 73,18 triliun atau sekitar 6,1 miliar dolar. Sehinga total utang luar negeri (swasta dan pemerintah) yang harus dibayar tahun ini mencapai 28,7 miliar dolar, lebih dari separoh cadangan devisa kita.

Parahnya lagi, ketika ekonomi dunia suram seperti sekarang ini, ekspor Indonesia keluar negeri anjlok. Pada Januari, nilai ekspor kita turun 17,7 persen atau setara 1,54 miliar dolar. Bahkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memperkirakan nilai ekspor pada 2009 ini akan turun 40 persen dibanding sebelumnya.

Memang, dalam neraca perdagangan kita tahun ini masih bisa surplus karena selain ekspor turun, nilai impor juga merosot. Tapi surplus akan menurun tajam. Pada 2008 saja, surplus perdagangan merosot jauh dibandingkan pada 2007. Jika surplus turun, maka cadangan devisa yang masuk ke kantong Bank Indonesia juga menurun.

Dalam tiga-empat bulan terakhir ini, cadangan devisa mengalami penurunan yang signifikan. Posisi cadangan devisa tertinggi sekitar 56 miliar dolar. Tapi jumlah tersebut terus menyusut karena sebagian dipakai BI untuk intervensi ke pasar akibat melemahnya rupiah.

Posisi cadangan devisa kemudian menyentuh di posisi 51,6 miliar dolar. Kemudian posisi tersebut kembali naik. Sayangnya kenaikan itu semu, karena naiknya cadangan devisa ke posisi 54-an miliar dolar itu lantaran Pemerintah baru saja mengeluarkan Global Bond (obligasi global). Begitu obligasi laku, dolar mengalir ke Indonesia, cadangan devisa pun terdongkrak.

Bahwa melalui mekanisme Forum ASEAN+3 itu Indonesia memiliki dana siap pakai sejumlah 13,68 miliar dolar itu betul. Tapi dana itu sendiri baru bisa cair jika cadangan devisa Indonesia turun sampai 10 miliar dolar. Dalam kondisi penurunan drastis seperti itu, tentu akan menggoncang nilai tukar rupiah.

Tingginya jumlah jatuh tempo utang asing yang harus dibayar memang bukan saja menguras cadangan devisa, tetapi juga akan berpengaruh terhadap kurs rupiah. Logikanya ketika mereka memborong dolar, maka harga dolar akan naik, sehingga otomatis rupiah turun. Saat ini saja, depresiasi rupiah sudah sekitar 25 persen, bagaimana nanti jika perminataan dolar melonjak.

Lampu kuning cadangan devisa ini harus diwaspadai. BI harus terus memantau kebutuhan dolar agar tidak terjadi kepanikan di pasar uang. Jika mungkin usahakan agar perusahaan induk yang memberi utang itu bisa memperpanjang masa pinajman. Tapi yang jelas, ke depan jangan sampai kondisi seperti ini terulang. Kalau perlu batasi utang luar negeri, baik pemerintah maupun swasta.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 20 Maret 2009

Wednesday, April 1, 2009

ADB dan Utang Kita

Hukum yang berlaku dalam perbankan adalah bahwa setiap saat bank harus siap menambah modal agar bisa ekspansi. Ini terjadi karena ada batasan rasio antara modal dengan aset. Dengan begitu jika asetnya ingin dimekarkan, maka modal harus ditambah. Kondisi ini pula yang terjadi di Bank Pembangunan Asia (ADB).

ADB merencanakan akan menambah modal sampai 200 persen. Implikasinya, Indonesia yang memiliki sekitar lima persen saham, harus ikut menambah modal yang kalau dirupiahkan sekitar Rp 2 triliun. Penambahan tersebut dilakukan bertahap selama lima tahun. Sehingga pemerintah harus merogoh kocek Rp 400 miliar per tahun, mulai 2010 nanti.

Apa keuntungan Indonesia? Menurut Anggito Abimanyu, dengan penambahan modal tersebut, maka Pemerintah memiliki pinjaman siaga dari ADB senilai 1 miliar dolar atau sekitar Rp 12 triliun. Pinjaman itu pun tanpa syarat, dan sangat berarti jika suatu saat anggaran negara bobol.

Indonesia, meskipun masuk dalam kategori negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, tetapi merupakan pemegang saham nomor enam di ADB. Dan selama ini ADB merupakan salah satu sumber dana pinjaman untuk menambal anggaran yang selalu defisit. Beberapa proyek besar seperti bendungan dibiayai ADB.

Seberapa perlu sebetulnya kita menambah modal? Tergantung kepada seberapa besar ketergantungan kita terhadap pinjaman ADB. Selama ini porsi pinjaman terhadap ADB sudah berkurang, artinya ketergantungan terhadap ADB juga berkurang. Pembiayaan defisit sudah mulai dilakukan denghan menerbitkan obligasi dan sukuk.

Apalagi menurut beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) beberapa proyek yang dibiayai bukan malah mensejahterakan rakyat sebagaimana visi ADB, tetapi justru menjadi bencana. Salah satunya pembangunan irigasi yang justru merusak tatanan tradisional pengairan sistim subak di Bali.

Tapi lepas dari itu, beban utang yang harus ditanggung pemerintah, termasuk yang dari ADB ini sangat besar. Utang luar negeri kita sekarang ini mencapai 65,45 miliar dolar atau Rp 785 triliun. Jadi setiap orang di negeri ini, saat ini terbebani utang Rp 3,3 juta. Jumlah tersebut akan membengkak manakala yen Jepang menguat terhadap dolar, karena utang dalam denominasi yen cukup besar.

Belum lagi bunga dari utang tersebut yang terus bunga-berbunga. Apalagi belakangan ini, pemerintah mengeluarkan obligasi, baik lokal maupun global, yang berbunga tinggi dan berjangka relatif pendek. Akibatnya alokasi dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembayaran utang akan terus menempati ranking atas dalam alokasi anggaran.

Selama ini Indonesia menjadi negara yang dipuji sebagai good boy, karena selalu tepat waktu dalam membayar hutang. Tapi predikat tersebut harus mengorbankan jutaan orang yang masih hidup miskin. Kita telah terperangkap kepada utang. Keinginan yang pernah ditarget pemerintah bahwa kita akan mengurangi ketergantungan utang luar negeri, justru malah menambah.

Jadi yang penting sekarang ini adalah bukan menambah modal di ADB sehingga nantinya kita memiliki peluang untuk memperoleh pinjaman besar. Jika itu yang terselip dalam niat menambah modal, berarti kita hanya berpikir akan menambah utang yang kelak akan terus menjadi beban.

Kini yang lebih krusial adalah bagaimana kita bisa mengurangi ketergantungan kepada utang. Jika utang bisa dikurangi, maka anggaran untuk membayar utang itu bisa lebih dimanfaatkan untuk mensejahterakan puluhan juta masyarakat yang masih hidup dikubangan kemiskinan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 14 Maret 2009


Wednesday, March 18, 2009

Seriuslah Mencegah Flu Burung

Penyebaran flu burung makin meluas. Sampai saat ini tercatat 20 propinsi yang merupakan daerah sporadis penyebaran flu burung. Berarti hampir dua per tiga propinsi yang terserang penyebaran tersebut. Celakanya lagi, propinsi yang terkena ini merupakan propinsi yang padat penduduk seperti di Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi.

Bersamaan dengan penyebaran yang makin meluar, korban meninggal pun terus berjatuhan. Dalam sepekan terakhir ini saja, setidaknya tiga pasien pasien flu burung telah meninggal, satu di Depok dan dua di Bekasi, keduanya berusia di bawah 10 tahun. Beberapa pasien suspect juga sedang dirawat di rumah sakit dengan kondisi kritis, ada dewasa ada anak-anak.

Virus flu burung atau avian influenza ini sepertinya muncul tenggelam. Sempat beberapa bulan terlihat adem-ayem tapi kini kembali membabi-buta, merenggut korban. Rupanya seperti siklus tahunan, dimana wabah ini menyerang kita umumnya pada bulan Januari-Maret, yakni ketika musim hujan berada pada puncaknya.

Melihat korban yang terus berjatuhan serta penyebaran yang makin meluas, pemerintah perlu lebih serius dalam mengatasi flu yang mematikan ini. Intruksi berupa pelarangann pemeliharaan unggas ternak di permukiman, mewajibkan sertifikasi unggas hias tak lagi bergema. Beberapa waktu sempat dilakukan razia, tapi sekarang sudah menyurut. Unggas sudah kembali berkeliaran dengan bebas.

Selain itu, kewajiban merelokasi peternakan dan pemotongan unggas yang berdekatan dengan permukiman juga tidak terlaksana dengan semestinya. Termasuk pengaturan lalu lintas unggas hias dari satu daerah ke daerah lain, saat ini sama sekali tidak terkontrol. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan penyebaran virus mematikan ini menjadi begitu cepat.

Saat ini menurut Komnas Pandemi Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Influenza, Bank Dunia memberikan bantuan Rp 52 miliar untuk mengatasi flu burung. Tapi sayangnya dana yang dialokasikan untuk pemusnahan unggas dengan kompensasi Rp 15 ribu per ekor itu jalan ditempat. Kendalanya, harga unggas, apalagi yang pemeliharaan lebih mehal, sehingga pemilik enggan memusnahkan.

Dalam mengatasi flu burung ini sepertinya kita perlu belajar dari Cina dan Vietnam. Kedua negara tersebut terlebih dulu diserang flu burung pada 2003, api sejak beberapa tahun terakhir ini negara itu sudah bisa dikatakan aman terhadap serangan flu burung. Setidaknya penyebaran virus tersebut relatif bisa dikendalikan. Jumlah korban yang meninggalpun menjadi tidak sebanyak di Indonesia.

Kita perlu lebih serius menangani masalah ini. Pengadaan vaksin untuk pencegahan sangat perlu, tapi yang tidak kalah penting adalah pelaksanaan dari aturan pencegahan penyebaran yang telah dibuat. Rumah sakit rujukan yang sekarang ini sudah 100 rumah sakit perlu ditambah terutama di kota-kota kecil, mengingat penyebarannya yang makin meluas.

Pemerintah juga harus berani dan tegas menindak siapapun yang melakukan pelanggaran. Jika memang membahayakan, jangan biarkan warga memelihara unggas di sekitar rumahnya, jangan biarkan peternakan dan pemotongan berada di pemukiman. Jangan pula pilih kasih untuk pemusnahan unggas. Tugas pemerintah untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi akibat flu burung.

Dimuat di tajuk Republika edisi 7 Maret 2009

Tuesday, March 10, 2009

Deklarasi Antikorupsi Parpol

Korupsi masih merajalela di negeri ini. Meski sudah relatif banyak koruptor yang ditangkap dan dibui, tetapi masih saja ada yang berani nekad. Dan salah satu lembaga yang anggotanya masih nekad melakukan korupsi adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik yang di pusat maupun di daerah.

Dalam satu-dua tahun terakhir pemberantasan korupsi, wakil rakyat banyak mendominasi pemberitaan. Sebagian sudah divonis, sebagian lain masih menunggu sidang, mungkin juga sebagian yang lain lagi sedang dalam pengintaian. Modus korupsinya macam-macam, ada yang menggerogoti anggaran belanja, ada yang main mata dengan birokrat, ada pula yang menggertak untuk kemudian memeras.

Para wakil rakyat yang koruptor ini sangat mengecewakan. Mereka dipilih secara langsung oleh rakyat untuk membenahi negara ini, tetapi yang terjadi justru mereka menghianati. Mereka mempermainkan kewenangannya untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya. Mereka memperkaya diri dengan korupsi sementara rakyat dibiarkan kelaparan.

Para wakil rakyat yang notabene utusan partai politik itu tak menjalankan kewajibannya. Begitu ada sidang mereka membolos, terkadang hanya tanda tangan untuk kemudian pergi entah kemana. Begitu banyak undang-undang yang pada akhirnya terbengkelai karena wakil rakyat ini tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka jadikan lembaga DPR sebagai modal untuk melakukan korupsi.

Menjadi menarik ketika Rabu kemarin pimpinan 38 partai politik berbondong-bondong ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Partai politik itu mendeklarasikan apa yang mereka namakan Deklarasi Antikorupsi. KPK memang mengajak pimpinan parpol untuk mendeklarasikan ini karena korupsi adalah musuh bersama dan perlu diberantas. Dan partai bisa menjadi salah satu ujung tombak.

Deklarasi ini memang penting. Selain untuk mengingatkan agar partai menyeleksi betul calon legislatif yang steril dari kemungkinan korupsi, juga untuk mendeklarasikan komitmen partai untuk tidak melakukan korupsi saat pemilu April nanti. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, cukup banyak ditemukan pelanggaran yang terkait dengan penggunaan uang negara.

Dalam kasus lain, setiap ada pemilu selalu ada money politic (politik uang). Masalah ini pula yang menjadi agenda dalam deklarasi antikorupsi ini. KPK yang sekarang menjadi icon pemberantasan korupsi, rupanya ingin turut berperan dalam menciptakan pemilu yang bersih. Karena siapa yang melanggar, sejauh KPK punya kewenangan menyidik, mereka akan turun langsung.

Benar seperti kata Ketua KPK, parpol memiliki peran penting dan strategis dalam memberantas korupsi. Masalahnya parpol sekarang justru banyak terlibat dalam berbagai aksi korupsi, entah lewat kader-kadernya maupun secara kelembagaan. Bukan rahasia lagi bahwa suara yang dimiliki parpol tertentu bisa dijual-belikan ke parpol lain, terutama untuk pemilihan kepala daerah maupun presiden.

Harapannya, deklarasi yang dihadiri hampir seluruh petinggi parpol ini benar-benar diresapi, dihayati, dan dijalankan. Jangan sampai deklarasi hanya sebatas kata, tetapi nantinya politik uang tetap jalan dan wakil rakyat yang terpilih tetap korupsi. Dibutuhkan komitmen untuk benar-benar menjaga deklarasi yang suci ini. Jika sudah ada deklarasi tetap melanggar, beri sanksi yang paling keras buat mereka.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 26 Februari 2006

Friday, February 27, 2009

Kendalikan Pertumbuhan Penduduk

Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia. Tidak mudah mengelola negara dengan penduduk besar, apalagi ketika kemiskinan dan pengangguran masih terus menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan.

Problem tersebut menjadi kian berat manakala jumlah penduduk tumbuh tidak terkendali. Dan naga-naganya, ini yang bakal terjadi. Pada 2008 silam, jumlah penduduk Indonesia 227 juta jiwa, sementara pada 2000 baru sekitar 205 juta jiwa. Berarti, dalam jangka waktu delapan tahun terjadi pertambahan penduduk 22 juta, atau 10,7 persen.

Jika saja pertumbuhan penduduk seperti itu tetap dibiarkan, menurut perkiraan pemerintah pada 10-15 tahun mendatang akan terjadi ledakan penduduk yang luar biasa. Pada 2015 akan melonjak menjadi 255 juta, dan pada 2020 akan mencapai 270 juta jiwa. Sebuah angka yang sangat besar yang kelak akan menjadi beban berat bagi pemerintah.

Kondisi itu perlu diantisipasi. Pemerintah harus segera bertindak melakukan aksi nyata untuk mengendalikan jumlah penduduk.

Sejak reformasi, program pengendalian penduduk yang bernama Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan jaman Orde Baru terbengkelai. Sepertinya karena itu program Orde Baru, maka dianggap buruk dan dijauhi, tidak prorakyat. Semestinya bisa dipiliah, mana program yang baik, mana tidak. Program KB merupakan program baik yang harus dilanjutkan.

Pemerintah harus lebih intensif untuk menggulirkan kembali program KB. Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang bertanggung jawab terhadap program ini tampaknya sudah mencoba mengevaluasi diri, karena itu mereka melakukan rebranding agar persepsi masyarakat berubah. Mereka perlu dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat yang peduli.

Betul bahwa nantinya, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menjadi bumerang bagi kita. Ketika kemiskinan masih membelit kita, maka pertambahan penduduk yang berlebihan akan makin menambah jumlah masyarakat miskin. Apalagi sebagian besar keluarga yang memiliki anak banyak adalah kelompok bawah.

Ledakan penduduk juga terkait penyediaan pangan. Bayangkan jika setiap tahun penduduk tambah 2,6 juta jiwa, berarti dibutuhkan tambahan beras 361 ribu ton kg per tahun (asumsi 139 kg beras per kapita per tahun). Saat ini kebutuhan beras 32 juta ton per tahun, ketika nanti 2020 jumlah penduduk 270 juta, maka dibutuhkan beras 37,5 juta ton. Perlu usaha luar biasa untuk memenuhinya, apalagi lahan pertanian makin terbatas. Swasembada beras pun terancam.
Belum lagi masalah penyediaan perumahan. Dengan jutaan pendudukan yang lahir maka kelak diperlukan juga jutaan rumah yang harus tersedia. Ketika ada rumah, maka harus ada listrik, maka kebutuhan energi pun menjadi besar. Kebutuhan transportasi tak terkecuali akan membangkak. Jika segala kebutuhan itu tak terpenuhi, akan makin banyak orang miskin, akan makin banyak pengangguran, dan akhirnya akan makin banyak pula kriminalitas.

Untuk itu, jumlah penduduk harus dikendalikan. Kita memang tidak perlu sekeras Cina yang mencanangkan satu keluarga satu anak, tapi cukup dibatasi sebagaimana kesuksesan program KB yang dulu, satu keluarga dua anak. Perlu segera kembali digalakkan kampanye keluarga kecil berkualitas.

Salah satu kampanye yang terbaik adalah memberi contoh. Maka dari itu semestinya para tokoh di negeri ini atau paling tidak calon-calon tokoh di negeri ini perlu memberi contoh. Pemerintah perlu melakukan pendekatan persuasif terhadap sebagian kalangan yang notabene menjadi tokoh di negeri ini yang justru menginginkan banyak anak.

Dalam masalah kependudukan ini yang harus kita kejar adalah kualitas, bukan kuantitas.

Dimuat di tajuk Republika edisi 14 Februari 2009

Friday, February 20, 2009

Saling Klaim, Saling Menjatuhkan

Situasi politik terus memanas menjelang pemilihan umum April nanti. Masing-masing partai melakukan berbagai aksi untuk menarik hati rakyat. Mereka berpikir keras bagaimana bisa merebut hati masyarakat. Jika partai itu sudah memiliki kandidat presiden, maka kandidat itu pun ikut dijual, dinaikkan citranya lewat berbagi strategi kampanyenya.

Dalam iklim demokrasi dimana satu orang dihitung satu suara, maka merebut simpati masyarakat menjadi kunci penting memenangkan pemilu. Segala cara dilakukan untuk merayu masyarakat agar kelak partainya dipilih rakyat. Dan saat ini, isu seksi yang banyak dipakai adalah masalah ekonomi dan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, pemerataan, dan ekonomi rakyat.

Beriklan di media massa menjadi strategi utama untuk berkampanye. Maka kita saksikan beragam iklan pencitraan yang dilakukan oleh partai berikut capres yang diusung. Iklan Partai Amanat Nasional (PAN) lewat tagline 'Hidup Adalah Perbuatan' yang menampilkan Sutrisno Bachir (SB) misalnya, sempat menyedot perhatian masyarakat karena iklan yang begitu gencar.

Lebih dari seratus miliar rupiah dibelanjakan untuk pembentukan citra ketua umum PAN itu. Setiap hari dari pagi sampai malam, iklan itu muncul di hampir semua televisi. Saking seringnya masyarakat sampai merasa jenuh. Tapi kini iklan itu tidak muncul lagi bersamaan dengan menguapnya triliunan rupiah kekayaan SB karena rugi besar di bursa saham.

Lain lagi dengan iklan Partai Gerindra yang mengajukan Prabowo Subianto menjadi capres. Iklan Prabowo yang secara tegas mengajak masyarakat untuk bergabung di partainya itu dikatakan cukup membumi. Isu ekonomi rakyat yang memberdayakan petani dan pedagang pasar menjadi tema sentral. Prabowo mengoptimalkan posisinya sebagai ketua umum organisasi pasar tradisional dan himpunan petani.

Tentu bukan tanpa perencanaan sewaktu Prabowo maju menjadi ketua umum di organisai tersebut. Kejelian membidik organisasi yang merakyat itu telah dirancang sejak awal. Tak peduli Prabowo petani atau bukan, pedagang pasar atau bukan. Apakah Prabowo yang sejak kecil hidup di kalangan atas itu mampu berempati pada perekonomian rakyat, itu juga soal lain.

Berbeda dengan Sutrino Bachir, iklan Prabowo sampai saat ini masih rutin menyapa pemirsa, bahkan makin variatif. Uang Prabowo masih tidak berseri, karena selama ini perusahaannya bermain di sektor riil seperti perkebunan dan pabrik kimia, sehingga krisis global ini tidak terlampau memukul bisnisnya.

Jika dilihat dari sisi persaingan, iklan SB dan Prabowo tidak menarik, tak ada konflik yang tercipta. Mereka hanya berkompetisi, tanpa melibatkan emosi rakyat. Mereka hanya saling menonjolkan diri untuk kepentingan masing-masing.

Persaingan yang menarik justru dari kalangan partai penyokong pemerintah, yakni Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar. Mereka aktif beriklan di televisi dan media cetak dengan menonjolkan peran masing-masing dan saling klaim keberhasilan pemerintah.

Kita lihat iklan PD. Tema yang diusung dalam iklannya adalah keberhasilan pemerintah yang direpresentasikan sebagai keberhasilan Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY). SBY yang merupakan pendiri Partai Demokrat itu dicitrakan sebagai presiden yang pro-rakyat yang mampu menaikkan pendapatan perkapita, menurunkan kemiskinan, menurunkan pengangguran, dll.

Golkar yang sebetulnya ikut bagian dalam 'keberhasilan' kecolongan. Karena itu mereka kemudian menyodok dengan iklan perdamaian dengan merujuk kasus di Ambon, Poso, dan Aceh. Jusuf Kalla (JK), ketua umum partai itu memang berperan besar dalam upaya perdamaian di wilayah itu. Lewat peran itu pula JK memperoleh gelar honoris causa dari Universitas Soka, Jepang.

Tak lama berselang, ketika pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), PD kembali meluncurkan iklan yang mengabarkan bahwa hanya SBY-lah satu-satunya presiden dalam sejarah bangsa Indonesia yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) tiga kali berturut-turut. Bahwa penurunan tersdebut sebuah keniscayaan lantaran harga minyak dunia turun tajam, itu tidak perlu diungkap. Bahwa di Malaysia penurunan BBM sampai enam kali, rakyat juga tak perlu tahu.

Iklan tersebut muncul beberapa hari setelah dengan 'jantan'-nya SBY mengumumkan bahwa pemerintah kembali menurunkan harga BBM. Pertanyaannya, kenapa ketika pemerintah harus menaikkan harga BBM, SBY mendelegasikan ke menteri untuk mengumumkan? Sebuah tricky politic yang jitu.

Klaim PD itu membuat Golkar kembali gerah. Mereka kecolongan lagi. Maka segeralah partai ini membuat iklan baru berupa keberhasilan pemerintah dalam swasembada beras. Jadi sebelum diklaim oleh PD, Golkar buru-buru mengklaim duluan.

Rebutan klaim antara PD dan Golkar ini menjadi kian menarik karena dalam pemerintahan ini, para menteri yang sebagian dari partai ini juga ikut kerja keras. Dalam soal swasembada beras misalnya, tentu tak lepas dari peran menteri pertanian yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera. 'Klaim keberhasilan itu hak presiden dan wakil presiden' begitu barangkali hukum tak tertulisnya.

Tetapi yang lebih provokatif adalah iklan saling jegal. Ini yang terjadi antara PD dan PDI-P. Maklum, sementara ini hanya ada dua kandidat kuat presiden, yakni SBY dari PD dan Megawati dari PDI-P. Dengan begitu persaingan dua partai ini sekaligus juga mencerminkan persaingan dua kandidat kuat presiden RI. Tak heran kalau kedua partai tersebut saling jegal dan saling menjatuhkan dalam iklan.

Ketika PD meluncurkan iklan keberhasilan pertumbuhan ekonomi dan lain-lain, PDI-P mencounter dengan iklan bahwa harga semako mahal. Iklan di televisi menayangkan beberapa lapisan masyarakat yang tidak mampu membeli sembako karena uangnya tidak cukup. Dulu cukup, kok sekarang tidak cukup. Ditayangkan juga wajah pengangguran yang tidak juga memperoleh pekerjaan.

Ketika PD menampilkan iklan bahwa masyarakat miskin telah berkurang dan pengangguran menyusut, PDI-P mengatakan bahwa penurunan itu jauh dari angka yang dijanjikan SBY-JK saatkampanye. Ketika PD memproklamirkan penurunan harga BBM, PDI-P dengan sinis dalam iklannya mengatakan bahwa penurunan harga itu tidak sebanding dengan anjloknya harga minyak internasional.

Saling menjatuhkan antara PD dan PDIP itu bukan hanya ditataran iklan, tetapi juga dalam dialog yang tayang di televisi. Setiap ada dialog yang melibatkan mereka, selalu terjadi debat kusir dan cenderung saling melecehkan, saling berebut bicara tak ada yang mau mengalah, dan saling mencari-cari kelemahan. Merasa benar sendiri. Tak ada kedewasaan di sana, apalagi intelektualitas.

Bahkan ditataran terataspun, yakni Megawati dan SBY, tak ketinggalan untuk saling menjatuhkan. Suatu ketika Megawati mengatakan bahwa pemerintah sekarang ini mempermainkan rakyat sebagaimana anak-anak main yoyo. Menyambut sindiran itu, SBY menjawab lewat pantun: ''Mencari-cari kesalahan bukanlah sifat yang bijak. Tiada yang sempurna dalam kehidupan ini.''

Kita saksikan para pemimpin politik yang narsis itu saling menjatuhkan, saling menelikung. Mereka berusaha merebut simpati masyarakat tanpa mengindahkan batasan etika. Sebuah tontotan yang tidak mendidik masyarakat. Ketika sebagian masyarakat kita masih berkutat dalam kepahitan hidup, para pemimpin justru bertengkar. Celakanya lagi segala tingkah laku mereka mengatasnamakan rakyat.

Dalam situasi dimana kita baru saja bangun dari keterpurukan akibat krisis satu dekade silam, dibutuhkan pemimpin yang mencari simpati tidak dengan menghujat orang lain. Tapi mereka yang punya visi jauh ke depan yang mampu membawa bangsa ini seperti yang dicita-citakan para pendiri negara, yakni negeri yang adil dan makmur.

Negeri ini akan kokoh jika dibangun dengan pondasi kepercayaan dan kebersamaan. Karena itu, di saat kampanye lakukanlah kampanye yang elegan, disaat sudah terpilih terimalah hasilnya dengan sikap dewasa. Tak perlu saling mengklaim, saling menghujat, tidak pula saling menjatuhkan.@

Dimuat di Opini Republika edisi 4 Februari 2009

Wednesday, February 18, 2009

Stimulus Miskin Fulus

Apa yang dilakukan pemerintahan seluruh negara di berbagai belahan dunia dalam menghadapi krisis global ini? Serempak mereka mengatakan: Stimulus.

Beberapa negara, selain memberikan stimulus juga sekaligus melakukan bail-out (menyuntik modal perusahaan yang sekarat). Amerika dan hampir seluruh negara di Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris, Irlandia, Belanda. Begitu pula negara kuat seperti Rusia. Tak ketinggalan tiga kekuatan ekonomi Asia, Jepang, Korea, dan Cina, harus merogoh kocek untuk melakukan bailout.

Indonesia, sebagai salah satu negara emerging market, terimbas pula oleh krisis global. 'Untung'-nya karena kontribusi ekspor dalam perekonomian belum mendominasi, maka krisis yang mengimbas tersebut tidak terlampau parah. Pertumbuhan ekonomi meski turun tapi masih berkisar empat-lima persen. Karena itu pula Indonesia tidak melakukan bailout, hanya perlu stimulus.

Berapa alokasi stimulus? Ini yang menjadi banyak pertanyaan, bahkan memunculkan kecurigaan. Bagaimana tidak menjadi pertanyaan kalau Pemerintah tidak konsisten dengan besaran dana stimulus yang akan diberikan. Dalam beberapa kali kesempatan, Pemerintah mengeluarkan angka kemudian pada hari lain, ada angka lagi yang berbeda. Bahkan Presiden dan Menteri Keuangan saling merevisi.

Pada pertengahan Desember tahun lalu misalnya, Menkeu Sri Mulyani memberikan angka stimulus Rp 22,5 triliun. Pada akhir bulan yang sama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merevisinya menjadi Rp 32,5 triliun. Beberapa hari kemudian, awal Januari Menkeu memberikan angka baru, yakni Rp 50,5 triliun. Pernah juga diturunkan lagi oleh Menkeu menjadi Rp 27 triliun. Dan angka terakhir yang dipublikasikan akhir Januari ini adalah Rp 71,3 triliun.

Perubahan jumlah stimulus itu yang berulang kali itu membuktikan bahwa pemerintah kurang memiliki perencanaan yang matang dalam mengelola krisis global ini. Terjadi kegagapan kebijakan, sehingga sepertinya pemerintah tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Anehnya, perubahan dalam jangka waktu sangat pendek itu nilainya cenderung, tak heran kalau ada anggota DPR yang mencurigai ini sebagai langkah politik populis. Maklum, pemilu makin dekat.

Lepas dari kecurigaan tersebut, stimulus sangat dibutuhkan untuk menggerakan perekonomian nasioanal. Stimulus yang dialokasikan sebesar Rp 71,3 triliun ini relatif besar karena sekitar 1,4 persen dibanding produk domestik bruto (PDB). Jepang mengalokasikan 1,0 persen, Singapura 1,1 persen, Korea 0,9 persen, Malaysia yang menyodok dengan persentase tinggi, yakni 4,4 persen.

Tapi yang jadi persoalan adalah dalam bentuk apa stimulus diberikan. Kalau kita simak datanya, maka lebih dari 85 persen berupa insentif fiskal dan subsidi. Alokasinya, penghematan pembayaran pajak Rp 43 triliun, subsidi pajak kepada dunia usaha Rp 13,3 triliun, subsidi solar dan diskon beban puncak listrik industri Rp 4,2 triliun. Sementara yang diberikan secara langsung adalah Rp 10,2 triliun untuk infrastuktur dan Rp 0,6 triliun untuk perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM).

Memang, di setiap negara, pemberian stimulus diberikan secara simultan dalam bentuk pemotongan pajak (tax cut) dan kenaikan pengeluaran (increase spending). Sayang, stimulus di negeri ini yang sifatnya langsung ini hanya terbatas. Padahal dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, peran negara sangat diperlukan untuk menggairahkan ekonomi. Dan salah satu caranya adalah dengan memainkan dana anggaran belanja untuk dibelanjakan secara langsung ke publik, dengan begitu perekonomian nasional akan lebih bergerak. Stimulus yang diajukan terakhir ini pun masih miskin fulus alias miskin dana tunai, tapi lebih banyak berupa insentif.

Dengan begitu, sebagian besar paket stimulus tersebut adalah berupa pengurangan pendapatan pemerintah. Jadi misalnya perusahaan memperoleh laba Rp 10 miliar, mestinya membayar pajak Rp 3 miliar, tapi karena ada insentif, maka pajak yang dibayarkan hanya Rp 2,5 miliar. Pendapatan pemerintah berkurang Rp 500 juta, dan pengurangan itulah yang dinamakan stimulus.

Tentu tidak salah memberikan potongan pajak atau istilahnya penghematan pembayan pajak. Apalagi pemotongan itu salah satunya dikaitkan dengan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan beberapa perusahaan, yakni jika tidak ada PHK, pajak akan didiskon. Jadi pemerintah mencoba berkorban menurunkan pendapatan agar PHK bisa diminimalisir.

Sebetulnya yang banyak diharapkan dari stimulus ini adalah stimulus yang diberikan langsung (direct spending). Stimulus yang dominan pada insentif fiskal dan subsidi kurang memiliki daya dorong yang kuat untuk segera menggairahkan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Semestinya belanja langsung seperti infrastuktur dalam alokasi stimulus layak ditingkatkan.

Sektor infrastuktur dalam situasi seperti sekarang ini bisa menjadi salah satu katup penyelamat bagi perekonomian nasinal. Proyek-proyek infrastruktur mampu memberikan multiflier effect yang besar, karena selain membuka lapangan kerja bagi ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang, juga untuk mendorong pergerakan perekonomian, baik pada saat ini maupun masa datang.

Arah pemberian stimulus ini sendiri adalah meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing dan daya tahan dunia usaha, dan meningkatkan belanja infrastruktur padat karya untuk menyerap tenaga kerja. Pertanyaannya adalah apakah keempat tujuan pemberian stimulus tersebut bisa dicapai? Ini pekerjaan besar yang memerlukan skenario jitu untuk menjalankan stimulus.

Dari sisi meningkatkan daya beli masyarakat, stimulus yang diberikan sekarang ini sepertinya tidak terlampau signifikan. Pemberian potongan pajak ataupun subsidi solar misalnya, lebih pada penyelamatan perusahaan dan tentu saja karyawannya.

Perlu skenario agar pemberian insentif itu diikuti penurunan harga produk. Dengan begitu secara relatif daya beli masyarakat naik, karena yang semula tidak mampu membeli barang tertentu, dengan diturunkan harganya, barang itu menjadi terbeli. Kalaupun ada subsidi minyak goreng dan obat generik misalnya, itu harus dilakukan secara langsung lewat operasi pasar secara menyeluruh.

Dalam hal meningkatkan daya saing dan daya tahan usaha barangkali bisa cukup optimal. Berkurangnya pajak dan juga bea masuk untuk bahan baku dan barang modal menjadikan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan menjadi berkurang. Harapannya, ketika biaya berkurang, maka perusahaan akan tetap survive.

Masalahnya yang terkena imbas paling besar adalah perusahaan yang berorientasi ekspor. Jika internal mereka diberi insentif tetapi permintaan pasar luar negeri rendah, masih cukup sulit untuk tetap bertahan. Untuk itu pemerintah harus menskenariokan pemberian insentif untuk lebih menggarap pasar lokal. Kalaupun tetap ekspor, perlu diversifikasi tujuan ekspor yang selama ini tujuan ekspor didominasi ke Amerika, Eropa, dan Jepang.

Bagaimana dengan penyerapan tenaga kerja? Jika proyek infrastruktur berjalan sesuai rencana, cukup banyak tenaga kerja yang terserap. Ada yang menghitung sampai ratusan ribu tenaga kerja, ada pula yang memperkirakan sampai satu juta. Diperlukan skenario lanjutan agar proyek infrastuktur ini terus diperbesar pada tahun berikutnya agar tenaga kerja yang terserap tidak lantas kembali jadi penganggur.

Sejauh ini proyek infrastuktur yang direncanakan adalah proyek langsung dan tidak langsung. Proyek langsung maksudnya langsung ditangani pemerintah seperti pembangunan jalur kereta api, jalan, irigasi, penanggulangan banjir, air minum, perumahan, dan listrik yang dialokasikan Rp 6 triliun. Kemudian infrastruktur tak langsung seperti irigasi tersesier, jalan desa, dan tambak pertanian dianggarkan Rp 4,2 triliun diberikan ke daerah, bahkan pedesaan, dan mereka yang kerjakan.

Bukan pekerjaan mudah untuk menjaga agar stimulus ini berjalan dengan baik. Terbuka kemungkinan untuk melakukan kongkalikong antara pengusaha dan pejabat ketika berembug tentang keringanan pajak. Karena itu pemerintah harus mampu menutup semua pintu yang memungkinkan terjadinya kemungkinan buruk itu dengan melakukan pengawasan berjenjang yang intensif.

Di sisi lain, karena situasi ekonomi dunia sudah begitu memburuk, maka stimulus ini harus segera dilaksanakan, terutama untuk proyek-proyek infrastuktur. Jangan sampai proyek itu baru bisa jalan di akhir tahun sebagaimana yang sering terjadi selama ini. Sekarang ini, ada jutaan rakyat yang sangat membutuhkan pekerjaan agar mereka bisa tetap bertahan hidup.

Umur pemerintahan sekarang ini tinggal beberapa bulan lagi, untuk itu Pemerintah harus membangun kesepahaman bersama yang bersifat permanen agar siapapun nanti presidennya, skenario stimulus itu tetap berjalan mulus. tentu, jika masih memungkinkan paket stimulus ini perlu disuntik lagi dengan stimulus yang sifatnya langsung, sehingga bisa lebih menggairahkan perekonomian nasional.@

Stimulus di berbagai Negara (dalam dolar AS)
1. Cina ...... 2.046 miliar
2. Amerika Serikat... 860 miliar
3. Jepang.... 484 miliar
4. Uni Eropa... 256 miliar
5. Singapura.. 13,5 miliar
6. Korea Selatan.. 10,1 miliar
7. India.. 10 miliar
8.Thailand.. 8,6 miliar
9.Indonesia.... 6,2 miliar
Sumber : Reuter




Tabel: Stimulus Fiskal
1. Penghematan Pembayaran Pajak
- Tarif PPh Badan+Orang Pribadi+PTK... Rp 43 trilyun (0,8% PDB)
2. Subsidi Pajak-BM/DTP Kepada dunia usaha/RTS
- PPN eksplorasi migas, minyak goreng.. Rp 3,5 triliun (0,07%PDB)
- Bea masuk bhn baku dan brng modal.... Rp 2,5 triliun (0,05%PDB)
- PPh karyawan...........................................Rp 6,5 triliun (0,12%PDB)
- PPh panas bumi ......................................Rp 0,8 triliun (0,02%PDB)
3. Subsidi+Belanja Negara Kepada Dunia Usaha/Lapangan Kerja
- Penurunan harga solar .............................Rp 2,8 triliun (0,05%PDB)
- Diskon beban puncak listrik industri .......Rp 1,4 triliun (0,03%PDB)
- Tambahan belanja infrastruktur................Rp10,2 triliun (0,2%PDB)
- Perluasan PNPM.....................................Rp 0,6 triliun (0,01%PDB)
Total............................................................ Rp71,3 triliun (1,4%PDB)
Sumber Depkeu

Dimuat di Republika edisi 10 Februari 2009

Tuesday, February 17, 2009

Gonta Ganti Dirut Pertamina

Kembali direktur utama Pertamina mengalami pergantian. Setelah dua bulan terakhir disodok kiri-kanan, akhirnya Ari H. Sumarno harus terpental dari kursi empuk tersebut. Penggantinya orang dalam Pertamina, sekalipun baru bergabung selama tiga tahun, Karen Agustiawan.

Pergantian dirut Pertamina selalu menyedot perhatian. Maklum Pertamina ini merupakan badan usaha milik pemerintah yang strategis, bukan saja karena aset dan profitnya yang terbesar di antara badan usaha lain, tetapi juga komoditi yang dimainkan, minyak dan gas. Komoditas yang sangat seksi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan siapapun.

Tak pelak, kursi dirut di Pertamina pun menjadi kursi panas. Sejak reformasi bergulir, seseorang menjabat dirut hanya dua sampai tiga tahun, bahkan ada yang tak sampai dua tahun. Lazimnya, posisi seperti direksi dijabat selama lima tahun.

Kita coba simak siapa saja dan berapa lama seorang dirut Pertamina bertahan sejak reformasi. Pertama Martiono Harianto (1998-200), disusul Baihaki Hakim (2000-2003), Ariffi Nawawi (2003-2004), Widya Purnama (2004-2006), Ari H Sumarno (2006-2009), dan terakhir Karen Agustiswan mulai 2009 sampai entah kapan.

Pada jaman Orde Baru, Pertamina memang menjadi cash cow (sapi perah) para penguasa dan kroni-kroninya. Hampir tidak ada petinggi negara yang steril dari ceceran likuditas Pertamina. Kekayaan Pertamina benar-benar dieklsploitasi untuk kepentingan kroni, dan dalam kondisi seperti itu orang dalam Pertamina pun tak ketinggalan untuk ikut menjarahnya.

Ketika masuk jaman reformasi, pemerahan terhadap Pertamina , sudah berkurangapi bukan berarti berhenti. Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang telah berjalan secara sistemik tidak bisa dihilangkan dalam sekejap. Bukan saja oleh internal Pertamina tetapi juga para penguasa yang juga sudah terbiasa melakukan itu.

Tak heran kalau kemudian posisi dirut menjadi kursi panas yang silih berganti. Setiap pergantian kekuasaan, maka saat itu juga dirut Pertamina diganti. Jika dirasa masih kurang menguntungkan, dalam satu periode kekuasaan pun terkadang juga perlu untuk segera diganti. Terbukti, dari empat Presiden yang berkuasa sejak reformasi, sudah enam kali dirut Pertamina diganti.

Apakah pergantian dirut Pertamina sarat dengan kepentingan politis? Dulu mungkin ya, tapi sekarang sulit untuk menjawabnya. Mungkin kepentingan politik praktis tidak, tapi kepentingan politis secara tidak langsung bisa jadi benar.

Kasus Ari Sumarno misalnya. Salah satu alasan kuat kenapa diganti adalah kegagalannya dalam mengatasi masalah distribusi BBM dan gas. Kegagalan ini menjadi catatan buruk bagi para penguasa, karena pemerintah yang kemudian dituduh tidak mampu menangani masalah distribusi. Ini tentu membuat citra buruk bagi pemerintah, yang sebentar lagi akan bertarung dalam pemilihan umum.

Kita semua ingin agar Pertamina menjadi world class company, perusahaan level dunia sebagaimana Exxon, BP atau bahkan Petronas. Dibutuhkan visi yang kuat untuk mewujudkan dan strategi jangka panjang yang tepat disiapkan untuk mencapainya. Ketika visi sudah ditetapkan pemerintah sebagai pemegang saham, maka dirut-lah yang merancang strategi untuk mencapai visi tersebut.

Persoalannya, ganti dirut umumnya ganti strategi. Maka dengan frekuensi pergantian dirut yang tinggi, otomatis strategi pun akan berubah-ubah sesuai dengan 'selera' pejabat baru. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan visi jika strategi terus berubah. Baru tercapai sepertiga, dirut sudah diganti, mulai lagi dari nol. Baru separo, diganti lagi, mulai lagi dari awal.

Kita berharap dirut Pertamina yang baru ini tidak membuat kesalahan yang berarti. Kita berharap tidak ada kekuatan politik yang menanamkan dirut baru ini, sehingga nanti akan menagih janji. Kita berharap tak ada intervensi politik dalam menilai kinerja. Dengan begitu, dirut baru ini tidak terjegal di tengah jalan, sehingga bisa menjalan strategi jangka panjang yang disusun secara optimal.

Dimuat di tajuk Republika edisi 7 Februari 2009

Friday, February 6, 2009

Perkeras Hukuman Koruptor

Jika jiwanya sudah dikotori dengan kerakusan, maka seseorang akan gelap mata.Itulah yang terjadi dua hari silam di sebuah hotel di Jakarta. Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, seorang pejabat Departemen Tenaga Kerja dan Trnasmigrasi (Depnakertrans) ditangkap menerima uang suap.

Pejabat berinisial L itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KP), dan diduga dia telah menerima suap. Dalam tas koper yang dibawanya, ada 17 amplop berisi uang, dengan total Rp 100 juta. Di masing-masing amplop, tertera nama pemberi dan dari mana wilayahnya. Saat itu memang sedang ada rapat koordinasi laporan pejabat daerah tentang penggunaan dana dekonsentrasi 2008. Ada 12 pejabat pusat dan daerah yang kemudian juga ditangkap.

Kaget sekaligus prihatin mendengar berita tersebut. Entah mengapa mereka-mereka ini masih punya nyali besar untuk melakukan korupsi. Meski sudah begitu banyak koruptor yang tertangkap dan dibu, tetap tidak menggetarkan mereka untuk menilep uang rakyat. Apalagi sehari sebelumnya mantan anggota DPR-RI Sarjan Taher, divonis penjara 4,5 tahun. Pada hari yang sama dengan penangkapan, Bulyan Royan, juga sedang disidang karena kasus korupsi kapal patroli Departemen Perhubungan.

Korupsi sepertinya begitu sulit diberantas di negeri ini. Bahwa jumlahnya sudah berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya, mungkin benar. Tetapi benih-benih korupsi masih tetap terpelihara, sehingga ketika ada sedikit kesempatan, tak disia-siakan. Atau mungkin karena memang sudah menjadi habbit, menjadi kebiasaan, jadi yang menurut kaedah umum itu korupsi, bagi mereka itu hal yang lazim.

Bukti bahwa korupsi masih terus terjadi bisa dilihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) yang dirilis Transparansi Internasional Indonesia beberapa waktu lalu. Dari penelitan yang mereka lakukan September-Desember 2008, Kepolisian menempati indeks tertinggi dengan 48 persen. Menyusul bea cukai (41 persen), imigrasi (34 persen), DLLAJR (33 persen) dan pemda (33 persen) .

Selain instansi, survei mereka juga dilakukan di pemerintahan daerah. Dari 50 kota yang disurvei Yogyakarta mendapatkan skor tertinggi yaitu 6,43. Artinya, bahwa pelaku bisnis di Yogyakarta menilai pemerintah daerah cukup bersih, dan cukup serius dalam usahanya memberantas korupsi. Di bawahnya adalah Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), dan Mataram (5,41). Kota dengan persepsi terkorup adalah Kupang (2,97), Tegal (3,32), dan Manokwari (3,39).

Hasil survei lembaga tersebut mempertegas bahwa korupsi tak lekang di negeri ini. Bahwa skala korupsi tidak lagi masif, itu betul. Tapi sesedikit apapun korupsi, tetap harus diberantas. Masalahnya, hukuman hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor kurang keras. Hukuman yang ringan tidak membuat koruptor jera, karena mereka cukup bertapa sebentar di penjara, keluar, nanti bisa kembali hidup enak.

Apalagi sanksi sosial dari masyarakat masih tipis. Masyarakat kita masih permisif terhadap para koruptor. Tak jarang setelah koruptor tersebut keluar dari penjara, beberapa waktu kemudian kembali bekerja di instansi yang sama. Ada pula koruptor yang begitu keluar kemudian direkrut menjadi pimpinan sebuah media massa.

Karena itu, koruptor harus diberi hukuman yang seberat-beratnya, sehingga membikin jeri pada mereka yang tergoda untuk melakukan korupsi. Masyarakat juga perlu disadarkan agar tidak menokohkan para koruptor yang telah menyedot duit rakyat itu. Beri hukuman yang tinggi dan beri sanksi sosial yang berat, baru korupsi akan berkurang dengan drastis.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Januari 2009

Menghidupkan BPPN

Krisis ekonomi selalu datang tanpa permisi. Dadakan. Jika tidak diantisipasi, maka dampak dari krisis akan makin meluas, mengancam seluruh aspek dalam perekonomian nasional. Kondisi itu yang kita alami ketika krisis menerjang pada 1997-1998 silam.

Apakah krisis besar semacam itu bisa terulang? Mungkin saja. Karena krisis tidak selalu datang dari kesalahan kita, melainkan rembetan dari krisis yang terjadi di luar. Jika perekonomian kita tak tertata dengan baik, ketika krisis dari luar menerjang, maka perekonomian kita pun menjadi goyah. Saat ini pun kita sedang terseret krisis ekonomi global, hanya memang derajatnya tidak sedahsyat dulu.

Biasanya, ketika krisis menerjang, salah satu sektor yang sangat rentan adalah perbankan. Perbankan adalah urat nadi dari perekonomian, sehingga ketika perekonomian gonjang-ganjing, perbankan ikut goncang. Semakin tinggi tingkat krisis semakin rentan kondisi perbankan.

Berdasarkan asumsi itulah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), pemerintah mempertimbangkan perlunya membuka opsi pembentukan badan khusus yang menangani perbankan bermasalah. Lembaga ini akan seperti Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) saat krisis menerpa satu dasawarsa silam.

Dasar hukum pembentukan BPPN saat itu adalah Keputusan Presiden No 27/1998. Dalam pelaksanaannya, pembentukan badan penyelamat perbankan yang berdasarkan Keppres dinilai kurang kuat, dengan begitu perlu aturan yang lebih tinggi, yakni Undang-undang. Untuk itulah pemerintah mengusulkan opsi baru dalam RUU yang sedang dibahas.

Kita memangharus hati-hati dalam pembentukan badan semacam BPPN ini. Berdasarkan pengalaman, dari total aset yang ditangani sebesar Rp 668 triliun, hanya sekitar 30 persen atau Rp 189 triliun yang bisa dikembalikan. Boleh jadi tingkat pengembalian tersebut sedikit lebih baik dibanding negara lain, tetapi proses pelaksanaannya sangat tidak transparan. Ada triliunan rupiah yang tak jelas juntrungnya.

Selain itu, BPPN juga syarat dengan kepentingan politik. Karena mengelola aset dalam jumlah besar, maka BPPN ini dijadikan sapi perah bagi elit-elit politik dan pemerintahan. BPPN dimanfaatkan untuk mencari dana sebesar-besarnya. Dalam kondisi seperti itu menjadi maklum jika saat itu pergantian Kepala BPPN sering terjadi. Pergantian tidak berdasarkan kecakapan tetapi lebih kepada kepentingan.

Saat ini sebetulnya kita sudah memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga ini akan terjun jika ada bank mengalami kesulitan. Ini dilakukan ketika Bank Century mengalami kesulitan, LPS langsung mengambil alih. Pengambilalihan itu dilakukan untuk mengamankan dana nasabah dan menjaga kontinuitas pelayanan kepada nasabah.

Jika bank yang kolaps masih dalam jumlah yang terbatas dan ukuran bank masih kecil, tidak begitu masalah. Akan timbul masalah jika hal yang tidak diharapkan seperti dekade silam dimana ada belasan bank kolaps, termasuk bank-bank besar, maka LPS tidak memiliki cukup dana untuk mengatasinya. Di sinilah pemerintah mempertimbangkan memasukkan opsi BPPN tersebut.

Tidak begitu masalah, apakah perlu dibentuk lembaga baru atau memperbesar kapasitas dan modal LPS untuk mengantisipasi krisis. Tetapi yang jelas jangan sampai pengelolaan BPPN yang tidak transparan seperti masa lalu itu tak terjadi lagi. Ketidaktransparan itu pula dimanfaatkan oleh mereka yang punya relasi kuat dengan kekuasaan untuk mengeruk aset BPPN.

Dalam pembentukan lembaga atau pun penguatan LPS nanti, yang paling penting adalah pertanggungjawaban yang jelas dari pengelola. Pengelolaan harus memenuhi standar tinggi dalam transparansi dan akuntabilitas. Para pemegang kekuasaan dan elit politik juga dijaga agar tidak memanfaatkan keberadaan lembaga tersebut untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 24 Januari 2009

Tuesday, January 13, 2009

Optimalkan Stimulus

Situasi ekonomi global yang tidak menentu ini membuat sibuk semua negara. Hampir tak ada satu pun negara yang tak terseret krisis ini. Maka, hampir semua negara pula berlomba-lomba menyelamatkan perekonomian negara masing-masing. Bailout dan stimulus ekonomi menjadi wajib dilakukan.

Indonesia, yang ikut terkena imbas, melakukan langkah serupa. Bailout tidak dilakukan karena, selain tidak ada perusahaan yang benar-benar terpuruk, bailout juga rawan terhadap penyelewengan. Hanya stimulus-lah yang tidak ketinggalan. Data terakhir menunjukkan bahwa pemerintah mengalokasikan Rp 50 triliun untuk stimulus fiskal.

Hampir bersamaan dengan pengumuman itu, Bank Indonesia (BI) juga menurunkan bunga acuan dari 9,25 persen menjadi 8,75 persen. Ini merupakan stimulus moneter yang memang sudah lama ditunggu karena banyak negara sudah menurunkan bunga acuan untuk membangkitkan kembali perekonomian mereka yang terpuruk.

Dikeluarkannya stimulus fiskal dan moneter ini tentu merupakan kabar baik bagi para pebisnis. Selama ini, para pelaku usaha sudah menunggu stimulus apa yang akan diberikan oleh pemerintah dan berapa jumlah yang dialokasikan. Kini, tinggal bagaimana stimulus itu bisa berjalan dengan optimal agar dapat kembali menggairahkan perekonomian nasional.

Stimulus fiskal tersebut semestinya diberikan pada sektor-sektor yang rawan terhadap gejolak ekonomi global. Dalam hal ini, yang mesti diprioritaskan adalah usaha yang berorientasi ekspor yang sekaligus juga mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar. Kita tahu, dengan ambruknya perekonomian Amerika dan Eropa, permintaan akan barang berkurang sehingga ekspor terganggu.

Sektor lain yang perlu mendapat perhatian adalah yang menyerap tenaga kerja besar. Jika berbicara masalah ini, yang paling dekat adalah infrastruktur. Sektor ini, sekali angkat, mampu menampung ribuan tenaga kerja. Begitu juga dengan sektor perekonomian rakyat karena perekonomian rakyat yang identik dengan sektor informal ini justru menampung tenaga kerja dalam jumlah besar.

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah sektor-sektor yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini menjadi penting. Karena, dengan pertumbuhan yang bagus, pengangguran akan terkurangi. Fokusnya adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan yang berkualitas, yakni pertumbuhan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Bagaimana dengan peran stimulus moneter? Dengan diturunkannya bunga acuan, likuiditas juga akan longgar, perbankan tidak saling berebut dana dengan memberikan bunga tinggi, dan pada gilirannya bunga kredit pun akan turun. Saat ini, bunga kredit sudah teramat tinggi sehingga memberatkan peminjam. Bank pun menjadi terlampau hati-hati untuk menyalurkan dana, khawatir dana tak kembali.

Pemerintah perlu duduk bersama dengan pelaku usaha, membahas sektor apa yang menjadi prioritas untuk stimulus tersebut. Tetapi, sebelumnya, pemerintah harus memiliki garis yang tegas mengenai sektor yang perlu diberi stimulus. Dalam pembicaraan itu, hanya dibahas isu-isu strategis, bagaimana stimulus tersebut diberikan.

Kita ingin keterpurukan ekonomi global ini segera berlalu, setidaknya di negeri ini. Karena itu, stimulus ini harus segera dilaksanakan. Dan, yang penting, stimulasi yang memakan dana besar ini harus tepat sasaran sehingga tujuan untuk menggerakkan perekonomian demi mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan bisa tercapai.

Dimuat di tajuk Republika edisi 9 Januari 2009

Thursday, January 8, 2009

Tahun Penuh Tantangan

Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Kita menutup 2008 dengan kondisi yang cukup berat, terutama terkait dengan masalah ekonomi yang sedang dilanda kelesuan yang berakibat merosotnya kesejahteraan masyarakat.


Kini, kita sudah menapak ke tahun 2009, tahun yang berat dan penuh tantangan. Tahun yang menjadi pertaruhan bagi bangsa kita, apakah kita bisa melewati dengan baik atau tidak. Apakah kita bisa menjadi bangsa yang dewasa atau tidak. Apakah kita berbakat menjadi bangsa besar atau tidak.


Tantangan berat pertama adalah ekonomi. Kita tahu pada triwulan terakhir tahun lalu ekonomi Amerika limbung. Karena Amerika merupakan pusat pusaran ekonomi dunia, maka ketika negara besar tersebut roboh, keruntuhannya menyeret hampir seluruh negara di dunia. Sebagai negara yang merupakan bagian dari globalisasi ekonomi, ekonomi Indonesia ikut terhuyung.


Sampai saat ini sudah puluhan ribu tenaga kerja harus terkena pemutusan hubungan. Industri terutama yang berbasis ekspor seperti sepatu dan tekstil harus menelan kerugian. Perbankan menaikkan suku bunga sehingga memberatkan debitor. Permintaan akan barang menciut. Perusahaan-perusahaan menunda ekspansi. Bursa pun ikut-ikutan jatuh.


Banyak yang memperkirakan bahwa krisis global yang berimbas ke Indonesia ini akan memasuki puncaknya pada triwulan pertama tahun ini. Karena itulah, ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mengatasi masalah tersebut agar krisis ini bisa dilokalisasi dan diperkecil dampaknya. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.


Pemerintah sendiri akan kesulitan dalam mengatur keuangan. Ketika ekonomi terpangkas, otomatis kegiatan bisnis juga menyurut, konsekuensinya penerimaan pajak akan merosot. Diperkirakan penerimaan pajak tahun ini bisa terpangkas sampai Rp 70 triliun. Ini tentu memberatkan anggaran, sehingga terpaksa lagi utang luar negeri ditambah. Saat ini saja pembayaran utang luar negeri dalam rupiah menjadi besar karena rupiah yang melemah 25 persen terhadap dolar AS.


Tantangan kedua adalah di bidang politik. Tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum untuk legislatif dan beberapa bulan kemudian pemilihan presiden dan wakil presiden. Ukuran kesuksesan dari terselenggaranya pemilu adalah jika pemilu berjalan dengan aman, jujur, adil, dan besarnya partisipasi masyarakat.


Di tengah muramnya ekonomi, di tengah puluhan ribu orang yang terkena PHK, di tengah kemiskinan yang masih membelit kita, di tengah jutaan pengangguran yang ada, bukan perkara mudah untuk menyelenggarakan pemilu yang aman dan damai. Biasanya dalam kondisi seperti itu, masyarakat begitu gampang untuk disulut dengan kekerasan.


Selain itu, dengan berkaca pada pemilihan kepala daerah di mana partisipasi masyarakat dalam pemilihan terus merosot, bahkan ada yang hampir separuh tidak mencoblos, menjadi tantangan sendiri. Begitu pula tata cara pemilihan yang berubah, harus segera disosialisasikan kepada masyarakat. Kita tahu bahwa sebagian masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan, mereka butuh sosialisasi intensif.


Tapi betapapun sulitnya, tantangan itu harus kita hadapi sekaligus kita atasi dengan sebaik-baiknya. Bangsa ini berbakat menjadi bangsa besar. Maka, kita harus membangun kesadaran kolektif berupa kesamaan semangat untuk membangun negeri ini. Saling memahami posisi masing-masing dan bersama bergerak tanpa saling menyalahkan.


Dimuat di tajuk Republika edisi 2 Januari 2009

Tahun Penuh Tantangan

Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Kita menutup 2008 dengan kondisi yang cukup berat, terutama terkait dengan masalah ekonomi yang sedang dilanda kelesuan yang berakibat merosotnya kesejahteraan masyarakat.

Kini, kita sudah menapak ke tahun 2009, tahun yang berat dan penuh tantangan. Tahun yang menjadi pertaruhan bagi bangsa kita, apakah kita bisa melewati dengan baik atau tidak. Apakah kita bisa menjadi bangsa yang dewasa atau tidak. Apakah kita berbakat menjadi bangsa besar atau tidak.

Tantangan berat pertama adalah ekonomi. Kita tahu pada triwulan terakhir tahun lalu ekonomi Amerika limbung. Karena Amerika merupakan pusat pusaran ekonomi dunia, maka ketika negara besar tersebut roboh, keruntuhannya menyeret hampir seluruh negara di dunia. Sebagai negara yang merupakan bagian dari globalisasi ekonomi, ekonomi Indonesia ikut terhuyung.

Sampai saat ini sudah puluhan ribu tenaga kerja harus terkena pemutusan hubungan. Industri terutama yang berbasis ekspor seperti sepatu dan tekstil harus menelan kerugian. Perbankan menaikkan suku bunga sehingga memberatkan debitor. Permintaan akan barang menciut. Perusahaan-perusahaan menunda ekspansi. Bursa pun ikut-ikutan jatuh.

Banyak yang memperkirakan bahwa krisis global yang berimbas ke Indonesia ini akan memasuki puncaknya pada triwulan pertama tahun ini. Karena itulah, ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mengatasi masalah tersebut agar krisis ini bisa dilokalisasi dan diperkecil dampaknya. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.

Pemerintah sendiri akan kesulitan dalam mengatur keuangan. Ketika ekonomi terpangkas, otomatis kegiatan bisnis juga menyurut, konsekuensinya penerimaan pajak akan merosot. Diperkirakan penerimaan pajak tahun ini bisa terpangkas sampai Rp 70 triliun. Ini tentu memberatkan anggaran, sehingga terpaksa lagi utang luar negeri ditambah. Saat ini saja pembayaran utang luar negeri dalam rupiah menjadi besar karena rupiah yang melemah 25 persen terhadap dolar AS.

Tantangan kedua adalah di bidang politik. Tahun ini akan diselenggarakan pemilihan umum untuk legislatif dan beberapa bulan kemudian pemilihan presiden dan wakil presiden. Ukuran kesuksesan dari terselenggaranya pemilu adalah jika pemilu berjalan dengan aman, jujur, adil, dan besarnya partisipasi masyarakat.

Di tengah muramnya ekonomi, di tengah puluhan ribu orang yang terkena PHK, di tengah kemiskinan yang masih membelit kita, di tengah jutaan pengangguran yang ada, bukan perkara mudah untuk menyelenggarakan pemilu yang aman dan damai. Biasanya dalam kondisi seperti itu, masyarakat begitu gampang untuk disulut dengan kekerasan.

Selain itu, dengan berkaca pada pemilihan kepala daerah di mana partisipasi masyarakat dalam pemilihan terus merosot, bahkan ada yang hampir separuh tidak mencoblos, menjadi tantangan sendiri. Begitu pula tata cara pemilihan yang berubah, harus segera disosialisasikan kepada masyarakat. Kita tahu bahwa sebagian masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan, mereka butuh sosialisasi intensif.

Tapi betapapun sulitnya, tantangan itu harus kita hadapi sekaligus kita atasi dengan sebaik-baiknya. Bangsa ini berbakat menjadi bangsa besar. Maka, kita harus membangun kesadaran kolektif berupa kesamaan semangat untuk membangun negeri ini. Saling memahami posisi masing-masing dan bersama bergerak tanpa saling menyalahkan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 2 Januari 2009

Monday, January 5, 2009

Profesionalisme Penegak Hukum

Selama 2008, sebanyak 161 polisi dipecat dengan tidak hormat. Sementara ada 37 polisi lainnya yang melanggar etika diganjari dengan pemberhentian dengan hormat, dimutasi, dibina ulang, disuruh minta maaf, dan lain-lain. Ribuan polisi juga diberi sanksi karena melanggar disiplin.

Laporan akhir tahun Polri tersebut sedikti memberikan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia. Meskipun sebenarnya masih lebih banyak lagi aparat yang melakukan pelanggaran dan layak pecat, tapi setidaknya langkah itu menyiratkan pembenahan internal aparat kepolisian.

Jika kita bicara soal penegakan hukum, maka tegak tidaknya hukum tergantung dari bagaimana kualitas penegak hukumnya sendiri. Ada tiga pilar hukum yang menjadi tonggak tegaknya hukum yakni kepolisian, kejaksanaan, dan kehakiman. Pada merekalah hukum ini bersandar.

Bagaimana kualitas atau profesinalisme ketiga penegak hukum tersebut? Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita semua. Bukan rahasia lagi bahwa dalam perjalanan bangsa ini, profesionalisme para penagak hukum dipertanyakan. Mereka yang semestinya menjadi penegak hukum justru membengkokkan hukum itu sendiri.

Aparat kepolisian misalnya, berapa banyak mereka yang melakukan pelanggaran. Tak sedikit aparat polisi yang hidupnya berlimpah dengan harta, bahkan untuk mereka yang pangkatnya rendah sekalipun. Mereka melakukan korupsi, melakukan pemerasan, melakukan beking-bekingan, dll.

Berapa banyak jaksa yang bermain mata dengan orang-orang jahat. Kasus jaksa Urip Tri Gunawan membuktikan bahwa begitu banyak jaksa yang selama ini bukan menegakkan keadilan tetapi justru mempermainkan keadilan. Banyak kita jumpai jaksa di daerah yang hidupnya pun bergelimang dengan uang.

Tak beda pula dengan hakim. Sogok menyogok, suap menyuap merupakan menu sehari-hari sebagian besar hakim. Hakim menjadi pusat dari mafia peradilan yang mencoreng bangsa ini. Siapa yang mampu membayar tinggi, vonis pun akan dibuat ringan, bahkan kalau perlu bisa dibikin bebas.

Memang sejak dua-tiga tahun terakhir ini, berbagai permainan para penegak hukum ini dibongkar. Apalagi setelah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga baru ini mendobrak kebuntuan hukum yang selama ini terjadi. KPK ini pula yang kemudian menginspirasi tiga pilar hukum yang sebelumnya tak mampu berperan.

Kepolisian mencoba untuk terus berbenah. Selain melakukan pemecatan dan pemberian sanksi kepada oknum polisi, mereka juga mulai membabat habis aksi preman. Mereka juga membongkar jaringan narkoba dan perjudian yang sebelumnya justru dibekengi oleh orang-orang kepolisian.

Kejaksaan juga sudah mulai membersihkan diri. Beberapa jaksa yang bermasalah dipecat. Terakhir yang fenomenal adalah dipecatnya hakim Urip karena terbukti menerima suap. Sayangnya beberapa koleganya yang terkait masalah ini seperti Kemas Yahya Rahman dan M Salim hanya dihukum ringan berupa teguran tertulis.

Hakim yang selama ini menjadi pusat mafia peradilan tak bisa lagi untuk tidak melakukan reformasi. Apalagi setelah ada Komisi Yudisial yang memiliki peran besar untuk menilai kinerja seorang hakim. Beberapa hakim sudh dipecat karena mereka melakukan pemerasan dan menerima suap.

Kita berharap angin segar reformasi tiga pilar penegak hukum ini tidak terhenti. Profesionalisme penegak hukum harus terus ditingkatkan, termasuk dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada mereka yang melanggar hukum.

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Desember 2008