Tuesday, February 17, 2009

Gonta Ganti Dirut Pertamina

Kembali direktur utama Pertamina mengalami pergantian. Setelah dua bulan terakhir disodok kiri-kanan, akhirnya Ari H. Sumarno harus terpental dari kursi empuk tersebut. Penggantinya orang dalam Pertamina, sekalipun baru bergabung selama tiga tahun, Karen Agustiawan.

Pergantian dirut Pertamina selalu menyedot perhatian. Maklum Pertamina ini merupakan badan usaha milik pemerintah yang strategis, bukan saja karena aset dan profitnya yang terbesar di antara badan usaha lain, tetapi juga komoditi yang dimainkan, minyak dan gas. Komoditas yang sangat seksi untuk dimanfaatkan bagi kepentingan siapapun.

Tak pelak, kursi dirut di Pertamina pun menjadi kursi panas. Sejak reformasi bergulir, seseorang menjabat dirut hanya dua sampai tiga tahun, bahkan ada yang tak sampai dua tahun. Lazimnya, posisi seperti direksi dijabat selama lima tahun.

Kita coba simak siapa saja dan berapa lama seorang dirut Pertamina bertahan sejak reformasi. Pertama Martiono Harianto (1998-200), disusul Baihaki Hakim (2000-2003), Ariffi Nawawi (2003-2004), Widya Purnama (2004-2006), Ari H Sumarno (2006-2009), dan terakhir Karen Agustiswan mulai 2009 sampai entah kapan.

Pada jaman Orde Baru, Pertamina memang menjadi cash cow (sapi perah) para penguasa dan kroni-kroninya. Hampir tidak ada petinggi negara yang steril dari ceceran likuditas Pertamina. Kekayaan Pertamina benar-benar dieklsploitasi untuk kepentingan kroni, dan dalam kondisi seperti itu orang dalam Pertamina pun tak ketinggalan untuk ikut menjarahnya.

Ketika masuk jaman reformasi, pemerahan terhadap Pertamina , sudah berkurangapi bukan berarti berhenti. Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang telah berjalan secara sistemik tidak bisa dihilangkan dalam sekejap. Bukan saja oleh internal Pertamina tetapi juga para penguasa yang juga sudah terbiasa melakukan itu.

Tak heran kalau kemudian posisi dirut menjadi kursi panas yang silih berganti. Setiap pergantian kekuasaan, maka saat itu juga dirut Pertamina diganti. Jika dirasa masih kurang menguntungkan, dalam satu periode kekuasaan pun terkadang juga perlu untuk segera diganti. Terbukti, dari empat Presiden yang berkuasa sejak reformasi, sudah enam kali dirut Pertamina diganti.

Apakah pergantian dirut Pertamina sarat dengan kepentingan politis? Dulu mungkin ya, tapi sekarang sulit untuk menjawabnya. Mungkin kepentingan politik praktis tidak, tapi kepentingan politis secara tidak langsung bisa jadi benar.

Kasus Ari Sumarno misalnya. Salah satu alasan kuat kenapa diganti adalah kegagalannya dalam mengatasi masalah distribusi BBM dan gas. Kegagalan ini menjadi catatan buruk bagi para penguasa, karena pemerintah yang kemudian dituduh tidak mampu menangani masalah distribusi. Ini tentu membuat citra buruk bagi pemerintah, yang sebentar lagi akan bertarung dalam pemilihan umum.

Kita semua ingin agar Pertamina menjadi world class company, perusahaan level dunia sebagaimana Exxon, BP atau bahkan Petronas. Dibutuhkan visi yang kuat untuk mewujudkan dan strategi jangka panjang yang tepat disiapkan untuk mencapainya. Ketika visi sudah ditetapkan pemerintah sebagai pemegang saham, maka dirut-lah yang merancang strategi untuk mencapai visi tersebut.

Persoalannya, ganti dirut umumnya ganti strategi. Maka dengan frekuensi pergantian dirut yang tinggi, otomatis strategi pun akan berubah-ubah sesuai dengan 'selera' pejabat baru. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan visi jika strategi terus berubah. Baru tercapai sepertiga, dirut sudah diganti, mulai lagi dari nol. Baru separo, diganti lagi, mulai lagi dari awal.

Kita berharap dirut Pertamina yang baru ini tidak membuat kesalahan yang berarti. Kita berharap tidak ada kekuatan politik yang menanamkan dirut baru ini, sehingga nanti akan menagih janji. Kita berharap tak ada intervensi politik dalam menilai kinerja. Dengan begitu, dirut baru ini tidak terjegal di tengah jalan, sehingga bisa menjalan strategi jangka panjang yang disusun secara optimal.

Dimuat di tajuk Republika edisi 7 Februari 2009

No comments:

Post a Comment