Friday, February 6, 2009

Perkeras Hukuman Koruptor

Jika jiwanya sudah dikotori dengan kerakusan, maka seseorang akan gelap mata.Itulah yang terjadi dua hari silam di sebuah hotel di Jakarta. Di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, seorang pejabat Departemen Tenaga Kerja dan Trnasmigrasi (Depnakertrans) ditangkap menerima uang suap.

Pejabat berinisial L itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KP), dan diduga dia telah menerima suap. Dalam tas koper yang dibawanya, ada 17 amplop berisi uang, dengan total Rp 100 juta. Di masing-masing amplop, tertera nama pemberi dan dari mana wilayahnya. Saat itu memang sedang ada rapat koordinasi laporan pejabat daerah tentang penggunaan dana dekonsentrasi 2008. Ada 12 pejabat pusat dan daerah yang kemudian juga ditangkap.

Kaget sekaligus prihatin mendengar berita tersebut. Entah mengapa mereka-mereka ini masih punya nyali besar untuk melakukan korupsi. Meski sudah begitu banyak koruptor yang tertangkap dan dibu, tetap tidak menggetarkan mereka untuk menilep uang rakyat. Apalagi sehari sebelumnya mantan anggota DPR-RI Sarjan Taher, divonis penjara 4,5 tahun. Pada hari yang sama dengan penangkapan, Bulyan Royan, juga sedang disidang karena kasus korupsi kapal patroli Departemen Perhubungan.

Korupsi sepertinya begitu sulit diberantas di negeri ini. Bahwa jumlahnya sudah berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya, mungkin benar. Tetapi benih-benih korupsi masih tetap terpelihara, sehingga ketika ada sedikit kesempatan, tak disia-siakan. Atau mungkin karena memang sudah menjadi habbit, menjadi kebiasaan, jadi yang menurut kaedah umum itu korupsi, bagi mereka itu hal yang lazim.

Bukti bahwa korupsi masih terus terjadi bisa dilihat dari indeks persepsi korupsi (IPK) yang dirilis Transparansi Internasional Indonesia beberapa waktu lalu. Dari penelitan yang mereka lakukan September-Desember 2008, Kepolisian menempati indeks tertinggi dengan 48 persen. Menyusul bea cukai (41 persen), imigrasi (34 persen), DLLAJR (33 persen) dan pemda (33 persen) .

Selain instansi, survei mereka juga dilakukan di pemerintahan daerah. Dari 50 kota yang disurvei Yogyakarta mendapatkan skor tertinggi yaitu 6,43. Artinya, bahwa pelaku bisnis di Yogyakarta menilai pemerintah daerah cukup bersih, dan cukup serius dalam usahanya memberantas korupsi. Di bawahnya adalah Palangkaraya (6,1), Banda Aceh (5,87), Jambi (5,57), dan Mataram (5,41). Kota dengan persepsi terkorup adalah Kupang (2,97), Tegal (3,32), dan Manokwari (3,39).

Hasil survei lembaga tersebut mempertegas bahwa korupsi tak lekang di negeri ini. Bahwa skala korupsi tidak lagi masif, itu betul. Tapi sesedikit apapun korupsi, tetap harus diberantas. Masalahnya, hukuman hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor kurang keras. Hukuman yang ringan tidak membuat koruptor jera, karena mereka cukup bertapa sebentar di penjara, keluar, nanti bisa kembali hidup enak.

Apalagi sanksi sosial dari masyarakat masih tipis. Masyarakat kita masih permisif terhadap para koruptor. Tak jarang setelah koruptor tersebut keluar dari penjara, beberapa waktu kemudian kembali bekerja di instansi yang sama. Ada pula koruptor yang begitu keluar kemudian direkrut menjadi pimpinan sebuah media massa.

Karena itu, koruptor harus diberi hukuman yang seberat-beratnya, sehingga membikin jeri pada mereka yang tergoda untuk melakukan korupsi. Masyarakat juga perlu disadarkan agar tidak menokohkan para koruptor yang telah menyedot duit rakyat itu. Beri hukuman yang tinggi dan beri sanksi sosial yang berat, baru korupsi akan berkurang dengan drastis.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Januari 2009

No comments:

Post a Comment