Wednesday, February 18, 2009

Stimulus Miskin Fulus

Apa yang dilakukan pemerintahan seluruh negara di berbagai belahan dunia dalam menghadapi krisis global ini? Serempak mereka mengatakan: Stimulus.

Beberapa negara, selain memberikan stimulus juga sekaligus melakukan bail-out (menyuntik modal perusahaan yang sekarat). Amerika dan hampir seluruh negara di Eropa seperti Jerman, Perancis, Inggris, Irlandia, Belanda. Begitu pula negara kuat seperti Rusia. Tak ketinggalan tiga kekuatan ekonomi Asia, Jepang, Korea, dan Cina, harus merogoh kocek untuk melakukan bailout.

Indonesia, sebagai salah satu negara emerging market, terimbas pula oleh krisis global. 'Untung'-nya karena kontribusi ekspor dalam perekonomian belum mendominasi, maka krisis yang mengimbas tersebut tidak terlampau parah. Pertumbuhan ekonomi meski turun tapi masih berkisar empat-lima persen. Karena itu pula Indonesia tidak melakukan bailout, hanya perlu stimulus.

Berapa alokasi stimulus? Ini yang menjadi banyak pertanyaan, bahkan memunculkan kecurigaan. Bagaimana tidak menjadi pertanyaan kalau Pemerintah tidak konsisten dengan besaran dana stimulus yang akan diberikan. Dalam beberapa kali kesempatan, Pemerintah mengeluarkan angka kemudian pada hari lain, ada angka lagi yang berbeda. Bahkan Presiden dan Menteri Keuangan saling merevisi.

Pada pertengahan Desember tahun lalu misalnya, Menkeu Sri Mulyani memberikan angka stimulus Rp 22,5 triliun. Pada akhir bulan yang sama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merevisinya menjadi Rp 32,5 triliun. Beberapa hari kemudian, awal Januari Menkeu memberikan angka baru, yakni Rp 50,5 triliun. Pernah juga diturunkan lagi oleh Menkeu menjadi Rp 27 triliun. Dan angka terakhir yang dipublikasikan akhir Januari ini adalah Rp 71,3 triliun.

Perubahan jumlah stimulus itu yang berulang kali itu membuktikan bahwa pemerintah kurang memiliki perencanaan yang matang dalam mengelola krisis global ini. Terjadi kegagapan kebijakan, sehingga sepertinya pemerintah tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Anehnya, perubahan dalam jangka waktu sangat pendek itu nilainya cenderung, tak heran kalau ada anggota DPR yang mencurigai ini sebagai langkah politik populis. Maklum, pemilu makin dekat.

Lepas dari kecurigaan tersebut, stimulus sangat dibutuhkan untuk menggerakan perekonomian nasioanal. Stimulus yang dialokasikan sebesar Rp 71,3 triliun ini relatif besar karena sekitar 1,4 persen dibanding produk domestik bruto (PDB). Jepang mengalokasikan 1,0 persen, Singapura 1,1 persen, Korea 0,9 persen, Malaysia yang menyodok dengan persentase tinggi, yakni 4,4 persen.

Tapi yang jadi persoalan adalah dalam bentuk apa stimulus diberikan. Kalau kita simak datanya, maka lebih dari 85 persen berupa insentif fiskal dan subsidi. Alokasinya, penghematan pembayaran pajak Rp 43 triliun, subsidi pajak kepada dunia usaha Rp 13,3 triliun, subsidi solar dan diskon beban puncak listrik industri Rp 4,2 triliun. Sementara yang diberikan secara langsung adalah Rp 10,2 triliun untuk infrastuktur dan Rp 0,6 triliun untuk perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM).

Memang, di setiap negara, pemberian stimulus diberikan secara simultan dalam bentuk pemotongan pajak (tax cut) dan kenaikan pengeluaran (increase spending). Sayang, stimulus di negeri ini yang sifatnya langsung ini hanya terbatas. Padahal dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, peran negara sangat diperlukan untuk menggairahkan ekonomi. Dan salah satu caranya adalah dengan memainkan dana anggaran belanja untuk dibelanjakan secara langsung ke publik, dengan begitu perekonomian nasional akan lebih bergerak. Stimulus yang diajukan terakhir ini pun masih miskin fulus alias miskin dana tunai, tapi lebih banyak berupa insentif.

Dengan begitu, sebagian besar paket stimulus tersebut adalah berupa pengurangan pendapatan pemerintah. Jadi misalnya perusahaan memperoleh laba Rp 10 miliar, mestinya membayar pajak Rp 3 miliar, tapi karena ada insentif, maka pajak yang dibayarkan hanya Rp 2,5 miliar. Pendapatan pemerintah berkurang Rp 500 juta, dan pengurangan itulah yang dinamakan stimulus.

Tentu tidak salah memberikan potongan pajak atau istilahnya penghematan pembayan pajak. Apalagi pemotongan itu salah satunya dikaitkan dengan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan beberapa perusahaan, yakni jika tidak ada PHK, pajak akan didiskon. Jadi pemerintah mencoba berkorban menurunkan pendapatan agar PHK bisa diminimalisir.

Sebetulnya yang banyak diharapkan dari stimulus ini adalah stimulus yang diberikan langsung (direct spending). Stimulus yang dominan pada insentif fiskal dan subsidi kurang memiliki daya dorong yang kuat untuk segera menggairahkan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat. Semestinya belanja langsung seperti infrastuktur dalam alokasi stimulus layak ditingkatkan.

Sektor infrastuktur dalam situasi seperti sekarang ini bisa menjadi salah satu katup penyelamat bagi perekonomian nasinal. Proyek-proyek infrastruktur mampu memberikan multiflier effect yang besar, karena selain membuka lapangan kerja bagi ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang, juga untuk mendorong pergerakan perekonomian, baik pada saat ini maupun masa datang.

Arah pemberian stimulus ini sendiri adalah meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan daya saing dan daya tahan dunia usaha, dan meningkatkan belanja infrastruktur padat karya untuk menyerap tenaga kerja. Pertanyaannya adalah apakah keempat tujuan pemberian stimulus tersebut bisa dicapai? Ini pekerjaan besar yang memerlukan skenario jitu untuk menjalankan stimulus.

Dari sisi meningkatkan daya beli masyarakat, stimulus yang diberikan sekarang ini sepertinya tidak terlampau signifikan. Pemberian potongan pajak ataupun subsidi solar misalnya, lebih pada penyelamatan perusahaan dan tentu saja karyawannya.

Perlu skenario agar pemberian insentif itu diikuti penurunan harga produk. Dengan begitu secara relatif daya beli masyarakat naik, karena yang semula tidak mampu membeli barang tertentu, dengan diturunkan harganya, barang itu menjadi terbeli. Kalaupun ada subsidi minyak goreng dan obat generik misalnya, itu harus dilakukan secara langsung lewat operasi pasar secara menyeluruh.

Dalam hal meningkatkan daya saing dan daya tahan usaha barangkali bisa cukup optimal. Berkurangnya pajak dan juga bea masuk untuk bahan baku dan barang modal menjadikan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan menjadi berkurang. Harapannya, ketika biaya berkurang, maka perusahaan akan tetap survive.

Masalahnya yang terkena imbas paling besar adalah perusahaan yang berorientasi ekspor. Jika internal mereka diberi insentif tetapi permintaan pasar luar negeri rendah, masih cukup sulit untuk tetap bertahan. Untuk itu pemerintah harus menskenariokan pemberian insentif untuk lebih menggarap pasar lokal. Kalaupun tetap ekspor, perlu diversifikasi tujuan ekspor yang selama ini tujuan ekspor didominasi ke Amerika, Eropa, dan Jepang.

Bagaimana dengan penyerapan tenaga kerja? Jika proyek infrastruktur berjalan sesuai rencana, cukup banyak tenaga kerja yang terserap. Ada yang menghitung sampai ratusan ribu tenaga kerja, ada pula yang memperkirakan sampai satu juta. Diperlukan skenario lanjutan agar proyek infrastuktur ini terus diperbesar pada tahun berikutnya agar tenaga kerja yang terserap tidak lantas kembali jadi penganggur.

Sejauh ini proyek infrastuktur yang direncanakan adalah proyek langsung dan tidak langsung. Proyek langsung maksudnya langsung ditangani pemerintah seperti pembangunan jalur kereta api, jalan, irigasi, penanggulangan banjir, air minum, perumahan, dan listrik yang dialokasikan Rp 6 triliun. Kemudian infrastruktur tak langsung seperti irigasi tersesier, jalan desa, dan tambak pertanian dianggarkan Rp 4,2 triliun diberikan ke daerah, bahkan pedesaan, dan mereka yang kerjakan.

Bukan pekerjaan mudah untuk menjaga agar stimulus ini berjalan dengan baik. Terbuka kemungkinan untuk melakukan kongkalikong antara pengusaha dan pejabat ketika berembug tentang keringanan pajak. Karena itu pemerintah harus mampu menutup semua pintu yang memungkinkan terjadinya kemungkinan buruk itu dengan melakukan pengawasan berjenjang yang intensif.

Di sisi lain, karena situasi ekonomi dunia sudah begitu memburuk, maka stimulus ini harus segera dilaksanakan, terutama untuk proyek-proyek infrastuktur. Jangan sampai proyek itu baru bisa jalan di akhir tahun sebagaimana yang sering terjadi selama ini. Sekarang ini, ada jutaan rakyat yang sangat membutuhkan pekerjaan agar mereka bisa tetap bertahan hidup.

Umur pemerintahan sekarang ini tinggal beberapa bulan lagi, untuk itu Pemerintah harus membangun kesepahaman bersama yang bersifat permanen agar siapapun nanti presidennya, skenario stimulus itu tetap berjalan mulus. tentu, jika masih memungkinkan paket stimulus ini perlu disuntik lagi dengan stimulus yang sifatnya langsung, sehingga bisa lebih menggairahkan perekonomian nasional.@

Stimulus di berbagai Negara (dalam dolar AS)
1. Cina ...... 2.046 miliar
2. Amerika Serikat... 860 miliar
3. Jepang.... 484 miliar
4. Uni Eropa... 256 miliar
5. Singapura.. 13,5 miliar
6. Korea Selatan.. 10,1 miliar
7. India.. 10 miliar
8.Thailand.. 8,6 miliar
9.Indonesia.... 6,2 miliar
Sumber : Reuter




Tabel: Stimulus Fiskal
1. Penghematan Pembayaran Pajak
- Tarif PPh Badan+Orang Pribadi+PTK... Rp 43 trilyun (0,8% PDB)
2. Subsidi Pajak-BM/DTP Kepada dunia usaha/RTS
- PPN eksplorasi migas, minyak goreng.. Rp 3,5 triliun (0,07%PDB)
- Bea masuk bhn baku dan brng modal.... Rp 2,5 triliun (0,05%PDB)
- PPh karyawan...........................................Rp 6,5 triliun (0,12%PDB)
- PPh panas bumi ......................................Rp 0,8 triliun (0,02%PDB)
3. Subsidi+Belanja Negara Kepada Dunia Usaha/Lapangan Kerja
- Penurunan harga solar .............................Rp 2,8 triliun (0,05%PDB)
- Diskon beban puncak listrik industri .......Rp 1,4 triliun (0,03%PDB)
- Tambahan belanja infrastruktur................Rp10,2 triliun (0,2%PDB)
- Perluasan PNPM.....................................Rp 0,6 triliun (0,01%PDB)
Total............................................................ Rp71,3 triliun (1,4%PDB)
Sumber Depkeu

Dimuat di Republika edisi 10 Februari 2009

No comments:

Post a Comment