Friday, October 23, 2015

Tahun Pertama Miskin Prestasi

Pelantikan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 sudah berjalan satu tahun. Banyak harapan yang dipanggulkan kepada keduanya.

Hasil survei Indobarometer pada pekan ketiga September lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi rontok 11,5 persen dibanding enam bulan sebelumnya, dari 57,5 persen menjadi 46 persen. Yang tidak puas naik menjadi 51,1 persen. Itu artinya lebih dari separuh masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja presiden.

Jika kita melihat kinerja pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi, persepsi masyarakat itu wajar. Data mengenai pertumbuhan ekonomi yang menurun, bertambahnya jumlah penduduk miskin, naiknya harga bahan pangan, semakin naiknya pengangguran, muramnya komoditas ekspor, seolah-olah mengonfirmasi hasil ketidakpuasan itu.

Jokowi dilantik pada saat ekonomi global sedang krisis. Begitu pegang tampuk kekuasaan, duet Jokowi-JK dihadapkan pada masalah ekonomi cukup pelik. Dengan pengalaman yang masih minim, ditambah soliditas dan kualitas kabinet yang sebagian tidak mumpuni, gerak ekonomi menjadi lamban, jauh dari yang ditargetkan. Belum lagi masalah politik dan hukum yang menggerogoti saat awal kekuasaan.

Berbeda dengan krisis ekonomi 1998. Saat itu, krisis yang terjadi adalah krisis Asia Tenggara (plus Korea). Karena krisis regional, di belahan dunia lain yang menjadi sasaran utama ekspor Indonesia, seperti Amerika, Jepang, Eropa, dan Cina masih tetap jaya. Saat itu, ada beberapa sektor, termasuk tambang dan perkebunan yang justru berpesta karena ekspornya tetap bagus.

Sementara, krisis kali ini adalah krisis global. Hampir seluruh negara ekonominya merosot, terutama Cina dan Eropa, sehingga terjadi penurunan permintaan. Sektor komoditas primer terpukul paling keras, padahal selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia pun terpukul. Ditambah lagi sangat lambatnya pencairan dana APBN, lengkaplah prasyarat terjadinya perlambatan ekonomi.

Maka, pertumbuhan ekonomi terus turun sejak Jokowi menjadi presiden hingga pertengahan tahun ini. Pada kuartal terakhir 2014, ekonomi tumbuh 5,02 persen, pada kuartal I 2015 turun menjadi 4,72 persen, kuartal II kembali turun menjadi 4,67 persen.

Akibat penurunan pertumbuhan ekonomi itu, terjadilah PHK. Menteri Tenaga Kerja memperkirakan ada 60 ribu orang terkena PHK, versi organisasi buruh sekitar 100 ribu orang. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun sampai membentuk desk khusus investasi tekstil dan sepatu untuk mencegah PHK.

Begitu ada PHK, pengangguran pun semakin meningkat karena angkatan kerja baru tidak tertampung. Menurut data Indef, angka pengangguran terbuka naik dari 7,1 persen pada semester I 2014 menjadi 7,5 persen pada semester I 2015.

Kenaikan angka pengangguran secara tidak langsung berimplikasi pada jumlah orang miskin. Pada masa pemerintahan Jokowi, jumlah orang miskin naik dari 10,96 persen pada September 2014 menjadi 11,5 persen pada Maret 2015. Jadi, naik dari 27,72 juta menjadi 28,59 juta. Semakin bertambahnya orang miskin ini menunjukkan pertumbuhan tidak dinikmati merata sehingga kesenjangan bisa kian meningkat.

Kenyataan lain adalah naiknya pinjaman luar negeri oleh pemerintah maupun (terutama) swasta. Pada Oktober 2014, posisi utang luar negeri 295,9 miliar dolar AS (pemerintah 133,1 miliar dolar dan swasta 162,8 miliar dolar). Pada Juni 2015 sudah 304,3 miliar dolar (pemerintah 134,6 miliar dolar dan swasta 169,7 miliar dolar). Kita ingat yang membuat krisis 1998 makin parah adalah membubungnya utang luar negeri swasta.

Kurs rupiah juga menjadi pusat kekhawatiran karena sejak Jokowi dilantik, rupiah cenderung melemah dan menciptakan rekor terburuk sejak krisis 1998. Bahkan, pada akhir September 2015 berada pada Rp 14.811 per dolar.

Beruntung the Fed memberikan kepastian tidak akan menaikkan bunga dalam waktu dekat. Kepastian itu menjadi pemicu menguatnya mata uang global terhadap dolar, termasuk rupiah. Ditambah empat paket ekonomi pemerintah plus intervensi miliaran dolar dari Bank Indonesia, rupiah pun melejit. Pada pekan pertama Oktober, rupiah sudah di posisi Rp 13.400 per dolar.

Dalam bidang pertanian juga begitu. Swasembada beras, jagung, dan kedelai yang ditargetkan tercapai pada tiga tahun pemerintahan Jokowi belum menampakkan kecenderungan menggembirakan. Swasembada daging juga masih menjadi angan-angan, bahkan pemerintah sempat dipermainkan mafia daging. Harga daging pun melejit memberatkan masyarakat.

Layak diapresiasi
Meski begitu bukan berarti tak ada hal yang bisa dicatat dari kinerja pemerintahan. Aksi jibaku Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam kengototannya menenggelamkan kapal asing pencuri ikan layak diapresiasi. Hanya saja, dampak ekonomi gebrakan itu belum begitu terasa karena baru mengamankan potensi kerugian, sementara penerimaan dari sektor ini jauh dari yang ditargetkan.

Kinerja Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono juga pantas diapresiasi. Beberapa proyek infrastruktur yang selama ini mangkrak dihidupkan lagi, seperti Waduk Jatigede, juga beberapa ruas jalan tol yang mandek, seperti di Jawa Tengah dan Jabotabek. Tol Sumatra sudah mulai dibangun, jalan di wilayah perbatasan juga, lumpur Lapindo relatif selesai, belasan bendungan di berbagai pulau sudah 75 persen selesai, belum lagi pembangunan 512 ribu rumah bagi rakyat.

Kinerja Susi maupun Basuki, dan juga beberapa menteri lain, seperti Menteri ESDM yang memberikan kepastian berusaha, Menko Perekonomian dengan paket ekonominya, dan sebagainya. Semua itu baru memberikan fondasi, belum mendampakkan hasil konkret yang bisa langsung dirasakan masyarakat. Jika pemerintah konsisten, fondasi ini akan mampu melejitkan ekonomi mendatang.

Secara keseluruhan, belum terlihat prestasi menonjol dari pemerintahan Jokowi-JK setahun ini sehingga boleh dibilang masih miskin prestasi. Ada beberapa indikator perbaikan, seperti defisit transaksi berjalan membaik, inflasi cenderung rendah, kurs rupiah dan indeks saham menguat, tapi itu belum cukup dicatat sebagai prestasi monumental.

Meski begitu, setidaknya fondasi kekuatan ekonomi sudah mulai dibangun. Ibaratnya, beberapa program dan kebijakan saat ini masih dalam tahap investasi, belum menghasilkan. Jika fondasi dan investasi itu dilanjutkan dengan trek yang benar, pada tahun kedua nanti bukan lagi tahun yang miskin prestasi, melainkan sarat prestasi. 

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence


Dimuat di Republika Selasa, 20 Oktober 2015,


Tuesday, September 29, 2015

Lampu Kuning Kemiskinan

Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata bukan saja angka nominal yang naik, tetapi juga persentase. Pada Maret 2015 tercatat jumlah penduduk miskin 28,95 juta (11,22 persen), naik 860 ribu jiwa dari 27,73 juta (10,96 persen) pada September 2014. Garis batas kemiskinan rata-rata adalah Rp 330.776. Artinya masyarakat miskin di Indonesia adalah yang pengeluaran tiap bulan lebih rendah dari nilai tersebut.

Kondisi memprihatinkan itu terasa makin lengkap karena indeks kedalaman (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga semakin memburuk. Tercatat Indeks Kedalaman Kemiskinan pada September 2014 adalah 1,75, naik menjadi 1,97 pada Maret 2015. Pada periode yang sama, Indeks Keparahan Kemiskinan meningkat dari 0,44 menjadi 0,54.

Indeks kedalaman adalah perbedaan antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan. Semakin tinggi indeks berarti pengeluaran masyarakat miskin semakin menjauh dari garis kemiskinan, misalnya, dari Rp 330 ribu menjadi Rp 300 ribu. Sedangkan, indeks keparahan adalah penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin--semakin tinggi indeks, semakin parah kesenjangan antarorang miskin.

Mengapa jumlah masyarakat miskin bertambah? Karena daya beli merosot, pendapatan rakyat tetap, ada yang cenderung turun, bahkan ada yang hilang. Sementara, kebutuhan bahan pokok naik relatif tinggi.

Di perdesaan, misalnya, upah petani merosot, padahal sebagian besar orang desa adalah buruh tani. Di perkotaan, mencari uang makin sulit, bahkan sebagian justru kehilangan pekerjaan karena PHK.

Menurut BPS, dalam beberapa bulan terakhir terjadi kenaikan harga cukup tinggi pada beras, cabai rawit, dan gula pasir. Pengalaman selama ini jika ada gejolak harga bahan pokok, maka akan berpengaruh lang sung terhadap jumlah orang miskin. Masalah pokoknya karena ada pululah juta orang masuk kategori hampir miskin sehingga sedikit saja terjadi lonjakan harga, sebagian dari mereka turun kasta menjadi miskin.

Jika kita coba menengok ke belakang, naiknya jumlah orang miskin merupakan perulangan dari kasus sebelumnya, yakni terkait kenaikan harga BBM. Pengalaman menunjukkan, setiap kenaikan harga BBM akan diikuti meningkatnya jumlah orang miskin. Logikanya, harga BBM naik membuat harga kebutuhan pokok naik sehingga nilai garis kemiskinan juga naik. Karena garisnya naik, maka masyarakat yang hidup di bawah garis tersebut makin banyak.

Kita lihat pada 2005 ketika harga BBM (Premium) dinaikkan dua kali dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter pada Maret, dan naik lagi menjadi Rp 4.500 pada Oktober, jumlah orang miskin bertambah dari 35,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 39,3 juta pada 2006.

Begitu juga ketika 22 Juni 2013, pemerintah menaikkan harga BBM dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, jumlah orang miskin naik dari 28,17 juta menjadi 28,6 juta. Naiknya jumlah orang miskin per Maret 2015 pun tak lepas dari kenaikan BBM pada 18 November 2014 dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500.
Jika setiap terjadi gejolak harga, terutama setelah kenaikan BBM, selalu berimplikasi pada kenaikan jumlah penduduk miskin, mengapa tidak diantisipasi dengan pembagian raskin yang diperbanyak, misalnya. Bahkan, seperti pengakuan Menko Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah sudah memprediksi kenaikan jumlah orang miskin (Republika, 17/09/15). Jika sudah tahu akan naik, mengapa tidak dilakukan langkah strategis pencegahan?
Kenaikan harga kebutuhan pokok memang tak semata diakibatkan BBM, ada masalah distribusi, ada pula masalah permainan.

Memperingati satu tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, naiknya jumlah orang miskin tentu bukan kabar baik. Di tengah sorotan tajam tentang kinerja yang tak memuaskan, masyarakat pun mulai terkena sindrom "good old days" atau mengenang masa lalu yang sebetulnya tidak semua bagus.

Good old days ini akan memuncak manakala pemerintah lambat meng atasi gejolak ekonomi. Pertumbuhan ekono mi yang turun dibanding tahun sebelumnya, harga pangan yang naik tak terkendali, kurs dolar AS yang terus memecahkan rekor tetinggi, pengangguran yang meningkat, PHK di mana-mana, adalah problem di depan mata.

Harapan rakyat rupanya terlalu besar pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam satu tahun pemerintahan ini kinerjanya mengecewakan. Betul ada faktor eksternal, tetapi kita tidak bisa terus menyalahkan eksternal, faktor internal harus diperkuat. Perlu kabinet yang mumpuni dan kompak.

Nawacita yang menjadi pegangan mewujudkan cita-cita bangsa masih terkerdilkan. Semangat membangun dari pinggiran dengan memperkuat pembangunan desa, misalnya, masih terseok-seok karena ketidaksiapan daerah mengeksekusi dana desa yang ratusan juta rupiah per desa.

BPS kini sedang menyurvei lagi angka kemiskinan. Besar kemungkinan per September ini jumlah orang miskin akan bertambah mengingat nasib petani di desa belum berubah dengan upah rendahnya, sementara di perkotaan gelombang PHK terus terjadi. Permasalahan kemiskinan sudah lampu kuning. Jika tidak diselesaikan dengan baik, lampu merah akan menyala, saat seperti itu revolusi sosial pun gampang disulut.

Pemerintah harus bekerja keras menggenjot pertumbuhan. Karena dengan pertumbuhan itulah pendapatan rakyat bisa meningkat sehingga kemiskinan bisa berkurang. Tentu pertumbuhan harus disertai pemerataan.

ANIF PUNTO UTOMO
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di opini Republika, Sabtu, 26 September 2015

Wednesday, September 23, 2015

Kemerdekaan dan Patriotisme Ekonomi

Tahun ini usia kemerdekaan kita tepat 70 tahun. Pertanyaannya, apakah rakyat sudah memperoleh kemerdekaan sesungguhnya?

Jika kita melihat jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, jawaban yang jujur adalah kita belum benar-benar merdeka. Rasanya tidak pantas, sebuah negara yang dianugerahi dengan kekayaan sumber alam melimpah, masih ada 30 juta rakyat hidup miskin.

Kita memiliki tambang minyak dan gas, kita memiliki tambang emas, perak, batu bara, tembaga, nikel, timah, belum lagi hamparan tanah yang subur. Seharusnya negeri kita sudah makmur. Namun, ternyata tidak. Justru negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam berkembang jauh melampaui kita, seperti Korea. Jangan-jangan kita terkena curse of wealth (kutukan kekayaan), artinya negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, tetapi rakyatnya miskin.

Dalam membangun ekonomi, Indonesia dan Korea relatif dimulai pada era yang sama. Korea mengawali pada awal 1960-an, kita sedikit lebih lambat, yakni pertengahan 1960-an ketika Indonesia bermigrasi dari era ‘politik menjadi panglima’ ke ‘ekonomi menjadi panglima’. Ada benang merah yang menjadikan ekonomi di Korea dan Indonesia berbeda, yakni patriotisme ekonomi.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Jack Lew di depan kongres mengatakan, "Apa yang dibutuhkan negara adalah rasa baru tentang patriotisme ekonomi, di situ kita akan bangkit atau terjun bersama." Kemudian secara tak langsung ditambahkan oleh Barack Obama, "Hal yang membuat negara besar adalah rasa tujuan bersama dan patriotisme, patriotisme ekonomi."

Sejauh ini memang belum ada teori tentang patriotisme ekonomi sehingga frase itu baru sebatas retorika, termasuk di Amerika. Akan tetapi, meskipun belum terformulasikan secara utuh dalam textbook keilmuan ekonomi, patriotisme ekonomi sudah membuktikan keampuhannya sebagaimana yang dilakukan Korea.

Di Wikipedia, patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Di situ ada nilai-nilai kepahlawanan sehingga jiwa patriot lebih banyak dilekatkan pada seorang prajurit. Namun, sebetulnya jiwa patriot dapat melekat pada siapa saja yang memiliki sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara.

Ihwal patriotisme ekonomi, sebetulnya tidak muluk-muluk, justru kekuatannya pada hal-hal sederhana, misalnya memakai produk dalam negeri. Kenyataan menunjukkan, negara-negara yang berangkat maju, memulainya dengan fanatisme terhadap produk lokal. Permintaan akan produk lokal inilah yang menghidupkan pabrik sehingga ekonomi bergerak dan lapangan kerja terbuka. Di Jepang atau Korea, kita sulit menemukan barang produk asing.

Kita, Indonesia, lemah pada sektor ini. Kecintaan pada produk dalam negeri terempas oleh pragmatisme dan hedonisme yang cenderung berkiblat pada produk luar negeri. Produk asing seolah segalanya, sebaliknya produk lokal selain dicap tidak berkualitas juga bergengsi rendah. Tak jarang produk lokal lantas dilabeli merek asing agar dikira produk asing. Dan, terbukti lebih laku.

Jiwa patriotisme harus dibangkitkan agar negara kita bisa maju dan makmur. Untuk itulah, diperlukan keteladanan pemimpin. Seorang pemimpin selain harus mampu menginspirasi, juga harus mampu memberikan teladan kepada rakyatnya. Mencintai dan memakai produk dalam negeri, memerlukan keteladanan.

Pada 1980-an kita ingat lagu Bimbo ‘Aku cinta semua cinta buatan Indonesia’ selalu ditayangkan di TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Tujuannya  jelas, mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai dan memakai produk lokal. Hasilnya nol besar. Lagu tinggal lagu, sementara masyarakat masih menyukai dan memakai produk asing.

Tentu bukan salah Bimbo, tetapi memang pemerintah hanya beretorika, hanya berslogan ria. Tidak ada langkah konkret yang dituangkan dalam kebijakan, tak ada pula teladan dari pemimpin untuk memakai produk Indonesia. Tidak ada trust dari rakyat kepada pemimpin, hingga akhirnya semua hanya pepesan kosong, ajakan yang tak bermakna.

Ketika Jusuf Kalla menjadi wakil presiden saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia kembali menggelorakan semangat mencintai produk dalam negeri. Maka, pakaian yang dia kenakan hampir selalu batik. Gaya berpakaian kemudian banyak diikuti pejabat pemerintah, diikuti dengan kampanye gencar, batik pun kian memasyarakat. Kini, batik menjadi pakaian sehari-hari.

Kalla juga selalu memakai sepatu buatan Cibaduyut. Karena memberi contoh, bawahannya pun mulai mengikuti. Sekali-kali ketika sidang kabinet, dia tanya kepada menteri-menterinya, merek sepatu apa yang dipakai, beberapa menteri malu-malu menjawabnya karena masih memakai merek asing. Ada pula yang mereknya dikelupas agar aman dari ‘razia’.

Dalam skala yang lebih besar, ketika Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dibangun, Kalla mensyaratkan agar bandara itu dibangun oleh tenaga ahli dalam negeri. Dan terbukti, bandara baru nan megah itu berhasil dibangun oleh tangan-tangan Indonesia, mulai dari desain, pembangunan, sampai finishing. Ternyata kita bisa! Kini, semua bandara dibangun oleh tenaga ahli kita sendiri, termasuk di Bali dan perluasan Bandara Soekarno-Hatta.

Selama ini kita terlalu silau dengan sesuatu yang serbaasing. Bahkan untuk traksaksi dalam negeri pun tak sedikit yang memakai dolar sehingga untuk mengembalikan ke rupiah, harus ada pemaksaan lewat kebijakan. Jadi, selain keteladanan, kebijakan yang dikeluarkan menjadi kunci sekaligus mencerminkan seberapa tinggi patriotisme pemimpin.

Kebijakan pembuatan smelter untuk mengolah bahan mentah pertambangan gagasan Hatta Rajasa itu adalah patriotisme ekonomi. Pembangunan 35 ribu mw pembangkit listrik yang mayoritas memakai batu bara, kebijakan menghentikan impor bawang dan beras, kebijakan kenaikan bea masuk barang konsumsi, pemesanan kapal dan senjata oleh TNI ke industri dalam negeri, instruksi pemakaian baja dan besi lokal untuk di proyek konstruksi, kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan, itu semua wujud patriotisme ekonomi.

Kita perlu lebih banyak lagi kebijakan yang berpihak pada peningkatan kapasitas dalam negeri. Kita risau karena negara ini hanya menjadi pasar barang konsumsi produk asing, mulai dari makanan dan minuman, gadget, peralatan elektronik, sampai motor dan mobil. Pasar nasional harus kita rebut dengan produk hasil tangan-tangan anak bangsa. Perlu terobosan berani dari pemerintah.

Ketika globalisasi dan neoliberal menyandera perekonomian kita, tentu semakin sulit untuk mengembangkan patriotisme ekonomi. Namun, bukan berarti tidak bisa. Masih tetap ada celah bagi kita untuk bermain.

Memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-70 ini, saatnya jiwa patriotisme ekonomi digelorakan demi terangkatnya martabat puluhan juta rakyat miskin. Mulailah dari pemimpin, rakyat akan mengikutinya. Merdeka! n

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

*Artikel ini dimuat di rubrik Opini Republika, Kamis, 13 Agustus 2015     

Wednesday, July 1, 2015

Ketika Habibie, Ketika Jokowi

Hari ini, 17 tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur, bersamaan dengan itu pula BJ Habibie langsung dilantik menjadi presiden ke-3 Republik Indonesia. Upacara pelantikan dilakukan secara sederhana dan singkat di Istana Negara.

Jutaan rakyat menyambut gembira. Ribuan mahasiswa yang sudah berhari-hari menduduki Gedung DPR-MPR meluapkan kegembiraannya dengan berbagai ekspresi. Apakah reaksi kegempitaan itu mensyukuri Habibie menjadi presiden? Bukan. Mereka bersorak karena Soeharto turun. Tidak ada yang bersorak untuk Habibie, bahkan dia di-bully karena dianggap sebagai penerus Soeharto. Apalagi, Habibie pernah mengakui Soeharto sebagai guru politiknya.

"Saya dijadikan manusia yang tidak memiliki kredibilitas karena berbagai pernyataan yang bernada menghina dan mengolok, menyinggung perasaan siapa saja yang mengenal dan berkawan dengan saya," tulis Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan. Jadi, ketika dilantik, Habibie bukannya disambut dengan lagu kemenangan, tetapi justru hinaan dan olokan.

Begitu menjadi presiden, Habibie dihadapkan pada kompleksitas masalah yang pelik dan multidimensi. Termasuk salah satunya, masalah ekonomi karena terjadi hiperinflasi, pertumbuhan ekonomi negatif, suku bunga sangat tinggi, kurs rupiah jeblok, rush dana di perbankan karena belasan bank ditutup, ribuan perusahaan bangkrut, angka kemiskinan dan pengangguran melonjak, serta kepercayaan masyarakat yang runtuh.

Saat itu, suasana dipenuhi prasangka buruk dan keraguan. Banyak intelektual kehilangan intelektualitasnya, persis seperti ketika masa kampanye Pilpres 2014 antara Prabowo dan Jokowi. Para intelektual itu meyakini bahwa Habibie tidak mampu menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan. Bahkan, PM Singapura Lee Kuan Yew pun menyepelekan dengan mengatakan, Habibie tidak mampu membenahi ekonomi dan dolar AS tembus Rp 20 ribu.

Habibie tidak mau berpolemik, dia hanya ingin membuktikan bahwa mereka keliru. Kemudian gerak cepat dilakukan. Diawali dengan pembentukan Kabinet Reformasi yang hanya 24 jam setelah Habibie dilantik, posisi Gubernur Bank Indonesia independen, mata uang rupiah tetap bebas bergerak sesuai pasar, melepaskan semua tahanan politik, memberikan kebebasan pers, dan bersama pimpinan DPR/MPR membahas percepatan pemilu.

Di tengah keinginan menjatuhkan Habibie yang semakin masif, Habibie terus melakukan langkah taktis dan strategis. Di perbankan, pembenahan dilakukan dengan penyelamatan, penutupan, dan merger. Merger empat bank pemerintah: Bank Bumidaya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bapindo menjadi Bank Mandiri merupakan kerja besar yang menuntut nyali besar pula.

Pembenahan juga dilakukan dalam bidang politik. Karena, bagaimanapun permasalahan ekonomi tidak bisa lepas dari dinamika politik. Salah satu poin penting adalah mempercepat pemilu. Itu berarti Habibie mengamputasi periode kepemimpinannya menjadi hanya 18 bulan (bukan lima tahun) sesuai dengan jadwal pemilu yang dipercepat tersebut. Habibie juga mempercepat produk hukum sehingga sampai 1,3 UU setiap hari untuk menunjang reformasi.

Kerja keras menunjukkan hasil. Rupiah terhindar dari free fall, bahkan menguat tajam dari Rp 16 ribu per dolar AS menjadi Rp 9.200 per dolar pada akhir 1998. Pada periode yang sama, inflasi turun, pertumbuhan ekonomi masih negatif, tetapi mulai bekurang; indeks bursa naik; suku bunga SBI turun. Penguatan yang signifikan baru terlihat pada akhir 1999 ketika inflasi sudah terkendali, pertumbuhan ekonomi mulai terlihat.

Nah, sekarang kita coba lihat Jokowi. Ketika dilantik menjadi presiden, dia dielu-elukan oleh jutaan orang, bahkan disambut dengan arak-arakan khusus dari gedung DPR sampai Istana Negara. Malam harinya masih dibuatkan pesta di Monas semalam suntuk.

Lantas dalam pembentukan kabinet, Jokowi butuh waktu 7x24 jam, itu pun personelnya banyak yang mengecewakan karena sebagain besar orang parpol. Kondisi itu memperlihatkan bahwa Jokowi tidak punya kuasa penuh dalam membentuk kabinet. Intervensi partai pendukung amat kental. Intervensi juga terlihat saat pemilihan kapolri sehingga secara tidak langsung Jokowi memberi angin untuk melakukan kriminalisasi terhadap personel KPK dan penggiat antikorupsi.

Pada bulan-bulan awal pemerintahan, Jokowi mendapat gangguan dari partai yang berseberangan. Suasana politik sempat gaduh, tapi jauh lebih senyap dibanding ketika Habibie menjadi presiden. Saat ini muncul beberapa keinginan untuk menghentikan Jokowi sebagai presiden, tapi itu baru wacana segelintir orang. Pada masa Habibie, upaya menurunkan bukan hanya wacana, melainkan sudah merupakan gerakan.

Perbedaan juga dalam hal ekonomi. Habibie mewarisi resesi ekonomi yang sangat akut dengan fondasi ekonomi yang sudah ambruk. Sedangkan, Jokowi mewarisi ekonomi yang jauh lebih baik. Inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, kurs dolar stabil, cadangan devisa kuat, dan lainnya.

Memang ada persoalan subsidi BBM yang terlalu besar, kesenjangan yang kian melebar, infrastuktur yang terbengkalai, dan persoalan perizinan yang masih bertele-tele, tapi tetap tidak mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat secara langsung.

Logikanya, dengan kepercayaan masyarakat yang besar serta kondisi politik dan ekonomi yang stabil, Jokowi bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Kenyataannya justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi turun dari 5,02 pada kuartal IV 2014 menjadi 4,71 persen, rupiah anjlok dari Rp 12.020 menjadi Rp 13.100 per dolar AS, ekspor menurun, indeks saham rontok, harga beras naik, pertumbuhan kredit menyusut, penyerapan anggaran sangat kecil, dunia usaha kesulitan, dan pengangguran meningkat. Wajar jika tingkat kepuasan publik merosot drastis.

Situasi dan kondisi yang dihadapi masing-masing presiden tentu saja berbeda. Namun, dari paparan di atas, setidaknya Jokowi bisa belajar dari Habibie tentang bagaimana membangkitkan perekonomian. Kuncinya adalah setia pada visi (dalam hal ini adalah Nawa Cita), independen dalam membuat kebijakan, konsisten dengan apa yang diucapkan dan dijanjikan, manajemen kesekretariatan negara yang baik, serta menjadikan kritik—bahkan hinaan dan cacian—sebagai energi positif untuk berbuat yang lebih baik.

 Oleh Anif Punto Utomo/Direktur Indostrategic Economic Intelligence

*Artikel ini dimuat di Harian Republika, 21 Mei 2015


Friday, June 19, 2015

Pertaruhan Kapabilitas Pemerintah

Kekecewaan yang diungkapkan lewat suara sumbang terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla makin sering terdengar. Media sosial yang sekarang menjadi rujukan untuk melihat tren di masyarakat menjadi arena paling empuk untuk melampiaskan kekecewaan tersebut. Kebijakan Jokowi yang membuat kecewa memang datang beruntun dan lengkap, yakni meliputi politik, hukum, dan ekonomi.

Pada awal pemerintahan, Jokowi mengecewakan masyarakat terkait dominannya partai politik dalam menentukan anggota kabinet. Tarik ulur di partai politik itu membuat keputusan pengumuman kabinet menjadi lama, dan celakanya banyak pilihan menteri yang tidak berkualitas.

Kekecewaan berikutnya terkait dengan hukum, yakni diajukannya Budi Gunawan--yang saat itu menjadi tersangka-sebagai calon Kapolri. Meskipun akhirnya Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan, masyarakat sudah telanjur kecewa. Apalagi, di kemudian hari yang bersangkutan diangkat menjadi wakil Kapolri. Kekecewaan di bidang hukum makin memuncak manakala komisioner KPK dan pegiat antikorupsi dikriminalisasi.

Ketika runtutan kekecewaan itu belum hilang sepenuhnya dari ingatan, Jokowi meneruskan dengan kekecewaan berikutnya, yakni ekonomi. Masyarakat kecewa dengan kinerja ekonomi yang pada semester pertama tahun ini memburuk, setidaknya menurun dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi kuartal I yang hanya 4,71 persen mengonfirmasi kondisi tersebut. Kuartal II diperkirakan tidak jauh dari angka itu.

Menurunnya pertumbuhan ekonomi merupakan satu dari lima penyebab kekecewaan di bidang ekonomi. Empat lainnya adalah, pertama, harga kebutuhan bahan pokok naik dan dikhawatirkan bergerak liar saat memasuki Ramadhan. Kedua, pengangguran meningkat karena peluang kerja yang ada tak mampu menyerap angkatan kerja baru. Ketiga, mulai terjadi PHK di berbagai perusahaan. Keempat, kurs rupiah yang terus merosot bahkan sempat hampir Rp 13.400 per dolar AS.

Saat ini, ujian yang sudah ada di depan mata adalah gejolak harga pada bulan Ramadhan. Sebagaimana biasa, setiap bulan puasa, harga bahan pokok terbang tak terkendali. Permintaan memang naik, tetapi oleh tengkulak dan spekulan di lapangan dibikin seolah-olah permintaan melonjak luar biasa sedangkan pasokan tipis sehingga harga bisa dipermainkan.

Pemerintah mau tidak mau harus mampu mengendalikan harga agar masyarakat terutama kelas bawah tidak menderita dan juga agar tidak menambah kekecewaan masyarakat. Pengalaman tahun lalu bisa menjadi pembelajaran baik ketika pemerintah berhasil mengendalikan harga pada bulan Ramadhan.

Saat itu, Chairul Tanjung yang menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selalu memantau pergerakan harga. Jika ada kenaikan tak wajar, dia langsung turun ke pasar. Dengan pengalamannya sebagai padagang, dia bisa tahu mana harga yang naik wajar, mana yang tidak. Kalau sudah begitu, dia tantang para spekulan dengan melakukan operasi pasar. Hasilnya, Juli 2014, laju inflasi 0,93 persen, inflasi yang relatif rendah untuk bulan Ramadhan.

Selain operasi pasar, keberhasilan meredam kenaikan harga tak lepas dari langkah Kementerian Perdagangan yang mengubah strategi persiapan kebutuhan pokok dari tiga bulan sebelum Idul Fitri menjadi tiga bulan sebelum Ramadhan. Selain itu, pasar modern yang memenuhi 30-35 persen kebutuhan masyarakat juga berkontribusi dalam pengendalian harga karena di situ tidak terjadi spekulasi. Kebetulan pula, masa panen saat itu tertunda sehingga masa panen bertepatan dengan Ramadhan.

Dalam jangka pendek ini, pemerintah harus fokus pada pengendalian harga. Sampai tulisan ini dibuat, masih terjadi perdebatan perlu perpres atau tidak. Kemendag mendesak Presiden membuat perpres untuk mengendalikan harga dan menjamin ketersediaan bahan pokok sesuai amanat UU Perdagangan No 7/2014 (Republika, 17/6/15). Sementara, Wapres Jusuf Kalla memandang tidak perlu.

Kita tidak perlu terjebak dalam perdebatan tersebut. Bagi masyarakat, yang penting harga tidak naik di luar nalar. Pemerintah perlu sigap dan tepat, termasuk dalam melakukan operasi pasar. Kegagalan operasi pasar bawang merah awal Juni lalu di Pasar Kramat Jati, Jakarta, menjadi pelajaran berharga. Fokuskan pada ketersediaan bahan pokok, terutama untuk beras, bawang, minyak goreng, telur, ayam, dan daging.

Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Bulog perlu bersinergi dengan satu komando Menteri Koordinator Ekonomi. Pemerintah harus memiliki amunisi yang cukup untuk mengontrol dan mengendalikan harga. Kemudian, mengatur strategi yang jitu untuk berperang melawan mafia pangan. Kunci utama sebetulnya adalah ketersediaan barang. Karena itulah, peran Bulog perlu diperkuat agar mampu menjadi badan penyangga.

Keberhasilan pemerintah dalam mengontrol harga pada Ramadhan ini akan menjadi nilai plus bagi Jokowi. Tetapi sebaliknya, jika gagal, kekecewaan masyarakat makin menumpuk.

Jika kita petakan secara sederhana pada masyarakat yang dulu memilih Jokowi saat ini terbagi menjadi tiga level berdasarkan penyikapan terhadap Jokowi. Level pertama adalah mereka yang tetap mendukung penuh Jokowi, level kedua yang kecewa pada kebijakan Jokowi, dan yang paling parah level ketiga menyesal telah memilih Jokowi.

Secara sepintas, mereka yang pada level pertama masih mayoritas, tetapi cenderung diam atau menjadi silent majority. Berikutnya, mereka yang tadinya mendukung sebagian sudah bergerak ke arah kecewa, dan jumlah ini semakin bertambah. Berikutnya karena kekecewaan datang beruntun, mereka patah arang sehingga bukan saja kecewa melainkan sudah bermigrasi menjadi menyesal.

Bulan Ramadhan ini akan menjadi pertaruhan bagi kapabilitas pemerintah, apakah mampu mengatasi lonjakan atau tidak. Kita berharap, Jokowi mampu mengatasinya agar barisan pada level kedua kembali ke level pertama, dan barisan pada level ketiga kembali ke level kedua, bahkan kalau bisa ke langsung level pertama. Bagaimanapun kita perlu pemerintahan yang stabil.

Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence


Dimuat di rubrik opini Republika edisi Kamis 18 Juni 2015

Monday, May 25, 2015

Lawan Ketidakadilan Global!

Pidato Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta 22 April 2015 cukup membuat masyarakat terhenyak. Sebagaimana gaya Jokowi yang kalem, penyampaian pidato itu pun tanpa intonasi yang meledak-ledak, tapi esensi pidatonya garang. Berani. Penuh semangat perlawanan.

Lembaga-lembaga internasional yang saat ini menguasai dunia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dikritik habis. PBB dikatakan tak berdaya. Sedangkan, pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan usang dan harus dibuang.

Pidato itu mendapat sambutan hangat peserta KAA. Maklum, sebagian besar negara yang hadir adalah negara miskin yang tidak menikmati kehadiran lembaga dunia tersebut. Justru terkadang kehadiran mereka hanyalah melanggengkan kemiskinan.

Melawan ketidakadilan global. Begitu inti pidato Jokowi, baik ketidakadilan di bidang politik maupun ekonomi. Kehadiran lembaga tersebut hanya mengeksploitasi negara miskin untuk keuntungan negara yang sudah telanjur kaya. Lembaga dunia tersebut seolah sudah menjadi milik mereka.

Indonesia merasakan betul bagaimana PBB, misalnya, mengangkangi kita. Dalam persoalan Timor Timur, misalnya, dulunya mereka mendukung, tapi ketika keadaan dunia tidak berpihak, mereka menentang. Bahkan, ketika diadakan referendum, skenario kecurangan sudah disiapkan PBB agar Timor Timur lepas dari Indonesia. Lepas dari Indonesia tak masalah, yang jadi pertanyaan kenapa harus dengan kecurangan, dan kecurangan itu oleh PBB pula.

Kemudian, kehadiran Bank Dunia. Begitu masuk 1967, Indonesia langsung dimasukkan dalam jebakan utang. Selain utang semakin membesar, Indonesia juga diharuskan memberikan konsesi proyek besar ke perusahaan multinasional yang mayoritas perusahaan Amerika karena Amerika adalah pemegang saham terbesar Bank Dunia. Celakanya lagi mereka bisa memesan UU yang menguntungkan perusahaan multinasional.

Pengakuan John Perkins --konsultan keuangan yang memberikan rekomendasi ke Bank Dunia-- dalam bukunya Economic Hitman menarik. Dia mengaku pekerjaan utamanya adalah membuat kesepakatan dengan memberikan utang kepada negara berkembang (termasuk Indonesia) yang jauh lebih besar dibanding kemampuan membayar. Dari utang ini, sebagian besarnya harus diberikan kepada Halliburton atau Bechtell melalui proyek engineering dan konstruksi raksasa.

Begitu juga IMF. Kita masih ingat betapa harga diri Indonesia direndahkan ketika Presiden Soeharto membungkuk menandatangani kesepakatan dengan IMF pada 15 Januari 1998, sementara Managing Director IMF Michel Camdessus bersedekap di belakangnya. Kehadiran IMF juga telah membuat krisis Indonesia memuncak karena IMF-lah yang merekomendasikan penutupan beberapa bank swasta, akibatnya terjadi penarikan dana besar-besaran.

Dan yang tak kalah menyedihkan, resep penyelamatan ekonomi yang diberikan IMF hanya copy paste dari resep yang diberikan kepada negara lain. IMF pula yang menjadikan Indonesia dijajah secara ekonomi dengan memberi jalan bagi asing untuk menguasai berbagai industri, termasuk industri keuangan dan telekomunikasi yang begitu strategis. Paham neolib semakin kental dengan kehadiran IMF.

Pengalaman buruk Indonesia terhadap lembaga dunia ditambah pula pengalaman negara berkembang di Asia dan Afrika itulah yang mendasari pidato Jokowi. Jika ingin kemakmuran bisa dinikmati bersama, keadilan global harus ditegakkan. Dan tegaknya keadilan tidak bisa terwujud jika struktur kekuasaan PBB masih didominasi Barat, begitu pula lembaga keuangan dunia masih berpihak kepada negara kaya.

Indonesia bisa menjadi leader untuk menyuarakan kepentingan negara miskin dalam membangun tatanan baru di politik global dan ekonomi dunia. Tetapi, tentu tidak mudah.  Ada beberapa persyaratan yang harus dipersiapkan agar nantinya Indonesia tidak terjebak retorika tak berujung, dan bahkan Indonesia menjadi bulan-bulanan negara maju.

Pertama, Indonesia harus menjadi negara yang stabil secara politik dan maju di bidang ekonomi. Biasanya negara yang ekonominya bagus, politiknya pun stabil. Tidak ada dalam sejarah, sebuah negara dihargai dan memperoleh trust dari negara lain jika negara itu miskin. Amerika saat ini masih menjadi negara terkaya karena itu dia begitu disegani.

Kedua, Indonesia harus mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap Bank Dunia, IMF, dan ADB. Saat ini Indonesia sudah lolos dari jeratan IMF, tapi masih meminjam dana untuk pembangunan dari Bank Dunia dan ADB. Adalah langkah strategis bagi pemerintah dalam mendukung pendirian  Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang digagas Cina. Di situlah Indonesia bisa berpaling dari jeratan utang Bank Dunia.

Ketiga, di dalam negeri, Indonesia harus menunjukkan keberaniannya melawan dominasi asing. Beberapa tahun lalu Exxon dipilih menjadi operator Blok Cepu, itu menunjukkan kekalahan kita dengan Amerika. Begitu pula dengan diperpanjangnya kontrak karya Freeport. Jika kekalahan seperti itu terus berulang, trust terhadap Indonesia melorot, kredibilitas sebagai leader tergerus, dan akhirnya gagal.

Keempat, sebelum memperoleh trust negara lain, harus terbangun dulu trust di dalam negeri. Berbagai survei menunjukkan, enam bulan terakhir kekecewaan masyarakat terhadap Jokowi-Jusuf kalla meningkat. Itu artinya trust sudah tergerus. Kepercayaan masyarakat ini yang harus dikembalikan, terutama terkait kriminalisasi KPK dan pembangkangan kepolisian serta ekonomi yang tak kunjung membaik.

Kritikan yang banyak disampaikan terhadap pidato kebanyakan bukan materi pidatonya, melainkan konsistensi Indonesia. Bagaimana mungkin kita meneriakkan perlawanan terhadap lembaga dunia, sementara Indonesia sendiri masih berkutat dengan masalah ekonomi, politik, dan sosial yang belum terselesaikan dengan baik.

Tetapi, pidato sudah terucap. Jangan sampai pidato hanya sebatas pernyataan tanpa langkah konkret. Sembari membenahi kondisi dalam negeri lewat manajemen pemerintahan yang baik, Jokowi harus terus melakukan penggalangan kekuatan negara-negara di Asia dan Afrika.

Bagaimanapun ketidakadilan yang sudah puluhan tahun membelenggu harus dilawan. Saatnya Indonesia mengambil peran. Kalau tidak kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi? n

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

DImuat di rubrik opini REPUBLIKA - Kamis, 30 April 2015   

Monday, March 9, 2015

Jokowi dan State Capitalism 3.0

Ketika terjadi krisis global pada 2008 yang dipicu kebangkrutan perusahaan keuangan raksasa di Amerika Serikat, perdebatan mengenai state capitalism atau kapitalisme negara menghangat. Pasalnya, Pemerintah Amerika menasionalisasi dengan cara mem-bailout puluhan perusahaan raksasa kapitalis swasta untuk menyelamatkan perekonomian yang nyaris sekarat.

Nasionalisasi korporasi swasta dilakukan dengan memberi dana talangan 700 miliar dolar AS, di antaranya untuk AIG 80 miliar dolar dolar, kemudian Citigroup, JP Morgan, dan Wellw Fargo and Co masing-masing 25 miliar dolar. Selanjutnya, Bank of Amerika sekitar 15 miliar dolar, ada juga Morgan Stanley dan Goldman Sach Group masing-masing 10 miliar dolar. Industri otomotif seperti GM dan Chrisyler ikut di-bailout puluhan miliar dolar.

Di situlah kemudian model ekonomi kapitalisme negara yang banyak dilakukan oleh negara emerging market kembali menjadi perbincangan. Karena, ternyata realitas berbicara bahwa kapitalisme liberal yang selama ini diagung-agungkan dunia—terutama Amerika—sebagai alat kemajuan ekonomi global justru menyebabkan kebangkrutan dunia.

Kapitalisme negara merupakan sebuah sistem di mana pemerintah memainkan peranan besar dan aktif dalam kegiatan ekonomi komersial, baik dengan memiliki dan mengendalikan perusahaan besar milik negara (BUMN) maupun pemberian hak istimewa kepada swasta.

Menurut Andreas Nolke (2013), kapitalisme negara muncul dalam tiga gelombang. Gelombang pertama (state capitalism 1.0) adalah pada abad ke-19 ketika negara, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang, fokus mengembangkan industrinya untuk melindungi kolonisasi Inggris yang saat itu superior. Strateginya adalah menggunakan instrumen tarif dengan memberikan bea tarif masuk yang tinggi.

Gelombang kedua (state capitalism 2.0) bangkit setelah terjadi Great Depression 1929. Begitu terjadi kehancuran ekonomi, negara langsung mengambil peran sentral. Amerika menjalankan apa yang dinamakan “New Deal”, kemudian Eropa menjalankan "Swedish Model", Uni Soviet dengan fasisme dan stalinismenya, sampai pada beberapa dekade berikutnya kebijakan protektif dari Jepang dan Korea yang membuat mereka bangkit.

Berikutnya gelombang ketiga (state capitalism 3.0) dicontohkan oleh negara emerging market, seperti Cina, Brasil, dan India, yang mengontrol ekonomi negaranya, tetapi tetap memberikan ruang kepada perusahaan swasta, terutama perusahaan milik negara (BUMN). Di sini, peran perusahaan milik negara cukup besar dan sengaja ditonjolkan. Di Cina, misalnya, ada China Mobile dan China National Petroleum Corp.

Negara seperti Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat, Qatar, Venezuela, dan Iran juga memberikan peran besar pada BUMN, terutama dalam bidang migas. Di kawasan Asia Tenggara, ada Singapura yang mewadahi BUMN dalam satu induk, yakni Temasek Group yang bisnisnya begitu menggurita merambah banyak negara, termasuk Indonesia. Malaysia juga membentuk holding, yakni Khazanah Nasional Bhd dengan lini bisnis beragam dan juga sudah ekspansi ke berbagai negara, Indonesia tak terkecuali.

Bagaimana Indonesia? Berita menggembirakannya adalah Presiden Joko Widodo memiliki visi untuk memberikan peran lebih besar kepada BUMN. Caranya dengan menyuntik modal. Tahun ini pemerintah—dan sudah disetujui DPR pertengahan Februari lalu—mengalokasikan Rp 43,2 triliun untuk menyuntik modal 30 BUMN. Mekanismenya, untuk perusahaan publik dilakukan dengan right issue (penerbitan saham baru), sedangkan yang nonpublik langsung ditransfer.

Jadi, paradigmanya dibalik, kalau dulu setoran BUMN dijadikan penopang APBN, kini justru BUMN mendapat dana dari APBN. Setoran BUMN diperoleh dari menjual saham dan dari dividen. Setoran dividen belakangan lebih dipilih. Pada 2015 ini, dalam RAPBN yang dibuat rezim Susilo Bambang Yudhoyono, setoran dividen ditargetkan Rp 42,2 triliun, tapi oleh pemerintah baru dipangkas menjadi Rp 33,2 triliun. Tujuannya untuk memberikan ruang agar BUMN untuk lebih cepat tumbuh.

Saat ini, ada 138 BUMN yang bergerak lintas bidang, mulai dari keuangan, perdagangan, konstruksi, telekomunikasi, perkebunan, telekomunikasi, pertambangan, pengelolaan pelabuhan dan bandara, transportasi, sampai industri pertahanan. Kinerjanya beragam, ada yang berhasil mengoleksi laba, ada yang rugi. Di beberapa bidang usaha yang sarat persaingan, BUMN mampu mengungguli swasta. Dua perusahaan, yakni Pertamina dan PLN, sudah masuk daftar perusahaan besar dunia, Global Fortune 500.

Pada 2014 total aset BUMN diperkirakan Rp 4.500 triliun, sedangkan perolehan laba ditargetkan Rp 173 triliun. Di bursa saham, posisi BUMN sangat menentukan karena kapitalisasi dari 20 BUMN yang listing mampu memupuk kapitalisasi Rp 1.374 triliun (2014) atau 22,95 persen dari total kapitalisasi Bursa Efek Indonesia (BEI). Melihat posisi ini, berarti BUMN memiliki peran besar terhadap perekonomian.

Hanya saja yang harus dikritisi adalah bagaimana independensi dari BUMN tetap terjaga. Ada tiga mitos akademis dari khazanah keilmuan Barat, yakni BUMN tidak bisa berprestasi karena terbiasa memegang monopoli; BUMN tidak berprestasi karena konsep ‘negara’ adalah konsep yang tidak jelas sehingga kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi; dan BUMN tak bisa lepas dari intervensi politik sehingga BUMN menjadi arena eksploitasi kaum politisi (Sugiharto, 2005).

Jokowi sudah menancapkan state capitalism 3.0 dalam kaitannya dengan pengelolaan BUMN. Langkah tersebut harus dijaga jangan sampai melenceng. Buktikan bahwa tiga mitos para akademisi Barat itu salah besar. Kehadiran BUMN harus memberikan manfaat kepada masyarakat, baik secara langsung maupun tak langsung. n

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di rubrik opini Republika, 27 Februari 2015