Tuesday, September 29, 2015

Lampu Kuning Kemiskinan

Dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata bukan saja angka nominal yang naik, tetapi juga persentase. Pada Maret 2015 tercatat jumlah penduduk miskin 28,95 juta (11,22 persen), naik 860 ribu jiwa dari 27,73 juta (10,96 persen) pada September 2014. Garis batas kemiskinan rata-rata adalah Rp 330.776. Artinya masyarakat miskin di Indonesia adalah yang pengeluaran tiap bulan lebih rendah dari nilai tersebut.

Kondisi memprihatinkan itu terasa makin lengkap karena indeks kedalaman (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) juga semakin memburuk. Tercatat Indeks Kedalaman Kemiskinan pada September 2014 adalah 1,75, naik menjadi 1,97 pada Maret 2015. Pada periode yang sama, Indeks Keparahan Kemiskinan meningkat dari 0,44 menjadi 0,54.

Indeks kedalaman adalah perbedaan antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan. Semakin tinggi indeks berarti pengeluaran masyarakat miskin semakin menjauh dari garis kemiskinan, misalnya, dari Rp 330 ribu menjadi Rp 300 ribu. Sedangkan, indeks keparahan adalah penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin--semakin tinggi indeks, semakin parah kesenjangan antarorang miskin.

Mengapa jumlah masyarakat miskin bertambah? Karena daya beli merosot, pendapatan rakyat tetap, ada yang cenderung turun, bahkan ada yang hilang. Sementara, kebutuhan bahan pokok naik relatif tinggi.

Di perdesaan, misalnya, upah petani merosot, padahal sebagian besar orang desa adalah buruh tani. Di perkotaan, mencari uang makin sulit, bahkan sebagian justru kehilangan pekerjaan karena PHK.

Menurut BPS, dalam beberapa bulan terakhir terjadi kenaikan harga cukup tinggi pada beras, cabai rawit, dan gula pasir. Pengalaman selama ini jika ada gejolak harga bahan pokok, maka akan berpengaruh lang sung terhadap jumlah orang miskin. Masalah pokoknya karena ada pululah juta orang masuk kategori hampir miskin sehingga sedikit saja terjadi lonjakan harga, sebagian dari mereka turun kasta menjadi miskin.

Jika kita coba menengok ke belakang, naiknya jumlah orang miskin merupakan perulangan dari kasus sebelumnya, yakni terkait kenaikan harga BBM. Pengalaman menunjukkan, setiap kenaikan harga BBM akan diikuti meningkatnya jumlah orang miskin. Logikanya, harga BBM naik membuat harga kebutuhan pokok naik sehingga nilai garis kemiskinan juga naik. Karena garisnya naik, maka masyarakat yang hidup di bawah garis tersebut makin banyak.

Kita lihat pada 2005 ketika harga BBM (Premium) dinaikkan dua kali dari Rp 1.810 menjadi Rp 2.400 per liter pada Maret, dan naik lagi menjadi Rp 4.500 pada Oktober, jumlah orang miskin bertambah dari 35,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 39,3 juta pada 2006.

Begitu juga ketika 22 Juni 2013, pemerintah menaikkan harga BBM dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, jumlah orang miskin naik dari 28,17 juta menjadi 28,6 juta. Naiknya jumlah orang miskin per Maret 2015 pun tak lepas dari kenaikan BBM pada 18 November 2014 dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500.
Jika setiap terjadi gejolak harga, terutama setelah kenaikan BBM, selalu berimplikasi pada kenaikan jumlah penduduk miskin, mengapa tidak diantisipasi dengan pembagian raskin yang diperbanyak, misalnya. Bahkan, seperti pengakuan Menko Perekonomian Darmin Nasution, pemerintah sudah memprediksi kenaikan jumlah orang miskin (Republika, 17/09/15). Jika sudah tahu akan naik, mengapa tidak dilakukan langkah strategis pencegahan?
Kenaikan harga kebutuhan pokok memang tak semata diakibatkan BBM, ada masalah distribusi, ada pula masalah permainan.

Memperingati satu tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, naiknya jumlah orang miskin tentu bukan kabar baik. Di tengah sorotan tajam tentang kinerja yang tak memuaskan, masyarakat pun mulai terkena sindrom "good old days" atau mengenang masa lalu yang sebetulnya tidak semua bagus.

Good old days ini akan memuncak manakala pemerintah lambat meng atasi gejolak ekonomi. Pertumbuhan ekono mi yang turun dibanding tahun sebelumnya, harga pangan yang naik tak terkendali, kurs dolar AS yang terus memecahkan rekor tetinggi, pengangguran yang meningkat, PHK di mana-mana, adalah problem di depan mata.

Harapan rakyat rupanya terlalu besar pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dalam satu tahun pemerintahan ini kinerjanya mengecewakan. Betul ada faktor eksternal, tetapi kita tidak bisa terus menyalahkan eksternal, faktor internal harus diperkuat. Perlu kabinet yang mumpuni dan kompak.

Nawacita yang menjadi pegangan mewujudkan cita-cita bangsa masih terkerdilkan. Semangat membangun dari pinggiran dengan memperkuat pembangunan desa, misalnya, masih terseok-seok karena ketidaksiapan daerah mengeksekusi dana desa yang ratusan juta rupiah per desa.

BPS kini sedang menyurvei lagi angka kemiskinan. Besar kemungkinan per September ini jumlah orang miskin akan bertambah mengingat nasib petani di desa belum berubah dengan upah rendahnya, sementara di perkotaan gelombang PHK terus terjadi. Permasalahan kemiskinan sudah lampu kuning. Jika tidak diselesaikan dengan baik, lampu merah akan menyala, saat seperti itu revolusi sosial pun gampang disulut.

Pemerintah harus bekerja keras menggenjot pertumbuhan. Karena dengan pertumbuhan itulah pendapatan rakyat bisa meningkat sehingga kemiskinan bisa berkurang. Tentu pertumbuhan harus disertai pemerataan.

ANIF PUNTO UTOMO
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di opini Republika, Sabtu, 26 September 2015

No comments:

Post a Comment