Wednesday, September 23, 2015

Kemerdekaan dan Patriotisme Ekonomi

Tahun ini usia kemerdekaan kita tepat 70 tahun. Pertanyaannya, apakah rakyat sudah memperoleh kemerdekaan sesungguhnya?

Jika kita melihat jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, jawaban yang jujur adalah kita belum benar-benar merdeka. Rasanya tidak pantas, sebuah negara yang dianugerahi dengan kekayaan sumber alam melimpah, masih ada 30 juta rakyat hidup miskin.

Kita memiliki tambang minyak dan gas, kita memiliki tambang emas, perak, batu bara, tembaga, nikel, timah, belum lagi hamparan tanah yang subur. Seharusnya negeri kita sudah makmur. Namun, ternyata tidak. Justru negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam berkembang jauh melampaui kita, seperti Korea. Jangan-jangan kita terkena curse of wealth (kutukan kekayaan), artinya negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, tetapi rakyatnya miskin.

Dalam membangun ekonomi, Indonesia dan Korea relatif dimulai pada era yang sama. Korea mengawali pada awal 1960-an, kita sedikit lebih lambat, yakni pertengahan 1960-an ketika Indonesia bermigrasi dari era ‘politik menjadi panglima’ ke ‘ekonomi menjadi panglima’. Ada benang merah yang menjadikan ekonomi di Korea dan Indonesia berbeda, yakni patriotisme ekonomi.

Menteri Keuangan Amerika Serikat Jack Lew di depan kongres mengatakan, "Apa yang dibutuhkan negara adalah rasa baru tentang patriotisme ekonomi, di situ kita akan bangkit atau terjun bersama." Kemudian secara tak langsung ditambahkan oleh Barack Obama, "Hal yang membuat negara besar adalah rasa tujuan bersama dan patriotisme, patriotisme ekonomi."

Sejauh ini memang belum ada teori tentang patriotisme ekonomi sehingga frase itu baru sebatas retorika, termasuk di Amerika. Akan tetapi, meskipun belum terformulasikan secara utuh dalam textbook keilmuan ekonomi, patriotisme ekonomi sudah membuktikan keampuhannya sebagaimana yang dilakukan Korea.

Di Wikipedia, patriotisme adalah sikap yang berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Di situ ada nilai-nilai kepahlawanan sehingga jiwa patriot lebih banyak dilekatkan pada seorang prajurit. Namun, sebetulnya jiwa patriot dapat melekat pada siapa saja yang memiliki sikap rela berkorban untuk bangsa dan negara.

Ihwal patriotisme ekonomi, sebetulnya tidak muluk-muluk, justru kekuatannya pada hal-hal sederhana, misalnya memakai produk dalam negeri. Kenyataan menunjukkan, negara-negara yang berangkat maju, memulainya dengan fanatisme terhadap produk lokal. Permintaan akan produk lokal inilah yang menghidupkan pabrik sehingga ekonomi bergerak dan lapangan kerja terbuka. Di Jepang atau Korea, kita sulit menemukan barang produk asing.

Kita, Indonesia, lemah pada sektor ini. Kecintaan pada produk dalam negeri terempas oleh pragmatisme dan hedonisme yang cenderung berkiblat pada produk luar negeri. Produk asing seolah segalanya, sebaliknya produk lokal selain dicap tidak berkualitas juga bergengsi rendah. Tak jarang produk lokal lantas dilabeli merek asing agar dikira produk asing. Dan, terbukti lebih laku.

Jiwa patriotisme harus dibangkitkan agar negara kita bisa maju dan makmur. Untuk itulah, diperlukan keteladanan pemimpin. Seorang pemimpin selain harus mampu menginspirasi, juga harus mampu memberikan teladan kepada rakyatnya. Mencintai dan memakai produk dalam negeri, memerlukan keteladanan.

Pada 1980-an kita ingat lagu Bimbo ‘Aku cinta semua cinta buatan Indonesia’ selalu ditayangkan di TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Tujuannya  jelas, mengajak masyarakat Indonesia untuk mencintai dan memakai produk lokal. Hasilnya nol besar. Lagu tinggal lagu, sementara masyarakat masih menyukai dan memakai produk asing.

Tentu bukan salah Bimbo, tetapi memang pemerintah hanya beretorika, hanya berslogan ria. Tidak ada langkah konkret yang dituangkan dalam kebijakan, tak ada pula teladan dari pemimpin untuk memakai produk Indonesia. Tidak ada trust dari rakyat kepada pemimpin, hingga akhirnya semua hanya pepesan kosong, ajakan yang tak bermakna.

Ketika Jusuf Kalla menjadi wakil presiden saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia kembali menggelorakan semangat mencintai produk dalam negeri. Maka, pakaian yang dia kenakan hampir selalu batik. Gaya berpakaian kemudian banyak diikuti pejabat pemerintah, diikuti dengan kampanye gencar, batik pun kian memasyarakat. Kini, batik menjadi pakaian sehari-hari.

Kalla juga selalu memakai sepatu buatan Cibaduyut. Karena memberi contoh, bawahannya pun mulai mengikuti. Sekali-kali ketika sidang kabinet, dia tanya kepada menteri-menterinya, merek sepatu apa yang dipakai, beberapa menteri malu-malu menjawabnya karena masih memakai merek asing. Ada pula yang mereknya dikelupas agar aman dari ‘razia’.

Dalam skala yang lebih besar, ketika Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dibangun, Kalla mensyaratkan agar bandara itu dibangun oleh tenaga ahli dalam negeri. Dan terbukti, bandara baru nan megah itu berhasil dibangun oleh tangan-tangan Indonesia, mulai dari desain, pembangunan, sampai finishing. Ternyata kita bisa! Kini, semua bandara dibangun oleh tenaga ahli kita sendiri, termasuk di Bali dan perluasan Bandara Soekarno-Hatta.

Selama ini kita terlalu silau dengan sesuatu yang serbaasing. Bahkan untuk traksaksi dalam negeri pun tak sedikit yang memakai dolar sehingga untuk mengembalikan ke rupiah, harus ada pemaksaan lewat kebijakan. Jadi, selain keteladanan, kebijakan yang dikeluarkan menjadi kunci sekaligus mencerminkan seberapa tinggi patriotisme pemimpin.

Kebijakan pembuatan smelter untuk mengolah bahan mentah pertambangan gagasan Hatta Rajasa itu adalah patriotisme ekonomi. Pembangunan 35 ribu mw pembangkit listrik yang mayoritas memakai batu bara, kebijakan menghentikan impor bawang dan beras, kebijakan kenaikan bea masuk barang konsumsi, pemesanan kapal dan senjata oleh TNI ke industri dalam negeri, instruksi pemakaian baja dan besi lokal untuk di proyek konstruksi, kebijakan penenggelaman kapal pencuri ikan, itu semua wujud patriotisme ekonomi.

Kita perlu lebih banyak lagi kebijakan yang berpihak pada peningkatan kapasitas dalam negeri. Kita risau karena negara ini hanya menjadi pasar barang konsumsi produk asing, mulai dari makanan dan minuman, gadget, peralatan elektronik, sampai motor dan mobil. Pasar nasional harus kita rebut dengan produk hasil tangan-tangan anak bangsa. Perlu terobosan berani dari pemerintah.

Ketika globalisasi dan neoliberal menyandera perekonomian kita, tentu semakin sulit untuk mengembangkan patriotisme ekonomi. Namun, bukan berarti tidak bisa. Masih tetap ada celah bagi kita untuk bermain.

Memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-70 ini, saatnya jiwa patriotisme ekonomi digelorakan demi terangkatnya martabat puluhan juta rakyat miskin. Mulailah dari pemimpin, rakyat akan mengikutinya. Merdeka! n

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

*Artikel ini dimuat di rubrik Opini Republika, Kamis, 13 Agustus 2015     

No comments:

Post a Comment