Thursday, November 20, 2014

Kenaikan BBM dan Kemiskinan

Tidak lama lagi, hampir bisa dipastikan pasangan presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla akan mengambil kebijakan yang tidak populis, yakni menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan keniscayaan, sehingga tidak bisa lagi dihindari.   

Berbeda dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono yang keduanya bertipe safety player (pemain aman), duet Jokowi-JK yang kebetulan sama-sama berlatar belakang pengusaha memiliki karakter risk taker (pengambil risiko). Karakter itulah yang menjadikan kenaikan BBM saat ini tak hanya menjadi wacana.   

Melihat realitas problema ekonomi dan energi nasional, saat ini tidak ada pilihan lain yang rasional kecuali menaikkan harga BBM. Tercatat setidaknya ada  sembilan alasan kenapa harga BBM bersubsidi harus naik.   

Pertama, harga BBM bersubsidi sudah terlalu murah, yakni solar Rp 5.500 per liter dan premium Rp 6.500 per liter. Negara di kawasan ASEAN yang lebih miskin dari kita, harga BBM sudah jauh diatas. Vietnam dan Kamboja misalnya untuk kualitas yang sama harga per liternya sekitar Rp 10.000-Rp 11.000.   

Kedua, Indonesia sudah menjadi negara nett importir. Produksi nasional (lifting) terus menurun dimana saat ini sekitar 820 ribu barel per hari, sementara kebutuhan mencapai 1,5 juta barel per hari, sehingga harus mengimpor 700 ribu barel per hari. Jumlah impor itu melebihi  kebutuhan minyak Vietnam dan Kamboja yang harga BBMnya di atas kita.   

Ketiga, sesuai dengan UU No 30 Tahun 2007 Tentang Energi Pasal 7 Ayat 2 bahwa subsidi diberikan untuk masyarakat tidak mampu. Kenyataannya sekarang hampir  70 persen subsidi BBM dinikmati kalangan menengah atas, terbukti yang banyak menguras persediaan bensin di SPBU adalah mobil milik kalangan berada.   

Keempat, menyandera Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besarnya alokasi subsidi energi yang mencapai Rp 400 triliun membuat ruang gerak APBN sangat terbatas. Ruang fiskal sangat terbatas, sehingga tidak optimal dalam mengalokasikan dana untuk program prorakyat dan program yang mengakselerasi pertumbuhan.   

Kelima, menghambat pengembangan energi alternatif. Dengan murahnya harga BBM, maka kreativitas dan inovasi pengembangkan energi alternatif, khususnya yang renewable (dapat diperbarui), mandeg. Brasil, negara yang sukses mengembangkan biofuel dilatarbelakangi oleh kebutuhan mereka yang makin meningkat.

Keenam, ancaman terhadap neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Sudah tiga tahun terakhir ini kita mengalami dobel defisit yakni defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Penyebab utamanya adalah impor minyak yang menguras devisa 120-150 juta dolar AS per hari. Rupiah pun mengalami tekanan sehingga terus terdepresiasi.

Ketujuh, kuota BBM yang ditetapkan dalam APBN 2014 sebesar 46 juta barel sudah makin tipis. Jika jebol, maka untuk menambah kuota harus mengubah UU APBN yang akan memakan waktu. Menaikkan harga otomatis akan mengerem permintaan BBM, sehingga pelampauan kuota bisa dihindari.   

Kedelapan, disparitas harga antara BBM bersubsidi dan harga di pasar sangat tinggi. Akibatnya penyelundupan dan pencurian minyak tumbuh subur. Tertangkapnya kapal tanker curian yang membawa minyak Pertamina beberapa waktu lalu di kawasan Batam yang melibatkan aparat membuktikan kecurigaan ini.  

Kesembilan, Indonesia termasuk negara yang boros energi. Ini terlihat dari indeks elastisitas energi yang pada 2012 di posisi 1,63, sementara Thailand dan Singapura hanya 1,4 dan 1,1. Indeks elastisitas adalah perbandingan laju pertumbuhan konsumsi energi dibanding pertumbuhan ekonomi. Semakin besar, pemakaian energi makin tidak efisien alias boros.  Penggunaan BBM secara tidak produktif memperbesar indeks.   

Dengan  sembilan alasan tersebut, rasanya tak ada alasan lagi untuk menunda kenaikan harga BBM.  Sudah terlalu banyak dana yang dibakar dijalan, yang menurut Presiden Jokowi selama lima tahun terakhir ini mencapai Rp 714,5 triliun. semestinya, dana sebesar itu jika dikelola dengan benar bisa untuk membangun ribuan kilometer jalan raya.   

Memang, belakangan muncul gugatan dari kelompok kritis yakni: harga minyak dunia anjok sampai lebih dari 20 persen, apakah BBM masih perlu naik?   

Betul. Dalam lima bulan terakhir, harga minyak brent merosot dari 105 dolar menjadi 83 dolar per barel. Penurunan dipengaruhi realisai ekonomi global yang lebih rendah dari proyeksi, sehingga menurut prediksi International Energy Agency permintaan minyak pada 2014 hanya tumbuh 1,5 persen. Sebaliknya, dari sisi suplai terjadi peningkatan produksi di Libya, Irak, Arab Saudi, Brasil,  dan Amerika Serikat.   

Tetapi harusnya turunnya harga minyak tetap tidak menjadi alasan. Dari  sembilan alasan di atas, penurunan harga minyak hanya menjawab dua alasan, masih tersisa  tujuh alasan. Lagi pula harga minyak cenderung fluktuatif, meski tahun depan diproyeksi masih sekitar 80-an dolar per barel, tapi jika situasi global tak menentu, bisa melejit kembali ke 100 dolar.   

Hanya saja yang perlu dipertimbangkan secara matang adalah berapa kenaikan  yang masih bisa ditoleransi masyarakat. Karena bagaimana pun, kenaikan BBM  menciptakan spiralling effect yang akan mengerek inflasi yang pada gilirannya menggerus daya beli masyarakat. Perumpamaannya, masyarakat yang tadinya bisa membeli beras 20 kg, karena terjadi inflasi, mereka hanya mampu membeli 16 kg.

Bank Indonesia (BI) kali ini memprediksi, setiap kenaikan Rp 1.000 per liter akan menyebabkan inflasi 1,2 persen, maka jika harga BBM dinaikkan Rp 3.000, berarti secara teoritis akan terjadi inflasi 3,6 persen. Sementara laju inflasi dari Januari-Oktober tahun ini tercatat 4,19 persen. Dengan begitu sampai akhir tahun diperkirakan inflasi sekitar delapan persen.   

Semakin tinggi inflasi, daya gerusnya semakin mematikan, sehingga bisa membuat  masyarakat hampir miskin menjadi miskin. Itu artinya, jika tidak hati-hati, kenaikan BBM akan menaikkan jumlah orang miskin. Pengalaman tahun lalu, ketika BBM dinaikkan 22 Juni 2013,  jumlah orang miskin ikut naik dari 28,06 juta pada Maret 2013 menjadi 28,55 juta pada September 2013.   

Situasi serupa terjadi pada 2005-2006. Pada 2005, pemerintah menaikkan harga BBM dua kali, 1 Maret dan 1 Oktober, total kenaikan premium misalnya dari Rp 1.810 menjadi Rp 4.500 per liter. Akibatnya jumlah orang miskin naik 4,2 juta dari 35,1 juta (Februari 2005) menjadi 39,3 juta (Maret 2006). Saat itu inflasi mencapai 17,95 persen.   

Kenaikan BBM  yang rencananya November ini harus diantisipasi  agar tidak menambah jumlah orang miskin. Pengendalian inflasi menjadi kunci utama. Distribusi  harus lancar agar tidak terjadi kelangkaan barang yang biasanya lantas dijadikan ajang spekulasi. Lakukan operasi  pasar di banyak tempat sepekan sekali. Keberhasilan mengendalikan inflasi pada lebaran Juli silam perlu dipelajari dan ditiru.   

Pemberian semacam bantuan langsung tunai sebesar Rp 200 ribu per keluarga kepada 15,5 juta keluarga akan sedikit membantu masyarakat untuk mempertahankan daya beli. Hanya saja perlu diperhatikan beberapa kritik mengenai dana tunai di antaranya tidak mendidik untuk produktif, membuat malas dan ketergantungan, tidak tepat sasaran, dan menimbulkan kerawanan masyarakat.   

Kenaikan harga BBM diperlukan untuk menyehatkan perekonomian nasional yang ujung-ujungnya adalah untuk kesejahteraan rakyat.  Karena itu jangan sampai kenaikan  justru menambah jumlah orang miskin. Jika ini yang terjadi, bukan saja kepercayaan rakyat akan runtuh, tetapi juga membuktikan sinyalemen bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi bukan untuk rakyat tetapi demi menyenangkan pelaku ekonomi liberal.@

Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Monday, November 10, 2014

Momentum Ekonomi Syariah

Kabinet yang oleh Presiden Joko Widodo diberi nama Kabinet Kerja sudah dilantik. Tak lama setelah dilantik, kabinet yang berjumlah 34 menteri itu sudah langsung bekerja, rapat kabinet pertama dengan Presiden dan Wakil Presiden.

Beragam penilaian pa da susunan kabinet. Ada yang pesimistis, optimistis, ada yang wait and see, melihat perkembangan 100 hari pertama. Yang menggelitik adalah istilah pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, “Baik, tapi tidak menimbulkan wow effeck” alias tidak membuat orang berdecak kagum.

Pasar tampak tidak bergairah menyambut kabinet baru. Pada hari saat pe lantikan, Senin (27/10), kurs rupiah hanya menguat 0,28 persen terhadap dolar AS menjadi Rp 12.035 per dolar. Sebaliknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi representasi respons pasar di lantai bursa terjungkal 0,96 persen ke posisi 5.024.

Dari perspektif ekonomi syariah, ada satu sosok yang menarik, yakni terpilihnya Bambang Brodjonegoro menjadi men teri keuangan. Bambang menyisihkan kandidat kuat lain, salah satunya seniornya, Sri Mulyani.

Bambang Brodjonegoro adalah ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Jika hanya melihat Bambang sebagai menteri keuangan sekaligus ketua umum IAEI, mungkin biasa saja. Namun, saat dikaitkan dengan kolega dia yang sama-sama menjadi komandan dalam otoritas keuangan sekaligus ketua organisasi eko nomi syariah, di situ daya tariknya.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menjadi ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Halim Alamsyah, selain deputi gubernur BI, dia juga ketua umum Pusat Komunika si Eko nomi Syariah (PKES).

Integritas Bambang, Mulia man, dan Halim tentunya tidak diragukan terhadap perkembangan ekonomi syariah. Tinggal menyinergikan keotoritasan trio tersebut mendukung perkembangan ekonomi syariah agar Indonesia men jadi salah satu pusat ekonomi syariah global.

Menengok ke belakang, tonggak sejarah ekonomi syariah dimulai dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 November 1991. Ini merupakah inisiatif masyarakat Islam di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi syariah. Sejak itu industri keuangan dan bisnis syariah berkembang fantastis.

Dalam lima tahun terakhir bank syariah tumbuh 35-40 persen, tetapi jika dilihat dari pangsa pasar masih sangat rendah, posisinya 4,6 persen. Begitu pula industri keuangan lain, seperti asuransi, pembiayaan, ju ga transaksi di bursa saham masih be lum tembus lima persen.

Pencapaian pangsa pasar itu jauh di bawah perbankan syariah di Malaysia yang 23 persen. Betul Malaysia sudah mengembangkan bank sya riah satu dekade sebelum kita. Namun, mereka tidak perlu 20 tahun mencapai pangsa pasar itu, sementara Indonesia hampir seperempat abad masih di bawah lima persen.

Untuk mencapai pangsa pasar itu, Malaysia tidak hanya mengandalkan pertumbuhan organik. Pemerintah sangat concern perkembangan bank syariah sehingga banyak kebijakan keuangan yang menguntungkan sekaligus mendorong bank syariah.

Perlu langkah radikal mengem bangkan ekonomi syariah yang idealnya dimulai dari perbankan. Jika bank syariah tumbuh pesat, industri keuangan lain akan mengikuti, berikutnya gerbong sektor riil syariah juga akan terangkut.

Masalahnya, dari mana memulainya? Berdirinya BMI merupakan langkah revolusioner yang diinisiatori oleh masyarakat atau istilahnya society driven. Kini untuk menjadikan perbankan syariah pangsa pasar 20 persen, dibutuhkan lang kah revolusioner kedua. Dan, revolusi babak ke dua harus dilakukan pemerintah (government driven).

Dua strategi pendekatan pe ngembangan anorganik yang perlu di lakukan pemerintah. Pertama, memiliki bank negara beraset sampai ratusan triliun rupiah. Bank ini akan jadi simbol ekonomi syariah di Indonesia. Negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini mestinya punya bank syariah raksasa.

Alternatifnya adalah memergerkan bank syariah yang dimiliki bank negara, yakni Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, dan BTN Syariah. Jika keempat bank itu dimergerkan, akan memiliki aset sekitar Rp 115 triliun. Tidak cukup besar untuk menjadi bank syariah yang besar. Cara ini juga tidak akan meningkatkan pang sa pasar.

Alternatif lain mendirikan bank syariah baru yang harus ber modal besar, minimal Rp 20 triliun sehingga beraset di atas Rp 200 tri liun. Langkah ini tidak seribet memerger kan bank, tetapi butuh dana tunai dari pemerintah. Jika dilakukan, pangsa pasar bank syariah naik.

Alternatif ekstrem adalah mengonversi bank BUMN menjadi bank syariah. Sebelumnya sempat ada wacana Bank BTN mau di konversi, tetapi urung dilaksanakan. Wacana itu perlu dibangkitkan lagi. Bahkan bukan BTN yang dikonversi, melainkan BRI yang asetnya per September 2014 mencapai Rp 486 triliun.

Menurut kajian Anna Marina dkk (2013), ada kesamaan BRI dan bank syariah, misalnya, customer base yang mirip, yaitu ritel, UKM, pertanian, dan perekonomian rural. BRI juga menggarap pasar bidang infrastruktur, produksi, dan perdagangan produk halal, seperti makanan, minuman, dan obat-obatan.

Jika BRI dikonversi, apalagi dilanjutkan mengakuisi bank syariah yang dimiliki bank BUMN, dengan perhitungan neraca Juni, aset bank syariah itu Rp 591 triliun. Pangsa pa sar pun masih sekitar 13 persen. Namun, setidaknya sudah me nga lahkan aset Bank Islam Malaysia yang Rp 195 triliun dan menjadi salah satu bank syariah terbesar dunia.

Langkah kedua untuk mengembangkan bank syariah sekaligus menunjukkan komitmen, pemerintah membuat kebijakan menempatkan sebagian dana APBN atau dana yang berhubungan dengan pemerintah dan BUMN di bank syariah. Langkah ini yang dilakukan Malaysia sehingga pangsa pasar bank syariah signifikan.

Ketika Anggito Abimanyu menjadi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dia mewajibkan setoran dana dari calon haji lewat bank syariah. Dari sini perbankan syariah memperoleh tambahan dana Rp 16 triliun. Terobosan ini seharusnya menginspirasi otoritas keuangan untuk lebih berperan.

Barangkali kelak tidak akan terulang lagi tiga tokoh ketua umum organisasi ekonomi syariah sekaligus menduduki posisi di puncak otoritas moneter berbeda. Karena itu, sekaranglah saat nya posisi mereka dioptimalkan untuk kebaikan umat. Jadikan kesempatan ini menjadi momentum kebangkitan kedua ekonomi syariah.

Selama ini society driven sudah melakukan langkah revolusioner. Kini, giliran pemerintah dengan government driven melakukan langkah revolusioner untuk menggenjot pangsa pasar bank syariah sebesar negara jiran. Kita tunggu kiprah ketiga tokoh itu untuk menyinergikan kekuatan masyarakat dan pemerintah agar Indonesia menjadi syariah dunia. @
Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika edisi 31 Oktober 214

Tuesday, October 7, 2014

Rupiah di Tubir Jurang

Satu dekade lalu, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden RI, kurs rupiah menguat pada posisi Rp 9.000 per dolar AS. Ada semacam euforia atas kemenangan SBY yang saat itu mengalahkan incumbent Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebuah awal yang gemilang. Kini, di pengujung pemerintahannya, rupiah terseok di posisi Rp 12 ribu per dolar AS.

Terdepresiasinya rupiah disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Keduanya saling memengaruhi dan saling menguatkan sehingga kurs rupah sulit untuk bertahan dan terpaksa harus merosot secara konsisten. Memamg, kelunglaian rupiah tidaklah sendiri. Mata uang kuat seperti euro, misalnya, turun 1,1 persen, begitu pula yen yang terdepresiasi 1,5 persen.

Faktor eksternal yang menjadi penyebab adalah kebijakan pemotongan stimulus moneter (tapering off) oleh the Fed, bank sentralnya Amerika Serikat. Semula, the Fed mengeluarkan kebijakan quantitative easing dengan memborong obligasi pemerintah 85 miliar dolar AS per bulan. Setelah dirasa cukup, stimulus dipangkas menjadi 60 miliar dolar, terus berkurang sampai menjadi 15 miliar dolar per bulan.

Bersamaan dengan itu, indikator ekonomi Amerika menunjukkan arah positif. Inflasi bisa dijinakkan pada kisaran 1,9 persen, ekonomi tumbuh 2,5 persen pada triwulan II 2014, lapangan kerja yang terserap pun meningkat sehingga pengangguran yag tadinya 10 persen kini menjadi 6 persen. Itulah mengapa dolar AS kemudian menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia.

Di sisi lain, situasi domestik yang menjadi faktor internal memiliki peran yang tak kalah besarnya dalam melemahnya kurs rupiah karena di sini terkait dengan terjadinya defisit transaksi berjalan dan membengkaknya utang luar negeri. Defisit transaksi berjalan terus berlangsung, sementara utang luar negeri terutama swasta semakin tidak terkontrol.

Sampai kuartal II 2014 defisit transaksi berjalan mencapai 9,1 miliar dolar AS atau 4,27 persen produk domestik bruto (PDB). Melemahnya harga komoditas primer yang menjadi unggulan ekspor Indonesia, seperti batu bara, CPO, dan produk perkebunan lain, menjadikan neraca perdagangan defisit yang ujung-ujungnya menyumbang terciptanya defisit transaksi berjalan.

Tekanan terhadap defisit transksi berjalan juga akan terus terjadi manakala harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tetap dipertahankan. Saat ini saja setiap hari kita mengimpor BBM sebanyak 850 ribu barel sehingga harus membeli dolar sebanyak 120 juta. Kenaikan harga BBM diyakini akan mengurangi pemakaian BBM sehingga nilai impornya pun berkurang.

Persoalannya, pemerintahan yang sekarang tidak berani menaikkan BBM sehingga harus bersabar menunggu pemerintahan Jokowi-JK. Kenaikan BBM bersubsidi kemungkinan akan dilakukan November dengan besaran sekitar Rp 3.000 per liter. Kenaikan harus segera dilakukan, jika tidak, pada November itu pula kuota 46 juta liter akan habis.

Kenaikan tersebut diyakini akan memberikan kepercayaan kepada investor bahwa pemerintah berani untuk tidak populer demi terbangunnya ekonomi nasional yang kuat. Besarnya subsidi BBM menunjukkan bahwa sebetulnya ekonomi kita rapuh sehingga dari situlah yang menjadi pemantik tergerusnya rupiah. Kepercayaan investor berarti akan menarik dana asing masuk.

Faktor internal kedua yang mengancam rupiah adalah besarnya utang luar negeri (ULN) dari pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan terutama swasta yang celakanya utang jangka pendek cukup signifikan. Untuk swasta dorong peningkatan investasi asing, dan mereka mengambil dana dari negaranya masing-masing. Pengusaha lokal juga banyak menarik pinjaman asing karena lebih murah.

Menurut data Bank Indonesia, sampai Juli 2014 total utang luar negeri mencapai 290,566 miliar dolar AS yang terdiri atas 134,156 miliar dolar (pemerintah dan BI) dan selebihnya 156,410 miliar dolar AS swasta atau sekitar 53,8 persen.

Dari posisi tersebut yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa utang jangka pendek --di bawah waktu satu tahun-- yang sebesar 49,7 miliar dolar AS. Dengan posisi cadangan devisa 110,5 miliar dolar, berarti rasio utang luar negeri jangka pendek adalah 45 persen. Rasio itu mendekati titik kritis, yakni 50 persen yang menunjukkan kemampuan negara membayar utang jangka pendek lemah.

Setiap bulan selalu ada masa jatuh tempo bagi pembayaran utang pokok maupun bunga. Tetapi, biasanya pembayaran dalam jumlah relatif besar terjadi setiap triwulan. Dengan begitu pada September ini menjadi waktu yang rawan bagi posisi rupiah karena dengan banyaknya pembelian dolar, otomatis rupiah akan makin terdepresiasi.

Menjaga kurs rupiah ini sangat penting untuk kestabilan ekonomi nasional. Karena, menurut perhitungan menteri keuangan, setiap rupiah terdepresiasi Rp 100, maka defisi APBN akan membengkak Rp 2,6 triliun. Kalangan dunia usaha juga akan terbebani jika rupiah terus terdepresiasi.

Pertengahan September lalu, pemerintah, Badan Pemeriksa Keuangan, dan BI menyepakati membuat pedoman transaksi lindung nilai (hedging) untuk kementerian dan BUMN. Pedoman itu perlu segera direalisasikan karena lindung nilai ini akan mengurangi pembelian rupiah di pasar spot sehingga rupiah tidak terlalu mudah goyang dan tekanan terhadap BI berkurang.

Rupiah harus diselamatkan. Faktor eksternal sebagai salah satu penyebab merosotnya rupiah tidak bisa kita kendalikan, apalagi tahun depan the Fed berencana menaikkan bunga dari 1,25 persen menjadi 1,375 persen. Untuk mengantisipasinya, perlu dilakukan pembenahan iklim investasi, baik investasi langsung maupun portofolio agar dana asing yang di domestik tidak lari.

Pada faktor internal, langkah paling krusial adalah mengerem impor BBM yang sangat menyita devisa. Untuk itu tak ada jalan lain kecuali menaikkan harga BBM bersubsidi. Kemudian, untuk yang terkait dengan utang luar negeri, semua peminjam baik pemerintah, BI, maupun swasta diwajibkan untuk melakukan lindung nilai. Saat ini 67 persen utang asing tanpa lindung nilai.

Langkah-langkah tersebut perlu dilakukan agar rupiah yang saat ini sudah berada pada tubir jurang tidak makin tergelincir.@

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika edisi 2 Oktober 2014

Wednesday, September 24, 2014

Pertumbuhan tanpa Pemerataan

Oleh Anif Punto Utomo

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan bangga mengatakan bahwa Indonesia saat ini menempati urutun 15 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Tak lama lagi, dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten pada kisaran 5,5-6,5 persen, Indonesia akan masuk dalam jajaran 10 besar dunia.

Seiring dengan membesarnya PDB, saat ini PDB per kapita sudah mencapai 5.120 dolar per tahun. Praktis dalam waktu 15 tahun, terhitung sejak krisis regional yang menyapu Indonesia pada 1997-1998, PDB per kapita tumbuh 10 kali lipat. Saat itu, krisis keuangan dan ekonomi tersebut merontokkan PDB per kapita dari sekitar 1.100 dolar AS menjadi 500-600 dolar AS per tahun.

Indonesia boleh berbangga dengan pencapaian itu. Tapi tampaknya kebanggaan itu hanyalah kebanggaan semu. Realitas menunjukkan pertumbuhan yang tinggi tidak dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Hanya golongan menengah atas yang menikmati kue pertumbuhan, sementara masyarakat miskin masih terus berjuang untuk sekadar hidup.

Data terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat. Pada Maret 2013 penduduk miskin mencapai 28,07 juta (11,27 persen), sementara September 2013 menjadi 28,55 juta (11,47 persen), terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin sejumlah 480.000.

Memprihatinkan. Rupanya jumlah masyarakat yang masuk kategori hampir miskin sama besarnya dengan rakyat miskin. Sehingga ketika terjadi kenaikan harga makanan, derajat mereka yang tadinya hampir miskin melorot menjadi miskin. Ukuran kemiskinan adalah pemenuhan kalori, yang berarti terkait dengan makanan. Jika terjadi gejolak harga makanan, maka kemampuan mereka mengasup makanan berkalori standar makin kecil, sehingga rakyat miskin akan bertambah.

Apakah pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk mengentaskan orang miskin? Justru disinilah permasalahannya. Berdasarkan alokasi dana APBN 2013, ada tujuh anggaran untuk rakyat miskin (Kompas 31/12/2013), yakni Bantuan Operasional Sekolah-BOS senilai Rp 16,86 triliun, Raskin (Rp 11,54 triliun), Jamkesmas/Jampersal (Rp 4,92 triliun), Bantuan Siswa Miskin (Rp 3 triliun), dan Program Keluarga Harapan/Subsidi Langsung Tunai/ Bantuan Langsung Tunai (Rp 1,43 triliun).

Total anggaran untuk rakyat miskin berarti Rp 37,74 triliun. Jumlah yang cukup besar. Tapi mengapa gagal, berarti terjadi kesalahan dalam pengelolaan dana. Kemungkinannya bisa karena digerogoti di tengah jalan oleh para koruptor sehingga dana yang sampai ke rakyat minim, atau bisa juga karena salah sasaran. Intinya pemerintah tidak sungguh-sungguh, hanya asal mengalokasikan.

Ironis, di tengah gemerlapnya kehidupan kelas menengah sehingga penjualan mobil mencapai 1,2 juta unit dan 15.000 unit apartemen, serta ditengah pemberitaan tentang orang kaya Indonesia yang masuk dalam daftar orang terkaya dunia, rakyat miskin tetap miskin. Pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada 2013 sama sekali tidak dinikmati oleh masyarakat miskin, yang terjadi pertumbuhan justru menciptakan kesenjangan.

Kesenjangan antara kaya dan miskin sangat kentara. Di lapangan, misalnya rumah kumuh bersanding dengan gedung mewah. Kondisi lapangan diperkuat dengan data Indeks Gini. Indeks Gini adalah indeks yang mengukur  tingkat kesenjangan dengan skala 0-1, semakin ke arah angka 1 semakin tinggi tingkat kesenjangan. Indeks Gini di Indonesia dalam 10 tahun terakhir konsisten naik, dari 0,33 pada 2003, menjadi 0,35 (2008) dan terus naik menjadi 0,413 pada 2013.

Indeks Gini yang diukir oleh Pemerintahan SBY ini merupakan indeks tertinggi sepanjang sejarah republik ini berdiri, yang berarti pula menjadi kesenjangan terparah sejak Soekarno memekikkan kemerdekaan pada 1945. Kondisi ini sekaligus mengkonfirmasi kebenaran lagu Rhoma Irama yang diciptakan 1976 berjudul ‘Indonesia’ yang di dalamnya terselip lirik ‘yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin’.

Pada pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Trilogi Pembangunan yang meliputi Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan. Ketika Pemerintah sedang berbenah membangun ekonomi, stabilitas ditempakan diawal. Kemudian saat politik sudah stabil, giliran pertumbuhan dikedepankan. Berikutnya setelah stabilitas dan pertumbuhan tercapai, pemerataan menjadi prioritas. Saat itu juga dikenal trickle down effect (menetes kebawah), teori yang dipakai untuk pengentasan kemiskinan.

Pemerintahan SBY memiliki jargon pro growth, pro poor, dan pro job. Growth (pertumbuhan) sudah tercapai , tetapi dalam pengurangan angka kemiskinan (pro poor) dan pengangguran (pro job) masih jauh dari harapan. Pertumbuhan yang dibanggakan itu terbukti tidak berkualitas karena tidak mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara signifikan.

Frances Stewart dan Paul Streeten (Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, 1983), menulis bahwa penghapusan kemiskinan dapat diserahkan kepada pemerintah melalui redistribusi dari hasil pertumbuhan. Namun penghapusan kemiskinan gagal karena distribusi tidak dilakukan lantaran pemerintah percaya bahwa ketika terjadi pertumbuhan otomatis  akan terjadi penetesan ke bawah.

Tampaknya itu pula yang dipraktekkan Pemerintahan SBY sehingga gagal menciptakan pemerataan.

*Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Monday, September 22, 2014

Apa Hebatnya Indonesia Motor Show?

Ribuan orang berduyun-duyun menyaksikan Indonesia Internasional Motor Show (IIMS). Apa hebatnya pameran itu? Tidak ada. Karena kita hanya menyaksikan mobil-mobil bermerek asing. Pameran itu hanya menjadi ajang dagang bagi mereka.

Indonesia saat ini merupakan salah satu pasar mobil terbesar di dunia. Jumlah penjualan tahun 2013 lalu menembus 1,2 juta unit. Tahun ini diperkirakan tembus 1,3 juta unit. Di kawasan Asean, Indonesia menjadi pasar mobil nomor satu.

Sayangnya, pasar besar tersebut hanya dinikmati oleh mobil Jepang, Amerika, Eropa Korea, sedikit Malaysia. Mana produk Indonesia? Apakah kita tidak mampu membuat mobil sebagaimana negara-neara tersebut? Kita bisa. Indonesia mampu membuat pesawat yang memiliki kerumitan dan kecanggihan teknooi lebih tinggi dari mobil.

Selama ini kita hanya ditakut-takuti oleh principal mobil, bahwa untuk membuat industri mobil dibutuhkan biaya yang sangat besar, sampai belasan triliun. Tingkat pengembalian investasi rendah. Pasar sudah jenuh dan sulit untuk melakukan terobosan.

Mereka juga sering menyebut Malaysia yang boleh dikata gagal dalam membuat mobil nasional bermerek Proton. Meskipun Proton bisa kita saksikan di Indonesia, pasarnya sangat sempit. Bahkan di negerinya sendiri sekarnag sudah mulai tergerus oleh mobil asing yang sudah bermerek global.

Kalau Malaysia gagal, belajar dari kegagalan mereka. Dan yang jelas, Korea telah membuktikan sebagai negara yang sukses dalam membuat industri otomotif. Pasar mobil Korea sudah mulai mengusik mobil Jepang yang saat ini telah merajai dunia. Kita belajar dari kesuksesan Korea.

Korea bisa, kenapa kita tidak bisa. Kita punya pasar yang besar. Tinggal kemauan dan keberanian pemerintah untuk memberikan political will terhadap munculnya mobil nasional. Masyarakat Indonesia sangat merindukan lahirnya mobil nasional yang kelak akan memberikan kebanggaan bagi rakyat.

Presiden-wapres terpilih Jokowi-JK, merupakan orang bertipe risk taker (berani mengambil risiko) yang jauh berbeda dengan SBY-Budiono yang cenderung cari aman (safety player). Tipe risk taker akan diuji dengan berani tidaknya Jokowi-JK untuk melawan kekuatan industri mobil global.

Program mobil murah yang dikeluarkan oleh pemerintahan SBY tahun lalu terbukti hanya memperluas pasar bagi merek-merek global. Harusnya mobil murah dikembangkan oleh produsen nasional dengan merek nasional. Beri kemudahan untuk itu.

Kita berharap tahun depan di IIMS sudah ada mobil yang dipamerkan dengan merek nasional. Beberapa tahun kemudian, ajang pameran itu sudah memamerkan mobil nasional yang canggih dan sudah mampu menembus pasar global, sebagaimana yang dilakukan Korea.@

Thursday, September 11, 2014

Pemborosan Rezim SBY

Kita memiliki APBD yang besar, tetapi kenapa Pemeirntah selalu kesulitan untuk mengalokasikan anggaran buat infrastuktur. Padahal dilihat dari indeks infrastuktur, Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Dan kenyataannya memang kita dapati ada ribuan kilometer jalan yang rusak, bahkan rusak parah.

Pada APBN 2015 nanti, nilai anggaran sudah tembus dua ribu triliun, tepatnya Rp 2.091 triliun! Jumlah yang sangat besar seharusnya. Jika dikelola dengan baik, anggaran sebesar itu akan memberi manfaat besar buat masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah yang selama ini selalu tergusur dan hanya diperhatikan ketika menjelang pemilu.

Permasalahannya, APBN kita selama ini terjebak dalam alokasi untuk subsidi BBM dan listrik. Hampir seperenam anggaran kita habis untuk memberikan subsidi yang notabene banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas. Kebijakan subsidi energi ini merupakan warisan Orde Baru yang terus dilanggengkan. Bedanya jaman Orde Baru kita surplus minyak,sekarang kita harus impor.

Tetapi yang tidak kalah pentingnya dalam anggaran tersebut adalah pemborosan anggaran. Tak sedikit anggaran negara yang merupakan uang rakyat itu dihambur-hamburkan untuk tujuan yang tidak produktif. Seandainya anggaran bisa tepat sasaran untuk sektor-sektor yang bisa membuat produktivitas rakyat naik, kesejahteraan masyarakat akan terangkat.

Kita lihat saja anggaran untuk anggota DPR misalnya. Dalam APBN anggaran untuk wakil rakyat yang jumlahnya hanya 560 itu selama 2009-2014 mencapai Rp 11,8 triliun. Padahal jika dilihat dari output anggota DPR sangatlah mempirhatinkan. Target legislasi tidak pernah tercapai setengahnya. Mereka hanya sibuk berpolitik sembari bepergian dinas ke luar negeri mengahabiskan uang rakyat.

Di eksekutif ternyata tidak berbeda jauh. Mereka juga berlomba menghabiskan uang rakyat untuk sesuatu yang tidak berguna, meskipun berdalih untuk rakyat. Kita lihat saja anggaran rapat kementerian dan lembaga mengahbiskan dana Rp 18,1 triliun. Ditambah anggaran perjalanan dinas mencapai Rp 15,5 triliun. Sehingga total Rp 33,6 triliun hanya untuk rapat dan perjalanan dinas!

Belum lagi pengadaan mobil buat menteri dan pejabat negara. Rezim SBY karena ‘kebaikannya’ membelikan para pejabat tersebut mobil mewah Mercy. Tidak jelas berapa harga satuannya, yang pasti Mercy memenangkan tender senilai Rp 91,94 miliar. Usut punya usut, ternyata beberpa mobil dialokasikan untuk mantan presiden dan wakil presien. Jadi SBY akan dapat jatah satu mobil Mercy. Meskipun akhirnya karena tekanan publik, fasilitas ini dibatalkan.

Beberapa item pemborosan itu yang tampak kasat mata. Jika ditelisik lebih dalam, anggaran pada kementerian hampir pasti terjadi pemborosan, misalnya pembelian alat kantor yang sebetulnya tidak perlu, atau pembangunan gedung pemerintah yang baru. Belum lagi pagu anggaran tiap proyek yang biasanya selalu jauh di atas harga riil di lapangan.

Pemborosan lain adalah adanya 16 staf khusus Presiden SBY. Menurut penelisikan Filtra (forum independen untuk transparansi anggaran) pada 2012 saja, anggaran untuk staf khusus mencapai Rp 33,1 miliar. Bisa diasumsikan pada 2014 sekitar Rp 50 miliar untuk kepentingan staf khusus yang outputnya tidak begitu jelas.

Sorotan soal pemborosan juga dialamatkan terhadap keberadaan wakil menteri. Pada masa pemerintahan SBY, karena para menteri tidak kompeten, maka diangkatlah wakil menteri. Tidak jelas berapa miliar yang dianggarkan untuk wakil menteri ini. Tap minimal dua kali dari alokasi anggaran untk staf khusus.

Kondisi ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi Jokowi-JK. Hilangkan pemborosan yang terjadi di APBN. Konsentrasikan APBN untuk kepentingan rakyat.@

Tuesday, September 9, 2014

Disparitas = Penyelundupan

Harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi memiliki selisih harga yang tinggi terhadap harga internasional. Tak sedikit orang yang tergiur memanfaatkan disparitas harga itu. Maka jamaklah terjadi penyelelundupan BBM.

Terakhir yang diungkap oleh Bareskrim Polri adalah transaksi jual beli BBM secara ilegal yang dilakukan oleh oknum Pertamina, PNS Batam, dan pemilik kapal. Transaksi BBM dilakukan di tengah laut, sedangkan transaksi dana dilakukan di Singapura. Terjadi traksaksi keuangan yang mencurigakan senilai Rp 1,3 triliun yang dilakukan sejak 2008-2013.

Kasus ini merupakan puncak dari gunung es mafia perminyakan. Penyelundupan semacam ini dan penjualan BBM kepada industri, merupakan bagian tak terpisahkan dari tingginya disparitas harga. BBM yang seharusnya untuk rakyat itu ditrasaksikan secara ilegal untuk perusahaan dalam negeri maupun luar negeri.

Semakin tinggi perbedaan harga antara BBM bersubsidi dengan harga keekonomian, akan semakin kencang terjadinya penyelundupan. Saat ini disparitas hampir separuhnya. Dengan harga BBM sebesar Rp 6.500 per liter untuk premium dan Rp 5.500 per liter untuk solar, berarti secara rata-rata sudah separuhnya karena harga internasional sekitar Rp 11.000 sampai Rp 12.000 per liter.

Terbukti pada kasus di atas, perampokan minyak yang dilakukan selama lima tahun menghasilkan uang Rp 1,3 triliun. Berarti jika di rata-rata dalam satu tahun, mereka bisa mengumpulkan Rp 260 miliar. Itu baru dilakukan oleh satu sindikat. Banyak yang menduga bahwa sindikat semacam itu jumlahnya bisa belasan dengan volume penggelapan yang bervariasi.

Pemerintah memang lemah dalam pengawasan penyelundupan. Meskipun harus pula diakui bahwa dengan wilayah Indonesia yang sangat luas, yang terdiri dari banyak pulau, dan sebagian besar wilayah adalah lautan, sangat sulit untuk mengontrol penyelundupan. Makanya kalau ada yang membandingkan Brunei yang nyaris tidak ada penyelundupan BBM, rasanya tetap tidak adil.

Cara untuk mengatasi penyelundupan seperti ini adalah pertama memberikan hukuman yang berat kepada semua yang terlibat dalam mafia ini. Mereka bukan hanya penyelundup, tetapi sudah merugikan negara dan rakyat berkali-kali lipat karena yang ditransaksikan adalah komoditas strategis, dimana sekali waktu rakyat harus antre berjam-jam untuk mendapatkannya.

Kedua pengawasan yang ketat di Pertamina. Kasus yang kita bahas ini melibatkan empat karyawan internal Pertamina, dengan begitu perlu dilakukan sidak secara rutin di Pertamina. Jika ada indikasi negatif sedikit saja di perusahaan yang telah masuk dalam fortune 500 dan terbesar di Indonesia itu, harus segera dilakukan pemeriksaan agar tidak dipermalukan oleh karyawannya sendiri.

Ketiga yang tak kalah pentingnya tetapi juga sealigus merupakan pilihan sulit adalah menekan disparitas harga. Caranya, naikkan harga BBM bersubsidi. Logikanya, dengan selisih harga yang tipis, para penyelundup akan berpikir sekian kali lipat. Ibaratnya risiko dengan pendapatannya tidak seimbang. Ini pil pahit, tetapi perlu untuk dieksekusi.


Pada intinya adalah disparitas harga mendorong orang untuk berniat jahat melakukan penyelundupan. Risiko apapun akan mereka tempuh karena risiko itu berbanding lurus dengan uang yang akan mereka peroleh. Tapi dengan disparitas kecil, mereka tidak berani berspekulasi dengan nasib.@

Monday, September 1, 2014

7 Alasan Mengapa BBM Harus Naik?

  1. Subsidi untuk BBM sudah terlalu besar sekitar Rp 350 triliun
  2. Mereka yang menikmati subsidi BBM 80 persen kelas menengah atas
  3. Energi alternatif yang dapat diperbarui tidak berkembang jika harga BBM murah
  4. Indonesia defisit BBM, lifting 820 ribu barel, pemakaian 1,6 juta barel
  5. Impor BBM penyebab defisit transaksi berjalan
  6. Salah satu cara mengurangi jumlah kendaraan (selain pajak, parkir mahal, dan asuransi)
  7. Masyarakat boros dalam pemakaian BBM

Friday, August 29, 2014

Shale Gas, Revolusi Non-konvensional


Pertengahan tahun lalu, Pangeran Alwaleed bin Talal, salah satu pangeran Arab Saudi yang menjadi pebinsis kelas dunia mengungkapkan kerisauannya terhadap negara di mana dia lahir. Dia mengingatkan agar Arab Saudi mengurangi ketergantungannya terhadap menjualan minyak, dan mencoba melakukan diversifikasi pendapatan negara.

Apa yang membuatnya risau? Shale gas (gas serpih). Eksploitasi shale gas di Amerika dan Kanada akan menekan permintaan minyak dunia. Arab Saudi yang saat ini 92 persen pendapatannya menggantungkan pada minyak dengan mengekspor 12,5 juta barel per hari, sudah saatnya mewaspadai. Logikanya, dengan semakin banyaknya shale gas yang disedot, harga minyak akan terancam turun.

Shale gas kini memang menjadi primadona baru di bidang energi. Seperti didefinisikan www.geology.com, shale gas adalah gas alam yang terdapat di dalam batuan shale, yaitu sejenis batu lunak (serpih) yang kaya akan minyak ataupun gas. Para ahli memasukkan shale gas ini sebagai unconvensional gas, karena berada pada batuan serpih yang berbeda dan jauh lebih dalam dibanding dengan gas biasa, serta memiliki permeabilitas yang sangat kecil.

Shale gas sebetulnya bukan hal baru. Pada 1821, Amerika sudah melakukan ekstraksi di wilayah Fredonia, New York.  Tetapi karena mengambil gasnya tidak semudah gas konvensional, dan lagi pula harga energi masih relatif murah, perkembangan ekstraksi ini lambat. Baru satu setengah abad kemudian dikembangkan manakala Amerika mengalami penurunan cadangan gas pada 1970an.

Teknologi pengambilan gas ini memang rumit. Pertama dari sisi kedalaman, jika gas biasa berada pada kedalaman sekitar 600-800 meter, maka shale gas ini kedalamannya mencapai 1.500-2.000 meter. Kemudian dari sisi batuannya, gas ini berada pada batuan serpihan dimana untuk mengambil gasnya, batuan itu haus dihancurkan dahulu, baru kemudian gas diambil.

Riset dan pengembangan terus dilakukan. Sampai pada awal 1980an belum ditemukan teknologi yang ekonomis yang mampu menyedot gas tersebut sampai ke permukaan bumi. Pada 1988 Mitchell Energy menemukan teknologi kombinasi teknologi horizontal drilling dan  hydraulic fracturing untuk mengambil shale gas. Teknologi tersebut terus mengalami penyempurnaan sampai produksi komersial pada 2000an.

Sejak itu, Amerika terus melakukan pengeboran dan memproduksi shale gas. Di lapangan Newark East, North-Central Texas misalnya hingga saat ini telah dibor  tak kurang dari 2.340 sumur dengan rata-rata kedalaman 2.000 meter. Semakin canggihnya teknologi, biaya untuk menghasilkan shale gas di Amerika juga turun dari 5 dolar per mbtu menjadi sekitar 3 dolar AS per mbtu. Amerika yang tadinya impor LNG, sejak mengebor shale gas ini tidak lagi impor, bahkan menjadi pengekspor gas.

Negeri koboi itu menjadi salah satu negara yang memiliki cadangan shale gas terbesar di dunia, dengan  1.100 triliun kaki kubik (trillion cubic feet-TCF). Bahkan menurut The Potential Gas Committe, negara adidaya itu memiliki cadangan 1.836 TCF atau setera dengan dua kali potensi minyak bumi di Arab Saudi. Cadangan itu tidak akan habis sampai 70 tahun mendatang.

Penemuan shale gas yang oleh Daniel Yergin, seorang penulis masalah politik dan energi yang pernah memperoleh Pulitzer Prize, dikatakan sebagai revolusi unkonvensional itu telah mengubah peta geopolitik dunia. Amerika yang tadinya sangat tergantung pada impor gas dari Timur Tengah, kini sudah mulai lepas dari ketergantungan tersebut.

Yergin memberikan contoh bagaimana Iran yang kini lebih melunak dalam perundingan mengenai nuklir. Karena rupanya penurunan produksi minyak dunia (khususnya Iran) akibat sanksi yang dijatuhkan tidak berdampak pada harga minyak. Itu artinya shale gas ini sedikit banyak sudah mempengaruhi peta minyak dan energi global yang biasanya berimbas pada kestabilan Timur Tengah.

Revolusi gas itu telah menjadikan Amerika sebagai produsen gas terbesar di dunia mengalahkan Rusia. Tapi yang lebih penting bagi mereka adalah bahwa Amerika bisa memperoleh energi murah, sehingga daya saingnya meningkat. Ini penting ketika Cina terus menggerogoti kekuatan Amerika. Eropa pun mulai gelisah dengan kebangkitan industri Amerika yang didorong oleh harga energi yang rendah.  

Pasokan gas yang melimpah tersebut secara tidak langsung juga membuat harga gas di pasar internasional menjadi lebih murah. Pada periode 2006-2010 harga gas berkisar 49 persen dari harga minyak. Belakangan harga gas hanya sekitar 28 persen dari harga minyak. Bahkan ada kecenderungan harga gas tidak lagi mengikuti harga minyak, dia akan memiliki cara sendiri untuk menentukan harga.

Sudah pula diduga bahwa shale gas ini telah memicu penurunan harga sumber energi lain. Batubara misalnya, harga Juni 2008 mencapai 192 dolar per metrik ton, pada akhir 2012 menjadi 96 dolar per metrik ton. Harga minyak, meskipun belum begitu terlihat tetapi menurut Laporan OPEC, pada 2014 terjadi penurunan permintaan sebesar 250 ribu dolar per hari dibanding 2013. 

Kesuksesan Amerika menginspirasi negara yang di dalam buminya tersimpan shale gas untuk berlomba menyedot nya. Kanada sudah melakukan. Cina yang memiliki cadangan tak kurang dari 1.400 tcf sedang berkonsentrasi penuh untuk mengambil shale gas. Begitu juga India yan memiliki cadangan besar. Eropa yang selama ini bergantung pada pasokan gas Rusia, tentu akan berusaha melepas ketergantungan itu dengan mengeksplor cadangannya.

Bagaimana dengan Indonesia? Di dalam peta cadangan shale gas dunia, Indonesia tidak ditampakkan memiliki cadangan shale gas. Tetapi menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan shale gas Indonesia diperkirakan sebesar 574 TCF yang tersebar di pulau Sumatera (233 TCF), Jawa (48 TCF), Kalimantan (194 TCF) dan Papua (90 TCF).


Menurut Direktur Pusat Kerjasama Minyak dan Gas Bumi Universitas Trisakti Agus Guntoro, potensi shale gas Indonesia jauh lebih besar dari yang diperkirakan ESDM. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Indonesia memiliki potensi shale gas hingga 2.000 TCF, potensi itu mengalahkan Cina dan Amerika.


Terinspirasi oleh kesuksesan Amerika, Pemerintah mulai bergerak. Belakangan Pemerintah telah menerima pengajuan perminataan joint study shale gas dari 10 investor. Mereka akan bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi yang telah ditunjuk pemerintah yaitu ITB, UGM, UPN, Universitas Trisakti dan Universitas Padjajaran.

Menurut hasil identifikasi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 7 cekungan yang mengandung shale gas dan 1 berada di Indonesia Timur pada Formasi Klasafet. Cekungan terbanyak berada di Sumatera dengan 3 cekungan,yakni  Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale. Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di 2 cekungan. Di Papua, pada Formasi Klasafet.

Widjajono Partowidagdo (alm) ketika menjadi wakil menteri ESDM pernah berpesan bahwa shale gas merupakan gas masa depan sehingga harus dikembangkan oleh Indonesia. Banyak tantangan akan dihadapi salah satunya biaya per sumur yang memakan dana 8 juta dolar (di Amerika 3 juta dolar) karena kondisi lapangan yang complicated. Tetapi hitung-hitungan akhir menetapkan bahwa dalam jangka panjang shale gas akan menuntungkan Indonesia.@

Oleh Anif Punto Utomo
Pemimpin Redaksi 'Majalah IAGI'/Anggota IAGI

Dimuat di Majalah IAGI Edisi Juli 2014

Thursday, August 28, 2014

Krisis BBM di Masa Kritis

Kini, antrean untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai merata di seluruh provinsi. Barangkali hanya provinsi DKI Jakarta saja yang masih disuplai maksimum. Maklum sebagai ibu kota negara, Jakarta adalah wajah Indonesia. Pemerintah tak mau tercoreng mukanya jika terjadi antrean panjang yang memalukan karena BBM. Apalagi antrean bisa menambah kemacetan yang sudah begitu parah.

Antre BBM merupakan konsekuensi dari nyaris jebolnya kuota BBM bersubsidi. Seperti tercantum dalam APBN-P, kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter, lebih rendah dari yang ditetapkan sebelumnya 48 juta kiloliter. Sejak awal mestinya pemerintah paham bahwa kuota tersebut pasti jebol jika tidak ada kebijakan radikal. Bayangkan sampai Juli silam saja mobil yang terjual sudah 733.736 dan sepeda motor 4,62 juta, berapa ribu kiloliter tambahan BBM yang dibutuhkan? 

Beberapa kebijakan sudah dilakukan pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi. Pertama, mewajibkan mobil dinas pemerintah dan BUMN mengunakan BBM nonsubsidi. Kebijakan ini pernah jalan tetapi tak efektif dan berakhir begitu saja tanpa kejelasan. Kedua, pemasangan radio frequency identification (RFID), rencananya dipasang di 100 juta kendaraan dan selesai pertengahan 2014, langkah ini kandas. Ketiga, melarang penjualan di akhir pekan, tapi tidak terealisasi.

Di tengah ketidakmampuan pemerintah melakukan pembatasan, Pertamina tampil memimpin. Awalnya sebagaimana disosialisasikan di berbagai media beberapa SPBU di Jakarta Pusat dan di jalan tol, tidak dipasok BBM bersubsidi. Tak lama kemudian diam-diam, tanpa sosialisasi yang memadai, perusahaan yang masuk dalam Fortune 500 ini langsung mengurangi pasokan BBM subsidi ke SPBU di daerah. Akibatnya, seperti terlihat sekarang, antrean kendaraan terjadi di seluruh Indonesia.

Bagi Pertamina memang tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Karena jika kuota jebol, maka Pertamina ikut menanggung  risiko subsidi. Sekarang saja Pertamina sudah gerah dengan beban potensi subsidi untuk LPG sebesar Rp 6 triliun karena tidak boleh menaikkan harga  LPG ukuran 12 kg yang diperuntukkan bagi golongan menengah atas.

Tapi, rupanya efek dari pembatasan BBM bersubsidi ini tidak sederhana, mengingat BBM tidak semata untuk transportasi mobil dan motor. Di beberapa tempat, masyarakat menengah bawah di pedesaan banyak menggantungkan hidup dari BBM. Ketika mereka harus mengantre dan terkadang tidak memperoleh jatah, maka sebagian ladang kehidupan mereka terampas. 

Efek dari ketergantungan masyarakat terhadap BBM itu, di antaranya, petani di Indramayu dan Cirebon tidak mampu mengairi sawahnya karena pompa air tidak bisa beroperasi. Mesin penggilingan padi harus beristirahat. Jasa penggergajian berhenti. Ratusan kapal nelayan tidak beroperasi sehingga ribuan nelayan menganggur. Angkutan kota hanya beroperasi sebagian sehingga anak-anak terpaksa membolos karena tidak mendapatkan angkot. (Republlika 26/8/14). Kunci dari penyelesaian ini sebetulnya ada pada pemimpin.  Mengatasi problem BBM perlu langkah radikal dan langkah radikal itu tidak lain adalah menaikkan harga BBM. Untuk menaikkan harga BBM inilah diperlukan nyali pemimpin yang kuat. Maklum, akan banyak kritikan dan hujatan  dari partai 'oposisi' dan protes dari masyarakat, termasuk demo yang terkadang masif. Diperlukan mental baja untuk menghadapi tantangan seperti itu.

Menaikkan harga BBM memang keputusan sulit mengingat spiralling effect yang ditimbulkan besar.  Intinya akan terjadi kenaikan harga secara menyeluruh. Inflasi menjadi tinggi. Kesejahteraan masyarakat menurun. Jumlah orang miskin yang 28,4 juta akan menggelembung. Bunga bank akan tetap tinggi, bahkan mungkin bisa naik untuk mengimbangi inflasi. Tetapi, jika tidak dinaikkan, situasinya akan tambah parah.

Saat ini adalah masa kritis di mana merupakan masa transisi peralihan kekuasaan dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke presiden terpilih Jokowi. Pelantikan presiden baru akan dilakukan 20 Oktober nanti atau tinggal sekitar 50 hari lagi. Siapakah yang akan mengambil risiko untuk menaikkan harga BBM, apakah SBY atau Jokowi.

Apakah SBY mau mengambil risiko? SBY bukan tipe risk taker yang siap menghadapi hujatan dan cercaan karena menaikkan harga BBM, meskipun dia berpengalaman tiga kali menaikkan harga BBM. Apalagi periode pemerintahannya hampir usai, dia tidak mau dikenang sebagai presiden yang 'menyengsarakan' rakyat di akhir jabatannya. SBY akan cari aman.

Tetapi, jika tidak segera dinaikkan, situasinya akan makin mengkhawatirkan. Antrean makin panjang  sehingga memaksa sebagian orang menginap di SPBU, situasi ini akan menjadikan masyarakat frustrasi. Kita ngeri membayangkan masyarakat yang marah secara kolektif karena sudah antre panjang BBM tapi tidak memperoleh jatah. Mobil Pertamina berisi BBM pun sudah diincar untuk dibajak. Di sinilah sensitivitas SBY diuji.

Jika SBY tetap teguh tidak menaikkan harga BBM, berati begitu Jokowi-JK dilantik harus bersiap mengambil risiko itu. Tidak ada jalan lain. Apalagi menaikkan BBM merupakan langkah yang rasional pada saat situasi keuangan negara masih membutuhkan alokasi untuk infrastuktur, kesehatan, dan pendidikan. Subsidi BBM sudah di luar batas nalar, menyedot seperenam dari APBN yang sudah tembus Rp 2.000 triliun.

Yakinlah bahwa resistensi masyarakat terhadap kenaikan BBM tidak sekeras masa lalu. Apalagi melihat situasi sekarang yang begitu sulitnya memperoleh BBM. Bagi masyarakat lebih baik BBM naik sedikit tapi mudah diperoleh, daripada BBM murah tetapi sulit mendapatkannya. Masyarakat juga sudah mulai tersadarkan bahwa subsidi BBM ratusan triliun banyak dinikmati kelas menengah atas. Secara politis memang menjadi dilema bagi pendukung Jokowi.  Pada saat SBY menaikkan harga BBM Juni tahun lalu, PDIP bilang: pemerintah tidak prorakyat. Kini ketika terjadi krisis BBM dan pemerintah yang notabene masih dipegang SBY belum menaikkan harga BBM, PDIP bilang: pemerintah meninggalkan bom waktu.

Namun, melihat kepanikan masyarakat yang semakin tinggi, tampaknya tidak ada jalan lain, BBM harus segera dinaikkan. Nanti, SBY dan Jokowi bersama-sama mengumumkan kenaikan harga BBM. Kalau perlu biar terlihat adil, diumumkan bahwa BBM akan dinaikkan dua kali, pertama pada masa pemerintahan SBY dan berikutnya menyusul pada pemerintahan Jokowi.

Tampilnya kedua pemimpin secara bersama akan memberi makna bahwa persoalan BBM merupakan tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan nasib bangsa.@

Anif Punto Utomo,Direktur Indostrategic Economic Intelligence.

Dimuat di opini Republika edisi 28 Agustus 2014

Wednesday, August 27, 2014

Belajar dari Kemacetan Mudik

Mudik lebaran 2014 relatif sudah berakhir dengan puncak arus balik Sabtu-Ahad pekan lalu. Jutaan warga Jakarta, Depok, Bogor, Tengerang, Bekasi (Jadebotabek) telah kembali ke rumah masing-masing, bersiap menyambut rutinitas.

Mudik memang ada kenikmatan tersendiri. Bagi mereka yang tidak berasal dari kampung dan tidak merasakan nikmanya mudik, selalu berpikir mengapa orang-orang itu mau berhari-hari dijalan hanya untuk pulang kampung. Tak peduli mereka naik mobil atau motor, semua terkena kemacetan sampai belasan kilometer.

Kemacetan saat mudik sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Dan semakin lama kemacetan semakin parah karena jumlah pemudik bertambah luar biasa. Tahun ini sekitar 1,4 juta mobil dan hampir dua juta motor memenuhi jalur mudik. Fenomena mudik bermotor sendiri muncul sepuluh tahun terakhir ini, dan seketika menjadi moda transportasi favorit pemudik.

Pemerintah tampaknya tidak berbuat banyak dalam mengantisipasi pemudik. Akibatnya kemacetan semakin tidak terkendali. Logis saja, jumah kendaraan pemudik semakin banyak sementara jalan yang tersedia tidak banyak bertambah, itu pun masih banyak yang rusak. Tampak bahwa pemerintah abai terhadap pembangunan infrastuktur jalan.

Menghapus kemacetan di musim lebaran memang tidak mungkin, tetapi mengurangi kemacetan bukan hal yang mustahil dan memang harus dilakukan. Apalagi kemacetan sekarang bukan hanya di jalur mudik klasik dari Jakarta menuju Jawa Tengah, tetapi juga ada lintasan di Jawa Timur. Menurunkan kemacetan juga penting karena secara tidak langsung akan mengurangi kecelakaan.

Beberapa hal yang bsia dilakukan untuk mengurangi kemacetan adalah, Pertama membangun jembatan layang pada persimpangan jalan, persimpangan dengan rel kereta api, atau jalan yang melintas pasar.
Tak sedikit kemacetan yang disebabkan persimpangan jalan, contoh paling klasik adalah Simpang Jomin di Cikampek. Setiap tahun persimpangan ini selalu menjadi momok kemacetan, karena arus dari Pamanukan ke Cikampk bertemu dengan kendaraan dari tol menuju Pamanukan. Harusnya dibuat jalang layang dari arah tol dari arah tol menuju ke Pamanukan agar tidak terjadi cross.

Jalan layang menyeberang rel kereta juga perlu di Pejagan karena kendaraan yang keluar tol Pejagan mengarah ke Brebes terhambat di lintasan kereta. Jalan layang lintas rel juga perlu dibangun di wilayah Jawa Timur, khususnya jalur Caruban-Nganjuk. Jarak dua kota yang hanya 29 km itu bisa tersendat tiga sampai empat jam karena terlalu banyak lintasan kereta. Begitu pula jalan layang yang melintas pasar sebagaimana yang sudah ada di Pamanukan.

Kedua, pembangunan dua lajur untuk jalur utama. Salah satu penyebab kemacetan adalah jalan yang hanya satu lajur padahal daerah itu menjadi jalur utama. Jalan Pantura sudah dua jalur, tetapi di selatan belum, seharusnya dari Bandung sampai Yogyakarta sudah dua lajur, bahkan terus sampai Jombang. Sejauh ini baru Jogja-Solo yang sudah dua jalur.

Jika perlu, seluruh jalan yang menjadi lintasan pemudik dibuat dua lajur, termasuk jalur alternatif utama, karena jika seluruh jaringan jalan utama macet, jalan alternatif menjadi tumpuan. Ketika kondisi jalan tidak memadai, kemacetan menghadang. Bahkan sering kali jalan alternatif utama seperti di Prupuk dan Bumiayu kemacetannya lebih parah dibanding jalur utama. Begitu pula jalur Sadang-Subang-Cikamurang yang tidak mampu menahan limpahan kendaraan.

Ketiga, jalan lingkar luar. Titik-titik kemacetan sering terjadi ketika masuk kota, seperti masuk Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang. Sudah seharusnya jalur utama tidak masuk melewati kota tetapi dibuatkan jalur lingkar luar agar kemacetan bisa terurai dalam kota bisa terurai. Jalur lingkar luar ini terbukti efektif mengatasi kemacetan di Pemalang dan Weleri.

Keempat, perbaikan yang sempurna pada jalur alternatif, termasuk jalur alternatif yang bukan alternatif utama. Misalnya jalan dari Temanggung-Weleri yang menjadi jalan pintas dari Pekalongan ke Yogyakarta. Tak sedikit jalur alternatif yang kondisi jalan tidak nyaman, kalaupun ada perbaikan hanya tambal sulam yang jika kena hujan sedikit saja sudah kembali rusak.

Kelima, penyelesaian jalan tol. Jika saja jalan tol dari Cikapmek-Palimanan yang terbenkelai sejak sewindu silam itu sudah selesai, niscaya kemacetan di Pantura maupun jalur tengah bisa berkurang drastis. Bersyukur ketika Menko Ekonomi Chairul Tanjung memantau kemacetan dari helokopter langsung memerintahkan agar jalan tol itu harus sudah digunakan lebaran tahun depan.

Tol yang juga mendesak adalah Pejagan-Pemalang, karena selama ini tol Pejagan ini menjadi salah satu titik kemacetan terparah, karena pintu keluarnya yang kecil dan langsung dihadang dengan lintasan kereta. Di Jawa Timur, tol Surabaya-Mojokerto-Jombang juga perlu segera direalisasi, karena di situ juga menjadi titik kemacetan, begitu juga Surabaya-Malang.

Pembangunan jalan layang bisa dilakukan dalam tahun ini karena tidak banyak lahan yang harus dibebaskan. Begitu juga perbaikan sempurna jalur alternatif. Untuk pembuatan dua jalur, jalur lingkar, dan tol, meskipun harus membebaskan tanah, harusnya juga dipercepat, karena ini untuk kepentingan umum.

Lantas dari mana dananya? Diluar jalan tol, semuanya dibiayai APBN. Ini tidak sulit, tinggal bagaimana mengalokasikan anggaran secara tepat. Misalnya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dinaikkan Rp 1.000 saja per liter maka, akan ada penghematan Rp 46 triliun (asumsi kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter). Jumlah yang sanat cukup untuk membangun infrastuktur jalan.

Jika kemacetan bisa ditekan, angka kecelakaan pun bisa turun. Dalam arus mudik 2014, dari H-7 sampai H+3 tercatat 3.815 kendaraan terlibat kecelakaan meliputi 2.743 sepeda motor, 435 mobil pribadi, 300 bus, dan 337 angkutan barang. Korban meninggal sebanyak 515 jiwa. Salah satu penyebab kecelakaan adalah karena capek dan mengantuk yang diakibatkan oleh kemacetan yang melelahkan.

Penyelesaian kemacetan dengan mengatasi transportasi darat tentau saja tidak cukup. Yang masih terbuka untuk dioptimalkan adalah transportasi laut. Setidaknya bisa diawali dengan angkutan gratis untuk sepeda motor dan penumpangnya dengan titik drop di Cirebon, Tegal, Pekalongan dan Semarang. Ini akan mengurangi jumlah pemudik motor. Sosialisasi sejak dini perlu dilakukan agar masyarakat berpartisipasi.

Kita berharap pemerintah lebih serius menangani arus mudik. Korban jiwa ratusan orang yang selalu terjadi dalam arus mudik, hendaknya menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar lebih serius menata infrastruktur jalan secara lebih memadai. Semoga tahun depan tidak ada lagi korban kecelakaan karena pengendara kelelahan terjebak kemacetan yang panjang. @


Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Friday, July 11, 2014

Mengatasi Darurat Energi

Listrik mati. Antrean BBM. Solar menghilang. Industri kekurangan gas. Berita-berita dengan judul seperti itu masih terus dan bahkan sering menghiasi media massa. Dan ironisnya, situasi semacam itu terjadi di wilayah yang menjadi lumbung energi.

Dengan kondisi seperti itu, pantas saja kalau Ketua Asosisasi Perusahaan Migas Indonesia (Aspermigas) Effendi Siradjuddin mengataan, Indonesia dalam kondisi darurat energi (Republika 26/06/2014). Indonesia kelimpungan dalam menyuplai kebutuhan energi di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5-6 persen.

Menurut Dewan Energi Nasional (DEN) sumber daya energi terbagi menjadi dua kategori, yakni tak terbarukan meliputi minyak, gas, batu bara, nuklir; dan sumber daya energi terbarukan meliputi geothermal, air, biofuel, biomass, angin, matahari, dan energi laut. Dari 11 sumber daya energi tersebut Indonesia memiliki semuanya.

Persoalannya adalah kita tidak mampu mengelola sumber daya tersebut secara baik untuk kepentingan rakyat. Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk semakin merenggangkan gap antara permintaan dan penawaran.

Kita tahu pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan tumbuhnya industri, pembangunan gedung, peningkatan kesejahteraan diikuti perubahan gaya hidup yang semuanya menuntut penyediaan listrik makin tinggi. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,5 persen maka dibutuhkan 4.000 megawatt listrik (MW) per tahun.

Begitu juga pertumbuhan penduduk yang membutuhan prasarana, termasuk listrik. Sejauh ini total produksi listrik 48,1 GW. Dari jumlah itu, porsi terbesar dihasilkan batu bara sekitar 44 persen. Sementara, pembangkit dengan bahan bakar minyak (BBM) hanya sekitar 9,2 persen, tetapi menyedot devisa karena sebagian besar BBM diimpor. Geothermal, Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia hanya 1,28 GW dari potensi yang dimiliki 29 GW.

Kapasitas terpasang listrik Indonesia kalah dibanding negara tetangga, seperti Malaysia atau Singapura. Kondisi itu terjadi pada rata-rata konsumsi listrik. Di Indonesia, pemakaian listrik per kapita hanya 680 kWh, bandingkan dengan Cina yang 3.488 kWh, Malaysia (4.400 kWh), Singapura (8.400 kWh), dan Jepang (8.746 kWh). Bahkan, dengan Vietnam pun kalah, yang memiliki 1.036 kWh.

Persoalan lain bidang energi adalah migas. Antrean BBM di luar Jawa terjadi karena kelangkaan BBM di wilayah yang sengaja dijadikan korban. BBM langka karena terjadi penyelundupan yang dipicu disparitas harga tinggi antara harga BBM berisubsidi dan BBM harga pasar. Celakanya lagi, ratusan triliun subsidi BBM ini jatuh ke kelas menengah, bukan rakyat miskin.

Problem BBM makin lengkap manakala separuh dari kebutuhan yang mencapai 1,28 juta barel per hari harus diimpor. Setiap hari 150-170 juta dolar devisa menguap untuk mengimpor BBM. Impor BBM terjadi karena kapasitas kilang minyak terbatas. Keinginan pemerintah membangun kilang terganjal, diduga karena ada permainan mafia minyak yang ingin Indonesia tetap mengimpor. 

Sebaliknya untuk gas, Indonesia merupakan salah satu produsen gas terbesar di dunia, sebagian besar justru diekspor. Jika kita lihat angka-angka produksi dan kebutuhan selama beberapa tahun terakhir ini pada gas, minyak, dan batu bara memiliki keunikan tersendiri dan cenderung ironis.

Pada minyak, misalnya, data dari DEN menunjukkan kebutuhan BBM meningkat, sementara produksi minyak cenderung menurun. Pada 2001 produksi masih sekitar 1,4 juta barel per hari, kini merosot menjadi sekitar 830 ribu barel per hari. Sementara, kebutuhan naik dari sekitar 1,05 juta barel per hari menjadi 1,28 juta barel per hari, sehingga terjadi net impor.

Kemudian untuk gas. Produksi dan kebutuhan dalam negeri meningkat dengan gap yang tinggi. Pada posisi 2011 produksi sekitar 2.500 bcf (billion cubic feet) sementara konsumsi dalam negeri berkisar 1.300 bcf. Dengan perbedaan tersebut berarti terjadi net ekspor hampir separuhnya. Pada 2001 produksinya 1.900 bcf sedangkan konsumsinya sekitar 750 bcf.

Batu bara sama dengan gas yang produksi jauh melebihi kebutuhan lokal, bahkan gapnya makin membesar. Pada 2001 produksi sekitar 100 juta ton dan pemakaian 35-40 juta ton, pada 2011 pemakaian naik menjadi 50 juta ton, tetapi produksinya melejit di atas 450 juta ton. Indonesia memiliki cadangan tiga persen batu bara dunia menjadi pengekspor batu bara terbesar di dunia.

Masalah di BBM, kebutuhan terus menanjak, sementara pemerintah mempertahankan subsidi. Konsekuensinya, pasokan BBM dibatasi, jatah beberapa wilayah dikurangi sehingga menyebabkan antrean. Subsidi juga menyuburkan penyelundupan. Di bidang gas, ibaratnya tikus mati di lumbung padi. Industri nasional sekarat tidak memperoleh pasokan gas, karena sebagian besar gas diekspor.

Jika sumber daya energi terkelola dengan benar, Indonesia tidak khawatir terjadi kelangkaan energi. Dua pasangan capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla, memiliki program untuk mengatasi krisis energi, kita tunggu siapa yang merealisasikan janjinya tersebut.n

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence