Monday, November 10, 2014

Momentum Ekonomi Syariah

Kabinet yang oleh Presiden Joko Widodo diberi nama Kabinet Kerja sudah dilantik. Tak lama setelah dilantik, kabinet yang berjumlah 34 menteri itu sudah langsung bekerja, rapat kabinet pertama dengan Presiden dan Wakil Presiden.

Beragam penilaian pa da susunan kabinet. Ada yang pesimistis, optimistis, ada yang wait and see, melihat perkembangan 100 hari pertama. Yang menggelitik adalah istilah pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, “Baik, tapi tidak menimbulkan wow effeck” alias tidak membuat orang berdecak kagum.

Pasar tampak tidak bergairah menyambut kabinet baru. Pada hari saat pe lantikan, Senin (27/10), kurs rupiah hanya menguat 0,28 persen terhadap dolar AS menjadi Rp 12.035 per dolar. Sebaliknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi representasi respons pasar di lantai bursa terjungkal 0,96 persen ke posisi 5.024.

Dari perspektif ekonomi syariah, ada satu sosok yang menarik, yakni terpilihnya Bambang Brodjonegoro menjadi men teri keuangan. Bambang menyisihkan kandidat kuat lain, salah satunya seniornya, Sri Mulyani.

Bambang Brodjonegoro adalah ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI). Jika hanya melihat Bambang sebagai menteri keuangan sekaligus ketua umum IAEI, mungkin biasa saja. Namun, saat dikaitkan dengan kolega dia yang sama-sama menjadi komandan dalam otoritas keuangan sekaligus ketua organisasi eko nomi syariah, di situ daya tariknya.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menjadi ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES). Halim Alamsyah, selain deputi gubernur BI, dia juga ketua umum Pusat Komunika si Eko nomi Syariah (PKES).

Integritas Bambang, Mulia man, dan Halim tentunya tidak diragukan terhadap perkembangan ekonomi syariah. Tinggal menyinergikan keotoritasan trio tersebut mendukung perkembangan ekonomi syariah agar Indonesia men jadi salah satu pusat ekonomi syariah global.

Menengok ke belakang, tonggak sejarah ekonomi syariah dimulai dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 November 1991. Ini merupakah inisiatif masyarakat Islam di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi syariah. Sejak itu industri keuangan dan bisnis syariah berkembang fantastis.

Dalam lima tahun terakhir bank syariah tumbuh 35-40 persen, tetapi jika dilihat dari pangsa pasar masih sangat rendah, posisinya 4,6 persen. Begitu pula industri keuangan lain, seperti asuransi, pembiayaan, ju ga transaksi di bursa saham masih be lum tembus lima persen.

Pencapaian pangsa pasar itu jauh di bawah perbankan syariah di Malaysia yang 23 persen. Betul Malaysia sudah mengembangkan bank sya riah satu dekade sebelum kita. Namun, mereka tidak perlu 20 tahun mencapai pangsa pasar itu, sementara Indonesia hampir seperempat abad masih di bawah lima persen.

Untuk mencapai pangsa pasar itu, Malaysia tidak hanya mengandalkan pertumbuhan organik. Pemerintah sangat concern perkembangan bank syariah sehingga banyak kebijakan keuangan yang menguntungkan sekaligus mendorong bank syariah.

Perlu langkah radikal mengem bangkan ekonomi syariah yang idealnya dimulai dari perbankan. Jika bank syariah tumbuh pesat, industri keuangan lain akan mengikuti, berikutnya gerbong sektor riil syariah juga akan terangkut.

Masalahnya, dari mana memulainya? Berdirinya BMI merupakan langkah revolusioner yang diinisiatori oleh masyarakat atau istilahnya society driven. Kini untuk menjadikan perbankan syariah pangsa pasar 20 persen, dibutuhkan lang kah revolusioner kedua. Dan, revolusi babak ke dua harus dilakukan pemerintah (government driven).

Dua strategi pendekatan pe ngembangan anorganik yang perlu di lakukan pemerintah. Pertama, memiliki bank negara beraset sampai ratusan triliun rupiah. Bank ini akan jadi simbol ekonomi syariah di Indonesia. Negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini mestinya punya bank syariah raksasa.

Alternatifnya adalah memergerkan bank syariah yang dimiliki bank negara, yakni Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, dan BTN Syariah. Jika keempat bank itu dimergerkan, akan memiliki aset sekitar Rp 115 triliun. Tidak cukup besar untuk menjadi bank syariah yang besar. Cara ini juga tidak akan meningkatkan pang sa pasar.

Alternatif lain mendirikan bank syariah baru yang harus ber modal besar, minimal Rp 20 triliun sehingga beraset di atas Rp 200 tri liun. Langkah ini tidak seribet memerger kan bank, tetapi butuh dana tunai dari pemerintah. Jika dilakukan, pangsa pasar bank syariah naik.

Alternatif ekstrem adalah mengonversi bank BUMN menjadi bank syariah. Sebelumnya sempat ada wacana Bank BTN mau di konversi, tetapi urung dilaksanakan. Wacana itu perlu dibangkitkan lagi. Bahkan bukan BTN yang dikonversi, melainkan BRI yang asetnya per September 2014 mencapai Rp 486 triliun.

Menurut kajian Anna Marina dkk (2013), ada kesamaan BRI dan bank syariah, misalnya, customer base yang mirip, yaitu ritel, UKM, pertanian, dan perekonomian rural. BRI juga menggarap pasar bidang infrastruktur, produksi, dan perdagangan produk halal, seperti makanan, minuman, dan obat-obatan.

Jika BRI dikonversi, apalagi dilanjutkan mengakuisi bank syariah yang dimiliki bank BUMN, dengan perhitungan neraca Juni, aset bank syariah itu Rp 591 triliun. Pangsa pa sar pun masih sekitar 13 persen. Namun, setidaknya sudah me nga lahkan aset Bank Islam Malaysia yang Rp 195 triliun dan menjadi salah satu bank syariah terbesar dunia.

Langkah kedua untuk mengembangkan bank syariah sekaligus menunjukkan komitmen, pemerintah membuat kebijakan menempatkan sebagian dana APBN atau dana yang berhubungan dengan pemerintah dan BUMN di bank syariah. Langkah ini yang dilakukan Malaysia sehingga pangsa pasar bank syariah signifikan.

Ketika Anggito Abimanyu menjadi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dia mewajibkan setoran dana dari calon haji lewat bank syariah. Dari sini perbankan syariah memperoleh tambahan dana Rp 16 triliun. Terobosan ini seharusnya menginspirasi otoritas keuangan untuk lebih berperan.

Barangkali kelak tidak akan terulang lagi tiga tokoh ketua umum organisasi ekonomi syariah sekaligus menduduki posisi di puncak otoritas moneter berbeda. Karena itu, sekaranglah saat nya posisi mereka dioptimalkan untuk kebaikan umat. Jadikan kesempatan ini menjadi momentum kebangkitan kedua ekonomi syariah.

Selama ini society driven sudah melakukan langkah revolusioner. Kini, giliran pemerintah dengan government driven melakukan langkah revolusioner untuk menggenjot pangsa pasar bank syariah sebesar negara jiran. Kita tunggu kiprah ketiga tokoh itu untuk menyinergikan kekuatan masyarakat dan pemerintah agar Indonesia menjadi syariah dunia. @
Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence

Dimuat di Opini Republika edisi 31 Oktober 214

No comments:

Post a Comment