Oleh Anif Punto Utomo
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan bangga
mengatakan bahwa Indonesia saat ini menempati urutun 15 negara dengan produk
domestik bruto (PDB) terbesar di dunia. Tak lama lagi, dengan pertumbuhan
ekonomi yang konsisten pada kisaran 5,5-6,5 persen, Indonesia akan masuk dalam
jajaran 10 besar dunia.
Seiring dengan membesarnya PDB, saat ini PDB per
kapita sudah mencapai 5.120 dolar per tahun. Praktis dalam waktu 15 tahun, terhitung
sejak krisis regional yang menyapu Indonesia pada 1997-1998, PDB per kapita tumbuh
10 kali lipat. Saat itu, krisis keuangan dan ekonomi tersebut merontokkan PDB
per kapita dari sekitar 1.100 dolar AS menjadi 500-600 dolar AS per tahun.
Indonesia boleh berbangga dengan pencapaian itu. Tapi tampaknya
kebanggaan itu hanyalah kebanggaan semu. Realitas menunjukkan pertumbuhan yang
tinggi tidak dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Hanya golongan menengah atas
yang menikmati kue pertumbuhan, sementara masyarakat miskin masih terus
berjuang untuk sekadar hidup.
Data terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat. Pada Maret 2013
penduduk miskin mencapai 28,07 juta (11,27 persen), sementara September 2013
menjadi 28,55 juta (11,47 persen), terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin
sejumlah 480.000.
Memprihatinkan. Rupanya jumlah masyarakat yang masuk
kategori hampir miskin sama besarnya dengan rakyat miskin. Sehingga ketika
terjadi kenaikan harga makanan, derajat mereka yang tadinya hampir miskin
melorot menjadi miskin. Ukuran kemiskinan adalah pemenuhan kalori, yang berarti
terkait dengan makanan. Jika terjadi gejolak harga makanan, maka kemampuan
mereka mengasup makanan berkalori standar makin kecil, sehingga rakyat miskin
akan bertambah.
Apakah pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk
mengentaskan orang miskin? Justru disinilah permasalahannya. Berdasarkan
alokasi dana APBN 2013, ada tujuh anggaran untuk rakyat miskin (Kompas 31/12/2013), yakni Bantuan
Operasional Sekolah-BOS senilai Rp 16,86 triliun, Raskin (Rp 11,54 triliun),
Jamkesmas/Jampersal (Rp 4,92 triliun), Bantuan Siswa Miskin (Rp 3 triliun), dan
Program Keluarga Harapan/Subsidi Langsung Tunai/ Bantuan Langsung Tunai (Rp
1,43 triliun).
Total anggaran untuk rakyat miskin berarti Rp 37,74
triliun. Jumlah yang cukup besar. Tapi mengapa gagal, berarti terjadi kesalahan
dalam pengelolaan dana. Kemungkinannya bisa karena digerogoti di tengah jalan
oleh para koruptor sehingga dana yang sampai ke rakyat minim, atau bisa juga
karena salah sasaran. Intinya pemerintah tidak sungguh-sungguh, hanya asal
mengalokasikan.
Ironis, di tengah gemerlapnya kehidupan kelas menengah
sehingga penjualan mobil mencapai 1,2 juta unit dan 15.000 unit apartemen, serta
ditengah pemberitaan tentang orang kaya Indonesia yang masuk dalam daftar orang
terkaya dunia, rakyat miskin tetap miskin. Pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada
2013 sama sekali tidak dinikmati oleh masyarakat miskin, yang terjadi pertumbuhan
justru menciptakan kesenjangan.
Kesenjangan antara kaya dan miskin sangat kentara. Di lapangan,
misalnya rumah kumuh bersanding dengan gedung mewah. Kondisi lapangan diperkuat
dengan data Indeks Gini. Indeks Gini adalah indeks yang mengukur tingkat kesenjangan dengan skala 0-1, semakin
ke arah angka 1 semakin tinggi tingkat kesenjangan. Indeks Gini di Indonesia
dalam 10 tahun terakhir konsisten naik, dari 0,33 pada 2003, menjadi 0,35
(2008) dan terus naik menjadi 0,413 pada 2013.
Indeks Gini yang diukir oleh Pemerintahan SBY ini
merupakan indeks tertinggi sepanjang sejarah republik ini berdiri, yang berarti
pula menjadi kesenjangan terparah sejak Soekarno memekikkan kemerdekaan pada
1945. Kondisi ini sekaligus mengkonfirmasi kebenaran lagu Rhoma Irama yang
diciptakan 1976 berjudul ‘Indonesia’ yang di dalamnya terselip lirik ‘yang kaya
makin kaya yang miskin makin miskin’.
Pada pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Trilogi
Pembangunan yang meliputi Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan. Ketika Pemerintah
sedang berbenah membangun ekonomi, stabilitas ditempakan diawal. Kemudian saat
politik sudah stabil, giliran pertumbuhan dikedepankan. Berikutnya setelah
stabilitas dan pertumbuhan tercapai, pemerataan menjadi prioritas. Saat itu
juga dikenal trickle down effect (menetes
kebawah), teori yang dipakai untuk pengentasan kemiskinan.
Pemerintahan SBY memiliki jargon pro growth, pro poor, dan pro job. Growth (pertumbuhan) sudah tercapai , tetapi dalam pengurangan angka
kemiskinan (pro poor) dan
pengangguran (pro job) masih jauh dari
harapan. Pertumbuhan yang dibanggakan itu terbukti tidak berkualitas karena
tidak mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara signifikan.
Frances Stewart dan Paul Streeten (Pembangunan Ekonomi
dan Pemerataan, 1983), menulis bahwa penghapusan kemiskinan dapat diserahkan kepada
pemerintah melalui redistribusi dari hasil pertumbuhan. Namun penghapusan
kemiskinan gagal karena distribusi tidak dilakukan lantaran pemerintah percaya
bahwa ketika terjadi pertumbuhan otomatis akan terjadi penetesan ke bawah.
Tampaknya itu pula yang dipraktekkan Pemerintahan SBY
sehingga gagal menciptakan pemerataan.
*Direktur
Indostrategic Economic Intelligence
No comments:
Post a Comment