Friday, July 11, 2014

Mengatasi Darurat Energi

Listrik mati. Antrean BBM. Solar menghilang. Industri kekurangan gas. Berita-berita dengan judul seperti itu masih terus dan bahkan sering menghiasi media massa. Dan ironisnya, situasi semacam itu terjadi di wilayah yang menjadi lumbung energi.

Dengan kondisi seperti itu, pantas saja kalau Ketua Asosisasi Perusahaan Migas Indonesia (Aspermigas) Effendi Siradjuddin mengataan, Indonesia dalam kondisi darurat energi (Republika 26/06/2014). Indonesia kelimpungan dalam menyuplai kebutuhan energi di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5-6 persen.

Menurut Dewan Energi Nasional (DEN) sumber daya energi terbagi menjadi dua kategori, yakni tak terbarukan meliputi minyak, gas, batu bara, nuklir; dan sumber daya energi terbarukan meliputi geothermal, air, biofuel, biomass, angin, matahari, dan energi laut. Dari 11 sumber daya energi tersebut Indonesia memiliki semuanya.

Persoalannya adalah kita tidak mampu mengelola sumber daya tersebut secara baik untuk kepentingan rakyat. Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk semakin merenggangkan gap antara permintaan dan penawaran.

Kita tahu pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan tumbuhnya industri, pembangunan gedung, peningkatan kesejahteraan diikuti perubahan gaya hidup yang semuanya menuntut penyediaan listrik makin tinggi. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,5 persen maka dibutuhkan 4.000 megawatt listrik (MW) per tahun.

Begitu juga pertumbuhan penduduk yang membutuhan prasarana, termasuk listrik. Sejauh ini total produksi listrik 48,1 GW. Dari jumlah itu, porsi terbesar dihasilkan batu bara sekitar 44 persen. Sementara, pembangkit dengan bahan bakar minyak (BBM) hanya sekitar 9,2 persen, tetapi menyedot devisa karena sebagian besar BBM diimpor. Geothermal, Indonesia memiliki potensi terbesar di dunia hanya 1,28 GW dari potensi yang dimiliki 29 GW.

Kapasitas terpasang listrik Indonesia kalah dibanding negara tetangga, seperti Malaysia atau Singapura. Kondisi itu terjadi pada rata-rata konsumsi listrik. Di Indonesia, pemakaian listrik per kapita hanya 680 kWh, bandingkan dengan Cina yang 3.488 kWh, Malaysia (4.400 kWh), Singapura (8.400 kWh), dan Jepang (8.746 kWh). Bahkan, dengan Vietnam pun kalah, yang memiliki 1.036 kWh.

Persoalan lain bidang energi adalah migas. Antrean BBM di luar Jawa terjadi karena kelangkaan BBM di wilayah yang sengaja dijadikan korban. BBM langka karena terjadi penyelundupan yang dipicu disparitas harga tinggi antara harga BBM berisubsidi dan BBM harga pasar. Celakanya lagi, ratusan triliun subsidi BBM ini jatuh ke kelas menengah, bukan rakyat miskin.

Problem BBM makin lengkap manakala separuh dari kebutuhan yang mencapai 1,28 juta barel per hari harus diimpor. Setiap hari 150-170 juta dolar devisa menguap untuk mengimpor BBM. Impor BBM terjadi karena kapasitas kilang minyak terbatas. Keinginan pemerintah membangun kilang terganjal, diduga karena ada permainan mafia minyak yang ingin Indonesia tetap mengimpor. 

Sebaliknya untuk gas, Indonesia merupakan salah satu produsen gas terbesar di dunia, sebagian besar justru diekspor. Jika kita lihat angka-angka produksi dan kebutuhan selama beberapa tahun terakhir ini pada gas, minyak, dan batu bara memiliki keunikan tersendiri dan cenderung ironis.

Pada minyak, misalnya, data dari DEN menunjukkan kebutuhan BBM meningkat, sementara produksi minyak cenderung menurun. Pada 2001 produksi masih sekitar 1,4 juta barel per hari, kini merosot menjadi sekitar 830 ribu barel per hari. Sementara, kebutuhan naik dari sekitar 1,05 juta barel per hari menjadi 1,28 juta barel per hari, sehingga terjadi net impor.

Kemudian untuk gas. Produksi dan kebutuhan dalam negeri meningkat dengan gap yang tinggi. Pada posisi 2011 produksi sekitar 2.500 bcf (billion cubic feet) sementara konsumsi dalam negeri berkisar 1.300 bcf. Dengan perbedaan tersebut berarti terjadi net ekspor hampir separuhnya. Pada 2001 produksinya 1.900 bcf sedangkan konsumsinya sekitar 750 bcf.

Batu bara sama dengan gas yang produksi jauh melebihi kebutuhan lokal, bahkan gapnya makin membesar. Pada 2001 produksi sekitar 100 juta ton dan pemakaian 35-40 juta ton, pada 2011 pemakaian naik menjadi 50 juta ton, tetapi produksinya melejit di atas 450 juta ton. Indonesia memiliki cadangan tiga persen batu bara dunia menjadi pengekspor batu bara terbesar di dunia.

Masalah di BBM, kebutuhan terus menanjak, sementara pemerintah mempertahankan subsidi. Konsekuensinya, pasokan BBM dibatasi, jatah beberapa wilayah dikurangi sehingga menyebabkan antrean. Subsidi juga menyuburkan penyelundupan. Di bidang gas, ibaratnya tikus mati di lumbung padi. Industri nasional sekarat tidak memperoleh pasokan gas, karena sebagian besar gas diekspor.

Jika sumber daya energi terkelola dengan benar, Indonesia tidak khawatir terjadi kelangkaan energi. Dua pasangan capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla, memiliki program untuk mengatasi krisis energi, kita tunggu siapa yang merealisasikan janjinya tersebut.n

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

No comments:

Post a Comment