Friday, February 6, 2009

Menghidupkan BPPN

Krisis ekonomi selalu datang tanpa permisi. Dadakan. Jika tidak diantisipasi, maka dampak dari krisis akan makin meluas, mengancam seluruh aspek dalam perekonomian nasional. Kondisi itu yang kita alami ketika krisis menerjang pada 1997-1998 silam.

Apakah krisis besar semacam itu bisa terulang? Mungkin saja. Karena krisis tidak selalu datang dari kesalahan kita, melainkan rembetan dari krisis yang terjadi di luar. Jika perekonomian kita tak tertata dengan baik, ketika krisis dari luar menerjang, maka perekonomian kita pun menjadi goyah. Saat ini pun kita sedang terseret krisis ekonomi global, hanya memang derajatnya tidak sedahsyat dulu.

Biasanya, ketika krisis menerjang, salah satu sektor yang sangat rentan adalah perbankan. Perbankan adalah urat nadi dari perekonomian, sehingga ketika perekonomian gonjang-ganjing, perbankan ikut goncang. Semakin tinggi tingkat krisis semakin rentan kondisi perbankan.

Berdasarkan asumsi itulah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK), pemerintah mempertimbangkan perlunya membuka opsi pembentukan badan khusus yang menangani perbankan bermasalah. Lembaga ini akan seperti Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) saat krisis menerpa satu dasawarsa silam.

Dasar hukum pembentukan BPPN saat itu adalah Keputusan Presiden No 27/1998. Dalam pelaksanaannya, pembentukan badan penyelamat perbankan yang berdasarkan Keppres dinilai kurang kuat, dengan begitu perlu aturan yang lebih tinggi, yakni Undang-undang. Untuk itulah pemerintah mengusulkan opsi baru dalam RUU yang sedang dibahas.

Kita memangharus hati-hati dalam pembentukan badan semacam BPPN ini. Berdasarkan pengalaman, dari total aset yang ditangani sebesar Rp 668 triliun, hanya sekitar 30 persen atau Rp 189 triliun yang bisa dikembalikan. Boleh jadi tingkat pengembalian tersebut sedikit lebih baik dibanding negara lain, tetapi proses pelaksanaannya sangat tidak transparan. Ada triliunan rupiah yang tak jelas juntrungnya.

Selain itu, BPPN juga syarat dengan kepentingan politik. Karena mengelola aset dalam jumlah besar, maka BPPN ini dijadikan sapi perah bagi elit-elit politik dan pemerintahan. BPPN dimanfaatkan untuk mencari dana sebesar-besarnya. Dalam kondisi seperti itu menjadi maklum jika saat itu pergantian Kepala BPPN sering terjadi. Pergantian tidak berdasarkan kecakapan tetapi lebih kepada kepentingan.

Saat ini sebetulnya kita sudah memiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga ini akan terjun jika ada bank mengalami kesulitan. Ini dilakukan ketika Bank Century mengalami kesulitan, LPS langsung mengambil alih. Pengambilalihan itu dilakukan untuk mengamankan dana nasabah dan menjaga kontinuitas pelayanan kepada nasabah.

Jika bank yang kolaps masih dalam jumlah yang terbatas dan ukuran bank masih kecil, tidak begitu masalah. Akan timbul masalah jika hal yang tidak diharapkan seperti dekade silam dimana ada belasan bank kolaps, termasuk bank-bank besar, maka LPS tidak memiliki cukup dana untuk mengatasinya. Di sinilah pemerintah mempertimbangkan memasukkan opsi BPPN tersebut.

Tidak begitu masalah, apakah perlu dibentuk lembaga baru atau memperbesar kapasitas dan modal LPS untuk mengantisipasi krisis. Tetapi yang jelas jangan sampai pengelolaan BPPN yang tidak transparan seperti masa lalu itu tak terjadi lagi. Ketidaktransparan itu pula dimanfaatkan oleh mereka yang punya relasi kuat dengan kekuasaan untuk mengeruk aset BPPN.

Dalam pembentukan lembaga atau pun penguatan LPS nanti, yang paling penting adalah pertanggungjawaban yang jelas dari pengelola. Pengelolaan harus memenuhi standar tinggi dalam transparansi dan akuntabilitas. Para pemegang kekuasaan dan elit politik juga dijaga agar tidak memanfaatkan keberadaan lembaga tersebut untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 24 Januari 2009

No comments:

Post a Comment