Friday, February 20, 2009

Saling Klaim, Saling Menjatuhkan

Situasi politik terus memanas menjelang pemilihan umum April nanti. Masing-masing partai melakukan berbagai aksi untuk menarik hati rakyat. Mereka berpikir keras bagaimana bisa merebut hati masyarakat. Jika partai itu sudah memiliki kandidat presiden, maka kandidat itu pun ikut dijual, dinaikkan citranya lewat berbagi strategi kampanyenya.

Dalam iklim demokrasi dimana satu orang dihitung satu suara, maka merebut simpati masyarakat menjadi kunci penting memenangkan pemilu. Segala cara dilakukan untuk merayu masyarakat agar kelak partainya dipilih rakyat. Dan saat ini, isu seksi yang banyak dipakai adalah masalah ekonomi dan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, pemerataan, dan ekonomi rakyat.

Beriklan di media massa menjadi strategi utama untuk berkampanye. Maka kita saksikan beragam iklan pencitraan yang dilakukan oleh partai berikut capres yang diusung. Iklan Partai Amanat Nasional (PAN) lewat tagline 'Hidup Adalah Perbuatan' yang menampilkan Sutrisno Bachir (SB) misalnya, sempat menyedot perhatian masyarakat karena iklan yang begitu gencar.

Lebih dari seratus miliar rupiah dibelanjakan untuk pembentukan citra ketua umum PAN itu. Setiap hari dari pagi sampai malam, iklan itu muncul di hampir semua televisi. Saking seringnya masyarakat sampai merasa jenuh. Tapi kini iklan itu tidak muncul lagi bersamaan dengan menguapnya triliunan rupiah kekayaan SB karena rugi besar di bursa saham.

Lain lagi dengan iklan Partai Gerindra yang mengajukan Prabowo Subianto menjadi capres. Iklan Prabowo yang secara tegas mengajak masyarakat untuk bergabung di partainya itu dikatakan cukup membumi. Isu ekonomi rakyat yang memberdayakan petani dan pedagang pasar menjadi tema sentral. Prabowo mengoptimalkan posisinya sebagai ketua umum organisasi pasar tradisional dan himpunan petani.

Tentu bukan tanpa perencanaan sewaktu Prabowo maju menjadi ketua umum di organisai tersebut. Kejelian membidik organisasi yang merakyat itu telah dirancang sejak awal. Tak peduli Prabowo petani atau bukan, pedagang pasar atau bukan. Apakah Prabowo yang sejak kecil hidup di kalangan atas itu mampu berempati pada perekonomian rakyat, itu juga soal lain.

Berbeda dengan Sutrino Bachir, iklan Prabowo sampai saat ini masih rutin menyapa pemirsa, bahkan makin variatif. Uang Prabowo masih tidak berseri, karena selama ini perusahaannya bermain di sektor riil seperti perkebunan dan pabrik kimia, sehingga krisis global ini tidak terlampau memukul bisnisnya.

Jika dilihat dari sisi persaingan, iklan SB dan Prabowo tidak menarik, tak ada konflik yang tercipta. Mereka hanya berkompetisi, tanpa melibatkan emosi rakyat. Mereka hanya saling menonjolkan diri untuk kepentingan masing-masing.

Persaingan yang menarik justru dari kalangan partai penyokong pemerintah, yakni Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar. Mereka aktif beriklan di televisi dan media cetak dengan menonjolkan peran masing-masing dan saling klaim keberhasilan pemerintah.

Kita lihat iklan PD. Tema yang diusung dalam iklannya adalah keberhasilan pemerintah yang direpresentasikan sebagai keberhasilan Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY). SBY yang merupakan pendiri Partai Demokrat itu dicitrakan sebagai presiden yang pro-rakyat yang mampu menaikkan pendapatan perkapita, menurunkan kemiskinan, menurunkan pengangguran, dll.

Golkar yang sebetulnya ikut bagian dalam 'keberhasilan' kecolongan. Karena itu mereka kemudian menyodok dengan iklan perdamaian dengan merujuk kasus di Ambon, Poso, dan Aceh. Jusuf Kalla (JK), ketua umum partai itu memang berperan besar dalam upaya perdamaian di wilayah itu. Lewat peran itu pula JK memperoleh gelar honoris causa dari Universitas Soka, Jepang.

Tak lama berselang, ketika pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), PD kembali meluncurkan iklan yang mengabarkan bahwa hanya SBY-lah satu-satunya presiden dalam sejarah bangsa Indonesia yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) tiga kali berturut-turut. Bahwa penurunan tersdebut sebuah keniscayaan lantaran harga minyak dunia turun tajam, itu tidak perlu diungkap. Bahwa di Malaysia penurunan BBM sampai enam kali, rakyat juga tak perlu tahu.

Iklan tersebut muncul beberapa hari setelah dengan 'jantan'-nya SBY mengumumkan bahwa pemerintah kembali menurunkan harga BBM. Pertanyaannya, kenapa ketika pemerintah harus menaikkan harga BBM, SBY mendelegasikan ke menteri untuk mengumumkan? Sebuah tricky politic yang jitu.

Klaim PD itu membuat Golkar kembali gerah. Mereka kecolongan lagi. Maka segeralah partai ini membuat iklan baru berupa keberhasilan pemerintah dalam swasembada beras. Jadi sebelum diklaim oleh PD, Golkar buru-buru mengklaim duluan.

Rebutan klaim antara PD dan Golkar ini menjadi kian menarik karena dalam pemerintahan ini, para menteri yang sebagian dari partai ini juga ikut kerja keras. Dalam soal swasembada beras misalnya, tentu tak lepas dari peran menteri pertanian yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera. 'Klaim keberhasilan itu hak presiden dan wakil presiden' begitu barangkali hukum tak tertulisnya.

Tetapi yang lebih provokatif adalah iklan saling jegal. Ini yang terjadi antara PD dan PDI-P. Maklum, sementara ini hanya ada dua kandidat kuat presiden, yakni SBY dari PD dan Megawati dari PDI-P. Dengan begitu persaingan dua partai ini sekaligus juga mencerminkan persaingan dua kandidat kuat presiden RI. Tak heran kalau kedua partai tersebut saling jegal dan saling menjatuhkan dalam iklan.

Ketika PD meluncurkan iklan keberhasilan pertumbuhan ekonomi dan lain-lain, PDI-P mencounter dengan iklan bahwa harga semako mahal. Iklan di televisi menayangkan beberapa lapisan masyarakat yang tidak mampu membeli sembako karena uangnya tidak cukup. Dulu cukup, kok sekarang tidak cukup. Ditayangkan juga wajah pengangguran yang tidak juga memperoleh pekerjaan.

Ketika PD menampilkan iklan bahwa masyarakat miskin telah berkurang dan pengangguran menyusut, PDI-P mengatakan bahwa penurunan itu jauh dari angka yang dijanjikan SBY-JK saatkampanye. Ketika PD memproklamirkan penurunan harga BBM, PDI-P dengan sinis dalam iklannya mengatakan bahwa penurunan harga itu tidak sebanding dengan anjloknya harga minyak internasional.

Saling menjatuhkan antara PD dan PDIP itu bukan hanya ditataran iklan, tetapi juga dalam dialog yang tayang di televisi. Setiap ada dialog yang melibatkan mereka, selalu terjadi debat kusir dan cenderung saling melecehkan, saling berebut bicara tak ada yang mau mengalah, dan saling mencari-cari kelemahan. Merasa benar sendiri. Tak ada kedewasaan di sana, apalagi intelektualitas.

Bahkan ditataran terataspun, yakni Megawati dan SBY, tak ketinggalan untuk saling menjatuhkan. Suatu ketika Megawati mengatakan bahwa pemerintah sekarang ini mempermainkan rakyat sebagaimana anak-anak main yoyo. Menyambut sindiran itu, SBY menjawab lewat pantun: ''Mencari-cari kesalahan bukanlah sifat yang bijak. Tiada yang sempurna dalam kehidupan ini.''

Kita saksikan para pemimpin politik yang narsis itu saling menjatuhkan, saling menelikung. Mereka berusaha merebut simpati masyarakat tanpa mengindahkan batasan etika. Sebuah tontotan yang tidak mendidik masyarakat. Ketika sebagian masyarakat kita masih berkutat dalam kepahitan hidup, para pemimpin justru bertengkar. Celakanya lagi segala tingkah laku mereka mengatasnamakan rakyat.

Dalam situasi dimana kita baru saja bangun dari keterpurukan akibat krisis satu dekade silam, dibutuhkan pemimpin yang mencari simpati tidak dengan menghujat orang lain. Tapi mereka yang punya visi jauh ke depan yang mampu membawa bangsa ini seperti yang dicita-citakan para pendiri negara, yakni negeri yang adil dan makmur.

Negeri ini akan kokoh jika dibangun dengan pondasi kepercayaan dan kebersamaan. Karena itu, di saat kampanye lakukanlah kampanye yang elegan, disaat sudah terpilih terimalah hasilnya dengan sikap dewasa. Tak perlu saling mengklaim, saling menghujat, tidak pula saling menjatuhkan.@

Dimuat di Opini Republika edisi 4 Februari 2009

No comments:

Post a Comment