Tuesday, April 14, 2009

Bunga Kredit harus Turun

Untuk kesekian kalinya Bank Indonesia (BI) menurunkan bunga acuan, BI Rate, dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen. Penurunan ini secara resmi diumumkan Gubernur BI setelah sebelumnya dilakukan rapat marathon dengan seluruh anggota Dewan Gubernur BI.

Penurunan BI Rate merupakan respon dari rendahnya inflasi yang dalam perhitungan year on year (YoY) sebesar 7,92 persen. Sementara inflasi tahun kalender sampai Maret silam 0,36 persen. Selain itu juga karena menguatnya rupiah di kisaran Rp 11.500 per dolar, dari bulan sebelumnya yang menembus Rp 12.000 per dolar. Tak terkecuali pula sentimen positif dari pertemuan G-20.

Ini merupakan penurunan yang keempat kali dalam 2009. Pada Januari lalu, BI menurunkan bunga acuan dari 9,25 persen menjadi 8,75 persen. Bulan berikutnya, Februari, bunga diturunkan lagi menjadi 8,25 persen. Maret, kembali bunga acuan turun menjadi 7,75 persen. Total penurunan BI Rate pada empat bulan terakhir 1,75 persen.

Penurunan bunga acuan ini memberikan aura positif terhadap perekonomian nasional. Ketika perekonomian sedang memasuki masa buram karena terimbas krisis global, suku bunga harus diturunkan untuk menggerakkan perekonomian sekaligus mencegah terjadinya kredit macet.

Dengan bunga yang rendah, maka beban dunia usaha akan lebih ringan, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan usahanya. Pengembalian yang lebih lancar juga akan membuat bank bisa makin agresif menyalurkan kreditnya. Perekonomian diharapkan menjadi lebih hidup, sehingga krisis bisa diminimalisir.

Tapi justru di sini persoalannya. Penurunan bunga acuan yang telah dilakukan BI ini tidak serta merta diikuti oleh perbankan. Bank masih mengenakan bunga kredit yang tinggi, begitu pula bunga simpanan. Masih terjadi perebutan dana simpanan, sehingga bank masih berlomba menarik dana tersebut dengan iming-iming bunga tinggi.

Ketika bunga simpanan tetap tinggi, otomatis bunga kredit juga tinggi. Bahkan sekalipun bunga simpanan turun, bunga kredit kadang enggan cepat-cepat turun. Pengalaman selama ini, penurunan bunga acuan baru diikuti penurunan bunga kredit paling cepat tiga-empat bulan ke depan. Memang, dalam perdebatan stimulus, selalu terungkap bahwa stimulus moneter responnya lebih lambat dibanding stumulus fiskal.

Pengusaha tentu saja meradang dengan kondisi ini. Kenapa bank tidak segera menurunkan bunga? Apalagi selama ini spread (selisih) antara bunga simpanan dan kredit relatif besar, bisa enam sampai delapan persen. Bahkan untuk kredit usaha kecil, bisa lebih dari 10 persen. Pantas jika keuntungan perbankan menjadi tinggi.

Pemerintah memang tidak seperti masa lalu yang bisa menetapkan pagu bunga pinjaman. Sekarang pasar bebas yang berlaku, pemerintah tak punya gigi lagi untuk menentukan atau mengintruksikan kepada perbankan agar bunga segera diturunkan. Paling banter yang bisa dilakukan hanya mengimbau.

Tapi sebetulnya pemerintah punya alat, punya instrumen, yakni bank milik negara. Dengan kepemilikan mayoritas di Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, dan Bank BTN, pemerintah bisa menguntruksikan bank tersebut agar segera menurunkan bunga. Karena bank tersebut merupakan bank-bank besar, otomatis bank lain akan mengikutinya.

Intruksi tersebut sudah pernah digaungkan, tetapi kenyataannya sampai saat ini belum terjadi penurunan bunga yang berarti. Perlu ketegasan yang lebih dari pemerintah agar bank milik negara tersebut segera menjadi pioner dalam penurunan bunga perbankan nasional.

Penurunan BI Rate harus segera diikuti bunga kredit. Jika tidak, hampir tidak ada artinya penurunan bunga acuan tersebut. Karena itu perlu pengertian mendalam dari kalangan perbankan bahwa bunga kredit pun juga harus segera turun.

Dimuat di tajuk Republika edisi 4 April 2009

No comments:

Post a Comment