Tuesday, December 11, 2007

Mengejar Pertumbuhan Berkualitas

Ketika kita bicara pertumbuhan ekonomi maka yang selalu mengikutinya adalah berapa pengangguran yang ada saat ini. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi sangat erat kaitannya dengan pengangguran. Karena setiap persen pertumbuhan ekonomi akan terkait dengan berapa daya serap tenaga kerjanya.

Sejak krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi kita memang belum menggembirakan, tidak pernah di atas 6,0 persen. Padahal kita membutuhkan pertumbuhan yang tinggi agar daya serap terhadap tenaga kerja juga tinggi, sehingga pengangguran pun secara gradual akan terkurangi.
Pada 2006 silam sebetulnya sudah dipatok bahwa pertumbuhan ekonomi di atas enam persen.

Tapi tampaknya kondisi riil dunia sedang tidak bersahabat. Harga minyak yang semula di bawah 40 dolar AS per barel, tiba-tiba meroket menjadi 60 dolar AS bahkan 70 dolar AS per barel. Alhasil pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk menekan subsidi.

Rupanya pemerintah terlalu bersemangat dan sedikit panik dalam menekan subsidi. Ini terlihat dengan dinaikkannya harga BBM dua kali lipat pada Oktober 2005. Efek dari kenaikan tersebut terbawa sampai pada 2006, sehingga pertumbuhan ekonomi 2006 yang ditargetkan di atas enam persen, hanya tercapai 5,5 pesen.

Kenaikan 5,5 persen jelas tidak cukup untuk membendung kenaikan pengangguran. Apalagi sektor yang mengalami pertumbuhan adalah sektor yang tidak banyak menyerap tenaga kerja. Dari perhitungan kasar, setiap pertumbuhan satu persen, hanya membuka lapangan kerja 200 ribu orang.

Dengan pertumbuhan sebesar itu maka dibanding dengan angkatan kerja yang baru masuk saja masih kurang. Saat ini, setiap angkatan kerja baru setiap tahun mencapai 1,7 juta, sementara dengan pengalaman 2006 lalu, tenaga kerja yang terserap dari pertumbuhan ekonomi 5,5 persen itu tak lebih dari 1,1 juta orang.

Berbicara mengenai pengangguran berarti juga berbicara mengenai kemiskinan. Artinya ketika tingkat pengangguran masih tinggi maka kemiskinan pun akan senada. Terbukti, sampai saat ini jumlah orang miskin di negeri kita masih 40 juta. Itupun dengan batas miskin menggunakan plafon 1 dolar AS per hari, kalau 2 dolar, bisa lebih dari 100 juta.

Pertumbuhan ekonomi ada, tapi kemiskinan juga membengkak, apa artinya? Melihat kondisi tersebut berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata oleh rakyat. Pertumbuhan ekonomi selama ini hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat yang sudah tinggi pendapatannya.

Selain itu, dengan melihat bahwa pertumbuhan ekonomi banyak dibangun oleh sektor konsumsi dan padat modal, berarti mereka yang menikmati kebanyakan adalah orang-orang yang tinggal di perkotaan. Sementara mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari pusat-pusat bisnis, apalagi di pedesaan akan makin tak kebagian.

Dengan begitu bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ini tidak disertai dengan pemerataan, baik pemerataan antara kelas mengah atas dengan kelas bawah, ataupun kesenjangan antardaerah. Tidak terjadinya pemerataan tersebut, membuat kesenjangan makin tinggi.

Dari tabel yang saya paparkan terlihat bahwa Gini Ratio yakni ratio yang menggambarkan tingkat kesenjangan pendapatan penduduk di suatu negara, semakin tahun semakin tinggi angkanya. Secara lebih jelas bisa dilihat dari persentase penguasaan ekonomi oleh penduduk miskin, sedang, dan kaya di mana orang kaya menguasai lebih banyak, padahal secara jumlah orangnya lebih sedikit.

Di sisi lain, pertumbuhan juga tidak berbasiskan investasi. Terlihat pada 2006 misalnya, pangsa investasi dibanding total PDB hanya 21,9 persen. Pada tahun itu pula konsumsi swasta yang menyokong pertumbuhan paling tinggi, yakni dengan pangsa mencapai 58,3 persen.

Kualitas rendahDari sisi rendahnya penyerapan tenaga kerja, kesenjangan yang makin melebar, dan sektor penyokong pertumbuhan, maka bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terbangun akhir-akhir ini berkualitas rendah. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menggerakkan ekonomi yang berbasis massal.

Sebetulnya apa yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia 2004 silam merupakan janji menuju pertumbuhan yang baik. Saat itu dikatakan bahwa pertumbuhan harus didukung investasi dan ekspor, pemberdayaan sektor riil, dan revitalisasi sektor pertanian.

Tapi ketika berbicara kenyataan, apa yang dijanjikan tersebut bicara lain. Ekspor bolehlah dipamerkan karena memang memmiliki kinerja baik, meskipun sebagian didorong oleh naiknya komoditas ekspor dari sumber daya alam, seperti batubara, begitu pula CPO dan karet.

Sementara, dari sisi sektor riil, masih bisa dikatakan jauh dari optimal. Sekarang ini yang sedang naik daun adalah sektor makro, bisa kita lihat inflasi rendah, suku bunga turun, kurs rupiah menguat stabil, begitu pula bursa efek yang terus menerus mencetak rekor. Sayangnya, kondisi bagus tersebut tidak mempu mentriger sektor riil untuk melaju.

Keluarnya UU tentang Penanaman Modal yang diharapkan mampu mengangkat investasi belum terlihat betul pengaruhnya. Tapi itu pun sebetulnya juga tergantung dari ekonomi biaya tinggi yang tidak hilang-hilang sejak dulu sampai sekarang, kepastian hukum yang masih setengah-setengah, dan sebagainya.

Belum lagi masih enggannya bank menyalurkan kreditnya. Mereka masih lebih suka menyimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang aman dan bunganya relatif masih lebih tinggi dibanding bunga simpanan yang mereka berikan kepada nasabah. Belum lagi suku bunga kredit yang masih tinggi.

Dan sampai kini yang masih belum banyak disentuh dari janji SBY adalah revitalisasi pertanian. Sektor ini sejak dulu sampai sekarang tidak pernah tersentuh secara optimal. Padahal di sektor inilah terdapat jutaan orang mengandalkan hidupnya. Pada sektor ini pula semestinya kekuatan pangan dibangun agar tidak sedikit-sedikit impor beras.

Kemiskinan banyak dialami oleh petani. Kenapa? Karena umumnya mereka hanya memiliki tanah tak lebih dari setengah hektare. Dari mana mereka bisa hidup dengan tanah selebar itu, sementara harga pupuk kian melambung. Itupun masih lumayan karena lebih banyak lagi yang hanya menjadi buruh tani.

Memang pada pertumbuhan triwulan I 2007 ini sektor pertanian menunjukkan taringnya. Tapi mesti diingat bahwa pertumbuhan sektor pertanian ini karena memang berbarengan dengan masa panen, sehingga produksinya tinggi. Artinya, di sini konsistensi pertumbuhan dari sektor pertanian masih dipertanyakan.

Akselerasi pertumbuhanUntuk mendongkrak agar 2007 ini pertumbuhan sesuai target yang sudah ditetapkan, yakni 6,3 persen, mau tidak mau usaha harus diperkeras. Karena untuk mencapai target tersebut, dalam sembilan bulan terakhir, pertumbuhan harus berada di sekitar 6,5 persen, untuk mengimbangi pertumbuhan triwulan I yang hanya 5,96 persen.

Di sini perlu akselerasi pertumbuhan. Dengan kondisi makro yang sudah baik, saat ini tinggal menggebrak sektor riil agar segera bangkit, segera melakukan akselerasi. Pintu-pintu yang selama ini terkunci, harus segera dibuka. Pemerintah sendiri perlu mengambil peran sentral di dalamnya.

Dalam penyaluran kredit misalnya, perbankan harus mulai sigap memberikan kredit untuk sektor riil, tidak cuma menyimpan dananya di tempat aman. Harus berani mengambil risiko, tentu dengan perhitungan yang matang. Sektor infrastruktur sudah semestinya makin dilirik, karena selain potensinya besar juga bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Bank juga harus lebih efisien agar spread antara bunga simpanan dan bunga kredit tidak terlalu melebar. Saat ini dengan bunga simpanan rata-rata 6,5-7,5 persen, mereka masih melempar ke kredit sampai 13-15 persen. Di situ terlihat betapa tingginya spread yang diambil bank. Turunnya bunga kredit akan memberi peluang sektor riil untuk bertumbuh.

Selain itu, SBY juga harus membuktikan janjinya bahwa sektor pertanian akan menjadi salah satu pijakan utama dalam pertumbuhan dan pemerataan. Apalagi, tesis doktornya adalah mengenai pertanian, sehingga sudah semestinya apa yang dipikirkan dalam tesis tersebut diaplikasikan di wilayah sebenarnya.

Pertumbuhan memang harus diakselerasi. Tapi akselerasi itu juga tetap harus berada pada kualitas, bukan sekadar pertumbuhan. Dengan pertumbuhan berkualitas maka pada masa datang, pendapatan per kapita kita bisa tinggi, tetapi juga dibarengi dengan pemerataan pendapatan yang baik dan pengangguran yang berkurang drastis.

Artikel ini dimuat di Republika edisi 27 Mei 2007

1 comment:

  1. intinya memang seberapa besar pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran..kalau signifikan ya berkualitas

    ReplyDelete