Thursday, February 11, 2010

Lindungi Pemain Lokal

Dua berita ekonomi-bisnis di harian ini mengingatkan kita akan bahayanya investor asing yang tidak diatur. Pertama adalah berita tentang pertumbuhan ritel moderen yang banyak dikuasai asing dan kedua bank asing yang diberi keleluasaan besar untuk masuk di usaha mikro.

Kondisi tersebut seolah melengkapi ‘penderitaan’ yang mulai dialami oleh industri kecil dan manufaktur lokal setelah dimulainya perdagangan bebas Cina-ASEAN. Kini telah terbukti, arus barang dari Cina yang masuk ke Tanjung Priok meningkat dua kali lipat dibanding biasanya.

Pertumbuhan ritel moderen sudah pasti akan mematikan usaha kecil yang banyak tersebar di pelosok kota. Apalagi ritel besar dibolehkan beroperasi di mana saja, di dalam kota, di luar kota, bebas. Padahal di negara liberal seperti Amerika sdan Eropa pun mereka hanya boleh beroperasi di luar kawasan penduduk.

Begitu juga perbankan. Sekarang ini semua bank swasta besar sudah dikuasai asing, ada yang dari Australia, Singapura, Malaysia, dan beberapa negera lain. Mereka ini dengan mudah bisa membuka cabang di manapun mereka suka. Kemudahan membuka cabang ini makin melincinkan jalan bagi mereka untuk menguasai pasar mikro.

Di sisi lain, perbankan Indonesia yang memiliki cabang di luar negeri, seperti di Singapura atau di Malaysia, dipersulit untuk membuka cabang abhkan cabang pembantu di lokasi lain. Nasabah merekapun juga dibatasi. Memang mempersulit pembukaan cabang dan pembatasam nasabah itu merupakan kebijakan tak terulis, tapi efektif berlaku.

Sementara untuk perdagangan bebas Cina-ASEAN, dengan datangnya barang impor dari Cina yang kuantitasnya berkali-kali lipat itu akan membuat produsen lokal kewalahan. Barang Cina yang harganya lebih murah akan disukai konsumen, terutama masyarakat kelas menengah bawah yang merindukan harga murah.

Tapi entah kenapa pemerintah abai dengan situasi ini. Pemerintah seolah tak peduli. Kenapa? Karena ini bukan kasus baru. Masuknya ritel, terutama asing, ke lokasi strategis yang berdekatan dengan pasar tradisional misalnya, sudah lama berlangsung, tapi pemerintah tak peduli. Bahkan sebetulnya ada aturan yang melarang, tapi tutup mata.

Persoalan bank, tampaknya Bank Indonesia (BI) juga tak punya nyali untuk mengatur bank asing. Mereka dibiarkan mematikan pemain-pemain ataua bank-bank lokal. Bahkan mematikan BPR-BPR yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung pendanaan mikro. BI merasa lebih tenang jika investor asing tertawa sementara BPR menangis.

Pemerintah harus terus menerus diingatkan, bahkan digedor mengenai masalah ini. Negeri yang baru bangun dari keterpurukan ini harus mampu melindungi diri agar tidak dimakan oleh investor asing. Bukan berarti anti asing, tapi kehadiran mereka harus dibatasi agar pemain lokal juga bisa tetap survive.

Kita terlalu mendewakan perdagangan bebas. Kita selalu ditakut-takuti bahwa jika terlalu protektif, investor asing akan kabur, dan pemerintah terseret dalam ketakutan itu. Prinsip-prinsip neoliberalisme yang mengagungkan perdagangan bebas, melekat pada pola pikir para pengambil kebijakan di negeri ini.

Pemerintah harus tegas, pro asing atau pro rakyat. Jika pro asing, teruskan saja kebijakan yang sekarang, sampai akhirnya kehidupan rakyat makin sengsara. Tapi jika pro rakyat, jangan membuat kebijakan yang justru meminggirkan peran rakyat dalam memajukan ekonomi. Lindungi pemain lokal.

Dimuat di tajuk Republika edisi 6 Februari 2010

Friday, February 5, 2010

Gaji Pejabat

Baru saja terjadi kemarin. Seorang bapak bunuh diri karena stres tidak mampu memberi makan keluarganya. Dua anaknya yang dia ‘ajak’ bunuh diri dengan diberi makanan beracun, bisa diselamatkan. Kasus serupa nyaris terjadi hampir setiap bulan yang intinya bunuh diri karena tak kuat menahan derita kehidupan.

Bunuh diri jelas tidak diperbolehkan agama. Tapi jika kita melihat penyebab bunuh diri seperti bapak dua anak itu, rasanya miris. Betapa kemiskinan telah menjerat kehidupan masyarakat, sehingga untuk sekedar hidup pun mereka tidak mampu bertahan.

Presiden, wakil presiden, menteri, dan pejabat negara yang lain barangkali tidak tahu detil tentang nasib bapak yang bunuh diri itu. Tapi setidaknya para petinggi negera itu tahu betul bahwa di Indonesia ini masih ada 34 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Pertanyaannya adalah ketika masih begitu banyak masyarakat yang hidup miskin, kenapa justru subsidi yang berkaitan dengan kehidupan mereka dipangkas. Ironisnya lagi, hasil dari pemangkasan subsidi untuk rakyat miskin itu dialokasikan untuk kenaikan gaji pegawai negeri dan pejabat negara.

Sebagaimana dimuat di harian ini, anggaran gaji untuk pegawai negeri, polisi, dan TNI, serta pejabat negara naik dari Rp 132 triliun pada 2009 menjadi Rp 158 triliun pada 2010. Khusus gaji pejabat negara persentase kenaikan lima persen. Dan jangan lupa bahwa untuk pejabat negara, mereka baru saja menerima fasilitas mobil mewah seharga Rp 1,3 miliar.

Sebaliknya subsidi untuk rakyat diam-diam dipangkas. Subsidi pangan yang sebagian untuk raskin misalnya turun dari Rp 12,98 triliun ke Rp 11,3 triliun. Subsidi pupuk yang sangat dibutuhkan petani turun dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 14,7 triliun. Subsisi obat generik yang diperuntukkan rakyat miskin semula Rp 350 miliar, dihilangkan sama sekali.

Jika dilihat dari penerimaan gaji sekarang, seperti menteri memang tidak besar-besar amat. Tapi perlu diketahui fasilitas yang mereka terima sangat luar biasa. Entah dicarikan dari pos anggaran apa, tapi jika melihat gaya hidup menteri rasanya tidak mungkin dari gaji total mereka yang Rp 18,6 juta. Honor sebagai anggota atau ketua tim tertentu sebagaimana dikatakan salah seorang menteri ternyata jauh lebih besar. Justru di sini dituntut transparansi dari pejabat negara.

Lagi pula, pekerjaan sebagai pejabat negara, seperti presiden dan menteri, adalah pekerjaan untuk negara yang menuntut pengorbanan. Sekali waktu ada yang membandingkan dengan gaji direktur badan usaha milik negara yang mencapai ratusan juta per bulan. Ini tentu beda, gaji pejabat diambil dari uang rakyat sementara badan usaha milik negara lewat persaingan pasar. Tapi yang jelas unsur pengabdian menjadi faktor utama ketika menjadi pejabat negara.

Alasan untuk mengurangi korupsi juga tidak relavan. Penyebab korupsi itu ada dua, yakni kekurangan atau kerakusan. Gaji yang ada sekarang berikut fasilitas tidak bisa dikatakan mereka kekurangan. Jadi kalau masih saja korupsi berarti karena kerakusan. Kalau dasarnya kerakusan, digaji berapapun akan tetap korupsi.

Kenaikan gaji bagi pejabat sebetulnya tidak masalah. Tapi perlu diingat dulu bahwa kondii rakyat masih sangat mengenaskan. Timing yang tepat perlu juga dipertimbangkan. Kalaupun gaji dinaikkan, jangan mengambil jatah dari subsidi pada rakyat miskin.

Apakah para pejabat itu bisa hidup nyaman dan makan enak, sementara rakyat yang dipimpinnya ada yang menderita busung lapar? Di sinilah kepekaan pejabat diuji. Jika melihat kegigihan mereka menaikan gaji, tampaknya mereka tidak lolos ujian kepekaan.

Dimuat di tajuk Republika 30 Januari 2010