’'Kejayaan itu dipergilirkan’’ begitu kata orang bijak. Itulah yang menyebabkan penguasaan peradaban di bumi ini juga silih berganti. Romawi pernah mendominasi peradaban dunia. Begitu pula Islam pernah mendominasi peradaban dunia. Jenghis Khan dan kekaisaran Cina pernah menguasai sepertiga dari bumi ini. Kemudian selama empat abad terakhir peradaban dikuasai barat.
Melihat perkembangannya, peradaban barat pun tampaknya tidak lagi berumur panjang. Kawasan Eropa sudah menunjukkan keredupannya. Kejayaan mereka tinggal menggantungkan diri dari Jerman, Inggris, dan Perancis. Negara di luar itu, yang dulu begitu pongah menjajah negara berkembang seperti belada, Spanyol, dan Portugal sudah terengah-engah. Bahkan Yunani sudah nyaris collaps.
Amerika juga sudah tidak seperkasa dulu. Krisis ekonomi yang terjadi pada 2008 menunjukkan bahwa negara adi daya itu memiliki topangan ekonomi yang rapuh. Utang mereka sangat besar. Ekspansi militer di beberapa negara yang menghabiskan triliunan dolar itu ternyata dibiayai utang. Kini mereka sedang kesulitan, bukan saja karena belitan utang tapi juga tingginya kemiskinan dan pengangguran.
Banyak yang memprediksi bahwa abad ini adalah abad Asia dengan Cina dan India yang jadi pioner. Sayang kebangkitan Asia tidak terjadi secara serempak, terutama pada ras kuning. Seandainya saja Cina, Jepang, dan Korea bangkit pada periode yang sama, kedigdayaan Asia akan lebih tampak. Kebangkitan Jepang sudah dimulai hamper tujuh dekade silam, kemudian Korea sejak empat dekade lalu, dan Cina relative baru dua dekade.
Atau memang barangkali dari ‘sana’nya sudah didesain sebagaimana teori membangun tangga. Tangga pertama dibangun untuk menapak ke tangga kedua, kemudian tangga ketiga dengan menapak tangga kedua, begitu seterusnya. Jepang, mereka bangkit setelah dibom atom oleh Amerika. Korea bangkit karena dendam terhadap Jepang, dan inguin mengalahkan Jepang. Cina bangkit setelah penguasa membuka keran untuk berkeliarannya kapitalisme dan ingin mengulang sejarah masa lalu.
Peradaban silih berganti, begitu juga sistem ekonomi. Selama berabad-abad sistem ekonomi dunia dikuasai oleh kapitalisme. Kapitalisme ini pun terus berkembang seiring dengan meningkatnya kerakusan manusia. Sistem kapitalisme ini memang mengumbar kerakusan manusia. Semakin manusia rakus, dia semakin pintar mencari peluang, dan peluang itu selalu terbuka pada sistem kapitalisme.
Sistem syariah sudah mencoba menerobos disela-sela kapitalisme. Beberapa negara di barat pun sudah mencoba menerapkan sistem syariah, baik itu perbankan, asuransi, maupun instrument keuangan lainnya. Tapi rupanya ekonomi syariah belum mampu menggoda lebih dalam, sehingga masih terbatas jangkauannya. Perlu waktu lebih panjang, perlu lebih teruji untuk bisa mengalahkan kapitalisme.
Belakangan, ketika negara barat sudah terjebak dalam pusaran kapitalisme yang rakus, mulai muncul kesadaran untuk mengkoreksinya. Tapi bukan negara-negara barat yang mengkoreksinya, melainkan negara emerging market seperti Cina, Rusia, Brazil, dan negara di Timur Tengah seperti Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar. Koreksi secara ‘kebetulan’ itu adalah ‘lupakan kapitalisme liberal, tengok kapitalisme negara’.
Kapitalisme negara (state capitalism) ditandai dengan meraksasanya perusahaan milik negara dan mengguritanya pemilikan portofolio oleh soeverign wealth fund (SWF) yang juga dimiliki negara. Kepemilikan negara dalam transaksi perekonomian dunia itu sedikit banyak mulai menggeser peran swasta dalam berkompetisi di perekomian dunia.
Sektor yang dimasuki perusahaan negara dan SWF tersebut beragam, mulai dari telekomunikasi, energi, entertainment, sampai keuangan. Tetapi yang paling banyak berdomisili perusahaan negara adalah sektor minyak dan gas. Bahkan sampai saat ini perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang migas ini masih menguasai cadangan minyak dan gas dunia. Dari lima besar pemilik cadangan minyak terbesar, urutan pertama NOIC (Iran), disusul Aramco (Saudi), dan PDVSA (Venezuela), dan Kuwait Petroleum.
Bagaimana Indonesia, apalah juga sudah masuk dalam daftar state capitalism? Berbicara soal kaptalisme, kita dulu pernah mendapat julukan kaptalisme semu (ersatz capitalism) oleh Yoshihara Kunio. Kenapa semu? Karena yang dibiarkan bertarung bebas itu perusahaan menengah dan kecil, sementara perusahaan besar diberi fasilitas dan diproteksi oleh pemerintah. Itulah kenapa kemudian disebut kapitalisme semu.
Nah kini apakah kita masuk ke kapitalisme negara, sulit untuk menjawab. Tapi beberapa badan usaha milik negara (BUMN) sudah menguasai beberapa sektor, atau paling tidak menjadi pemain terbesar. Pertamina misalnya, menjadi perusahaan terbesar di bidang migas. Bank Mandiri, bank terbesar di tanah air. Telkom merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar. Di jalan tol, Jasa Marga pemain terbesar. Pelabuhan dan Bandara masih dikuasai BUMN.
‘’BUMN memang perlu terus diperkuat untuk menggenjot perekonomian nasional,’’ kata pengamat ekonomi Aviliani. Didik Rachbini juga sepandapat. Bahkan menurut dia BUMN bukan sekadar bisa mendorong perekonomian, tetapi juga bisa sebagai sarana pemerataan, karena BUMN lebih mudah digerakkan untuk kepentingan masyarakat.
Melihat kecenderungannya, state capitalism ini tampaknya akan semakin menguat, terutama di negara yang sedang dalam pertumbuhan. Di barat, rasanya hamper tak mungkin kapitalisme negara ini akan berkembang karena dunia usaha di sana sudah di dominasi oleh swasta.
Apalagi mereka pada 1980an dengan dimotori Inggris sudah memprivatisasi seluruh perusahaan negara yang mereka miliki. Indonesia? Setidaknya kita telah meninggalkan kapitalisme semu, apakah akan mengarah ke kapitalisme negara, kita tunggu saja. Anif Punto Utomo
Dimuat di rubrik Teraju, Republika 23 Februari 2012
Melihat perkembangannya, peradaban barat pun tampaknya tidak lagi berumur panjang. Kawasan Eropa sudah menunjukkan keredupannya. Kejayaan mereka tinggal menggantungkan diri dari Jerman, Inggris, dan Perancis. Negara di luar itu, yang dulu begitu pongah menjajah negara berkembang seperti belada, Spanyol, dan Portugal sudah terengah-engah. Bahkan Yunani sudah nyaris collaps.
Amerika juga sudah tidak seperkasa dulu. Krisis ekonomi yang terjadi pada 2008 menunjukkan bahwa negara adi daya itu memiliki topangan ekonomi yang rapuh. Utang mereka sangat besar. Ekspansi militer di beberapa negara yang menghabiskan triliunan dolar itu ternyata dibiayai utang. Kini mereka sedang kesulitan, bukan saja karena belitan utang tapi juga tingginya kemiskinan dan pengangguran.
Banyak yang memprediksi bahwa abad ini adalah abad Asia dengan Cina dan India yang jadi pioner. Sayang kebangkitan Asia tidak terjadi secara serempak, terutama pada ras kuning. Seandainya saja Cina, Jepang, dan Korea bangkit pada periode yang sama, kedigdayaan Asia akan lebih tampak. Kebangkitan Jepang sudah dimulai hamper tujuh dekade silam, kemudian Korea sejak empat dekade lalu, dan Cina relative baru dua dekade.
Atau memang barangkali dari ‘sana’nya sudah didesain sebagaimana teori membangun tangga. Tangga pertama dibangun untuk menapak ke tangga kedua, kemudian tangga ketiga dengan menapak tangga kedua, begitu seterusnya. Jepang, mereka bangkit setelah dibom atom oleh Amerika. Korea bangkit karena dendam terhadap Jepang, dan inguin mengalahkan Jepang. Cina bangkit setelah penguasa membuka keran untuk berkeliarannya kapitalisme dan ingin mengulang sejarah masa lalu.
Peradaban silih berganti, begitu juga sistem ekonomi. Selama berabad-abad sistem ekonomi dunia dikuasai oleh kapitalisme. Kapitalisme ini pun terus berkembang seiring dengan meningkatnya kerakusan manusia. Sistem kapitalisme ini memang mengumbar kerakusan manusia. Semakin manusia rakus, dia semakin pintar mencari peluang, dan peluang itu selalu terbuka pada sistem kapitalisme.
Sistem syariah sudah mencoba menerobos disela-sela kapitalisme. Beberapa negara di barat pun sudah mencoba menerapkan sistem syariah, baik itu perbankan, asuransi, maupun instrument keuangan lainnya. Tapi rupanya ekonomi syariah belum mampu menggoda lebih dalam, sehingga masih terbatas jangkauannya. Perlu waktu lebih panjang, perlu lebih teruji untuk bisa mengalahkan kapitalisme.
Belakangan, ketika negara barat sudah terjebak dalam pusaran kapitalisme yang rakus, mulai muncul kesadaran untuk mengkoreksinya. Tapi bukan negara-negara barat yang mengkoreksinya, melainkan negara emerging market seperti Cina, Rusia, Brazil, dan negara di Timur Tengah seperti Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar. Koreksi secara ‘kebetulan’ itu adalah ‘lupakan kapitalisme liberal, tengok kapitalisme negara’.
Kapitalisme negara (state capitalism) ditandai dengan meraksasanya perusahaan milik negara dan mengguritanya pemilikan portofolio oleh soeverign wealth fund (SWF) yang juga dimiliki negara. Kepemilikan negara dalam transaksi perekonomian dunia itu sedikit banyak mulai menggeser peran swasta dalam berkompetisi di perekomian dunia.
Sektor yang dimasuki perusahaan negara dan SWF tersebut beragam, mulai dari telekomunikasi, energi, entertainment, sampai keuangan. Tetapi yang paling banyak berdomisili perusahaan negara adalah sektor minyak dan gas. Bahkan sampai saat ini perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang migas ini masih menguasai cadangan minyak dan gas dunia. Dari lima besar pemilik cadangan minyak terbesar, urutan pertama NOIC (Iran), disusul Aramco (Saudi), dan PDVSA (Venezuela), dan Kuwait Petroleum.
Bagaimana Indonesia, apalah juga sudah masuk dalam daftar state capitalism? Berbicara soal kaptalisme, kita dulu pernah mendapat julukan kaptalisme semu (ersatz capitalism) oleh Yoshihara Kunio. Kenapa semu? Karena yang dibiarkan bertarung bebas itu perusahaan menengah dan kecil, sementara perusahaan besar diberi fasilitas dan diproteksi oleh pemerintah. Itulah kenapa kemudian disebut kapitalisme semu.
Nah kini apakah kita masuk ke kapitalisme negara, sulit untuk menjawab. Tapi beberapa badan usaha milik negara (BUMN) sudah menguasai beberapa sektor, atau paling tidak menjadi pemain terbesar. Pertamina misalnya, menjadi perusahaan terbesar di bidang migas. Bank Mandiri, bank terbesar di tanah air. Telkom merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar. Di jalan tol, Jasa Marga pemain terbesar. Pelabuhan dan Bandara masih dikuasai BUMN.
‘’BUMN memang perlu terus diperkuat untuk menggenjot perekonomian nasional,’’ kata pengamat ekonomi Aviliani. Didik Rachbini juga sepandapat. Bahkan menurut dia BUMN bukan sekadar bisa mendorong perekonomian, tetapi juga bisa sebagai sarana pemerataan, karena BUMN lebih mudah digerakkan untuk kepentingan masyarakat.
Melihat kecenderungannya, state capitalism ini tampaknya akan semakin menguat, terutama di negara yang sedang dalam pertumbuhan. Di barat, rasanya hamper tak mungkin kapitalisme negara ini akan berkembang karena dunia usaha di sana sudah di dominasi oleh swasta.
Apalagi mereka pada 1980an dengan dimotori Inggris sudah memprivatisasi seluruh perusahaan negara yang mereka miliki. Indonesia? Setidaknya kita telah meninggalkan kapitalisme semu, apakah akan mengarah ke kapitalisme negara, kita tunggu saja. Anif Punto Utomo
Dimuat di rubrik Teraju, Republika 23 Februari 2012
No comments:
Post a Comment