Monday, March 19, 2012

Dari Kapitalisme Semu ke Kapitalisme Negara

’'Kejayaan itu dipergilirkan’’ begitu kata orang bijak. Itulah yang menyebabkan penguasaan peradaban di bumi ini juga silih berganti. Romawi pernah mendominasi peradaban dunia. Begitu pula Islam pernah mendominasi peradaban dunia. Jenghis Khan dan kekaisaran Cina pernah menguasai sepertiga dari bumi ini. Kemudian selama empat abad terakhir peradaban dikuasai barat.

Melihat perkembangannya, peradaban barat pun tampaknya tidak lagi berumur panjang. Kawasan Eropa sudah menunjukkan keredupannya. Kejayaan mereka tinggal menggantungkan diri dari Jerman, Inggris, dan Perancis. Negara di luar itu, yang dulu begitu pongah menjajah negara berkembang seperti belada, Spanyol, dan Portugal sudah terengah-engah. Bahkan Yunani sudah nyaris collaps.

Amerika juga sudah tidak seperkasa dulu. Krisis ekonomi yang terjadi pada 2008 menunjukkan bahwa negara adi daya itu memiliki topangan ekonomi yang rapuh. Utang mereka sangat besar. Ekspansi militer di beberapa negara yang menghabiskan triliunan dolar itu ternyata dibiayai utang. Kini mereka sedang kesulitan, bukan saja karena belitan utang tapi juga tingginya kemiskinan dan pengangguran.

Banyak yang memprediksi bahwa abad ini adalah abad Asia dengan Cina dan India yang jadi pioner. Sayang kebangkitan Asia tidak terjadi secara serempak, terutama pada ras kuning. Seandainya saja Cina, Jepang, dan Korea bangkit pada periode yang sama, kedigdayaan Asia akan lebih tampak. Kebangkitan Jepang sudah dimulai hamper tujuh dekade silam, kemudian Korea sejak empat dekade lalu, dan Cina relative baru dua dekade.

Atau memang barangkali dari ‘sana’nya sudah didesain sebagaimana teori membangun tangga. Tangga pertama dibangun untuk menapak ke tangga kedua, kemudian tangga ketiga dengan menapak tangga kedua, begitu seterusnya. Jepang, mereka bangkit setelah dibom atom oleh Amerika. Korea bangkit karena dendam terhadap Jepang, dan inguin mengalahkan Jepang. Cina bangkit setelah penguasa membuka keran untuk berkeliarannya kapitalisme dan ingin mengulang sejarah masa lalu.

Peradaban silih berganti, begitu juga sistem ekonomi. Selama berabad-abad sistem ekonomi dunia dikuasai oleh kapitalisme. Kapitalisme ini pun terus berkembang seiring dengan meningkatnya kerakusan manusia. Sistem kapitalisme ini memang mengumbar kerakusan manusia. Semakin manusia rakus, dia semakin pintar mencari peluang, dan peluang itu selalu terbuka pada sistem kapitalisme.

Sistem syariah sudah mencoba menerobos disela-sela kapitalisme. Beberapa negara di barat pun sudah mencoba menerapkan sistem syariah, baik itu perbankan, asuransi, maupun instrument keuangan lainnya. Tapi rupanya ekonomi syariah belum mampu menggoda lebih dalam, sehingga masih terbatas jangkauannya. Perlu waktu lebih panjang, perlu lebih teruji untuk bisa mengalahkan kapitalisme.

Belakangan, ketika negara barat sudah terjebak dalam pusaran kapitalisme yang rakus, mulai muncul kesadaran untuk mengkoreksinya. Tapi bukan negara-negara barat yang mengkoreksinya, melainkan negara emerging market seperti Cina, Rusia, Brazil, dan negara di Timur Tengah seperti Emirat Arab, Arab Saudi, Qatar. Koreksi secara ‘kebetulan’ itu adalah ‘lupakan kapitalisme liberal, tengok kapitalisme negara’.

Kapitalisme negara (state capitalism) ditandai dengan meraksasanya perusahaan milik negara dan mengguritanya pemilikan portofolio oleh soeverign wealth fund (SWF) yang juga dimiliki negara. Kepemilikan negara dalam transaksi perekonomian dunia itu sedikit banyak mulai menggeser peran swasta dalam berkompetisi di perekomian dunia.

Sektor yang dimasuki perusahaan negara dan SWF tersebut beragam, mulai dari telekomunikasi, energi, entertainment, sampai keuangan. Tetapi yang paling banyak berdomisili perusahaan negara adalah sektor minyak dan gas. Bahkan sampai saat ini perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang migas ini masih menguasai cadangan minyak dan gas dunia. Dari lima besar pemilik cadangan minyak terbesar, urutan pertama NOIC (Iran), disusul Aramco (Saudi), dan PDVSA (Venezuela), dan Kuwait Petroleum.

Bagaimana Indonesia, apalah juga sudah masuk dalam daftar state capitalism? Berbicara soal kaptalisme, kita dulu pernah mendapat julukan kaptalisme semu (ersatz capitalism) oleh Yoshihara Kunio. Kenapa semu? Karena yang dibiarkan bertarung bebas itu perusahaan menengah dan kecil, sementara perusahaan besar diberi fasilitas dan diproteksi oleh pemerintah. Itulah kenapa kemudian disebut kapitalisme semu.

Nah kini apakah kita masuk ke kapitalisme negara, sulit untuk menjawab. Tapi beberapa badan usaha milik negara (BUMN) sudah menguasai beberapa sektor, atau paling tidak menjadi pemain terbesar. Pertamina misalnya, menjadi perusahaan terbesar di bidang migas. Bank Mandiri, bank terbesar di tanah air. Telkom merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar. Di jalan tol, Jasa Marga pemain terbesar. Pelabuhan dan Bandara masih dikuasai BUMN.

‘’BUMN memang perlu terus diperkuat untuk menggenjot perekonomian nasional,’’ kata pengamat ekonomi Aviliani. Didik Rachbini juga sepandapat. Bahkan menurut dia BUMN bukan sekadar bisa mendorong perekonomian, tetapi juga bisa sebagai sarana pemerataan, karena BUMN lebih mudah digerakkan untuk kepentingan masyarakat.

Melihat kecenderungannya, state capitalism ini tampaknya akan semakin menguat, terutama di negara yang sedang dalam pertumbuhan. Di barat, rasanya hamper tak mungkin kapitalisme negara ini akan berkembang karena dunia usaha di sana sudah di dominasi oleh swasta.

Apalagi mereka pada 1980an dengan dimotori Inggris sudah memprivatisasi seluruh perusahaan negara yang mereka miliki. Indonesia? Setidaknya kita telah meninggalkan kapitalisme semu, apakah akan mengarah ke kapitalisme negara, kita tunggu saja. Anif Punto Utomo
Dimuat di rubrik Teraju, Republika 23 Februari 2012

Tuesday, March 6, 2012

Pudarnya Pesona Eropa

Yunani. Ketika orang membaca kata itu, selalu teringat tentang peradaban masa lampau yang mencerminkan kejayaan kekaisaran di sana. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan, cendekiawan, dan filosof yang lahir di negeri para dewa ini seperti Socrates ataupun Plato.

Tapi kini, Yunani secara perlahan sedang menanggalkan baju kebesarannya. Negeri kecil itu terlilit utang yang luar biasa besar. Dengan total utang senilai 145,8 miliar dolar, pemerintah nyaris tak mampu membayarnya (default). Standar and Poor’s (S&P) bahkan menurunkan peringkat utang dari B menjadi CCC. Sebuah level yang dinilai sudah menkhawatirkan.

Sudah beberapa kali memperoleh dana bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan bank sentral Eropa, tetap saja sulit mengeluarkan Yunani dari krisis utang yang membelitnya. Tak kurang 17 miliar dolar sudah dikeluarkan untuk menyelamatkan ancaman kebangkrutan negeri tersebut.

Sebetulnya Yunani tidak sendiri. Ada empat negara di kawasan Eropa yang kasusnya menyerupai Yunani, yakni Portugal, Italia, Irlandia, dan Spanyol. Karena itu muncul singkatan untuk negara yang senasib ini, yakni PIIGS (Portugal, Italia, Irlandia, Greek, Spanyol). Semua negara tersebut diturunkan peringkat utangnya. Hanya memang Yunani yang terparah.

Dari penurunan peringkat itu yang mengejutkan adalah Itali yang oleh Standar and Poor’s diturunkan dari A+/A+1 menjadi A/A-1. Itali merupakan negara dengan skala ekonomi terbesar ketiga di zona euro, sehingga penurunan peringkat ini cukup memukul Eropa. Dengan rating itu Itali berada di bawah Slovakia dalam peringkat utang. Tetapi bagi Yunani penurunan peringkat Itali ini menjadi berkah, karena Yunani tidak lagi menjadi bulan-bulanan.

Krisis utang di PIIGS tersebut otomatis menyeret negara di Eropa yang lain, khususnya negara yang masuk dalam euro zone yang total berjumlah 17 negara. Karena itu banyak yang berharap kepada Jerman (sebagai negara terkuat dan sekaligus motor euro) bertindak menyelamatkan Yunani. Hanya Jerman pun berpikir dua kali lipat untuk bergerak sendirian karena begitu besarnya dana yang harus dikeluarkan.

Angela Merkel, perdana menteri Jerman, hanya mengingatkan bahwa negara di zona euro harus disiplin menjaga fiscal. Ketidakdisiplinan fiskal itu memperparah krisis ekonomi. Seperti Yunani misalnya, disiplin fiskal rendah. Sementara masyarakatnya juga tidak mau untuk diajak prhatin, sehingga setiap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang ingin menghemat anggaran ditentang keras oleh rakyatnya. Saking jengkelnya, Jerman pun pernah minta agar Yunani keluar dari euro dan kembali ke mata uang lamanya, drachma.

Kenapa krisis Yunani begitu menakutkan kawasan Eropa? Tidak lain karena utang Yunani yang berupa obligasi itu sebagian besar dimiliki oleh perbankan Eropa. Sampai Juni lalu tercatat perbankan Perancis memegang 56,74 miliar dolar, Jerman 33,97 miliar dolar, Inggris 14,06 miliar dolar, dan Portugal 10,28 miliar dolar. Bayangkan jika Yunani gagal bayar, perbankan tersebut akan collaps.

Jatuhnya perbankan itu yang harus dihindari, karena begitu perbankan collaps, sistem perbankan Eropa akan rusak dan krisis utang di negara kawasan akan menyeret lebih dahsyat lagi. Belakangan mulai muncul kekhawatiran bahwa runtuhnya Lehman Brother pada 2008 lalu bisa terulang di Eropa.

Di sisi lain, bank adalah urat nadi perekonomian, sehingga jika bank mengalami kebangkrutan, perekonomian akan tertatih-tatih, untuk tidak mengatakan terhenti. Menghindari jatuhnya perbankan adalah harga mati.

Pada posisi sekarang saja, krisis Yunani dan sebagian Eropa ini sudah membuat kocar-kacir harga saham dan pasar uang global. Indeks Dow Jones jatuh terjerembab nyaris menyerupai krisis 2008. Begitu pula indeks di kawasan Eropa, Asia, termasuk di Indonesia, semua rontok. Bahkan di Indonesia rupiah ikut tersungkur ke posisi Rp 9.000 per dolar, dari sebelumnya di sekitar Rp 8.500.

Amerika sebagai negara dengan skala ekonomi terbesar ikut terkena imbas krisis utang Eropa ini. ‘’Krisis Eropa menjadi salah satu faktor yang menimbulkan kelambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat,’’ begitu kata Presiden Obama dalam sebuah forum yang diselenggarakan Linkedln.

Terkait dengan utang pemerintah, Amerika sebetulnya memiliki problem nyaris serupa, yakni total utang pemerintah sudah melebihi produk domestik bruto. Karena itulah beberapa bulan lalu Standar & Poor’s menurunkan rating utang Amerika dari AAA menjadi AA+. Penurunan itu membuat kurs dolar anjlok. Pemerintah Amerika marah, mereka curiga penurunan itu tidak murni tetapi rekayasa.

Bahwa krisis Amerika tidak sedahsyat pada 2008 lalu itu betul. Tapi membengkaknya utang pemeirntah Amerika juga ikut menyeret terjadianya krisis global. Ibaratnya, apa yang terjadi di Eropa dan Amerika itu saling melengkapi. Tinggal menghitung saja, mana yang memberikan sumbangan besar bagi resesi itu.

Untuk melokalisir agar krisis ini tidak terlampau meluas, negara kelompok G-20 dan IMF menyatakan siap bekerjasama untuk menggucurkan dana penyelamatan bagi negara Eropa yang terkena krisis. IMF diperkirakan akan menaikkan dana penyelamatan dan 940 miliar dolar menjadi 1,3 triliun dolar. ‘’Kita akan sekuat tenaga menyelamatkan negara kawasan Eropa dari krisis,’’ kata Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde.

Krisis di Eropa ini menjadi sinyal bahwa kedigdayaan ekonomi Eropa mulai menyurut. IMF dalam laporan tahunannya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa tahun ini hanya 1,6 persen. Tahun depan akan lebih buruk lagi, sekitar 1,1 persen. Suatu angka pertumbuhan yang tidak mampu memberikan lapangan kerja memadai bagi penduduknya.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ILO (International Labour Organization) menunjukkan bahwa pada kuartal I tahun 2011 ini sekitar 40 persen dari pengangguran di Perancis dan Spanyol tidak punya pekerjaan lebih dari setahun. Sementara Jerman malah lebih tinggi yakni 47,3 persen, apalagi Italia yang mencapai 50 persen. Secara keseluruhan, tingkat pengangguran di Eropa mencapai 10 persen.

Kondisi tersebut memang menjadi malapetaka buat Eropa. Maklum selama ini mereka hidup dalam kemakmuran, dan boleh dikata memanjakan penduduknya. Pengangguran misalnya, memperoleh tunjangan untuk hidup. Tunjangan kesehatan dan pendidikan juga mereka nikmati nyaris semuanya gratis. Wajar jika kemudian masyarakat Yunanai berdemo secara marathon ketika berbagai tunjangan sosial akan dihapus.

Untuk menarik investasi industri ke negara Eropa juga bukan perkara mudah. Upah pekerja di sana sangat tinggi, dan produktivitasnya belum tentu lebih baik. Untuk kelas menangah atas memang mereka punya kemampuan lebih, tapi unjtuk kelas indutri yang membutuhkan buruh, sulit memperoleh tenaga yang produktif sebagaimana di Asia.@ Anif Punto Utomo

Rasio Utang Terhadap PDB
Negara Rasio
Yunani      142,8 persen
Portugal    119 persen
Itali           119 persen
Irlandia      96,2 persen
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BRICS untuk Eropa
Adakah negara yang mau terimbas krisis Eropa? Tentu saja tidak ada yang mau. Karena itu semua kekuatan finansial global bahu membahu ikut menyelamatkan krisis yang terjadi di Eropa, khususnya di negara kawasan zona euro.

Jika pada masa-masa lalu, Eropa boleh dibilang menjadi penyelamat jika terjadi krisis di negara kawsan Asia dan Amerika Latin, kini justru sebaliknya, negara emerging market yang akan menyelamatkan Eropa. Negara yang tergabung dalam BRIC (Brazil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan) akan memotori pembelian surat utang Eropa.

Brasil memastikan akan membeli obligasi Eropa senilai 10 miliar dolar. Cina yang selama ini banyak menyimpan surat utang Amertikia Serikat akan berpartisipasi membeli obligasi Eropa. Secara total, BRICS menyiapkan 70 miliar dolar untuk memborong obligasi tersebut. ‘’Kami siap membantu Eropa,’’ kata Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega.

BRICS kini menjadi sekumpulan lima negara yang punya andil dalam peta kekuatan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi di empat negara tersebut jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dunia yang tahun ini berada di sekitar 4,1 persen. Mereka juga memiliki jumlah penduduk yang besar sehingga konsumsi domestik mereka mampu menyumbang petumbuhan ekonomi secara konstan.

Kelima negara itu tentu saja bukan tanpa alas an membantu Eropa. Mereka punya kepentingan agar kawasan Eropa keluar dari krisis, karena bagaimanapun kawasan Eropa merupakan salah satu kawasan tujuan ekspor barang produksi mereka. Jika Eropa bisa diselamatkan, maka peekonomian akan stabil, dengan begitu permintaan ekspor terhadap produk dari anggota BRICS akan meningkat.

Semula, kelompok ini hanya terdiri atas empat negara dengan singkatan BRIC. Tapi pada 14 April 2011, Afrika Selatan masuk menjadi anggota sehinghga sihuruf paling belakang menempel huruf ‘S’ yang berarti South Africa. Kelompok ini mewakilim40 persen populasi dunia.

Belakangan, BRICS menyita perhatian para ekonom, karena kinerja negara di kalompok ini sangat menggiurkan. Mereka bahkan diprediksi akan mengungguli negara yang tergabung dalam G-7 pada 2035 mendatang. Saat ini Cina yang menjadi motor BRICS sudah menempati urutan kedua dalam skala ekonomi dibawah Amerika Serikat.@ Anif Punto Utomo

Dimuat di Teraju Republika edisi 3 Oktober 2011