Tuesday, February 18, 2014

Pudarnya Pesona Eropa

Yunani. Ketika orang membaca kata itu, selalu teringat tentang peradaban masa lampau yang mencerminkan kejayaan kekaisaran di sana. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan dan cendekiawan yang lahir di sana. Negeri para dewa ini juga melahirkan begitu banyak filosof sebagaimana Socrates ataupun Plato.

Tapi kini, Yunani secara perlahan sedang menanggalkan baju kebesarannya. Negeri kecil itu terlilit utang yang luar biasa besar. Dengan total utang senilai 145,8 miliar dolar, pemerintah nyaris tak mampu membayarnya (default). Standar and Poor’s (S&P) bahkan menurunkan peringkat utang dari B menjadi CCC. Sebuah level yang dinilai sudah menkhawatirkan.

Sudah beberapa kali memperoleh dana bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan bank sentral Eropa, tetap saja sulit mengeluarkan Yunani dari krisis utang yang membelitnya. Tak kurang 17 miliar dolar sudah dikeluarkan untuk menyelamatkan ancaman kebangkrutan negeri tersebut.

Sebetulnya Yunani tidak sendiri. Ada empat negara di kawasan Eropa yang kasusnya menyerupai Yunani, yakni Portugal, Italia, Irlandia, dan Spanyol. Karena itu muncul singkatan untuk negara yang senasib ini, yakni PIIGS (Portugal, Italia, Irlandia, Greek, Spanyol). Semua negara tersebut diturunkan peringkat utangnya. Hanya memang Yunani yang terparah.

Dari penurunan peringkat itu yang mengejutkan adalah Itali yang oleh Standar and Poor’s diturunkan dari A+/A+1 menjadi A/A-1. Itali merupakan negara dengan skala ekonomi terbesar ketiga di zona euro, sehingga penurunan peringkat ini cukup memukul Eropa. Dengan rating itu Itali berada di bawah Slovakia dalam peringkat utang. Tetapi bagi Yunani penurunan peringkat Itali ini menjadi berkah, karena Yunani tidak lagi menjadi bulan-bulanan.

Krisis utang di PIIGS tersebut otomatis menyeret negara di Eropa yang lain, khususnya negara yang masuk dalam euro zone yang total berjumlah 17 negara. Karena itu banyak yang berharap kepada Jerman (sebagai negara terkuat dan sekaligus motor euro) bertindak menyelamatkan Yunani. Hanya Jerman pun berpikir dua kali lipat untuk bergerak sendirian karena begitu besarnya dana yang harus dikeluarkan.

Angela Merkel, perdana menteri Jerman, hanya mengingatkan bahwa negara di zona euro harus disiplin menjaga fiscal. Ketidakdisiplinan fiskal itu memperparah krisis ekonomi. Seperti Yunani misalnya, disiplin fiskal rendah. Sementara masyarakatnya juga tidak mau untuk diajak prhatin, sehingga setiap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang ingin menghemat anggaran ditentang keras oleh rakyatnya. Saking jengkelnya, Jerman pun pernah minta agar Yunani keluar dari euro dan kembali ke mata uang lamanya, drachma.

Kenapa krisis Yunani begitu menakutkan kawasan Eropa? Tidak lain karena utang Yunani yang berupa obligasi itu sebagian besar dimiliki oleh perbankan Eropa. Sampai Juni lalu tercatat perbankan Perancis memegang 56,74 miliar dolar, Jerman 33,97 miliar dolar, Inggris 14,06 miliar dolar, dan Portugal 10,28 miliar dolar. Bayangkan jika Yunani gagal bayar, perbankan tersebut akan collaps.

Jatuhnya perbankan itu yang harus dihindari, karena begitu perbankan collaps, sistem perbankan Eropa akan rusak dan krisis utang di negara kawasan akan menyeret lebih dahsyat lagi. Belakangan mulai muncul kekhawatiran bahwa runtuhnya Lehman Brother pada 2008 lalu bisa terulang di Eropa.

Di sisi lain, bank adalah urat nadi perekonomian, sehingga jika bank mengalami kebangkrutan, perekonomian akan tertatih-tatih, untuk tidak mengatakan terhenti. Menghindari jatuhnya perbankan adalah harga mati.

Pada posisi sekarang saja, krisis Yunani dan sebagian Eropa ini sudah membuat kocar-kacir harga saham dan pasar uang global. Indeks Dow Jones jatuh terjerembab nyaris menyerupai krisis 2008. Begitu pula indeks di kawasan Eropa, Asia, termasuk di Indonesia, semua rontok. Bahkan di Indonesia rupiah ikut tersungkur ke posisi Rp 9.000 per dolar, dari sebelumnya di sekitar Rp 8.500.

Amerika sebagai negara dengan skala ekonomi terbesar ikut terkena imbas krisis utang Eropa ini. ‘’Krisis Eropa menjadi salah satu faktor yang menimbulkan kelambatan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat,’’ begitu kata Presiden Obama dalam sebuah forum yang diselenggarakan Linkedln.

Terkait dengan utang pemerintah, Amerika sebetulnya memiliki problem nyaris serupa, yakni total utang pemerintah sudah melebihi produk domestik bruto. Karena itulah beberapa bulan lalu Standar & Poor’s menurunkan rating utang Amerika dari AAA menjadi AA+. Penurunan itu membuat kurs dolar anjlok. Pemerintah Amerika marah, mereka curiga penurunan itu tidak murni tetapi rekayasa.

Bahwa krisis Amerika tidak sedahsyat pada 2008 lalu itu betul. Tapi membengkaknya utang pemeirntah Amerika juga ikut menyeret terjadianya krisis global. Ibaratnya, apa yang terjadi di Eropa dan Amerika itu saling melengkapi. Tinggal menghitung saja, mana yang memberikan sumbangan besar bagi resesi itu.

Untuk melokalisir agar krisis ini tidak terlampau meluas, negara kelompok G-20 dan IMF menyatakan siap bekerjasama untuk menggucurkan dana penyelamatan bagi negara Eropa yang terkena krisis. IMF diperkirakan akan menaikkan dana penyelamatan dan 940 miliar dolar menjadi 1,3 triliun dolar. ‘’Kita akan sekuat tenaga menyelamatkan negara kawasan Eropa dari krisis,’’ kata Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde.

Krisis di Eropa ini menjadi sinyal bahwa kedigdayaan ekonomi Eropa mulai menyurut. IMF dalam laporan tahunannya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa tahun ini hanya 1,6 persen. Tahun depan akan lebih buruk lagi, sekitar 1,1 persen. Suatu angka pertumbuhan yang tidak mampu memberikan lapangan kerja memadai bagi penduduknya.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ILO (International Labour Organization) menunjukkan bahwa pada kuartal I tahun 2011 ini sekitar 40 persen dari pengangguran di Perancis dan Spanyol tidak punya pekerjaan lebih dari setahun. Sementara Jerman malah lebih tinggi yakni 47,3 persen, apalagi Italia yang mencapai 50 persen. Secara keseluruhan, tingkat pengangguran di Eropa mencapai 10 persen.

Kondisi tersebut memang menjadi malapetaka buat Eropa. Maklum selama ini mereka hidup dalam kemakmuran, dan boleh dikata memanjakan penduduknya. Pengangguran misalnya, memperoleh tunjangan untuk hidup. Tunjangan kesehatan dan pendidikan juga mereka nikmati nyaris semuanya gratis. Wajar jika kemudian masyarakat Yunanai berdemo secara marathon ketika berbagai tunjangan sosial akan dihapus.

Untuk menarik investasi industri ke negara Eropa juga bukan perkara mudah. Upah pekerja di sana sangat tinggi, dan produktivitasnya belum tentu lebih baik. Untuk kelas menangah atas memang mereka punya kemampuan lebih, tapi unjtuk kelas indutri yang membutuhkan buruh, sulit memperoleh tenaga yang produktif sebagaimana di Asia.

Seperti kata orang bijak: Kejayaan itu dipergilirkan. Tampaknya kalimat bijak itu benar. Kini kejayaan Eropa sudah menampakkan rona memudar. Dalam beberapa tahun ke depan, membicarakan Eropa hanyalah asyik membicarakan tentang masa lalunya. Eropa akan emjadi daya tarik pesona sejarah, tapi pesona ekonominya akan memudar.

Anif Punto Utomo

Rasio Utang Terhadap PDB
Negara                Rasio
Yunani                142,8 persen
Portugal              119 persen
Itali                     119 persen
Irlandia                96,2 persen
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BRICS untuk Eropa
Adakah negara yang mau terimbas krisis Eropa? Tentu saja tidak ada yang mau. Karena itu semua kekuatan finansial global bahu membahu ikut menyelamatkan krisis yang terjadi di Eropa, khususnya di negara kawasan zona euro.

Jika pada masa-masa lalu, Eropa boleh dibilang menjadi penyelamat jika terjadi krisis di negara kawsan Asia dan Amerika Latin, kini justru sebaliknya, negara emerging market yang akan menyelamatkan Eropa. Negara yang tergabung dalam BRIC (Brazil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan) akan memotori pembelian surat utang Eropa.

Brasil memastikan akan membeli obligasi Eropa senilai 10 miliar dolar. Cina yang selama ini banyak menyimpan surat utang Amertikia Serikat akan berpartisipasi membeli obligasi Eropa. Secara total, BRICS menyiapkan 70 miliar dolar untuk memborong obligasi tersebut. ‘’Kami siap membantu Eropa,’’ kata Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega.

BRICS kini menjadi sekumpulan lima negara yang punya andil dalam peta kekuatan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi di empat negara tersebut jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dunia yang tahun ini berada di sekitar 4,1 persen. Mereka juga memiliki jumlah penduduk yang besar sehingga konsumsi domestik mereka mampu menyumbang petumbuhan ekonomi secara konstan.

Kelima negara itu tentu saja bukan tanpa alas an membantu Eropa. Mereka punya kepentingan agar kawasan Eropa keluar dari krisis, karena bagaimanapun kawasan Eropa merupakan salah satu kawasan tujuan ekspor barang produksi mereka. Jika Eropa bisa diselamatkan, maka peekonomian akan stabil, dengan begitu permintaan ekspor terhadap produk dari anggota BRICS akan meningkat.

Semula, kelompok ini hanya terdiri atas empat negara dengan singkatan BRIC. Tapi pada 14 April 2011, Afrika Selatan masuk menjadi anggota sehinghga sihuruf paling belakang menempel huruf ‘S’ yang berarti South Africa. Kelompok ini mewakilim40 persen populasi dunia.

Belakangan, BRICS menyita perhatian para ekonom, karena kinerja negara di kalompok ini sangat menggiurkan. Mereka bahkan diprediksi akan mengungguli negara yang tergabung dalam G-7 pada 2035 mendatang. Saat ini Cina yang menjadi motor BRICS sudah menempati urutan kedua dalam skala ekonomi dibawah Amerika Serikat.

BI Rate Vs Sektor Riil


Defisit transaksi berjalan, rangkaian tiga kata itu telah menghantui Indonesia. Sebelumnya, dalam satu dekade sampai pertengahan 2011 kita tidak pernah diusik oleh adanya defisit ini. Tiba-tiba dalam dua tahun terakhir, kita disibukkan dengan defisit transaksi berjalan yang makin lama makin mengkhawatirkan karena berimbas pada penurunan kurs rupiah.

Sejak memasuki  triwulan III tahun 2011, transaksi berjalan sudah mulai negatif. Kondisi terus memburuk sampai triwulan II tahun 2013, ketika transaksi berjalan defisit 9,9 miliar AS dolar atau sekitar 4,38 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Dengan membaiknya kinerja neraca perdagangan nonmigas, pada triwulan III tahun 2013 defisit turun menjadi 8,45 milar dolar AS atau 3,78 persen.

Di tengah penurunan itu, tiba-tiba Bank Indonesia (BI) menaikkan BI Rate 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Langkah ini dilakukan untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan di tengah ketidakpastian global yang masih mengancam. “Kita punya target defisit transaksi berjalan 2,6 persen pada tahun depan,” kata Difi A Johansyah, Direktur Eksekutif DepartemenKomunikasi BI (Republika, 13 November 2013).

Tentu saja selain ditujukan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, kenaikan BI Rate juga untuk mengendalikan inflasi sehingga tahun depan bisa di kisaran 3,5-5,5 persen. Selain itu, rupiah yang masih dalam posisi gonjang-ganjing juga diharapkan kembali menguat di posisi Rp 11 ribu per dolar AS atau bahkan lebih kuat lagi.

Apakah BI Rate bisa menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan? Bisa, tetapi sarat dengan pengorbanan dan yang jelas bukan penyelesaian fundamental. Ini hanya penyelesaian permukaan, segala sesuatu diatasi dengan kebijakan moneter. Harusnya yang dilakukan adalah langkah fundamental di sektor riil.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan defisit transaksi berjalan tinggi, di antaranya impor minyak, impor barang konsumsi, dan repatriasi. Ketiganya patut untuk dicermati karena bukan saja menganggu transaksi berjalan, tetapi jika tidak segera di atasi, juga semakin menjadikan ekonomi kita tidak sehat.

Impor migas merupakan biang keladi defisit transaksi berjalan. Selama ini, kita terjebak pada anggapan keliru bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak. Faktanya, kebutuhan BBM kita 1,4 juta barel per hari, sementara yang bisa diambil dari perut bumi Indonesia hanya 840 ribu barel per hari. Kekurangan itu harus diimpor sehingga di situlah miliaran dolar terbang ke luar negeri. Rata-rata devisa yang dikeluarkan untuk mengimpor minyak 75 juta dolar AS per hari.

Pemakaian BBM yang terbesar adalah untuk transportasi dan pembangkit listrik. Pada transportasi, dengan bertambahnya jutaan mobil dan sepeda motor setiap tahun, otomatis meningkatkan kebutuhan BBM. Impor pun semakin tinggi. Perlu keberanian untuk membuat terobosan, misalnya membatasi jumlah kendaraan dan menggantikan BBM dengan gas. Program pemasangan alat kontrol BBM bersubsidi yang sekarang sedang dalam proses tidak akan efektif.

Kondisi serupa juga terjadi pada pembangkit listrik. Sebagian besar pembangkit menggunakan BBM yang harganya mahal. Seharusnya, pemerintah mau bekerja keras untuk mengalihkan sumber pembangkit dari BBM ke gas, batu bara, maupun panas bumi yang lebih murah. Program 10.000 megawatt tahap kedua harus segera diselesaikan.

Terkait masalah BBM ini memang pemerintah terpukul dua kali, yaitu neraca pembayaran yang negatif dan subsidi energi yang sangat besar. Neraca pembayaran menjadi negatif karena impor BBM yang sangat tinggi, sedangkan APBN jebol karena setiap tahun harus menganggarkan hampir Rp 300 triliun untuk subsidi BBM dan pembangkit listrik.

Tak berbeda dengan impor barang konsumsi yang setiap tahun meningkat, terutama barang elektronik berupa telepon seluler dan komputer. Tingginya impor barang konsumsi ini menunjukkan bahwa struktur industri Indonesia lemah. Banyak barang yang sebetulnya bisa kita produksi sendiri.

Kita miris kalau melihat kenyataan bahwa dalam lima tahun terakhir, impor produk elektronik dan telematik naik rata-rata 59,3 persen per tahun. Data Sucofindo menunjukkan nilai impor untuk telepon seluler pada 2012 mencapai 1,9 miliar dolar AS atau sebanyak 52 juta unit, laptop 639 ribu unit (52 juta dolar), dan komputer tablet 137 ribu unit (80 juta dolar AS). Barang-barang itu sebetulnya bisa dikembangkan di dalam negeri.

Devisa yang juga banyak melayang ke luar negeri adalah repatriasi (keuntungan perusahaan asing yang dikirim pulang ke negara asal). Pada 2009 repatriasi mencapai 8,7 miliar dolar, tiga tahun kemudian pada 2012 sudah 17,8 miliar dolar. Pada 2013 diperkirakan akan berlipat dua

Besarnya repatriasi itu menjadi terlihat wajar manakala kita tahu bahwa 50,6 persen aset perbankan nasional dikuasai asing, 70  persen migas dimiliki asing, begitu pula 75 persen batu bara, bauksit, mineral, dan timah. Kemudian, perkebunan sawit 40 persen dimiliki asing dan juga beberapa perusahaan operator seluluer, seperti XL, Indosat, dan Hutchinson Tri. Belum lagi industri makanan dan minuman.

Ke depan repatriasi akan makin mengkhawatirkan ketika pemerintah merevisi DNI (daftar negatif investasi), yakni asing bisa menguasai 100 persen di operator bandara, 49 persen di pelabuhan, jasa kebandaraan, terminal darat, dan periklanan yang bisa 51 persen. Itu semua cerminan liberalisasi kebablasan yang difasilitasi UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Kenaikan BI Rate ini sudah bisa dipastikan akan membuat likuditas menjadi ketat. Bank akan berlomba-lomba menaikkan bunga untuk memperoleh dana. Bunga simpanan yang tinggi serta-merta akan mengerek bunga pinjaman. Ketika bunga tinggi, bank otomatis mengerem pertumbuhan kredit.

Pada posisi seperti itu para pelaku usaha akan menjerit karena biaya produksi akan naik, sedangkanUMR juga siap-siap naik. UMKM (usaha kecil menengah dan mikro) lebih terpukul lagi karena sebelum kenaikan pun bunga yang diberikan kepada mereka sudah tinggi.

Dalam pandangan yang lebih makro, kenaikan BI Rate tersebut akan menekan pertumbuhan. Tahun ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,7 persen, jauh dari target APBN yang 6,3 persen. Tahun depan pemerintah menargetkan di bawah enam persen. Konsekuensinya rakyat yang menjadi korban.

Strategi mengatasi defisit transaksi berjalan dengan menaikkan BI Rate tampaknya kurang tepat. Terlalu besar pengorbanan yang dibebankan kepada rakyat. Karena akar persoalannya adalah sektor riil maka pemerintah seharusnya bergegas mengatasi lewat sektor riil. Jika pemerintah sigap, rakyat tidak menjadi korban dan perekonomian nasional akan menjadi sehat serta efisien.

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Inteligence


(Dimuat di Opini Republika edisi 20 November 2013)