Tuesday, February 18, 2014

BI Rate Vs Sektor Riil


Defisit transaksi berjalan, rangkaian tiga kata itu telah menghantui Indonesia. Sebelumnya, dalam satu dekade sampai pertengahan 2011 kita tidak pernah diusik oleh adanya defisit ini. Tiba-tiba dalam dua tahun terakhir, kita disibukkan dengan defisit transaksi berjalan yang makin lama makin mengkhawatirkan karena berimbas pada penurunan kurs rupiah.

Sejak memasuki  triwulan III tahun 2011, transaksi berjalan sudah mulai negatif. Kondisi terus memburuk sampai triwulan II tahun 2013, ketika transaksi berjalan defisit 9,9 miliar AS dolar atau sekitar 4,38 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Dengan membaiknya kinerja neraca perdagangan nonmigas, pada triwulan III tahun 2013 defisit turun menjadi 8,45 milar dolar AS atau 3,78 persen.

Di tengah penurunan itu, tiba-tiba Bank Indonesia (BI) menaikkan BI Rate 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Langkah ini dilakukan untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan di tengah ketidakpastian global yang masih mengancam. “Kita punya target defisit transaksi berjalan 2,6 persen pada tahun depan,” kata Difi A Johansyah, Direktur Eksekutif DepartemenKomunikasi BI (Republika, 13 November 2013).

Tentu saja selain ditujukan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, kenaikan BI Rate juga untuk mengendalikan inflasi sehingga tahun depan bisa di kisaran 3,5-5,5 persen. Selain itu, rupiah yang masih dalam posisi gonjang-ganjing juga diharapkan kembali menguat di posisi Rp 11 ribu per dolar AS atau bahkan lebih kuat lagi.

Apakah BI Rate bisa menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan? Bisa, tetapi sarat dengan pengorbanan dan yang jelas bukan penyelesaian fundamental. Ini hanya penyelesaian permukaan, segala sesuatu diatasi dengan kebijakan moneter. Harusnya yang dilakukan adalah langkah fundamental di sektor riil.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan defisit transaksi berjalan tinggi, di antaranya impor minyak, impor barang konsumsi, dan repatriasi. Ketiganya patut untuk dicermati karena bukan saja menganggu transaksi berjalan, tetapi jika tidak segera di atasi, juga semakin menjadikan ekonomi kita tidak sehat.

Impor migas merupakan biang keladi defisit transaksi berjalan. Selama ini, kita terjebak pada anggapan keliru bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak. Faktanya, kebutuhan BBM kita 1,4 juta barel per hari, sementara yang bisa diambil dari perut bumi Indonesia hanya 840 ribu barel per hari. Kekurangan itu harus diimpor sehingga di situlah miliaran dolar terbang ke luar negeri. Rata-rata devisa yang dikeluarkan untuk mengimpor minyak 75 juta dolar AS per hari.

Pemakaian BBM yang terbesar adalah untuk transportasi dan pembangkit listrik. Pada transportasi, dengan bertambahnya jutaan mobil dan sepeda motor setiap tahun, otomatis meningkatkan kebutuhan BBM. Impor pun semakin tinggi. Perlu keberanian untuk membuat terobosan, misalnya membatasi jumlah kendaraan dan menggantikan BBM dengan gas. Program pemasangan alat kontrol BBM bersubsidi yang sekarang sedang dalam proses tidak akan efektif.

Kondisi serupa juga terjadi pada pembangkit listrik. Sebagian besar pembangkit menggunakan BBM yang harganya mahal. Seharusnya, pemerintah mau bekerja keras untuk mengalihkan sumber pembangkit dari BBM ke gas, batu bara, maupun panas bumi yang lebih murah. Program 10.000 megawatt tahap kedua harus segera diselesaikan.

Terkait masalah BBM ini memang pemerintah terpukul dua kali, yaitu neraca pembayaran yang negatif dan subsidi energi yang sangat besar. Neraca pembayaran menjadi negatif karena impor BBM yang sangat tinggi, sedangkan APBN jebol karena setiap tahun harus menganggarkan hampir Rp 300 triliun untuk subsidi BBM dan pembangkit listrik.

Tak berbeda dengan impor barang konsumsi yang setiap tahun meningkat, terutama barang elektronik berupa telepon seluler dan komputer. Tingginya impor barang konsumsi ini menunjukkan bahwa struktur industri Indonesia lemah. Banyak barang yang sebetulnya bisa kita produksi sendiri.

Kita miris kalau melihat kenyataan bahwa dalam lima tahun terakhir, impor produk elektronik dan telematik naik rata-rata 59,3 persen per tahun. Data Sucofindo menunjukkan nilai impor untuk telepon seluler pada 2012 mencapai 1,9 miliar dolar AS atau sebanyak 52 juta unit, laptop 639 ribu unit (52 juta dolar), dan komputer tablet 137 ribu unit (80 juta dolar AS). Barang-barang itu sebetulnya bisa dikembangkan di dalam negeri.

Devisa yang juga banyak melayang ke luar negeri adalah repatriasi (keuntungan perusahaan asing yang dikirim pulang ke negara asal). Pada 2009 repatriasi mencapai 8,7 miliar dolar, tiga tahun kemudian pada 2012 sudah 17,8 miliar dolar. Pada 2013 diperkirakan akan berlipat dua

Besarnya repatriasi itu menjadi terlihat wajar manakala kita tahu bahwa 50,6 persen aset perbankan nasional dikuasai asing, 70  persen migas dimiliki asing, begitu pula 75 persen batu bara, bauksit, mineral, dan timah. Kemudian, perkebunan sawit 40 persen dimiliki asing dan juga beberapa perusahaan operator seluluer, seperti XL, Indosat, dan Hutchinson Tri. Belum lagi industri makanan dan minuman.

Ke depan repatriasi akan makin mengkhawatirkan ketika pemerintah merevisi DNI (daftar negatif investasi), yakni asing bisa menguasai 100 persen di operator bandara, 49 persen di pelabuhan, jasa kebandaraan, terminal darat, dan periklanan yang bisa 51 persen. Itu semua cerminan liberalisasi kebablasan yang difasilitasi UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Kenaikan BI Rate ini sudah bisa dipastikan akan membuat likuditas menjadi ketat. Bank akan berlomba-lomba menaikkan bunga untuk memperoleh dana. Bunga simpanan yang tinggi serta-merta akan mengerek bunga pinjaman. Ketika bunga tinggi, bank otomatis mengerem pertumbuhan kredit.

Pada posisi seperti itu para pelaku usaha akan menjerit karena biaya produksi akan naik, sedangkanUMR juga siap-siap naik. UMKM (usaha kecil menengah dan mikro) lebih terpukul lagi karena sebelum kenaikan pun bunga yang diberikan kepada mereka sudah tinggi.

Dalam pandangan yang lebih makro, kenaikan BI Rate tersebut akan menekan pertumbuhan. Tahun ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,7 persen, jauh dari target APBN yang 6,3 persen. Tahun depan pemerintah menargetkan di bawah enam persen. Konsekuensinya rakyat yang menjadi korban.

Strategi mengatasi defisit transaksi berjalan dengan menaikkan BI Rate tampaknya kurang tepat. Terlalu besar pengorbanan yang dibebankan kepada rakyat. Karena akar persoalannya adalah sektor riil maka pemerintah seharusnya bergegas mengatasi lewat sektor riil. Jika pemerintah sigap, rakyat tidak menjadi korban dan perekonomian nasional akan menjadi sehat serta efisien.

Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Inteligence


(Dimuat di Opini Republika edisi 20 November 2013)

No comments:

Post a Comment