Pemerintah sukses
mengalokasikan dana untuk orang miskin, tapi gagal dalam pelaksanaan
pengentasan.
Anif Punto Utomo
Sesekali datanglah ke sebuah hotel mewah di kawasan Senayan
yang membuka pameran apartemen di SIngapura. Maka Anda akan terkaget-kaget
ketika meihat banyaknya pengunjung pameran properti di negeri tempat koruptor
bersembunyi itu. Mereka yang datang ke situ bukan tipe orang yang hanya sight
seeing, tapi pembeli beneran.
Menurut data yang dilansir Real Estate Information System of
Singapore, sampai 2011, nilai Investasi pembelian properti oleh orang Indonesia
di Singapora, mencapai Rp 35 triliun. Diperkirakan pada 2012 silam angka
tersebut naik 10 persen, sehingga mencapai Rp 38,5 triliun. Bagi sebagian
orang, angka itu tidak mengejutkan, yang mengejutkan adalah jumlah pemiliknya
yang tidak sampai 2.000 orang.
Data tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia terus
tumbuh sehingga para pemilik modal begitu menikmati pertumbuhan itu. Tak heran
jika kemudian terdapat 40 orang terkaya Indonesia yang memiliki kekeyaan 10
persen dari produk domestic bruto (PDB). Merekapun membelanjakan uang ke negeri
lain. Ada yang untuk investasi, ada yang untuk mengamankan hartanya, dll.
Memang ditengah menyurutnya perekonomian dunia akibat krisis
Amerika pada 2008 yang kemudian disusul krisis Eropa pada 2010, perekonomian Indonesia
terus cemerlang. Semula pertumbuhan ekonomi kita di bawah Cina dan India, belakangan
karena pertumbuhan Cina dan India merosot, Indonesia melewati India. Pada 2012,
pertumbuhan Cina 7,8, sedangkan Indonesia 6,3 persen.
Begitu berprestasinya perekonomian Indonesia, pada September
lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberi penghargaan “Pencapaian
Ekonomi Abad 21” (21st Century Economic Achievement Award) dari
US ASEAN Business Council (USABC) atas prestasinya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan iklim investasi yang kondusif di
Indonesia.
Senyum SBY makin lebar tatkala pujian terhadap perekonomian
datang bertubi-tubi. Country Director World Bank
di Indonesia, Stefan Koeberle, misalnya memuji Pemerintah yang mampu menjaga
pertumbuhan ekonomi di atas enam persen di tengah krisis yang melanda Eropa.
Pujian juga datang dari laporan Mckinsey Global Institute (MGI) bertajuk The Archipelago Economy: Unleashing
Indonesia's Potential. Bahkan diramalkan 2030 nanti, Indonesia akan menjadi
tujuh besar perekonomian dunia.
Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi itu tidak bisa
disangkal. Pertumbuhan itu didorong membanjirnya investasi beberapa tahun
belakangan. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi pada
2012 diperkirakan menembus Rp 300 triliun. Lebih dari separuh disumbang oleh
penanaman modal asing (PMA). Pada 2013 ini, BKPM optimis investasi akan
mencapai Rp 390 triliun.
Sayang, investasi yang masuk sangat minim yang masuk sektor
riil. Karena itu, besarnya investasi yang ditanamkan tidak bisa menyerap tenaga
kerja yang signifikan. Data per Agustus 2012 menunjukkan bahwa dari 118 juta tenaga
kerja, 44,2 juta (39,86 persen) bekerja di sektor formal dan 60,14 persen
informal. Itu artinya sebagian besar pekerja tidak mendapatkan jaminan
kesehatan, jaminan hari tua, dll.
Kondisi tersebut juga terlihat pada jumlah tenaga kerja yang
terserap pada setiap pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menargetkan bahwa setiap
pertumbuhan ekonomi satu persen akan menyerap 450 ribu tenaga kerja.
Kenyataannya setiap satu persen pertumbuhan hanya terserap 180 ribu tenaga
kerja. Padahal setiap tahun ada 2,5 juta yang masuk pasaran kerja. Pengangguran
akan makin besar.
Kenapa bisa begitu? Karena sektor yang tumbuh tinggi dengan rata-rata
10,29 persen adalah sektor nontradable
good seperti komunikasi, listrik, kontruksi, jasa keuangan, realestate,
hotel, restoran. Sedangkan sektor padat karya (tradable good) seperti pertanian, perternakan, perikanan, dan industri
pengolahan sangat rendah, rata-rata dibawah 4-5 persen, bahkan ada satu kuartal
yang pernah minus.
Tidak berkualitasnye pertumbuhan ekonomi juga tercemin dari
penurunan jumlah orang miskin yang sangat lambat. Data terakhir,
Maret-September 2012, persentase penurunan penduduk miskin hanya 0,3 persen.
Dengan begitu jumlah penduduk miskin yang harus hidup dengan Rp 8.500 per hari
sekitar 11,66 persen atau 28,85 juta. Sementara target pemerintah, persentase
masyarakat miskin pada 2012 ini adalah 10,55 persen.
Apakah dana untuk pemberantasan kemiskinan terlalu kecil? Tidak.
Pada 2012, dana yang dianggarkan untuk pemberantasan kemiskinan lewat berbagai
departemen mencapai Rp 99,2 triiun! Lantas kemana saja dana sebesar itu, apakah
lari ke kantong-kantong orang yang tidak bertanggungjawab? Itulah persoalannya.
Pola penganggaran yang tidak tepat, kontrol lapangan yang lemah, pelaksanaan
yang tidak tepat sasaran, menjadi problem klasik.
Pemerintah sukses mengalokasikan dana untuk orang miskin,
tapi gagal dalam pelaksanaan pengentasan.
Ketidakmampuan pemerintah memberikan pemerataan dalam
pertumbuhan ekonomi menyebabkan kesenjangan kesejahteraan makin tinggi.
Kesenjangan biasanya dihitung dalam indeks yang dinamakan indeks Gini, semakin
besar angkanya maka kesenjangan semakin tinggi. Pada 2004 ketika SBY menjadi
presiden, indeks Gini berada di 0,34, sekarang, ketika SBY banyak menerima
pujian, indeks Gini 0,41.
Indeks Gini makin parah ketika kita bicara kepemilikan
lahan, yakni sekitar 0,55. Bisa jadi itu betul. Coba kita lihat kepemilikan
tanah petani, mereka rata-rata 0,25 hektar. Sementara para konglomerat yang
mendapat dorongan penuh dari pemerintah bisa menguasaui jutaan hektar. Tercatat
0,2 persen penduduk negeri ini menguasai 56 aset produktif dan 87 persen dalam
bentuk tanah.
M Sirait menulis, di kehutanan, terdapat 531 izin hak
pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Luasnya 35,8 juta
hektar, hanya dikuasai puluhan konglomerat nasional dan asing. Sementara ada 57
izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas rata-rata cuma 0,25 juta
hektar. Di perkebunan, dari 11,5 juta hektar luas lahan sawit, 52 persen milik
swasta yang juga hanya puluhan, 11,69 persen milik perusahaan negara. Perkebunan
rakyat 35,56 persen diiliki jutaan orang.
Repotnya lagi, subsidi yang mestinya diberikan kepada rakyat
bawah justru diberikan kepada kelangan menengah atas. Ini jelas terlihat pada
subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak. Pada 2012, subsidi untuk BBM
mencapai Rp 211,9 triliun, jauh melebihi pagu anggaran APBN-P yang Rp 137
triliun. Rakyat bawah dikorbankan untuk sebuah citra pemerintah yang
seolah-olah populis.
Data dari Susenas menunjukkan rata-rata kelas menengah
memakai 50 liter per bulan untuk mobil dan kelas bawah yang memakai motor
membutuhkan lima liter. Jadi subsidi yang diberikan untuk kelas menengah
sekitar Rp 1,115 juta, sedangkan subsidi untuk kelas bawah hanya Rp 111.000.
Penduduk termiskin paling parah, mereka hanya menikmati subsidi satu persen.
Secara umum, ekonom Thee Kian Wie mengatakan bahwa
kesenjangan yang semakin nyata tersebut mengindikasikan adanya konsentrasi aset
fisik dan nofisik oleh kalangan menengah ke atas. Aset fisik bisa terlihat dari
kepemilikan tanah, dana, bangunan, dan saham.
Sedangkan aset nonfisik adalah pendidikan dan kesehatan di
mana kalangan menengah dan atas dapat memberikan pendidikan dan kesehatan yang
baik bagi anaknya. Anak-anak mereka itu, berkat kesehatan yang baik dan
pendidikan yang baik, kelak akan dengan mudah mengakses pusat ekonomi, sehingga
mereka pun akan mendapat penghasilan tinggi.
Legitimasi pemerintah saat ini adalah pada tataran ekonomi
sosial. Jika masalah ketidakmerataan ekonomi tidak terselesaikan dengan baik,
masalah sosial sudah menghadang di depan., sekarang pun sudah mulai terasa
ketidak berdayaan rakyat dalam menhadapi kehidupan yang semakin hari semakin
menyusahkan mereka.
Perekonomian kita bisa diibaratkan berlari pada titian yang
rapuh. Pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi pijakan sosial dibawahnya rapuh. Jika
pemerintah terus berlari semata mengejar pertumbuhan, problem sosial akan
tersulut, rakyat akan berontak. Semoga radar SBY menangkap keresahan rakyat
yang dipimpinnya.@
tulisan bapak bagus bagus :)
ReplyDeletesaya tunggu kontribusi bapak, khususnya untuk masyarakat Temanggung
smoga visi dan misi dapat terealisasi jika bapak terpilih, amin :)