Thursday, October 18, 2012

Menguji Nasionalisme SBY



Jika berbicara tentang bisnis minyak, kita sering membandingkan antara Petronas dengan Pertamina. Petronas, perusahaan milik negara Malaysia itu kini berkibar menjadi perusahaan minyak kelas dunia, sedangkan Pertamina yang dulunya adalah guru dari Petronas, masih harus berjuang. Ironisnya perjuangan bukan melawan perusahaan minyak asing tetapi melawan Pemerintah kita sendiri. 

Pada 2006 silam, energi kita tersita memperdebatkan tentang siapa yang berhak mengelola Blok Cepu, apakah Pertamina ataukah Exxon,  perusahaan minyak asal Amerika. Boleh dikata sebagian besar dari rakyat menginginkan blok tersebut dikelola Pertamina. Tapi tekanan dari Amerika Serikat membuat pemerintah keder, akhirnya para negosiator kita yang tak lebih merupakan komprador asing, melepaskan pengelolaan Blok Cepu ke Exxon.

Kini enam tahun kemudian, energi yang sama mulai kita belanjakan untuk memperdebatkan perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Pro-kontra mewarnai tarik menarik opini mengenai siapa pengelola blok tersebut setelah masa Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation (Jepang) berakhir pada Maret 2017 nanti.

Mereka yang kritis terhadap masalah energi nasional seperti Marwan Batubara, Sri Edy Swasono, Kwik Kian Gie, Kurtubi, Mochtar Pabottingi, Hendri Saparini, Pri Agung Rakhmanto, Revrisond Bazwir, Iman Sugema, Teguh Juwarno, dan ratusan lainnya membikin petisi penolakan. Intinya pemerintah harus memutus kontrak Blok Mahakam melalui penerbitan Peraturan Pemerintah selambatnya akhir tahun ini.

Jika kontrak itu diputus, maka pengelolaan lapangan tersebut diberikan kepada Pertamina. Tidak ada alasan untuk tidak diberikan kepada Pertamina. Dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia, Pertamina sudah memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Begitu juga dari sisi pendanaan, tidak begitu masalah, karena tidak perlu lagi mengeluarkan dana besar untuk mengelolanya.

Kenapa penting dikelola sendiri? Dari sisi produksi menurut Indonesian Resources Studies, cadangan blok ini sekitar 27 triliun cubic feet (tcf). Sejak 1970 hingga 2011, sudah sekitar 50 persen (13,5 tcf) dieksploitasi, dengan pendapatan kotor 100 miliar dolar AS. Dengan harga gas yang terus naik , sisa cadangan yang saat ini 13,5 tcf, berpotensi meraih pendapatan 187 miliar dolar atau Rp 1.700 triliun.

Blok Mahakam awalnya ditandatangani antara Pemerintah dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation pada 31 Maret 1967, tak lama setelah Soeharto dilantik menjadi Presiden RI ke-2. Sebelum kontrak selesai per 31 Maret 1997, Pemerintah memperpanjang kontrak selama 20 tahun sehingga masa kontrak baru akan berakhir pada 31 Maret 2017.

Menasionalisasi blok yang sudah habis masa kontraknya bukan hanya masalah nilai ekonomis yang besar, tetapi juga menyangkut masalah ketahanan energi. Bagaimanapun jika operator dilakukan oleh Pertamina, Pemerintah akan lebih mudah menjaga security of supply migas nasional.

Menurut data yang disajikan oleh Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Legowo, saat ini 74 persen kegiatan usaha pengeboran minyak dan gas dikuasai perusahaan asing. Pengalaman selama ini, sebagian besar produk minyak dari perusahaan asing itu dijual ke pasar internasional. Indonesia sebagai pemilik sumber daya alamnya, tidak memiliki kedaulatan mengatur penjualan, meski untuk kebutuhan nasional.

Pertamina sejak 2008 sudah menyatakan diri sanggup untuk mengelola Blok Mahakam. Tapi entah kenapa otoritas migas tidak segera merespon permintaan tersebut. Tampaknya otoritas migas itu harus selalu digedor untuk mengingatkan bahwa potensi energi yang kita miliki harus dikelola oleh kita sendiri. Kalaupun Pertamina belum mampu misalnya, harus didorong agar mampu mengelolanya.

Sebetulnya disini memang bukan masalah kemampuan, melainkan masalah keberpihakan. Pemerintah mau berpihak kepada siapa, apakah kepada asing atau kepada negara, kepada rakyat. Apakah Pemerintah --seperti yang sering terjadi selama ini-- selalu menjadi komprador asing, atau akan hijrah menjadi Pemerintah yang berpihak kepada keIndonesiaan. 

Tekanan dari asing selalu ada. Sebagaimana ketika pemerintah melakukan perjanjian blok Cepu beberapa waktu lalu, Menlu Amerika Serikat, Condoleezza Rice, menyempatkan ke Indonesia untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak sampai 24 jam sejak kedatangan Rice, ExxonMobil diumumkan sebagai kepala operator eksplorasi Cepu, menyingkirkan Pertamina.

Begitu pula yang terjadi pada Blok Mahakam. Pertengahan tahun lalu PM Prancis Francois Fillon berkunjung ke Indonesia, salah satu misinya adalah meminta perpanjangan kontrak Mahakam. Akhir Juli silam, ketika Menteri ESDM Jero Wacik ke Paris, Menteri Perda­ga­ngan Luar Negeri Pran­cis Ni­cole Bricq mengingatkan kembali perpanjangan kontrak. Permintaan serupa disampaikan oleh CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat bertemu Wakil Presiden Boediono dan Presiden SBY pada 14 September 2012.

Bagaimana sikap pemerintah, ini yang menjadi pertanyaan kita semua. Suka tidak suka, kita mesti belajar dari Malaysia. Di negara otoriter itu, semua KKS yang habis masa kontraknya diberikan ke Petronas. Dan Petronas pun berkembang cepat mengungguli Pertamina setelah pemerintahnya menasionalisasi blok-blok yang sebelumnya dioperasikan Shell (di Sabah dan Sarawak) dan Exxon (di Malay Peninsula).

Apakah langkah itu kemudian membuat surut perusahaan minyak internasional masuk ke Malaysia? Tidak. Sebagaimana ditulis Majalah IAGI, jika dulu Malaysia hanya didominasi oleh Shell dan Esso, sekarang lebih dari 20 perusahaan minyak beroperasi. Malaysia menggunakan momentum pengembalian blok-blok kontrak-karya sebagai titik awal dari kebangkitan industri minyak mereka.

Bagaimana dengan Indonesia? Tak ada salahnya kita meniru Malaysia jika itu baik untuk rakyat. Tinggal kemauan pemerintah. Bahwa ada orang-orang di otoritas migas yang ditengarai menjadi komprador boleh saja. Tapi kuncinya tetap di Presiden. Jika presiden mengintruksikan tidak ada perpanjangan kontrak bagi seluruh KKS, semua beres. 

Memutuskan apakah kontarak Blok Mahakam diperpanjang atau diberikan kepada Pertamina itu terkait dengan nasionalisme yang ada dalam diri kita masing-masing. Mari kita menguji nasionalisme SBY.

Dimuat di Opini Republika 18 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment