Ketika dengan rasa bangga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memamerkan
kemajuan ekonomi Indonesia di pertemuan Negara G-20 di Meksiko, tiba-tiba
muncul publikasi tentang Indonesia yang tidak mengenakkan. Publikasi yang
dirilis oleh lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FFP) dan majalah Foreign
Policy itu menyatakan bahwa Indonesia menuju negara gagal.
Dalam publikasi yang diberi nama Indeks Negara Gagal (Failed
State Index –FSI) 2012 tersebut Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 178
negara. Dalam posisi tersebut, Indonesia masuk dalam kategori negara yang dalam
bahaya (in danger) menuju negara gagal. Tahun sebelumnya, Indonesia berada
diperingkat 64 dari 177 negera, itu berarti kondisi di Indonesia memburuk dibanding
sebelumnya.
Dari 12 indikator yang digunakan sebagai parameter,
setidaknya pada tiga indikator dimana Indonesia mengalami pelemahan, yakni
demografis, protes kelompok minoritas, dan hak asasi manusia. Menurut kajian
FFP, dalam lima tahun terakhir ketiga indikator tersebut terus melemah.
Dalam sebuah tatanan kenegaraan fungsi utama dari kehadiran negara
adalah melindungi nyawa dan harta benda seluruh warganya. Dalam
perkembangannya, fungsi utama itu kemudian ditambah lagi yakni mensejahterakan
warganya. Jika Negara tidak mampu memberikan perlindungan dan rasa aman buat
warga dan tidak mensejahterakan masyarakat, berarti negara itu bisa dibilang
gagal.
Lepas dari indikator yang disajikan oleh FFP, jika kita
melihat perkembangan pranata sosial, ekonomi, dan keamanan Indonesia tampaknya
memang tidak menunjukkan perbaikan. Kenyataan banyak menunjukkan bahwa keamanan
di berbagai sudut wilayah sangat rawan, kondisi sosial masyarakat yang
mengenaskan, dan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang.
Papua misalnya. Konflik yang terjadi di wilayah itu tidak
kunjung usai, bahkan eskalasinya cenderung meningkat. Dalam dua tahun terakhir
tercatat 51 penembakan, tetapi tak satu pun yang terungkap secara jelas siapa
yang melakukan penembakan, dan siapa dalangnya.
Konflik yang banyak terjadi di berbagai wilayah bukan hanya
konflik vertikal antara rakyat dengan pemerintah, tetapi juga horizontal, sesama
rakyat sendiri yang saling bertarung. Kekerasan vertikal belakangan mulai banyak
muncul di daerah pertambangan dan perkebunan dengan latar belakangan
kecemburuan sosial.
Belum lagi masalah penegakan hukum yang buruk. Seorang
koruptor yang memakan uang negara miliaran rupiah hanya dihukum ringan, bahkan
bebas. Sementara tukang ojek yang dituduh mencuri, tapi tidak terbukti sudah harus
merasakan penjara hampir satu tahun. Ketidakadilan hukum ini membuat masyarakat
kian frustasi dan apatis terhadap negara.
Penilaian internasional bahwa Indonesia sedang menuju
sebagai negara gagal semestinya menjadi cermin bagi pemerintah. Tidak saatnya
lagi pemerintah mencari-cari alasan untuk membantah penilaian tersebut.
Kenyataannya kekerasan kian meningkat, keamanan makin tak terjamin, kesenjangan
eknomi semakin melebar, kemiskinan tak juga berkurang.
Indonesia punya prasyarat untuk menjadi negara besar. Tapi
jika indikator sebagai negara gagal tidak diperbaiki, negara besar itu hanya
menjadi mimpi. Pemerintah harus bekerja bersungguh-sungguh dan serius untuk
menunjukkan bahwa Indonesia tidak sedang menuju sebagai negara gagal.
No comments:
Post a Comment