Wednesday, April 1, 2009

ADB dan Utang Kita

Hukum yang berlaku dalam perbankan adalah bahwa setiap saat bank harus siap menambah modal agar bisa ekspansi. Ini terjadi karena ada batasan rasio antara modal dengan aset. Dengan begitu jika asetnya ingin dimekarkan, maka modal harus ditambah. Kondisi ini pula yang terjadi di Bank Pembangunan Asia (ADB).

ADB merencanakan akan menambah modal sampai 200 persen. Implikasinya, Indonesia yang memiliki sekitar lima persen saham, harus ikut menambah modal yang kalau dirupiahkan sekitar Rp 2 triliun. Penambahan tersebut dilakukan bertahap selama lima tahun. Sehingga pemerintah harus merogoh kocek Rp 400 miliar per tahun, mulai 2010 nanti.

Apa keuntungan Indonesia? Menurut Anggito Abimanyu, dengan penambahan modal tersebut, maka Pemerintah memiliki pinjaman siaga dari ADB senilai 1 miliar dolar atau sekitar Rp 12 triliun. Pinjaman itu pun tanpa syarat, dan sangat berarti jika suatu saat anggaran negara bobol.

Indonesia, meskipun masuk dalam kategori negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, tetapi merupakan pemegang saham nomor enam di ADB. Dan selama ini ADB merupakan salah satu sumber dana pinjaman untuk menambal anggaran yang selalu defisit. Beberapa proyek besar seperti bendungan dibiayai ADB.

Seberapa perlu sebetulnya kita menambah modal? Tergantung kepada seberapa besar ketergantungan kita terhadap pinjaman ADB. Selama ini porsi pinjaman terhadap ADB sudah berkurang, artinya ketergantungan terhadap ADB juga berkurang. Pembiayaan defisit sudah mulai dilakukan denghan menerbitkan obligasi dan sukuk.

Apalagi menurut beberapa kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) beberapa proyek yang dibiayai bukan malah mensejahterakan rakyat sebagaimana visi ADB, tetapi justru menjadi bencana. Salah satunya pembangunan irigasi yang justru merusak tatanan tradisional pengairan sistim subak di Bali.

Tapi lepas dari itu, beban utang yang harus ditanggung pemerintah, termasuk yang dari ADB ini sangat besar. Utang luar negeri kita sekarang ini mencapai 65,45 miliar dolar atau Rp 785 triliun. Jadi setiap orang di negeri ini, saat ini terbebani utang Rp 3,3 juta. Jumlah tersebut akan membengkak manakala yen Jepang menguat terhadap dolar, karena utang dalam denominasi yen cukup besar.

Belum lagi bunga dari utang tersebut yang terus bunga-berbunga. Apalagi belakangan ini, pemerintah mengeluarkan obligasi, baik lokal maupun global, yang berbunga tinggi dan berjangka relatif pendek. Akibatnya alokasi dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pembayaran utang akan terus menempati ranking atas dalam alokasi anggaran.

Selama ini Indonesia menjadi negara yang dipuji sebagai good boy, karena selalu tepat waktu dalam membayar hutang. Tapi predikat tersebut harus mengorbankan jutaan orang yang masih hidup miskin. Kita telah terperangkap kepada utang. Keinginan yang pernah ditarget pemerintah bahwa kita akan mengurangi ketergantungan utang luar negeri, justru malah menambah.

Jadi yang penting sekarang ini adalah bukan menambah modal di ADB sehingga nantinya kita memiliki peluang untuk memperoleh pinjaman besar. Jika itu yang terselip dalam niat menambah modal, berarti kita hanya berpikir akan menambah utang yang kelak akan terus menjadi beban.

Kini yang lebih krusial adalah bagaimana kita bisa mengurangi ketergantungan kepada utang. Jika utang bisa dikurangi, maka anggaran untuk membayar utang itu bisa lebih dimanfaatkan untuk mensejahterakan puluhan juta masyarakat yang masih hidup dikubangan kemiskinan.

Dimuat di tajuk Republika edisi 14 Maret 2009


Wednesday, March 18, 2009

Seriuslah Mencegah Flu Burung

Penyebaran flu burung makin meluas. Sampai saat ini tercatat 20 propinsi yang merupakan daerah sporadis penyebaran flu burung. Berarti hampir dua per tiga propinsi yang terserang penyebaran tersebut. Celakanya lagi, propinsi yang terkena ini merupakan propinsi yang padat penduduk seperti di Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi.

Bersamaan dengan penyebaran yang makin meluar, korban meninggal pun terus berjatuhan. Dalam sepekan terakhir ini saja, setidaknya tiga pasien pasien flu burung telah meninggal, satu di Depok dan dua di Bekasi, keduanya berusia di bawah 10 tahun. Beberapa pasien suspect juga sedang dirawat di rumah sakit dengan kondisi kritis, ada dewasa ada anak-anak.

Virus flu burung atau avian influenza ini sepertinya muncul tenggelam. Sempat beberapa bulan terlihat adem-ayem tapi kini kembali membabi-buta, merenggut korban. Rupanya seperti siklus tahunan, dimana wabah ini menyerang kita umumnya pada bulan Januari-Maret, yakni ketika musim hujan berada pada puncaknya.

Melihat korban yang terus berjatuhan serta penyebaran yang makin meluas, pemerintah perlu lebih serius dalam mengatasi flu yang mematikan ini. Intruksi berupa pelarangann pemeliharaan unggas ternak di permukiman, mewajibkan sertifikasi unggas hias tak lagi bergema. Beberapa waktu sempat dilakukan razia, tapi sekarang sudah menyurut. Unggas sudah kembali berkeliaran dengan bebas.

Selain itu, kewajiban merelokasi peternakan dan pemotongan unggas yang berdekatan dengan permukiman juga tidak terlaksana dengan semestinya. Termasuk pengaturan lalu lintas unggas hias dari satu daerah ke daerah lain, saat ini sama sekali tidak terkontrol. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan penyebaran virus mematikan ini menjadi begitu cepat.

Saat ini menurut Komnas Pandemi Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Influenza, Bank Dunia memberikan bantuan Rp 52 miliar untuk mengatasi flu burung. Tapi sayangnya dana yang dialokasikan untuk pemusnahan unggas dengan kompensasi Rp 15 ribu per ekor itu jalan ditempat. Kendalanya, harga unggas, apalagi yang pemeliharaan lebih mehal, sehingga pemilik enggan memusnahkan.

Dalam mengatasi flu burung ini sepertinya kita perlu belajar dari Cina dan Vietnam. Kedua negara tersebut terlebih dulu diserang flu burung pada 2003, api sejak beberapa tahun terakhir ini negara itu sudah bisa dikatakan aman terhadap serangan flu burung. Setidaknya penyebaran virus tersebut relatif bisa dikendalikan. Jumlah korban yang meninggalpun menjadi tidak sebanyak di Indonesia.

Kita perlu lebih serius menangani masalah ini. Pengadaan vaksin untuk pencegahan sangat perlu, tapi yang tidak kalah penting adalah pelaksanaan dari aturan pencegahan penyebaran yang telah dibuat. Rumah sakit rujukan yang sekarang ini sudah 100 rumah sakit perlu ditambah terutama di kota-kota kecil, mengingat penyebarannya yang makin meluas.

Pemerintah juga harus berani dan tegas menindak siapapun yang melakukan pelanggaran. Jika memang membahayakan, jangan biarkan warga memelihara unggas di sekitar rumahnya, jangan biarkan peternakan dan pemotongan berada di pemukiman. Jangan pula pilih kasih untuk pemusnahan unggas. Tugas pemerintah untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi akibat flu burung.

Dimuat di tajuk Republika edisi 7 Maret 2009

Tuesday, March 10, 2009

Deklarasi Antikorupsi Parpol

Korupsi masih merajalela di negeri ini. Meski sudah relatif banyak koruptor yang ditangkap dan dibui, tetapi masih saja ada yang berani nekad. Dan salah satu lembaga yang anggotanya masih nekad melakukan korupsi adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik yang di pusat maupun di daerah.

Dalam satu-dua tahun terakhir pemberantasan korupsi, wakil rakyat banyak mendominasi pemberitaan. Sebagian sudah divonis, sebagian lain masih menunggu sidang, mungkin juga sebagian yang lain lagi sedang dalam pengintaian. Modus korupsinya macam-macam, ada yang menggerogoti anggaran belanja, ada yang main mata dengan birokrat, ada pula yang menggertak untuk kemudian memeras.

Para wakil rakyat yang koruptor ini sangat mengecewakan. Mereka dipilih secara langsung oleh rakyat untuk membenahi negara ini, tetapi yang terjadi justru mereka menghianati. Mereka mempermainkan kewenangannya untuk kepentingan sendiri maupun kelompoknya. Mereka memperkaya diri dengan korupsi sementara rakyat dibiarkan kelaparan.

Para wakil rakyat yang notabene utusan partai politik itu tak menjalankan kewajibannya. Begitu ada sidang mereka membolos, terkadang hanya tanda tangan untuk kemudian pergi entah kemana. Begitu banyak undang-undang yang pada akhirnya terbengkelai karena wakil rakyat ini tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka jadikan lembaga DPR sebagai modal untuk melakukan korupsi.

Menjadi menarik ketika Rabu kemarin pimpinan 38 partai politik berbondong-bondong ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Partai politik itu mendeklarasikan apa yang mereka namakan Deklarasi Antikorupsi. KPK memang mengajak pimpinan parpol untuk mendeklarasikan ini karena korupsi adalah musuh bersama dan perlu diberantas. Dan partai bisa menjadi salah satu ujung tombak.

Deklarasi ini memang penting. Selain untuk mengingatkan agar partai menyeleksi betul calon legislatif yang steril dari kemungkinan korupsi, juga untuk mendeklarasikan komitmen partai untuk tidak melakukan korupsi saat pemilu April nanti. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, cukup banyak ditemukan pelanggaran yang terkait dengan penggunaan uang negara.

Dalam kasus lain, setiap ada pemilu selalu ada money politic (politik uang). Masalah ini pula yang menjadi agenda dalam deklarasi antikorupsi ini. KPK yang sekarang menjadi icon pemberantasan korupsi, rupanya ingin turut berperan dalam menciptakan pemilu yang bersih. Karena siapa yang melanggar, sejauh KPK punya kewenangan menyidik, mereka akan turun langsung.

Benar seperti kata Ketua KPK, parpol memiliki peran penting dan strategis dalam memberantas korupsi. Masalahnya parpol sekarang justru banyak terlibat dalam berbagai aksi korupsi, entah lewat kader-kadernya maupun secara kelembagaan. Bukan rahasia lagi bahwa suara yang dimiliki parpol tertentu bisa dijual-belikan ke parpol lain, terutama untuk pemilihan kepala daerah maupun presiden.

Harapannya, deklarasi yang dihadiri hampir seluruh petinggi parpol ini benar-benar diresapi, dihayati, dan dijalankan. Jangan sampai deklarasi hanya sebatas kata, tetapi nantinya politik uang tetap jalan dan wakil rakyat yang terpilih tetap korupsi. Dibutuhkan komitmen untuk benar-benar menjaga deklarasi yang suci ini. Jika sudah ada deklarasi tetap melanggar, beri sanksi yang paling keras buat mereka.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 26 Februari 2006