Friday, February 17, 2012

Gaduh di Atas, Mengaduh di Bawah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil para menteri dari sebuah partai pendukung koalisi. Di situ presiden minta agar internal partai tersebut tidak gaduh dalam menyikapi adanya pergantian kabinet. Kegaduhan itu dikhawatirkan akan menganggu stabilitas dalam negeri.

Gaduh. Kata ini memang pas untuk menggambarkan situasi politik negeri ini. Setiap muncul isu, selalu diikuti dengan kegaduhan. Setiap muncul masalah, selalu diiringi kegaduhan. Bahkan persoalan yang semestinya bisa diatasi dengan cepat, justeru dibikin gaduh. Hampir setiap isu-isu yang seksi, sengaja dibuat gaduh oleh para elit politik. Ya, kegaduhan memang hanya di elit, tidak di bawah.

Mereka gaduh ketika kader dari partai terancam akan direshuffle. Para politikus itu gaduh ketika rekan-rekannya sesama wakil rakyat dipanggil Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK). Mereka gaduh ketika sejawatnya dan mungkin dirinya sendiri terancam akan dikuliti kekayaannya --yang naik secara tidak wajar. Bahkan pemilihan calon pimpinan KPK, apa cukup delapan atau harus 10 saja dibuat gaduh.

‘’Para elit politik itu gaduh untuk hal-hal yang tidak substansial. Apa mereka tidak melihat bagaimana rakyat masih susah makan, bagaimana rakyat harus berjuang untuk hidup, bagaimana petani menangis karena gagal panen?’’ begitu keluh mantan Menteri Koperasi dan UKM Adi Sasono.

Benar kata Adi Sasono. Masih banyak persoalan menyangkut rakyat kecil dari bangsa ini yang harus diselesaikan. Mulai dari kemiskinan dan pengangguran yang mendera puluhan juta penduduk, gagal panen yang dialami petani, jatuhnya harga komoditas pertanian, matinya industri rotan, nelayan yang tak mampu melaut, kekeringan yang membuat masyarakat kekurangan air, dan masih banyak lagi. Adakah elit-elit itu peduli?

Persoalan-persoalan riil itu tentu tidak bisa diselesaikan dengan kegaduhan. Apalagi kegaduhan yang mereka ciptakan itu hanya urusan bagaimana mereka mempertahankan kekuasaan, bagaimana mereka mempertahankan posisi agar tetap bisa memperkaya diri sendiri, bagaimana mempertahankan jabatan agar bisa membiayai partai yang menaunginya. Rakyat tidak pernah menjadi agenda, rakyat hanya diatasnamakan agar mereka terlihat populis.

Seberapa parah sebetulnya kondisi kemiskinan rakyat? Jika itu ditanyakan pada elit politik mereka akan fasih menjawab dengan jargon-jargon pemberantasan kemiskinan. Tapi mereka sendiri tidak tahu secara nyata bagaiaman kondisi rakyat miskin dilapangan. Mereka tidak mampu untuk berempati, meskipun dulunya banyak elit itu yang hidup menderita.

Jika kita lihat data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan pada 2011 ini masih 30,02 juta orang atau sekitar 12,49 persen dari jumlahb penduduk. Berapa batas kemiskinan? Dibawah 1 dolar AS per hari, jadi kira-kira Rp 250 ribu per bulan. Mungkin sama dengan sekali atau dua kali makan siang anggota DPR di hotel mewah di seberang kantor mereka di kawasan Senayan.

Betul bahwa selama lima tahun terakhir ini jumlah rakyat miskin cenderung menurun, baik persentase maupun jumlah absolutnya. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah penurunan tersebut signifikan? Lebih juah lagi, apakah penurunan tersebut sebanding dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digelontorkan untuk mengatasi kemiskinan?

Jawaban atas dua pertanyaan itu sama: Tidak. ‘’Anggaran untuk pemberantasn kemiskinan memang terus naik, jumlah orang miskin juga turun, tapi antara kenaikan anggaran dan penurunan jumlah orang miskin tidak sebanding,’’ kata Adi Sasono yang sampai kini masih aktif dalam gerakan ekonomi kerakyatan.

Dari data yang tersaji, sejak 2006 sampai 2010, anggaran yang dialokasikan untuk pemberantasan kemiskinan naik lebih dari dua kali lipat, yakni dari Rp 42 triliun menjadi Rp 94 triliun. Apakah kemudian penurunan kemiskinan juga mencapai setengahnya? Ternyata tidak. Jumlah orang miskin hanya turun 8,07 juta dari Rp 39,08 juta menjadi 31,02 juta atau berkurang sekitar 20 persen.

Menjadi pertanyaan, kemana dana triliunan rupiah tersebut? Jelaslah bahwa penurunan kemiskinan tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang telah dialokasikan. Ada dua kemungkinan, alokasi anggaran tidak mengenai sasaran atau anggaran itu dikorupsi di tengah jalan. Boleh jadi dua-duanya berjalan paralel, alokasi dana tidak tepat sekaligus dikorupsi. Tampaknya justru yang terakhir yang lebih tepat.

Jumlah orang miskin yang masih puluhan juta ini terlihat juga mengurangi makna dari pertumbuhan ekonomi yang kita capai. Kita tahu bahwa dalam lima tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi sudah nyaris stabil di posisi 5,5 sampai 6,6 persen. Bersamaan dengan itu, pendapatan per kapita juga naik meyakinkan. Pada 2011 ini diperkirakan pendapatan ekonomi menembus angka 3.000 dolar per kapita.

Pertanyaannya, ketika kemiskinan masih saja membelenggu masyarakat, siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Kelas menengah dan kelas atas tentu saja. Secara gambalng itu terlihat dari ramainya mal-mal kelas menengah atas, tingginya permintaan mobil, larisnya apartemen di perkotaan, tingginya perminataan wisata keluar negeri termasuk umrah, dan masih banyak lagi. Inilah yang dinamakan pertumbuhan tidak berkualitas, karena bukan pemerataan yang didapat melainkan kesenjangan.

Dalam keseharian kita dengan mudah melihat betapa kontrasnya kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang tidak mampu membeli, bahkan menyewa rumah sehingga harus tinggal di gerobak dorong bersama keluarga, tapi ada masyarakat yang memiliki beberapa rumah mewah dan beberapa apartemen. ada yang tiap hari ke kantor berdesak-desakan di kereta ekonomi yang panas, tapi ada yang setiap bepergian berganti mobil sesuai dengan keperluannya.

Tapi, meskipun kesenjangan itu tampak begitu nyata, ternyata jika kita melihat indeks gini (indeks yang mencerminkan seberapa besar kesenjangan dengan skala 0-1, angka 1 berarti kesenjangan absolut). Pada 2011 ini indske gini berada pada posisi 0,37. ‘’Ada ketimpangan, tapi masih rendah,’’ kata orang BPS.

Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Rupanya BPS tidak mampu atau paling tidak mengalami kesulitan dalam menjangkau rumah tangga yang berada di garis paling atas. Dengan begitu ada lapisan masyarakat paling kaya yang tidak terekam dalam survei. Ini yang membuat indeks gini tidak sesuai dengan realita.

Dalam suatu kesempatan mantan Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah masih saja disibukkan dengan bagaimana ekonomi dapat tumbuh tinggi. Padahal pertumbuhan ekonomi bukan merupakan indikator tunggal yang mencerminkan kesejehteraan rakyat. Pertumbumbuhan tanpa adanya pemerataan, hanya akan menghasilkan ketimpangan.

Kemiskinan bukanlah sekedar angka statistik, melainkan harus dilihat sebagai masalah multidimensional yang harus ditangani secara komprehensif dan melibatkan banyak pihak. Semua komponen bangsa menurut Kalla harus terlibat, baik lembaga keuangan, civil society, maupun akademisi. ‘’Semua harus kerja keras, karena tidak ada bangsa yang makmur tanpa kerja keras,’’ kata Kalla.

Pemerintah sekarang, sebagaimana dikatakan SBY dalam pidato kenegaraan memperingati 66 HUT RI Agustus silam, telah bersungguh-sungguuh dalam memberantas kemiskinan. Untuk meyakinkan bahwa pemeirntah bersungguh-sungguh, SBY kemudian memaparkan bantuan untuk rakyat miskin yang terbagi dalam empat klaster.

Klaster pertama adalah program bantuan dan perlindungan sosial. Di sini yang dilakukan adalah memberikan beras murah untuk masyarakat ekonomi tidak mampu (beras untuk rakyat miskin-raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesmas.

Klaster kedua melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang merupakan pemberantasan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat desa. Kemudian klaster ketiga melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), program ini adalah pemberian kredit kepada usaha kecil, karena selama ini setidaknya 60 persen lebih usaha mikro dan kecil tidak memperoleh kredit dari perbankan.

Kemudian klaster keempat yang baru mulai efektif pada 2012 dan dilaksanakan secara bertahap. Beberapa program yang dilakukan adalah rumah murah dan sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan, dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.

“Melalui empat klaster itu, kita berharap dapat menjadi langkah terobosan yang secara fundamental dapat menurunkan kemiskinan sekaligus memperkuat ekonomi rakyat kita,” kata Presiden.

Secara teoritis program yang dirilis oleh pemeirntah memang bagus, tapi kembali kalau kita melihat kenyataan di lapangan, acap kali tidak seindah dalam teori. Dana mungkin saja sudah dikucurkan dengan jumlah puluhan triliun, tapi ya itu tadi, penurunan kemiskinan tidak sebanding dengan dana yang disalurkan. Program boleh canggih, saying realisasi di lapangan tampaknya tidak seperti yang diharapkan.

Jika kita melihat secara selintas perjalanan 66 tahun negeri ini, tampaknya ada satu kesamaan problematika semenjak presiden pertama RI, Soekarno sampai presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, yakni kemiskinan. Di negeri ini, kemiskinan bisa disamakan dengan korupsi, yakni sama-sama sulit untuk diberantas. Keduanya sudah begitu mengakar, sehingga bukan pekerjaan mudah untuk dicabut.

Mereka, para elit politik dan penyelenggara negara yang semestinya bekerja keras untuk memberantas kemiskinan sayangnya asyik dalam permainan sendiri. Mereka asyik membuat kegaduhan, tanpa tahu bahwa rakyat mengaduh dalam menghadapi kerasnya kehidupan.@ Anif Punto Utomo

Dimuat di Teraju Republika edisi 17 Oktober 2011

No comments:

Post a Comment