Tuesday, February 7, 2012

Mampukah Kita Menjadi Bangsa Besar?

Esemka. Merek mobil buatan siswa-siswa itu mendadak menjadi perbincangan nasional. Bukan karena kecanggihan teknologi, bukan pula karena modelnya yang futuristic, tapi karena mobil bikinan anak-anak SMK itu dipilih oleh walikota Solo Jokowi sebagai mobil dinas.

Sontak saja apa yang dilakukan Jokowi itu mengundang berbagai komentar dari masyarakat biasa sampai pejabat dan juga politisi. Kebanyakan berkomentar positif, meskipun ada saja yang mencibir, termasuk atasan Jokowi, yakni gubernur Jawa Tengah. Tak sedikit pula politisi yang memanfaatkan isu ini sebagai panggung untuk tampil.

Lepas dari kontroversi itu, semestinya kehadiran Esemka ini menyadarkan pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap produk nasional. Kita ngenes kalau melihat ribuan mobil terjebak kemacetan, semuanya merek asing. Kita prihatin ketika 2011 silam penjualan mobil mencapai 893 ribu unit, tapi tak satu pun yang produk lokal.

Apakah karena kita tidak bisa membuat mobil? Tidak. Kita bisa, hanya saja pemerintah tidak punya visi untuk mengembangkan produk sendiri. Atau mungkin tak punya nyali, karena akan berhadapan dengan perusahaan mobil dari negara-negara yang telah banyak berjasa pada Pemerintah.

Seandainya mau, pemerintah bisa pilih satu atau dua perusahaan untuk memproduksi mobil nasional (mobnas). Bagaimana dengan pasar? Wajibkan mobil dinas pejabat, anggota DPR, sampai seluruh jajaran BUMN memakai mobnas. Jika itu bisa dilakukan, tak kurang dari 50 ribu unit akan terjual. Dengan penjualan sebanyak itu, perusahaan bisa hidup dan berkembang. Sekarang saja mobil Esemka sudah kebanjiran pesanan, tak kurang dari 10 ribu pesanan mengalir dalam waktu kurang dari sepekan.

Jika pejabat negara sudah memakai mobnas, masyarakat dijamin akan mengikuti. Bagaimana tidak, baru satu walikota saja yang memakai Esemka, ribuan pesanan sudah datang. Mobil akan makin laris jika jika diberikan keringanan pajak, sehinga harga jual mobnas lebih rendah dari mobil merek asing. Strategi ini yang dilakukan Jepang, kemudian disusul Korea, dan dibelakangnya Malaysia dengan Protonnya.

Tanyalah pada orang yang pernah ke Jepang, kecil kemungkinan dia melihat merek mobil non-Jepang. Kalaupun ada itu milik diplomat asing. Begitu pula di Korea, nyaris tak ada mobil Eropa dan Amerika di jalanan, apalagi mobil Jepang. Di Malaysia mobil asing masih cukup banyak, tapi mayoritas tetap Proton. Jepang dan Korea bahkan bukan cuma mobil, tapi hampir semua barang konsumsi produk sendiri.

Tapi lagi-lagi pertanyaannya: pemerintah yang peragu ini berani tidak? Karena bagaimanapun tentangan dari produsen mobil akan sangat dahsyat. Ketika pada 1996 Presiden Soeharto meluncurkan kebijakan mobnas lewat produk Timor, serangan dari produsen mobil bukan main besarnya, padahal Soeharto masih menjadi orang yang ditakuti. Sayang keburu krisis, Timor pun akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Soeharto.

Bukan cuma mobil yang bisa kita buat. Semua kendaraan yang ada di bumi ini, baik yang di darat, di laut maupun di udara, sudah bisa dibikin anak negeri. Bahkan bukan cuma kebutuhan transportasi sipil yang bisa kita bikin, tetapi juga transportasi militer, baik kapal perang, kapal penyergap, panser, pesawat pengangkut militer, sudah bisa dibuat. Untuk pesawat militer tinggal tunggu waktu saja.

Berbicara pesawat misalnya, kita sudah mampu membuat, bahkan berkali-kali ekspor. Tapi sayangnya ketika sedang mekar-mekarnya, justru industri dirgantara ini dibunuh sendiri oleh pemerintah. Padahal hanya perlu sedikit sentuhan kebijakan, industri ini bisa hidup. Terbukti ketika Kementerian Pertahanan memesan pesawat CN295 senilai 325 juta dolar, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) survive.

Selama ini justru negara asing yang melirik produk kita. Pesawat dan helikopter bikininan PT DI misalnya banyak dibeli angkatan udara Pakistan, Brunei, dan negara Timur Tengah. Justru dari dalam negeri sendiri tidak banyak tertarik untuk membeli. Biasanya hal seperti ini urusannya komisi, karena kalau membeli di DI komisinya sedikit atau barangkali malah tidak ada.

Produk PT PAL juga banyak diminati negara Eropa seperti Jerman dan Italia, dan juga negara di Asia. Sebaliknya, pesanan dari dalam negeri yang hampir tidak pernah kunjung tiba. Semestinya Pemerintahdan BUMN mulai membeli atau mengorder ke PAL untuk pembuatan kapal, baik kapal sipil maupun militer. Kita butuh puluhan bahkan mungkin ratusan kapal patrol untuk mengawal republik, kenapa tidak pesan dari mereka.

Disini yang diperlukan adalah keperpihakan pemerintah. Selama ini kentara sekali bahwa keberpihakan Pemerintah terhadap produk nasional nyaris nihil. Sedikit-sedikit impor. Mulai dari yang sederhana sampai yang sudah tersentuh teknologi cari gampangnya saja: impor. Garam impor, sapi impor, beras impor, ikan impor, bahkan impor barang bekas pun dilakukan, seperti gerbong kereta dari Jepang dan Korea yang bagi mereka sudah barang rongsokan.

Sebaliknya, dalam hal ekspor, pemerintah justru lebih suka mengekspor barang mentah ke berbagai negara. Kita mengekspor lada, kita mengekspor biji kopi, kita mengekspor coklat, kita juga mengekspor batubara dan gas. Jika bahan mentah seperti ini yang masih kita ekspor, kita tak ubahnya dengan Indonesia ketika masih menjadi negeri jajahan, mengekspor hasil alam.

Apakah itu karena kita tidak membutuhkan? Tidak juga. Kita butuh gas untuk menggerakkan turbin penghasil listrik dan juga untuk kebutuhan pabrik-pabrik, termasuk pabrik pupuk. Tapi pemerintah lebih suka memilih, meskipun itu dengan risiko mematikan pabrik lokal yang membutuhkan gas untuk pengoperasian mesin-mesin mereka.

Begitu juga batubara. Produksi batubara kita mencapai 380 juta ton, tapi 75 persen diekspor. Meski melimpah, PLN kadang masih sulit mendapatkan batubara, karena penambang batubara lebih suka ekspor. Idealnya seluruh hasil batubara itu dijadikan listrik, baru listriknya yang kita ekspor sehingga ada nilai tambah. ‘’Batubara mestinya menjadi economic booster bukan sekadar jadi komoditas,’’ kata Singgih Widagdo, ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Betul. Tapi itu tidak cukup. Dalam era globalisasi sekarang ini, bangsa yang besar adalah juga bangsa yang juga menghargai produk sendiri. Bangsa besar seperti Amerika, Jerman, Inggris, Jepang, atau Cina misalnya adalah bangsa yang mampu memproduksi kebutuhan strategis dan dimanfaatkan optimal oleh masyarakat dan negara.

‘’ Indonesia punya prasyarat yang cukup untuk menjadi bangsa besar,’’ kata Adi Sasono. Selain wilayah yang luas dan penduduk banyak, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Minyak, gas, batubara, nikel, emas, tembaga, timah, bauksit, apa sajalah. Tanah subur yang mampu menghasilkan beragam hasil kebun. Laut luas yang menyimpan miliaran ton ikan, dan masih banyak lagi.

Tapi yang tidak kalah penting adalah bahwa kita memiliki kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Ratusan medali olimpiade keilmuan telah diraih pelajar-pelajar kita, ratusan ilmuwan kita menjadi peneliti andalan di negeri seberang, ribuan paten sudah dikoleksi para peneliti. Kita juga sudah punya ribuan doktor dan profesor. Apalagi yang kurang?

Sebagaimana di olahraga, untuk cabang pertandingan individual, kita cukup banyak prestasi, seperti tinju misalnya ada Chris John yang juara dunia. Tapi jika sudah main dalam sebuah tim, secara rata-rata prestasinya jeblok. Begitu pula dalam skala negara, secara individu kita punya juara olimpiade, peneliti andal, dll, namun begitu masuk sistem, seolah prestasi itu menjadi tenggelam.

Ini tugas pemerintah, bagaimana mengelola berbagai kelebihan itu menjadi prestasi yang diapresiasi oleh seluruh rakyat. Di situlah nanti kita akan menjadi bangsa yang besar. Sebuah bangsa yang menghormati para pahlawan, bangsa yang mampu membuat berbagai produk strategis, dan bangsa yang bangga dengan produk-produk sendiri.

Jadi jika kita menjawab pertanyaan sebagaimana judul tulisan ini jawabannya mudah: Bisa! Tinggal bagaimana pemerintah, mau tidak kita menjadi bangsa besar.@ Anif Punto Utomo

Dimuat di Republika 8 Januari 2012

No comments:

Post a Comment