Tuesday, January 24, 2012

Negeri untuk Para Elit

Rabu, 28 Desember 2011. Tiga hari menjelang pergantian tahun, tiba-tiba muncul iklan di hampir semua koran nasional di Jakarta yang cukup menyita perhatian. Ukuran iklan macam-macam, ada yang sepertiga halaman memanjang.

Iklan itu berjudul ‘Ha ha ha..Indonesia itu Mengecewakan’. Di situ ada gambar wajah sketsa orang dewasa berkacamata, mulut yang kanan digambarkan bibir menekuk ke bawah pertanda cemberut dan mulut sebelahnya, bibir ditarik ke atas lagi menyiratkan sebuah senyuman. Di halaman lain, dikemukakan data-data statistik yang menunjukkan keberhasilan ekonomi Indonesia.

Dalam sebuah grafik ditunjukkan bahwa dengan pertumbuhan 6,5 persen pada 2011 menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan pertumbuhan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Singapura, Malaysia, Vietnam yang biasanya unda-undi dengan Indonesia, lewat semua. Apalagi Filipina dan Thailand, kedua negara ini pertumbuhan ekonominya hanya separih dari Indonesia.

Grafik satunya menunjukkan bahwa tren inflasi Indonesia dibandingkan dengan negara BRIC (Brazil, Rusia, India, Cina). BRIC adalah negara yang memiliki pertumbuhan tinggi dan relative stabil. Di grafik dipaparkan per September 2011, India mencatat inflasi yang paling tinggi 10,06 persen, disusul Brazil, Rusia, dan Cina (7,31 persen, 7,2 persen, dan 6,1 persen). Semantara Indonesia 4,61 persen.

Satu lagi grafik yang ditunjukkana adalah debt to GDP (gross domestic product-Produk domestic Bruto) atau perbandingan utang terhadap GDP. Ditunjukkan Jepang berada di posisi tertinggi dengan 199,7 persen, Eurozone (98,1 persen), Amerika Serikat (62,1 persen), ASEAN (56,2 persen), dan India 50,6 persen. Indonesia cukup rendah 25,7 persen. Hanya Cina yang dibawah Indonesia dengan 16,3 persen.

Lantas apa efek dari semua pencapaian itu? Masih dalam iklan tersebut, secara langsung maupun tak langsung, pencapaian itu menjadikan Indonesia layak dihadiahi ‘Investment Grade’. Itu artinya, setelah hampir dua windu Indonesia tidak direkomendasikan dalam investasi global, kini sudah kembali seperti dulu, sehingga diharapkan makin banyak investasi yang masuk. Biaya dana pun relatif akan turun.

Apakah data-data yang disajikan itu benar? Dijamin 100 persen benar. Meskipun itu iklan, tapi tak ada manipulasi data. Tidak ada yang bisa membantah bahwa perekonomian Indonepasia yang pernah diterpa badai krisis pada 1998 telah pulih. Bahkan ketika pereknomian global sedang lesu karena terseret krisis di Amerika dan disusul Eropa, ekonomi Indonesia tetap mampu bertahan dari goncangan.

Keberhasilan itu yang ingin ditonjolkan di iklan yakni bahwa ekonomi Indonesia hebat dan tidak kalah dibandingkan dengan negara lain, bahkan dalam kasus tertentu lebih hebat dibanding negara maju. Dalam rasio utang terhadap GDP misalnya, kita lebih sehat dibanding Jepang atau Amerika. Dalam pengendalian inflasi, kita lebih hebat dibanding India, Rusia, bahkan Cina.

Lantas kenapa yang dijadikan judul ‘Indonesia itu Mengecewakan’? Barangkali itu sindiran. Sindiran kepada mereka yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Lihat saja kalimatnya: ‘’Mestinya bukan hanya tumbuh 6,5 persen’’. Itu kata golongan yang optimis. ‘’Kok Indonesia bisa tumbuh sampai 6,5 persen ya’’. Itu golongan yang kecewa mengapa ekonomi Indonesia bisa begini bagusnya. Hehehe…Indonesia memang mengecewakan. Bagi mereka yang hobinya kecewa.

Struktur kalimat dari iklan itu kacau, tapi pesannya jelas bahwa pencapaian kinerja ekonomi makro Indonesia patut diacungi jempol, meskipun selalu saja ada yang tidak suka dengan pencapaian itu. Siapa yang tidak suka, tentu tidak mereka definisikan, tetapi arahnya jelas kepada mereka yang kritis terhadap kebijakan ekonomi pemerintah.

Berbagai data memang mendukung pencapaian tersebut. Kita bisa lihat pertumbuhan kelas menengah yang begitu menakjubkan dalam satu dekade terakhir. Dalam kurun waktu tersebut, sebagaimana dikatakan pejabat pemerintah, setiap tahun rata-rata telah memunculkan sembilan juta kelas menengah baru. Dengan begitu selama lima tahun terakhir muncul 45 juta kelas menengah baru.

Data dari Bank Dunia menunjukkan hal serupa yakni 56,5 persen dari 237 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori kelas menengah yang membelanjakan 2 dolar AS sampai 20 dolar AS (Rp 18.000-Rp 180.000) per hari. Lebih spesifik lagi, kelas menengah yang membelanjakan 6 dolar-20 dolar per hari sekitar 14 juta orang.

Data yang tak beda jauh ditunjukkan hasil survei secara online yang dilakukan Nielsen yang menunjukkan bahwa 29 juta kelas menengah premium di Indonesia. Jumlah tersebut nyaris setara dengan jumlah penduduk Malaysia. Sehingga sangat mungkin kelompok kelas menengah ini lebih makmur ketimbang rata-rata penduduk Malaysia.

Bukan hanya kelas menengah saja yang jumlahnya naik, tetapi kekayaan orang Indonesia juga naik. Berdasarkan survei dari Credit Susisse Research Institute, kekayaan total orang Indonesia selama periode Januari 2010 sampai Juni 2011 naik dari 420 miliar dolar menjadi 1,8 triliun dolar. Dengan kekayaan tersebut, Indonesia masuk dalam daftar kontributor utama pertumbuhan kekayaan dunia.

Data yang dikeluarkan divisi riset Standard Chartered Bank menunujukkan hal serupa. Mereka menyebut jumlah orang mapan dengan penghasilan Rp 240 – Rp 500 juta per tahun mencapai 4 juta orang. Jumlah itu mengalahkan negara tetangga yang masyarakatnya sering menyiksa tenaga kerja kita di sana, yakni Malaysia (1,6 juta) dan Singapura (700ribu). Bahkan mengalahkan Korea, Taiwan, dan Hongkong.

Melejitnya jumlah kelompok menengah dan orang kaya ini sejalan dengan naiknya pendapatan per kapita. Pada saat krisis ekonomi, sekitar 1998-1999, GDP per kapita sekitar 500 dolar, pada 2011 silam sudah mencapai 3.500 dolar. Jadi dalam waktu sekitar 12 tahun terjadi peningkatan PDB per kapita mencapai tujuh kali lipat. Pantas lah jika terjadi lonjakan kelas menengah yang luar biasa.

Apakah kemudian berlipatnya PDB per kapita itu dinikmati oleh rakyat Indonesia secara merata? Nah ini pertanyaan klasik yang jawabannya tidak pernah tuntas. Karena ternyata data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kemiskinan masih membelit negeri ini. Dari tahun ke tahun, julah penduduk miskin memang berkurang, tetapi penurunannya sangat-sangat lambat, sangat tidak signifikan.

Kita lihat dari 2009 ke 2010 misalnya, persentase penduduk miskin hanya turun dari 14,2 persen ke 13,3 persen, atau 32 juta menjadi 31,02 juta. Begitu juga selama satu semester pada 2011, tercatat pada Maret jumlah penduduk miskin 30,02 juta jiwa, sedangkan September 2011 masih 29,89 juta. Itu artinya dalam waktu enam bulan hanya terjadi pengurangan penduduk miskin 130 ribu jiwa. Bandingkan dengan naiknya kelas menengah yang sembilan juta per tahun atau 4,5 juta per enam bulan.

‘’Penurunan jumlah penduduk miskin sangat lamban karena mereka sudah masuk pada kondisi kemiskinan kronis,’’ kata Direktur Statistik Ketahanan Sosisl BPS. Celakanya lagi, jumlah penduduk yang masuk kategori hampir miskin cukup besar, yakni 686 ribu jiwa. Dengan begitu, jika terjadi sedikit saja gejolak ekonomi yang membuat harga melambung, jumlah penduduk miskin bisa jadi justru naik. Target pengurangan penduduk miskin satu persen tiap tahun hanya diatas kertas belaka.

Lambatnya penurunan jumlah penduduk miskin itu boleh jadi karena alokasi dana untuk pemberantasan korupsi masih minim yakni Rp 50 triliun (ini pun masih banyak yang tidak tepat sasaran dan masih juga dikorupsi). Dana sebesar itu hanya sekitar 0,5 persen dari GDP, sementara untuk negara-negara di Asia Timur mengalokasikan dana buat orang miskin 1 persen dari GDP, bahkan Vietnam 1,2 persen. Begitu juga negara di Amerika Latin yang mengalokasikan 1,3 persen.

Alokasi dana tersebut memang berbanding terbalik dengan anggaran untuk para elit politik dan pemerintahan. Sebagaimana data yang dirilis Filtra, anggaran untuk acara seremonial Dewan perwakilan Daerah (DPD) saja mencapai Rp51 miliar. Atau bisa dilihat anggaran untuk renovasi toilet anggota DPR yang dicadangkan Rp 2 miliar. Bahkan untuk mengganti kaca mobil Presiden menghabiskan Rp 704 juta.

Kenyataan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin yang begitu lambat membuktikan bahwa pro-poor yang menjadi salah satu dasar filosofi pembangunan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya basa-basi. Keberpihakan terhadap kaum miskin hanya diucapan, tidak pada tindakan dan kebijakan. Keadilan dalam menikmati kue ekonomi maih menjadi mimpi di siang bolong.

Pertumbuhan ekonomi yang dibangga-banggakan tertinggi di Asia Tenggara, tidak dinikmati secara merata. Pertumbuhan ekonomi itu hanya menguntungkan kalangan menegah atas. Strategi kebijakan ekonomi tidak memberikan kesejahteraan secara merata.Pertumbuhan ekonomi yang diciptakan rezim SBY ini adalah pertumbuhan yang tidak berkualitas. Pertumbuhan yang tidak bermakna.

Kemiskinan yang masih menjerat di antara kemilaunya data tentang naiknya kelas menengah dan tumbuhnya orang kaya baru, menunjukkan bahwa negeri ini hanya untuk para elit.@ Anif Punto Utomo

Dimuat di rubrik 'Teraju' Republika, 8 Januari 2012

No comments:

Post a Comment