Tuesday, February 28, 2012

Infrastruktur, Kunci Pertumbuhan

‘’Ekonomi Indonesia bisa tumbuh tujuh persen jika proyek infrastuktur berjalan lancar.’’
Begitu kata ekonom Aviliani. Apa yang dikatakan ekonom yang banyak menjadi pembicara di berbagai seminar itu benar. Jika saja berbagai proyek infrastruktur berjalan dengan baik, pertumbuhan tujuh persen, bahkan mungkin delapan persen bisa dicapai.

Sejauh ini masalah infrastruktur menjadi titik lemah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan investasi yang terjadi tidak diimbangi oleh percepatan ketersersediaan infrastruktur yang memadai. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Padahal kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi untuk secepatnya mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Kita prihatin setiap kali membaca berita penyeberangan Merak macet sampai belasan kilometer. Kita malu kalau melihat betapa sesaknya dan tidak terawatnya Bandara Soekarno Hatta. Kita sulit menerima masih banyaknya wilayah yang belum teraliri listrik. Dan kita prihatin dengan kapasitas pelabuhan yang kelebihan beban sehingga terkadang sebuah kapal harus bersandar berhai-hari.

Dengan melihat kondisi itu, tak heran kalau daya saing infrstruktur Indonesia masuk dalam kategori yang rendah. Berdasarkan data yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) periode 2010-2011, skor daya saing infrastruktur kita 3,56 dan berada pada peringkat 82, jauh di bawah Korsel yang berada di posisi 18, Malaysia di peringkat 30, Thailand di urutan 35, dan Cina di ranking 50.

Infrastruktur yang kedodoran juga menciptakan ekonomi biaya tinggi. Kita coba lihat logistik misalnya, di Indonesia biaya logistik mencapai 17 persen dari total biaya produksi. Di Malaysia 8,0 persen. Filipina 7,0 persen, dan Singapura 6,0 persen. Berdasarkan Logistic Performance Index yang dirilis Bank Dunia, kondisi logistik Indonesia terus memburuk yakni di peringkat 47 pada 2007 dan merosot ke urutan 75 di 2010.

Contoh konret dari mahalnya logistik ini pernah dikemukakan oleh Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Said Didu. Berdasarkan pengalamannya, biaya pengiriman barang dari Jawa Timur ke Jakarta lebih mahal dibanding dari Thailand ke Jakarta. ‘’Kondisi itu mencerminkan buruknya infrastruktur yang berimbas ke mahalnya biaya ekonomi,’’ katanya.

Air bersih juga bisa dijadikan contoh. Seperti kita lihat masyarakat di daerah Jakarta Utara, banyak yang tidak memiliki akses air bersih, termasuk yang dari Perusahaan Air Minum (PAM). Akibatnya masyarakat yang notabene masyarakat kelas bawah yang masuk kategori tidak mampu harus membeli air bersih untuk kebutuhan mereka. Harga air tersebutr bisa empat atau bahkan lima kali lipat air PAM.

Ketidaksiapan infrastruktur juga membuat daya saing Indonesia turut terseok, bahkan ada kecenderungan menurun. Pada 2010, peringkat daya saing global (global competiticness) kita berada di posisi 44, naik belasan level dibanding sebelunya. Tapi pada 2011 justru menurun menjadi urutan ke-44. Memang dalam peringkat ini, bukan saja infrastuktur yang jadi dasar penilaian, tetapi juga tingkat korupsi dan isu kesehatan, tapi sumbangan infrastruktur cukup dominan.

Dana untuk mendukung pembangunan infrastruktur memang sangat besar. Ironisnya justru pemerintah mengalokasikan dana infrastruktur dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sangat kecil. Menurut Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Dedy Priatna pada 1997, anggaran untuk infrastruktur mencapai 8,0 persen dari APBN, tetapi sejak 1998, tinggal 4,1 persen. Belakangan, alokasi infrastruktur sudah naik, tapi belum kembali seperti semula.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah dananya cekak, kesigapan dan keberanian birokrasi rendah. Ini terlihat dalam pembangunan tol misalnya, semestinya pada 2011 jalur sepanjang Jawa sudah dilewati tol. Kenyataannya, baru 2011 ini sebagian besar dikerjakan, dan selesai 2014. Pembebasan tanah menjadi kendala, dan pemerintah tak berani bertidak tegas meski untuk kepentingan umum.

Jika kita lihat postur APBN, memang terlihat tidak berimbang. Dana pendapatan yang dihimpun dari pajak rakyat itu justru dihamburkan untuk membiayai birokrasi, baik untuk gaji, maupun untuk kemewahan lain seperti bepergian ke luar negeri, mobil dinas mewah, dan berbagai tunjangan. Dana APBN kita juga tersedot untuk subsidi energi, baik lewat bahan bakar minyak (BBM) maupun listrik yang mencapai Rp 120 triliun.

Idealnya, pembiayaan untuk infrastruktur setiap tahun lima persen dari produk domestik bruto (PDB). "Kebutuhan pembiayaan infrastruktur berdasarkan minimum lima persen dari PDB tahun 2010-2014 mencapai Rp 1.924 triliun. Kemampuan pemerintah hanya sekitar Rp 560 triliun, termasuk di dalam dana alokasi khusus," kata Direktur Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Bambang Prihartono beberapa waktu lalu.

Lantas dari mana kekurangan dana itu harus ditopang? Tentu dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta dan daerah. Dari mereka diperkirakan akan memasok Rp 1.041 triliun, sehingga masih ada kekurangan Rp 323 triliun. Mau tidak mau, pemerintah harus menaikkan anggaran untuk infrastruktur tersebut. Suatu hal yang yang tidak sulit dilakukan, asal pemeirntah mau berhemat dengan memangkas biaya birokrasi yang tidak perlu dan dengan menurunkan subsidi yang tidak tepat sasaran.

Kesiapan infrastruktur ini selain mengakselerasi pertumbuhan ekonomi juga memperkecil terjadinya overheating ekonomi. Cina bisa menjadi contoh, ketika pertumbuhan ekonomi mereka mampu melesat dua dijit beberapa waktu lalu—sebelum krisis Amerika dan disusul Eropa— ekonomi tidak overheating. Kenapa? Karena infrastruktur sudah tersedia dengan baik, sehinga distribusi barang dan sarana logistik lainnya tetap lancar.

Hal seperti itulah yang semestinya bisa kita lakukan. Ini juga yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, yakni bagaimana pembangunan infrastruktur bisa cepat dieksekusi sehingga menciptakan pergerakan sector riil yang lebih efisien. Infrastuktur merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi. @ Anif Punto Utomo
Dimuat di Republika edisi 14 Desember 2011

Friday, February 17, 2012

Gaduh di Atas, Mengaduh di Bawah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil para menteri dari sebuah partai pendukung koalisi. Di situ presiden minta agar internal partai tersebut tidak gaduh dalam menyikapi adanya pergantian kabinet. Kegaduhan itu dikhawatirkan akan menganggu stabilitas dalam negeri.

Gaduh. Kata ini memang pas untuk menggambarkan situasi politik negeri ini. Setiap muncul isu, selalu diikuti dengan kegaduhan. Setiap muncul masalah, selalu diiringi kegaduhan. Bahkan persoalan yang semestinya bisa diatasi dengan cepat, justeru dibikin gaduh. Hampir setiap isu-isu yang seksi, sengaja dibuat gaduh oleh para elit politik. Ya, kegaduhan memang hanya di elit, tidak di bawah.

Mereka gaduh ketika kader dari partai terancam akan direshuffle. Para politikus itu gaduh ketika rekan-rekannya sesama wakil rakyat dipanggil Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK). Mereka gaduh ketika sejawatnya dan mungkin dirinya sendiri terancam akan dikuliti kekayaannya --yang naik secara tidak wajar. Bahkan pemilihan calon pimpinan KPK, apa cukup delapan atau harus 10 saja dibuat gaduh.

‘’Para elit politik itu gaduh untuk hal-hal yang tidak substansial. Apa mereka tidak melihat bagaimana rakyat masih susah makan, bagaimana rakyat harus berjuang untuk hidup, bagaimana petani menangis karena gagal panen?’’ begitu keluh mantan Menteri Koperasi dan UKM Adi Sasono.

Benar kata Adi Sasono. Masih banyak persoalan menyangkut rakyat kecil dari bangsa ini yang harus diselesaikan. Mulai dari kemiskinan dan pengangguran yang mendera puluhan juta penduduk, gagal panen yang dialami petani, jatuhnya harga komoditas pertanian, matinya industri rotan, nelayan yang tak mampu melaut, kekeringan yang membuat masyarakat kekurangan air, dan masih banyak lagi. Adakah elit-elit itu peduli?

Persoalan-persoalan riil itu tentu tidak bisa diselesaikan dengan kegaduhan. Apalagi kegaduhan yang mereka ciptakan itu hanya urusan bagaimana mereka mempertahankan kekuasaan, bagaimana mereka mempertahankan posisi agar tetap bisa memperkaya diri sendiri, bagaimana mempertahankan jabatan agar bisa membiayai partai yang menaunginya. Rakyat tidak pernah menjadi agenda, rakyat hanya diatasnamakan agar mereka terlihat populis.

Seberapa parah sebetulnya kondisi kemiskinan rakyat? Jika itu ditanyakan pada elit politik mereka akan fasih menjawab dengan jargon-jargon pemberantasan kemiskinan. Tapi mereka sendiri tidak tahu secara nyata bagaiaman kondisi rakyat miskin dilapangan. Mereka tidak mampu untuk berempati, meskipun dulunya banyak elit itu yang hidup menderita.

Jika kita lihat data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan pada 2011 ini masih 30,02 juta orang atau sekitar 12,49 persen dari jumlahb penduduk. Berapa batas kemiskinan? Dibawah 1 dolar AS per hari, jadi kira-kira Rp 250 ribu per bulan. Mungkin sama dengan sekali atau dua kali makan siang anggota DPR di hotel mewah di seberang kantor mereka di kawasan Senayan.

Betul bahwa selama lima tahun terakhir ini jumlah rakyat miskin cenderung menurun, baik persentase maupun jumlah absolutnya. Tapi yang menjadi pertanyaan apakah penurunan tersebut signifikan? Lebih juah lagi, apakah penurunan tersebut sebanding dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digelontorkan untuk mengatasi kemiskinan?

Jawaban atas dua pertanyaan itu sama: Tidak. ‘’Anggaran untuk pemberantasn kemiskinan memang terus naik, jumlah orang miskin juga turun, tapi antara kenaikan anggaran dan penurunan jumlah orang miskin tidak sebanding,’’ kata Adi Sasono yang sampai kini masih aktif dalam gerakan ekonomi kerakyatan.

Dari data yang tersaji, sejak 2006 sampai 2010, anggaran yang dialokasikan untuk pemberantasan kemiskinan naik lebih dari dua kali lipat, yakni dari Rp 42 triliun menjadi Rp 94 triliun. Apakah kemudian penurunan kemiskinan juga mencapai setengahnya? Ternyata tidak. Jumlah orang miskin hanya turun 8,07 juta dari Rp 39,08 juta menjadi 31,02 juta atau berkurang sekitar 20 persen.

Menjadi pertanyaan, kemana dana triliunan rupiah tersebut? Jelaslah bahwa penurunan kemiskinan tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang telah dialokasikan. Ada dua kemungkinan, alokasi anggaran tidak mengenai sasaran atau anggaran itu dikorupsi di tengah jalan. Boleh jadi dua-duanya berjalan paralel, alokasi dana tidak tepat sekaligus dikorupsi. Tampaknya justru yang terakhir yang lebih tepat.

Jumlah orang miskin yang masih puluhan juta ini terlihat juga mengurangi makna dari pertumbuhan ekonomi yang kita capai. Kita tahu bahwa dalam lima tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi sudah nyaris stabil di posisi 5,5 sampai 6,6 persen. Bersamaan dengan itu, pendapatan per kapita juga naik meyakinkan. Pada 2011 ini diperkirakan pendapatan ekonomi menembus angka 3.000 dolar per kapita.

Pertanyaannya, ketika kemiskinan masih saja membelenggu masyarakat, siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Kelas menengah dan kelas atas tentu saja. Secara gambalng itu terlihat dari ramainya mal-mal kelas menengah atas, tingginya permintaan mobil, larisnya apartemen di perkotaan, tingginya perminataan wisata keluar negeri termasuk umrah, dan masih banyak lagi. Inilah yang dinamakan pertumbuhan tidak berkualitas, karena bukan pemerataan yang didapat melainkan kesenjangan.

Dalam keseharian kita dengan mudah melihat betapa kontrasnya kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang tidak mampu membeli, bahkan menyewa rumah sehingga harus tinggal di gerobak dorong bersama keluarga, tapi ada masyarakat yang memiliki beberapa rumah mewah dan beberapa apartemen. ada yang tiap hari ke kantor berdesak-desakan di kereta ekonomi yang panas, tapi ada yang setiap bepergian berganti mobil sesuai dengan keperluannya.

Tapi, meskipun kesenjangan itu tampak begitu nyata, ternyata jika kita melihat indeks gini (indeks yang mencerminkan seberapa besar kesenjangan dengan skala 0-1, angka 1 berarti kesenjangan absolut). Pada 2011 ini indske gini berada pada posisi 0,37. ‘’Ada ketimpangan, tapi masih rendah,’’ kata orang BPS.

Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Rupanya BPS tidak mampu atau paling tidak mengalami kesulitan dalam menjangkau rumah tangga yang berada di garis paling atas. Dengan begitu ada lapisan masyarakat paling kaya yang tidak terekam dalam survei. Ini yang membuat indeks gini tidak sesuai dengan realita.

Dalam suatu kesempatan mantan Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah masih saja disibukkan dengan bagaimana ekonomi dapat tumbuh tinggi. Padahal pertumbuhan ekonomi bukan merupakan indikator tunggal yang mencerminkan kesejehteraan rakyat. Pertumbumbuhan tanpa adanya pemerataan, hanya akan menghasilkan ketimpangan.

Kemiskinan bukanlah sekedar angka statistik, melainkan harus dilihat sebagai masalah multidimensional yang harus ditangani secara komprehensif dan melibatkan banyak pihak. Semua komponen bangsa menurut Kalla harus terlibat, baik lembaga keuangan, civil society, maupun akademisi. ‘’Semua harus kerja keras, karena tidak ada bangsa yang makmur tanpa kerja keras,’’ kata Kalla.

Pemerintah sekarang, sebagaimana dikatakan SBY dalam pidato kenegaraan memperingati 66 HUT RI Agustus silam, telah bersungguh-sungguuh dalam memberantas kemiskinan. Untuk meyakinkan bahwa pemeirntah bersungguh-sungguh, SBY kemudian memaparkan bantuan untuk rakyat miskin yang terbagi dalam empat klaster.

Klaster pertama adalah program bantuan dan perlindungan sosial. Di sini yang dilakukan adalah memberikan beras murah untuk masyarakat ekonomi tidak mampu (beras untuk rakyat miskin-raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan jaminan kesehatan masyarakat atau Jamkesmas.

Klaster kedua melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang merupakan pemberantasan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat desa. Kemudian klaster ketiga melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), program ini adalah pemberian kredit kepada usaha kecil, karena selama ini setidaknya 60 persen lebih usaha mikro dan kecil tidak memperoleh kredit dari perbankan.

Kemudian klaster keempat yang baru mulai efektif pada 2012 dan dilaksanakan secara bertahap. Beberapa program yang dilakukan adalah rumah murah dan sangat murah, kendaraan umum angkutan murah, air bersih, listrik murah dan hemat, peningkatan kehidupan nelayan, dan peningkatan kehidupan masyarakat miskin perkotaan.

“Melalui empat klaster itu, kita berharap dapat menjadi langkah terobosan yang secara fundamental dapat menurunkan kemiskinan sekaligus memperkuat ekonomi rakyat kita,” kata Presiden.

Secara teoritis program yang dirilis oleh pemeirntah memang bagus, tapi kembali kalau kita melihat kenyataan di lapangan, acap kali tidak seindah dalam teori. Dana mungkin saja sudah dikucurkan dengan jumlah puluhan triliun, tapi ya itu tadi, penurunan kemiskinan tidak sebanding dengan dana yang disalurkan. Program boleh canggih, saying realisasi di lapangan tampaknya tidak seperti yang diharapkan.

Jika kita melihat secara selintas perjalanan 66 tahun negeri ini, tampaknya ada satu kesamaan problematika semenjak presiden pertama RI, Soekarno sampai presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, yakni kemiskinan. Di negeri ini, kemiskinan bisa disamakan dengan korupsi, yakni sama-sama sulit untuk diberantas. Keduanya sudah begitu mengakar, sehingga bukan pekerjaan mudah untuk dicabut.

Mereka, para elit politik dan penyelenggara negara yang semestinya bekerja keras untuk memberantas kemiskinan sayangnya asyik dalam permainan sendiri. Mereka asyik membuat kegaduhan, tanpa tahu bahwa rakyat mengaduh dalam menghadapi kerasnya kehidupan.@ Anif Punto Utomo

Dimuat di Teraju Republika edisi 17 Oktober 2011

Tuesday, February 7, 2012

Mampukah Kita Menjadi Bangsa Besar?

Esemka. Merek mobil buatan siswa-siswa itu mendadak menjadi perbincangan nasional. Bukan karena kecanggihan teknologi, bukan pula karena modelnya yang futuristic, tapi karena mobil bikinan anak-anak SMK itu dipilih oleh walikota Solo Jokowi sebagai mobil dinas.

Sontak saja apa yang dilakukan Jokowi itu mengundang berbagai komentar dari masyarakat biasa sampai pejabat dan juga politisi. Kebanyakan berkomentar positif, meskipun ada saja yang mencibir, termasuk atasan Jokowi, yakni gubernur Jawa Tengah. Tak sedikit pula politisi yang memanfaatkan isu ini sebagai panggung untuk tampil.

Lepas dari kontroversi itu, semestinya kehadiran Esemka ini menyadarkan pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap produk nasional. Kita ngenes kalau melihat ribuan mobil terjebak kemacetan, semuanya merek asing. Kita prihatin ketika 2011 silam penjualan mobil mencapai 893 ribu unit, tapi tak satu pun yang produk lokal.

Apakah karena kita tidak bisa membuat mobil? Tidak. Kita bisa, hanya saja pemerintah tidak punya visi untuk mengembangkan produk sendiri. Atau mungkin tak punya nyali, karena akan berhadapan dengan perusahaan mobil dari negara-negara yang telah banyak berjasa pada Pemerintah.

Seandainya mau, pemerintah bisa pilih satu atau dua perusahaan untuk memproduksi mobil nasional (mobnas). Bagaimana dengan pasar? Wajibkan mobil dinas pejabat, anggota DPR, sampai seluruh jajaran BUMN memakai mobnas. Jika itu bisa dilakukan, tak kurang dari 50 ribu unit akan terjual. Dengan penjualan sebanyak itu, perusahaan bisa hidup dan berkembang. Sekarang saja mobil Esemka sudah kebanjiran pesanan, tak kurang dari 10 ribu pesanan mengalir dalam waktu kurang dari sepekan.

Jika pejabat negara sudah memakai mobnas, masyarakat dijamin akan mengikuti. Bagaimana tidak, baru satu walikota saja yang memakai Esemka, ribuan pesanan sudah datang. Mobil akan makin laris jika jika diberikan keringanan pajak, sehinga harga jual mobnas lebih rendah dari mobil merek asing. Strategi ini yang dilakukan Jepang, kemudian disusul Korea, dan dibelakangnya Malaysia dengan Protonnya.

Tanyalah pada orang yang pernah ke Jepang, kecil kemungkinan dia melihat merek mobil non-Jepang. Kalaupun ada itu milik diplomat asing. Begitu pula di Korea, nyaris tak ada mobil Eropa dan Amerika di jalanan, apalagi mobil Jepang. Di Malaysia mobil asing masih cukup banyak, tapi mayoritas tetap Proton. Jepang dan Korea bahkan bukan cuma mobil, tapi hampir semua barang konsumsi produk sendiri.

Tapi lagi-lagi pertanyaannya: pemerintah yang peragu ini berani tidak? Karena bagaimanapun tentangan dari produsen mobil akan sangat dahsyat. Ketika pada 1996 Presiden Soeharto meluncurkan kebijakan mobnas lewat produk Timor, serangan dari produsen mobil bukan main besarnya, padahal Soeharto masih menjadi orang yang ditakuti. Sayang keburu krisis, Timor pun akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Soeharto.

Bukan cuma mobil yang bisa kita buat. Semua kendaraan yang ada di bumi ini, baik yang di darat, di laut maupun di udara, sudah bisa dibikin anak negeri. Bahkan bukan cuma kebutuhan transportasi sipil yang bisa kita bikin, tetapi juga transportasi militer, baik kapal perang, kapal penyergap, panser, pesawat pengangkut militer, sudah bisa dibuat. Untuk pesawat militer tinggal tunggu waktu saja.

Berbicara pesawat misalnya, kita sudah mampu membuat, bahkan berkali-kali ekspor. Tapi sayangnya ketika sedang mekar-mekarnya, justru industri dirgantara ini dibunuh sendiri oleh pemerintah. Padahal hanya perlu sedikit sentuhan kebijakan, industri ini bisa hidup. Terbukti ketika Kementerian Pertahanan memesan pesawat CN295 senilai 325 juta dolar, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) survive.

Selama ini justru negara asing yang melirik produk kita. Pesawat dan helikopter bikininan PT DI misalnya banyak dibeli angkatan udara Pakistan, Brunei, dan negara Timur Tengah. Justru dari dalam negeri sendiri tidak banyak tertarik untuk membeli. Biasanya hal seperti ini urusannya komisi, karena kalau membeli di DI komisinya sedikit atau barangkali malah tidak ada.

Produk PT PAL juga banyak diminati negara Eropa seperti Jerman dan Italia, dan juga negara di Asia. Sebaliknya, pesanan dari dalam negeri yang hampir tidak pernah kunjung tiba. Semestinya Pemerintahdan BUMN mulai membeli atau mengorder ke PAL untuk pembuatan kapal, baik kapal sipil maupun militer. Kita butuh puluhan bahkan mungkin ratusan kapal patrol untuk mengawal republik, kenapa tidak pesan dari mereka.

Disini yang diperlukan adalah keperpihakan pemerintah. Selama ini kentara sekali bahwa keberpihakan Pemerintah terhadap produk nasional nyaris nihil. Sedikit-sedikit impor. Mulai dari yang sederhana sampai yang sudah tersentuh teknologi cari gampangnya saja: impor. Garam impor, sapi impor, beras impor, ikan impor, bahkan impor barang bekas pun dilakukan, seperti gerbong kereta dari Jepang dan Korea yang bagi mereka sudah barang rongsokan.

Sebaliknya, dalam hal ekspor, pemerintah justru lebih suka mengekspor barang mentah ke berbagai negara. Kita mengekspor lada, kita mengekspor biji kopi, kita mengekspor coklat, kita juga mengekspor batubara dan gas. Jika bahan mentah seperti ini yang masih kita ekspor, kita tak ubahnya dengan Indonesia ketika masih menjadi negeri jajahan, mengekspor hasil alam.

Apakah itu karena kita tidak membutuhkan? Tidak juga. Kita butuh gas untuk menggerakkan turbin penghasil listrik dan juga untuk kebutuhan pabrik-pabrik, termasuk pabrik pupuk. Tapi pemerintah lebih suka memilih, meskipun itu dengan risiko mematikan pabrik lokal yang membutuhkan gas untuk pengoperasian mesin-mesin mereka.

Begitu juga batubara. Produksi batubara kita mencapai 380 juta ton, tapi 75 persen diekspor. Meski melimpah, PLN kadang masih sulit mendapatkan batubara, karena penambang batubara lebih suka ekspor. Idealnya seluruh hasil batubara itu dijadikan listrik, baru listriknya yang kita ekspor sehingga ada nilai tambah. ‘’Batubara mestinya menjadi economic booster bukan sekadar jadi komoditas,’’ kata Singgih Widagdo, ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Betul. Tapi itu tidak cukup. Dalam era globalisasi sekarang ini, bangsa yang besar adalah juga bangsa yang juga menghargai produk sendiri. Bangsa besar seperti Amerika, Jerman, Inggris, Jepang, atau Cina misalnya adalah bangsa yang mampu memproduksi kebutuhan strategis dan dimanfaatkan optimal oleh masyarakat dan negara.

‘’ Indonesia punya prasyarat yang cukup untuk menjadi bangsa besar,’’ kata Adi Sasono. Selain wilayah yang luas dan penduduk banyak, Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang luar biasa. Minyak, gas, batubara, nikel, emas, tembaga, timah, bauksit, apa sajalah. Tanah subur yang mampu menghasilkan beragam hasil kebun. Laut luas yang menyimpan miliaran ton ikan, dan masih banyak lagi.

Tapi yang tidak kalah penting adalah bahwa kita memiliki kualitas sumber daya manusia yang berkualitas. Ratusan medali olimpiade keilmuan telah diraih pelajar-pelajar kita, ratusan ilmuwan kita menjadi peneliti andalan di negeri seberang, ribuan paten sudah dikoleksi para peneliti. Kita juga sudah punya ribuan doktor dan profesor. Apalagi yang kurang?

Sebagaimana di olahraga, untuk cabang pertandingan individual, kita cukup banyak prestasi, seperti tinju misalnya ada Chris John yang juara dunia. Tapi jika sudah main dalam sebuah tim, secara rata-rata prestasinya jeblok. Begitu pula dalam skala negara, secara individu kita punya juara olimpiade, peneliti andal, dll, namun begitu masuk sistem, seolah prestasi itu menjadi tenggelam.

Ini tugas pemerintah, bagaimana mengelola berbagai kelebihan itu menjadi prestasi yang diapresiasi oleh seluruh rakyat. Di situlah nanti kita akan menjadi bangsa yang besar. Sebuah bangsa yang menghormati para pahlawan, bangsa yang mampu membuat berbagai produk strategis, dan bangsa yang bangga dengan produk-produk sendiri.

Jadi jika kita menjawab pertanyaan sebagaimana judul tulisan ini jawabannya mudah: Bisa! Tinggal bagaimana pemerintah, mau tidak kita menjadi bangsa besar.@ Anif Punto Utomo

Dimuat di Republika 8 Januari 2012